Chapter 18 : Alinzar Decipio

1988 Kata
Max terbangun dari tidurnya. Dia tak tahu apa yang terjadi dengan dirinya beberapa saat yang sebelumnya. Namun, semua badan dan juga kepalanya terasa sangat sakit sekarang. Max masih belum bisa membuka matanya dengan baik dan benar, hanya bisa meraba-raba bagian yang sedang sangat sakit ia alami seperti di bagian kepala dan juga punggung. Saat Max merabanya, terasa ada sebuah perban yang membungkus kepalanya dan juga selimut empuk menutupi dirinya sendiri.Masih belum berhenti mencoba untuk mencari tahu apa yang terjadi dengan dirinya sendiri, dia mencoba mengingat dengan keras apa yang terjadi dengan dirinya beberapa saat yang lalu. Dia sudah teringat kalau beberapa saat yang lalu ada bongkahan batu sangat besar berusaha untuk menimpanya dengan keras. Max pun merasa heran karena dia bisa selamat dari serangan dan juga kecelakaan seperti itu. Tanpa mata untuk melihat, Max bisa merasakan kalau di sana ada seorang yang duduk di sampingnya. Dia bisa mendengar kalau seseorang itu sedang menuangkan gelas kepadanya dan berusaha untuk melayani Max di sana. Namun Max masih belum bisa membuka matanya dan tahu siapa sosok itu di sampingnya. Max juga akan segera bangun dari tempat tidurnya, namun punggung dan juga badannya terlalu sakit dan pegal untuk melakukan itu semua. “Apakah kau masih belum bisa bangun dan membuka matamu Max?” tanya seseorang itu yang suaranya Max familiar namun tidak ia kenal. Max tidak bisa mengingat dengan jelas kapan dia bisa bertemu dengan suara itu. Seperti suara seorang pemuda dengan keras namun nadanya sangat santun. Max memaksa matanya sendiri untuk terbuka melihat siapa sebenarnya yang berada di ruangan ini bersamanya. “Lumayan, aku bisa melih—Sialan!” Max terkaget saat terbangun dari kasurnya. Dia seperti melihat sosok hantu sekarang. Meskipun badannya kesulitan untuk bangun dan berdiri sekarang, dia berangkat naik dari kasur itu dengan menyeret-nyeret dan melata seperti ular. Dia mencari senjatanya sekarang, berusaha membidik orang yang sedang bersamanya di ruangan ini. Max, sedang bertemu dengan Alinzar Decipio sekarang. Pemuda yang ia selamatkan beberapa hari yang lalu. “Apa yang kau inginkan di sini! Tidakkah sudah kubilang kalau aku akan mengampunimu jika kau menjauh dari hidupku. Dimana Revolverku sekarang!” Teriak Max sangat histeris. Dia tidak bisa mencari senjatanya dengan kondisi fisiknya yang sekarang. Karena itu juga membuat Max menjadi merasa nyaman. Hanya satu pikiran yang dimiliki Max sekarang saat melihat Alinzar di depannya. Pemuda itu pasti akan mencoba untuk membalaskan dendam keluarganya dengan membunuhnya sekarang. “Tenang Max. Revolvermu berada di tempat aman! Aku tidak mencoba untuk membunuhmu sekarang, Apa kau mengira sebuah cangkir teh ini bisa membunuhmu dengan instan dan tanpa gejala?” tanya Alinzar kepada Max yang terlihat ketakutan setengah mati. Di tangannya, ia membawa sebuah teko berisi teh hangat dan juga cangkir yang masih kosong. Rambut Alinzar yang berubah menjadi putih setelah sebelumnya hitam membuat Max sedikit tak percaya dengan apa yang dia lihat. Namun Alinzar sedang bertelanjang da-da sekarang memperlihatkan sebuah tato dengan ukiran yang sangat rumit dan menyala. Mencoba untuk membuktikan kalau dia tidak mempunyai niat jahat kepada Max, Alinzar langsung saja memberikan cangkir berisi penuh dengan teh itu kepada Max yang terperosok di ujung tembok itu sekarang. Dia mencoba untuk menyadarkan kepada Max kalau dia benar-benar tulus untuk melakukan apa yang sedang ia lakukan. Namun alih-alih menerima cangkir teh itu dan meminumnya, Max malah membuang cangkir itu ke lantai dan memecahkannya dan juga menjatuhkannya sehingga cairan teh tersebut menjadi tercecer kemana-mana. “Mana mungkin aku bisa percaya kepadamu hanya dengan itu! Katakan di mana Revolverku sekarang, atau kau akan mengalami nasib yang lebih pedih daripada keluargamu!” Teriak Max yang mengancam namun sesungguhnya sedang ketakutan setengah mati. Alinzar pun pada akhirnya meminum teh di dalam teko itu sendirian dan menaruhnya lagi di atas meja. Ucapan Max memang masuk akal, orang waras mana yang akan percaya dengan perkataan seorang pemuda yang keluarganya sudah habis dibantai oleh orang di depannya tanpa ada niat jahat untuk bisa dia lakukan. Alinzar pun akhirnya berjalan menuju lemari di ujung tembok ruangan itu. Dia pun membukanya dan memperlihatkan kalau semua senjata dan perlengkapan milik Max sedang berada di sana sekarang terkumpul dengan rapi. Alinzar mengambil revolver milik Max yang ada di samping lemari itu. Dia memeriksa kalau isi peluru di sana masih full dan juga belum digunakan dengan baik. Alinzar berjalan lagi ke arah Max, dan memberikan revolver itu kepadanya. “Ini ambillah, jika kau merasa lebih baik dengan senjatamu maka sebaiknya kau harus mengambilnya. Namun jika kau ingin membunuhku saat ini juga itu juga terserah padamu. Semua telah menjadi keputusanmu sekarang ini.” Max buru-buru mengambil revolver miliknya, dan memutar pengaman di ujung senjatanya itu. Dia membidik Alinzar tepat di kepalanya. Tepat sekali ke arah mukanya, bahkan Alinzar hanya berdiri di sana tak bergerak saat Max melakukan itu. Max merasa benar-benar akan menembak Alinzar sekarang. Dia tidak percaya dengan satu pun kata-kata yang diucapkan oleh pemuda itu, karena berpuluh tahun Max sudah hidup, dia tidak pernah bertemu dengan sesuatu seperti itu. “Baiklah jika kau menginginkan ajal tepat di depan mukamu. Aku akan memberikannya langsung kepadamu, mengirimkanmu kembali bersama keluargamu!” Teriak Max mengancam. Hingga akhirnya, sudah beberapa menit berlalu, Max tidak kunjung menarik pelatuk revolvernya. Tangannya terasa mulai berat sekarang dan jari-jarinya basah terkena keringatnya sendiri. Max berpikir mungkin jika memang ini adalah akhir dari hidup pemuda itu, dia akan menerima dosa sebagai seorang pembunuh selamanya. Tanpa ada kesempatan untuk memperbaiki sendirinya. Max benar-benar kaku dan juga berdecak saat itu, dia ingin agar bisa menghentikan ini semua dengan mudah dan juga tanpa beban. Namun, bidikan Max menurun, tidak lagi mengincar kepala Alinzar. Dia sepertinya sudah menyerah ingin menembak kepala pemuda itu. Amarah yang ada di dalam dirinya bertahun-tahun menyelinap sudah hilang sekarang, dia tak tahu harus merasa senang atau kecewa karena hal itu. Namun saat melihat pemuda itu berdiri di sana dengan wajahnya yang tulus, tangan Max seperti tahu apa yang harus dia lakukan sekarang. Sementara itu Max terus saja mencoba untuk membidik kembali kepala Pemuda itu namun juga terus gagal karena simpatinya berakumulasi lebih besar sekarang ketimbang egonya. “Apakah kau sudah selesai?” Alinzar menghampiri Max kembali, dia mulai menunduk dan mengambil kembali Revolver milik Max tersebut. Tanpa melawan, Max memberikan revolvernya itu kembali kepada Alinzar, dia tidak bisa melawan bocah itu sekarang. Dan Alinzar sepertinya sejak awal sudah tahu apa yang akan Max perbuat saat bertemu dengannya. “Kau, ada apa denganmu? Seharusnya kau memiliki dendam kepadaku dan benar-benar ingin membunuhku sekarang”. “Maaf Max, mungkin ekspektasimu tidak sesuai dengan kenyataan. Membunuhmu adalah hal yang paling sia-sia untuk dilakukan di dunia ini. Dan aku tidak mungkin akan melakukan itu jika masih banyak hal yang bisa lebih baik aku lakukan di dunia ini. Justru Max, aku harus berterima kasih karena kau telah membunuh semua keluarga dan juga kaumku. Meninggalkan hanya aku tersisa di dunia ini.” Ujar Alinzar membuat Max bingung setengah mati. Lebih tepatnya, dia bingung bagaimana Alinzar bisa berkata demikian setelah dia tahu kalau semua keluarganya mati di depan mukanya, “Kenapa?” tanya Max bingung. “Seperti yang kau tahu dan kau pahami, keluargaku bukanlah keluarga yang baik-baik. Meskipun mereka memiliki jaringan perdagangan anggur yang luar biasa, mereka tidak melakukannya dengan jalur yang benar. Banyak sekali pengorbanan yang mereka lakukan agar bisa mendapatkan semua itu termasuk mengorbankan kaumku sendiri. Aku tak pernah tahu itu sebelumnya, bahkan aku mengira kalau ayahku adalah salah satu vampir terbaik di dunia. Tidak ada yang bisa menyaingi kepintaran dan juga kehebatannya dalam berpidato atau berpolitik. Namun saat kau datang ke rumahku dan membunuhnya, mataku benar-benar terbelalak, melihat kenyataan yang sebenarnya disimpan keluargaku dariku sendiri”. Ujar Alinzar. Max jadi mulai sedikit paham dengan apa yang diresahkan oleh Alinzar, namun dia tidak merasa kalau alasan seperti itu tidak cukup untuk mengampuni nyawanya. “Beberapa tahun yang lalu, mungkin kau akan menertawainya, tapi aku memiliki seorang kekasih. Dia berasal dari keluarga vampir ternama. Aku benar-benar cinta kepadanya dan keluarga kami saling merestui, tidak ada yang salah dari situ sejak awal, namun tiba-tiba sebuah kejadian naas menimpa pasanganku sekarang. Mungkin kau mengira kami hanyalah seorang monster yang haus akan darah dan daging manusia. Namun tidak Max, kami memiliki rasa sayang dan cinta kasih meskipun kau tidak mempercayai itu. Suatu hari, aku tahu kalau pasanganku ini meninggal. Keluarga pasanganku juga tak tahu dimana mereka berada. Hingga akhirnya malam saat kau menyerang rumahku, aku melihat mayat dari pasanganku sedang terkubur di sana dengan utuh beserta peti matinya” Ungkap Alinzar kembali menceritakan cerita tragisnya. Max tidak pernah mengingat membunuh seorang gadis Vampir dengan spesifikasi dan ciri-ciri yang Alinzar sebutkan tadi. Dan dia sangat yakin kalau bukan Max lah pembunuhnya. “Dan juga mungkin kau sudah tahu ini, kami para Vampir sedang mengalami perang besar-besar an, Antar bangsa kami sendiri. Dan kekasihku, menjadi salah satu korban dari peperangan mengerikan antar keluarga itu. Kau mungkin akan merasa jijik saat mengatakan ini sekarang, namun aku benar-benar mencintai pasanganku itu. Saat aku tahu kalau keluargaku sendirilah pembunuhnya, aku benar-benar tidak bisa memaafkan mereka seperti yang kau pernah kira. Aku menjadi benar-benar membenci mereka dan menganggap mereka berada di neraka paling dalam. Dan saat ini, aku berterima kasih kepadamu Max, kau benar-benar menolongku untuk membalaskan dendamku. Walau aku tak bisa menikam ayahku sendiri untuk benar-benar membalasnya.” Ujar Alinzar kembali, Max mulai percaya bahwa apa yang dikatakan oleh Alinzar merupakan alasan pemuda itu untuk mengampuninya. Meskipun paham, Max masih tidak bisa sepenihnya dengan Alinzar sekarang. “Tidak mungkin hal seperti itu bisa terjadi? Bagaimana aku tidak tahu ada peperangan di antara kalian? Aku sudah memburu dan membunuh kalian selama bertahun-tahun! Kenapa rumor soal peperangan Vampir itu tidak pernah mampir di telingaku?” tanya Max sedikit bingung dengan pernyataan Alinzar barusan. Cukup membingungkan sebenarnya seseorang yang sudah lama berkecimpung dalam urusan memburu Vampir bisa tidak tahu akan konflik makhuk yang sedang diburunya saat itu. “Wajar bagimu untuk tidak mengetahuinya, karena kau adalah alat kami untuk berperang. Kau pikir, siapa yang mengirimkan misi dan informasi tentang para Vampir yang kau buru padahal para Vampir itu bisa bersembunyi di dalam kerumunan manusia dan tidak terlihat? Itu adalah kita, kita sendiri yang mengirimmu masuk ke dalam dan menghancurkan kami semua.” Ucap Alinzar dengan sedikit tersenyum. “Namun saat kami sadar kalau apa yang kami lakukan adalah sebuah kesalahan, kami tidak dapat menghentikanmu. Kami sadar kalau kebodohan yang kami buat sudah menjadi sebuah kiamat bagi kita sendiri. Kau merupakan senjata yang sempurna Max. Sempurna untuk membawa kehancuran bagi kami sendiri”. Max memukul lantai dengan sangat keras. Tidak sadar kalau dia menjadi bidak dalam permainan para Vampir itu sejak awal. Namun juga dia tidak bisa berhenti untuk mengikuti hawa nafsunya. Jika pun sedari awal dia tahu kalau dia diperalat oleh para Vampir lainnya, mungkin dai akan tetap melakukannya. Max tidak perlu makan. Selama dia bisa membunuh para Vampir dalam hidupnya, dia masih tetap bisa hidup dan bernafas untuk esok hari. Bahkan makanan untuk Max adalah kebutuhan paling terakhir. “Kau tidak perlu menyesal Max, yang kau lakukan adalah sebuah misi dan tugas yang mulia. Aku pun sebagai Vampir mengakui kehebatanmu, dan jika aku harus dipaksa bertarung denganmu sekarang meskipun dalam kondisimu yang penuh dengan luka, aku tetap tidak akan memiliki kesempatan untuk menang. Aku tahu ada sesuatu yang spesial di dalam dirimu Max” ujar Alinzar yang bermakna akan sesuatu. “Jangan mengira kau tahu semuanya tentang diriku. Kau tidak mengenalku, kita tidak pernah berbicara sebelumnya. Dan aku mengampunimu hanyalah sebuah niat dan juga usaha yang akan aku lakukan mulai sekarang. Kau hanyalah seorang Vampir.” Meskipun sudah memiliki niat untuk mengampuni nyawa Alinzar, Max masih memiliki rasa diskriminasi terhadap kaum Alinzar. Untungnya Alinzar tidak merasa tersinggung dan mencoba untuk beradu mulut dengan Max. “Apa yang kau lakukan di tempat ini?” tanya lanjut Max lagi. Alinzar langsung saja bergegas menghadap ke sebuah jendela di kamar itu. dia membuka kayu yang menghalanginya dan merasakan udara yang masuk ke dalam ruangan. Udara dingin bercampur salju masuk ke dalam tubuh Alinzar. “Aku melakukan sebuah kesalahan. Gargoyle yang menyerang desa ini, adalah ulahku”.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN