Chapter 17 : Mimpi Lalu

2037 Kata
Masih bisa merasakan sebuah kasur empuk dan juga bantal ditutupi dengan selimut adalah sebuah kemewahan yang dihadapi oleh bocah berumur 12 tahun itu. Dengan sebuah jendela dan cahaya yang langsung mengarah ke tubuhnya, matahari pagi akan langsung bersinar tepat di depan matanya dan membangunkannya dengan aroma pagi yang sangat menagihkan. Namun meskipun begitu, bocah itu selalu enggan untuk bangun pagi-pagi karena orang tuanya yang selalu membangunkannya terlalu siang. Berbeda dari sebelum-sebelumnya saat dia ingin bangun, ada sebuah aroma yang tidak enak dia hirup di dalam kamarnya. Bocah itu terbangun dan membelalakkan matanya. Suasana tampak benar-benar berbeda sekarang. Asap mengepul dari dalam kamarnya yang entah berasal dari mana. Dia memanggil-manggil ayah dan ibunya, namun tidak ada satu pun dari mereka menyahuti panggilan itu. Bocah itu pun akhirnya bangun dari tidurnya tanpa merapikan kamarnya. Jika dia tidak cepat-cepat keluar dari kamar ini, mungkin dia akan mati karena tersedak asap dari entah dimana yang memenuhi seluruh kamarnya sekarang. Dengan baju yang masih compang-camping dan tidak merapikan apa pun, bocah itu berlari dari kamarnya menuju ke ruangan utama kamarnya. Dan benar saja, ada api terbakar di sana, melahap perabotan-perabotan dari rumah bocah itu yang terbuat dari kayu seperti kursi, meja dan juga lemari. Semuanya nampak berantakan dengan posisi yang tidak sesuai dengan semestinya seperti rubuh jatuh ke lantai atau pun juga isi dari baju yang keluar dari lemari dengan sangat berantakan. Bocah itu masih tidak memiliki ide dengan apa yang terjadi, dia terus saja memanggil ayah dan ibunya selama melihat itu menganggap mungkin mereka masih ada di sekitar sini. Tak ingin mati karena kehabisan udara, bocah itu pun pergi ke kamar mandinya, berusaha untuk memadamkan api itu dan membuat asapnya berhenti mengepul ke seluruh tempat. Namun sayangnya saat ia masuk ke dalam kamar mandi, gentong yang kemarin malam terisi penuh dengan air benar-benar kosong sekarang. Namun tidak ada tanda-tanda lantai tumpah atau pun seseorang menghancurkan gentong itu. Lebih terlihat seperti sesuatu meneguknya dengan sangat cepat sehingga menghanguskannya tanpa menyisakan sisa apa pun di dalam gentongnya. Tidak ada air lagi yang disimpan oleh keluarga bocah itu selain di dalam gentong. Dan jika dia tidak dapat menemukannya di manapun, maka kemungkinan besar bocah itu tidak akan dapat memadamkannya dengan mudah. Entah dia harus memadamkannya dengan sesuatu yang lain ataupun memang dia harus berlari dari rumahnya sendiri mencari bantuan orang-orang di luar sana. Namun jarak antara rumah bocah itu dengan rumah tetangganya cukup jauh, dia tidak bisa meminta bantuan begitu saja karena itu hanya merepotkan para tetangganya. Seorang bocah yang bangun sendirian melihat rumahnya berantakan. Bocah itu kemudian pergi ke meja yang masih utuh dan terlihat tidak terkena efek apa pun. Di atas meja itu ada sebuah pena dan juga kertas yang nampaknya masih belum selesai untuk menulis sesuatu. Hanya terdapat sebuah coretan yang belum selesai bertuliskan, “Dear Maximillion ka-“ Tidak ada kata-kata selanjutnya di kertas itu. Hanya ada noda tinta berwarna merah yang menyeberangi semua kertasnya. Bocah itu berpikir, mereka tidak mempunyai tinta merah untuk menuliskan sesuatu, dan bagaimana bisa seseorang bisa menulis dengan tinta berwarna seperti itu. Bocah itu pun akhirnya membawa kertas itu ke dalam sakunya dan langsung saja pergi keluar dari rumah. Saat berada di luar rumah, dia benar-benar kaget saat melihat seluruh rumah di perkampungan ini dipenuhi oleh asap membumbung tinggi dari langit. Bahkan bocah itu hanya bisa melihat sejauh itu karena semua area di sekitarnya tertutup oleh kabut hitam pekat. Saat dia mencoba untuk melihat ataupun mengintip lebih jauh, kabut-kabut itu menghalangi dan juga membuat pandangannya menjadi tidak aman. Dan sebelum dia berlari menuju tempat yang lebih jauh meminta pertolongan, dia pun pergi ke peternakannya dahulu memeriksa apakah hewan ternak yang keluarganya miliki masih baik-baik saja saat ini. Pintu peternakan terbuka lebar, padahal biasanya dikunci dengan rapat-rapat dari luar. Para hewan juga tidak mungkin keluar dari dalam dengan akal dan insting mereka yang terbatas. Pasti ada seseorang yang menerobos dan juga tanpa izin masuk ke dalam peternakannya. Jerami-jerami yang dikumpulkan dengan rapi juga terlihat berantakan tidak berangsur kemana-mana. Dan ulah itu seperti ulah sebuah hewan ternak yang mencoba untuk kabur atau melepaskan kontrolnya dari seseorang yang ingin untuk mengontrolnya. Bocah itu sudah sering melihat tingkah dan kelakuan hewan ternaknya sendiri sehingga dia mulai hafal teknik dan juga pola yang dia baca dari para hewan ternaknya sendiri itu. Meskipun berbahaya karena kemungkinan besar hewan ternak itu akan menyerangnya dengan ganas saat melihatnya sekarang ini, bocah itu tetap memaksakan dirinya sendiri untuk masuk ke dalam kandang dan memeriksa apa yang sedang terjadi di dalam sana. Ada sebuah suara mengunyah yang sangat nyaring dan fokus di dalam kandang gelap itu. Suara kunyahan ini berbeda dengan suara kunyahan sapi yang memakan rumput atau domba yang memakan dedaunan, seperti suara anjing yang menjilat tulang atau pun menggeram tak ingin mainannya lepas. Bocah itu kesulitan untuk melihat siapa yang sebenarnya berada di dalam sana. Namun di samping gerbang tempat peternakannya masuk itu ada sebuah obor menyala dan membuat mata dari bocah itu bisa sedikit paham apa yang akan dia lihat. Bocah itu berniat untuk melemparkan obor itu ke arah makhluk yang ada di sana. “Manusia, ternyata kau masih ada di dalam rumah ini. Aku sudah tidak sabar untuk memakan daging dan darahmu lagi!” sebuah suara dengan lembut dan juga mengerikan membuat bocah itu bergidik ngeri. Mata menyala seperti sebuah api dan juga cahaya menyorot ke dalam dirinya. Meskipun dia telah melempar obor ke arah makhluk itu, namun dia tak terlihat takut atau pun kabur karena kedatangannya. Di saat itu, bocah itu sadar kalau yang dia lihat saat ini bukanlah hewan liar atau semacamnya. Melainkan sesuatu yang lain lebih ganas daripada yang pernah ia temui sebelumnya. Sosok itu berdiri, dengan jubah menjuntai dari belakang bajunya. Darah menempel di sekujur mukanya dan juga sisa-sisa daging masih tercium di sana. Tidak ada aroma lain selain aroma amis dan juga bau yang bisa bocah itu hirup sekarang. Berjalan dengan kedua kakinya, makhluk itu akan menuju ke bocah itu tak lama lagi. Matanya memandang bocah itu layaknya sebuah mainan atau sebuah mangsa yang akan dia santap. Sementara di tangannya, dia membawa masing-masing kepala sapi dan juga bola mata manusia masih mengucur darah dengan deras di sana. Tahu kalau itu membasahi kaki dan juga tanah, makhluk itu menjilat bola mata itu agar kering dan tak ada darah lagi di sana. Sementara di belakangnya, banyak sekali hewan ternak yang telah berserakan dan juga mati tak bisa disentuh atau memiliki harapan untuk hidup lagi. Daging dan juga sebagian organ mereka telah hilang dan dirubungi lalat. Makhluk itu terus saja berjalan ke arah bocah itu, sambil menunjukkan taring di gigi bagian depannya. Namun bocah itu tak bisa melakukan apa-apa sekarang. Dia benar-benar tercengang dengan apa yang dia lihat di depannya. “Kenapa kau diam saja bocah? Apakah kau memang berniat untuk menjadi santapanku selanjutnya? Karena jika memang kau bermurah hati memberikannya kepadaku, aku akan dengan senang hati melakukannya untukmu sebagai tanda penghormatan.” Ucap makhluk itu dengan lancar dan sangat fasih berbicara bahasa manusia. Tak lama kemudian, dia memakan kepala sapi yang ada di tangan kirinya dengan sangat cepat, bahkan hewan ter rakus pun tidak bisa makan dengan secepat itu. Dan untuk bola mata itu, dia menaruhnya tepat di atas mulutnya dan melahapnya sebagai sebuah akhiran. Otak dan kepala bocah itu mulai sadar dengan apa yang terjadi. Mungkin di waktu sebelumnya dia memang terlihat tidak tahu apa yang harus dia lakukan, namun setelah menerima semua sinyal bahaya dalam dirinya, bocah itu mulai berteriak dengan sangat histeris dan juga meneriakkan nama ayah dan ibunya. Namun makhluk itu tak terlihat takut atau pun panik, malahan tertawa bersama teriakan bocah itu. Merasa tak mungkin ada yang bisa menyelamatkannya saat ini, bocah itu mulai berlari ke arah para orang-orang desa berada tanpa menengok ke belakang. Dan dia tidak peduli jika makhluk itu akan mengejarnya, setidaknya dia telah berusaha sebaik mungkin untuk menyelamatkan dirinya sendiri tanpa mengikhlaskan nyawanya. Dan pada akhirnya, bocah itu tak bisa mendengar langkah kaki ataupun aroma menyengat dari makhluk itu lagi. Sepertinya, dia tidak ikut berlari mengejar bocah itu melainkan tetap berada di peternakan milik bocah itu. Berlari dengan sangat kencang, bocah itu tak sadar kalau dia sedang berada di pusat balai desa sekarang. Namun dia tidak berlari bersembunyi menuju jalan utama, melainkan jalan alternatif yang hanya beberapa orang tahu akan keberadaan jalan tersebut sehingga dia akan aman bila ada seseorang mirip dengan makhluk itu lagi mengejarnya di samping atau belakangnya. Dia berusaha untuk menghindar dari ancaman lebih besar yang kemungkinan akan dia temui tak lama lagi sekarang ini. Bocah itu mengintip melihat ke balai desa, sumber dari semua asap yang mengepul di semua tempat di area ini. Di sana, bocah itu melihat banyak sekali mayat manusia ditumpuk dijadikan sebuah bahan untuk perapian, sementara manusia yang lainnya, digantung seperti sebuah jemuran dan makhluk-makhluk yang mirip dengan manusia di bawahnya memakan dan menghisap darahnya menggunakan taringnya. Bocah itu sangat ingin menangis sekarang, beberapa dari mereka adalah orang yang sangat bocah itu kenal seperti pak tua yang selalu ramah dan memberikannya permen saat berladang. Namun bocah itu tahu kalau tangisannya tidak akan mengubah situasi menjadi lebih baik, dia terus menahannya sambil menahan air matanya keluar. Dan tiba-tiba dari belakang, salah satu dari makhluk itu datang dengan nafas berat dan tersengal-sengal. Bocah itu menoleh ke belakang dan melihat air liur dari para makhluk itu menetes jatuh ke tanah seraya dia mulai berbicara. “Akhirnya, kita menemukan seorang bocah manusia lagi. Kumpulkan dia bersama teman-temannya di sana. Kita akan berpesta dengan sangat meriah malam ini. Kebangkitan para Vampir, akan dimulai malam ini!” Bocah itu akhirnya tahu siapa mereka sebenarnya, seorang Vampir, makhluk yang dianggap hanya sebagai sebuah mitos oleh orang-orang Merleth. Vampir itu menarik bahu dari bocah itu dan mengangkatnya membuatnya tak bisa kabur atau pun berlari kemana pun dia ingin pergi. Dia menyeret dan mengangkatnya tepat ke arah para gantungan manusia yang organ-organ bagian dalamnya sudah mulai terburai itu. Sedangkan di sana, ada lebih banyak Vampir berkumpul tersenyum dan juga tertawa seperti tak sabar siap untuk menyantap otak dan juga darah dari bocah itu sekarang ini. Vampir itu menurunkan Sang bocah kembali berdiri di atas tanah. Dia membiarkannya berdiri sendiri sekarang. Namun meskipun begitu, dia tahu kalau sang bocah tidak akan bisa kabur kemana-mana karena banyak sekali vampir yang sedang mengelilinginya sekarang. Dia tidak mungkin memiliki kesempatan untuk kabur dengan para Vampir itu di sana. Namun bukan Vampir lah yang menjadi pusat pandangan dari bocah itu, melainkan dua orang yang tergantung di atas tongkat garpu di sana. Seorang wanita dan lelaki yang sangat bocah itu kenal, usus dan juga leher mereka terburai dengan tatapan terbuka dan juga kosong. Mulut mereka menganga dengan wajah dan juga kulit yang pucat. Sedangkan kaki dan tangan mereka sudah hilang menyisakan bagian tubuh mereka. Sudah tidak ada lagi darah yang tersisa dari badan mereka karena darah di dalam tubuh mereka sudah kering. Mereka berdua adalah orang tua dari Sang bocah tersebut. “Hey lihat, dia menangis dengan sangat histeris. Apa yang terjadi dengannya?” tanya salah satu Vampir dengan rekan sejawatnya sendiri. “Entahlah, mungkin itu adalah orang tuanya yang sedang kita gantung. Aku tidak terlalu peduli dengan hubungan orang yang sudah mati.” Bocah itu berpaling dari orang tuanya dan menatap mata para Vampir yang berada di sekitarnya itu, dengan tatapan tajam dan sungguh bengis, dia mencoba berkata-kata meskipun sudah tidak bisa karena nafasnya benar-benar terbata-bata sekarang. “Aku bersumpah atas nama ayah dan ibuku, aku akan membunuh kalian beserta anak-anak kalian meskipun kalian memohon ampun nyawa kepadaku!” Sontak ucapan bocah itu membuat para Vampir tertawa. Sudah lama sekali bagi mereka mendapatkan ancaman seperti itu, apalagi dari seorang bocah ingusan yang tidak tahu apa-apa dan sangat lemah. Merasa kalau ini semua hanyalah omong kosong, salah satu Vampir kemudian menyincing bahu dari bocah itu mencoba untuk menggantung kepalanya bersama dengan orang tuanya di sampingnya. “Waktu bermain sudah habis anak. Kau pasti sudah rindu dengan orang tuamu, maka dari itu aku akan mengantarmu kepada mereka”. Di saat Vampir itu mencoba untuk menusukkan badan bocah itu ke kayu di depannya, tiba-tiba sebuah serangan dia dapatkan berupa palu yang sangat besar. Para Vampir diserang secara tiba-tiba oleh orang yang tidak pernah mereka duga sebelumnya. Di depan bocah itu sekarang, ada seorang ksatria dengan palu besarnya datang menyelamatkannya. “Tenang anak, aku Brooks akan menyelamatkanmu”.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN