Chapter 20 : Kalut Malut

2064 Kata
Beberapa jam kemudian, Max sudah sembuh dari luka dan juga cedera yang menimpanya. Dia sedang duduk sekarang, mencoba bersiap untuk mencari dimana letak baju dan juga persiapannya yang dia sudah siapkan semenjak tadi. Alinzar berkata kalau semua pakaian dan juga peralatannya berada di lemari. Max memang belum memeriksanya, ia masih menunggu terlebuh dahulu kondisi tubuhnya agar benar-benar sehat dan juga fit untuk melakukan aktivitas.Max menengok dulu ke luar jendela dari dalam. Dia melihat kondisi desa yang berantakan dan juga dipenuhi oleh salju, semua atap dan juga tembok yang ada di desa itu tertutup oleh debu putih dan sebagian besar dari atap mereka sudah hancur karena tertimpa batu atau barang-barang berat lainnya. Max sudah menduga kalau semua kekacauan ini menyebabkan sebuah kerusakan yang sangat parah sehingga para Gargoyle merasa tak peduli dengan nasib dan juga nyawa yang telah mereka hilangkan di desa ini. Max pun akhirnya berjalan menuju lemarinya. Dia membuka lemari itu dan melihat pakaian berwarna merah yang ia pakai sebelumnya saat datang memasuki desa ini tampak sangat lusuh dan cenderung sangat tidak layak untuk dipakai. Namun Max tidak mempunyai pilihan lain, Max menggunakan pakaian itu bukan untuk bergaya atau terlihat keren, tapi memang pakaian itu dapat membuatnya lebih mudah melakukan pertarungan karena di dalamnya dapat menyimpan banyak sekali peluru dan juga kantong persenjataan yang sangat banyak saat melawan musuh. Max mengambilnya, melihat masih banyak sekali noda darah yang tersimpan dan membercak di sana. Max pun akhirnya memakainya. Senjata yang ia bawa dan diberikan oleh Taurus juga tampak masih lengkap di lemari itu. Dia memeriksanya satu persatu, melihat kemungkinan kalau setiap senjata itu sudah tidak bisa digunakan atau tidak. Dia melihat kalau semuanya masih dalam keadaan normal dan masih sangat bisa digunakan untuk bertarung. Peluru masing-masing senjata itu juga tersisa cukup banyak. Namun Max tak tahu seberapa banyak jumlah peluru yang harus ia keluarkan untuk melawan para Gargoyle itu, jika dia tidak mampu melawan para Gargoyle itu dengan peluru yang cukup maka kemungkinan untuk menang akan sangat sedikit bagi orang-orang di desa ini. Max sudah selesai memakai semua perlengkapannya. Dia pun langsung saja bergegas keluar dari kamar itu dan keluar menuju tempat apa pun yang sedang ia inapi sekarang ini. Saat membuka pintu itu, ternyata ada Larissa yang menunggunya di luar kamar. Max tak tahu seberapa lama Larissa menunggunya dari luar, namun dilihat dari ekspresinya yang sudah mengantuk, Max yakin kalau Larissa telah menunggunya untuk waktu yang cukup lama. “Sejak kapan kau berada di luar sini?” “Tidak penting, aku takut jika setelah kau keluar dari kamar ini kau akan tersesat dan menyasar ke kamar lain. Ayo kemari ikut aku, kita akan langsung pergi ke tempat untuk mengadakan rapat bersama para ksatria yang tersisa. Kau harus ikut karena kau akan menjadi inti dari semua rencana ini.” Ujar Larissa kepada Max. Mercenaries itu tentu saja tak bisa menolaknya karena dia sudah bertanggung jawab untuk menyelesaikan misinya di tempat ini. Max sempat lupa apa yang harus ia lakukan saat mengetahui semua musuh dan juga ancaman berada di tempat ini, namun dia ingat dan harus bermain bersama selama mungkin. Larissa pun berjalan menuju lorong di samping kanan kamar milik Max. Lorong itu terbuat dari sebuah batu bata tua gelap dan di penuhi oleh cahaya obor dengan suar yang remang-remang. Terasa sangat sesak dan Max tidak bisa bernafas dengan lancar. Namun Larissa terlihat biasa saja menghadapi itu, Max sungguh malu karena dia tidak bisa bertindak sekuat Larissa sekarang apa lagi dia adalah seorang Mercenaries di sini. “Sebaiknya kau tutup hidungmu, lorong ini memang terasa sesak. Namun aku sudah terbiasa untuk bernafas di sekitar sini. Jadi lebih baik kau menuruti kata-kata ku.” Max tak memiliki pilihan lain. dia harus menuruti kata-kata Larissa sekarang jika dia memang ingin ikut pergi bertarung bersama para Gargoyle itu di sana. Di ujung lorong itu, ada sebuah tangga ke bawah dan memutar menuju ruangan yang entah ke mana tujuannya. Max terus saja mengikuti Larissa dengan berjalan tepat di belakangnya. Tangga ke bawah itu ternyata lebih gelap daripada lorong yang Max lewati tadi. Hanya ada sumber cahaya tepat berada di atas tangga itu sehingga membuat beberapa keping salju turun dari sana menempel ke pakaian Max maupun Larissa. Hawa dingin mulai masuk menusuk kulit mereka sehingga mereka ingin sekali buru-buru keluar dari tangga ini dan menuju ke tempat selanjutnya yang lebih hangat. “Kau sudah datang, ayo, kita cepat pergi. Kita harus meraih semua yang kita harus kejar sekarang ini.” Ungkap Alinzar kepada Larissa dan juga Max di sana. Dia masih bertelanjang da-da di sana. Max penasaran apa mungkin Alinzar tidak merasakan hawa dingin saat ini dengan pakaian dan kondisi seperti itu. “Apa kau tidak merasakan hawa salju di sekitarmu ini Al? Kau terlihat biasa-biasa saja dengan cuaca seperti ini saat ini?”. “Aku heran denganmu Max. Kau telah membunuh kami selama bertahun-tahun, namun kenapa kau tidak tahu apa yang kami bisa lakukan,” Alinzar menggeleng-gelengkan kepalanya, bingung dengan pertanyaan yang baru saja diajukan oleh Max barusan. “Kami seorang Vampir tidak bisa merasakan hawa dingin atau panas, kecuali dalam titik tertentu yang sangat ekstrim. Aku pun tidak bisa merasakan sakit ringan seperti tusukan, atau terjatuh dari suatu yang tinggi. Hal ini tentu saja membantu kami untuk cepat beradaptasi di lingkungan yang tak pernah kami capai atau temui sekarang.” “Apa kalian sudah saling bercengkrama? Kukira saat kalian berada di kamar kalian sudah membahas semuanya dengan jelas. Karena jika belum, aku terpaksa harus menyeret kalian berjalan menuju tempat yang selanjutnya.” Ucap Larissa kepada Max dan juga Alinzar karena kesal mereka berdua terus saja mengobrol sesampai turun di ruangan ini.” “Tentu saja kami sudah selesai mengobrol. Aku juga tidak memiliki waktu untuk berbincang-bincang bersama dengan vampir seperti dia.” Ucap Max kepada Alinzar di sana tetap memegang ego dan juga harga dirinya tinggi-tinggi. Meskipun Max sudah tahu siapa sebenarnya Alinzar namun tetap saja dia tidak bisa menghilangkan citra dirinya kepada Alinzar ataupun Larissa. Mereka bertiga lanjut saja berjalan menuju lorong di depannya. Lorong ini terlihat lebih luas dan juga lebih panjang daripada lorong yang ada di kamar Max sebelumnya. Sedangkan atap di lorong ini cenderung bisa dikatakan cukup pendek karena kepala Max hampir menyentuh debu sarang laba-laba di atasnya. Max masih bingung dan tidak memiliki ide dimana ini sebenarnya. Dia mengira kalau tempat yang ia inapi sebelumnya adalah sebuah penginapan biasa, namun saat berjalan cukup jauh di tempat ini. Max merasa kalau ini akan terlalu luas bila dikatakan sebagai sebuah penginapan. Jika pun benar kalau ini adalah penginapan, maka penginapan ini bisa disebut sebagai penginapan sangat mewah. Larissa membuka pintu di ujung lorong itu. Dua pintu yang sangat besar lebih mirip seperti sebuah gerbang namun juga tidak terlalu besar dikatakan sebagai besar. Dan saat masuk ke dalamnya, Max melihat banyak sekali orang-orang yang duduk berkumpul di sana memakai pakaian hangat dan menyalakan obor untuk memasak sesuatu di dalam panci dan juga tungku mereka. Asap yang mengepul karena masakan itu hampir mengisi keseluruhan ruangan sehingga nampak menjadi sedikit berkabut dan tidak bisa dilihat dengan jelas. Tua, muda, wanita, pria, semua berkumpul menjadi satu di dalam tempat ini berkumpul dan memakai pakaian hangat yang mirip. Tidak hanya warga biasa, banyak para prajurit yang juga duduk dengan pakaian yang sudah compang-camping dan memakai baju zirah hampir hancur. Banyak dari mereka sudah mulai terlihat kelelahan akibat sesuatu yang ingin mereka lakukan sekarang. Pedang dan juga perisai yang mereka senderkan di pinggir tembok membuatnya menjadi terlihat sangat tidak sesuai dan memprihatinkan. Di sana, juga ada sebuah tenda dengan tanda palang merah yang menggantung di sana. Max sangat ingin melihat sesuatu di dalamnya, karena banyak sekali prajurit yang berjaga di luar tenda. Larissa tahu apa yang sedang ingin diintip oleh Max sekarang, dan ia mencoba untuk mencegahnya pergi ke dalam tenda itu. “Tidak ada apa-apa di sana. Tidak ada sesuatu yang bisa menarik perhatianmu untuk kau lihat. Arahkan terus pandanganmu ke depan. Karena mereka semua mungkin akan memerhatikanmu saat ini.” “Sebenarnya, di sana merupakan tempat para prajurit dengan kondisi paling mengerikan dikumpulkan. Ada yang tangan mereka putus, mata mereka copot sebelah, dan juga gigi-gigi yang hancur karena terkena benda keras. Mereka sedang berusaha sebaik mungkin untuk mencoba memperbaiki ataupun menyembuhkan para prajurit itu. Namun kita berdua tahu seperti apa batas manusia dalam menyembuhkan dirinya sendiri.” Ungkap Alinzar kepada Max. Namun hal itu justru malah membuat Larissa menjadi sangat geram, dia berbalik ke arah Alinzar dengan muka merah padamnya seraya menjuntai rambutnya ke belakang. “Dan menurutmu siapa yang bertanggung jawab melakukan semua ini? Kau dengan mudahnya berkata seperti itu dan meremehkan kami semua manusia di sini! Tidakkah kau berpikir apa yang sudah kami lakukan sebagai manusia untuk mencoba bertahan hidup di situasi seperti sekarang ini?” Umpatan demi umpatan Larissa sangat pedas ia tujukan kepada Alinzar. Namun Alinzar hanya diam saja sekarang, menunggu Larissa diam dan membuat dirinya sendiri tenang. “Apa kau ingin mencoba berargumen denganku lagi Larissa? Aku mengira kalau kita sudah sepakat dengan apa yang kita bicarakan beberapa hari kemarin. Kalau aku akan membantumu dan juga kaummu sebisa mungkin. Dan setelah semua itu selesai, aku akan pergi dalam kehidupan kalian. Apakah itu masih belum cukup?” tanya Alinzar kepada Larissa mulai untuk mengutarakan ke tidak senangannya. “Tentu aku tidak ingin bertengkar jika kau tidak memulai membocorkan semua isi dan tempat ini kepada Max sehingga membuat kami terlihat lemath!” Kemarahan Larissa membuat semua orang yang berkumpul di tempat ini menjadi menujukan perhatian mereka ke satu titi tujuan. Yaitu ke arah Max, Larissa, dan juga Alinzar di sana. Mereka mulai berdiri setelah sebelumnya duduk dengan lemas. Mulai menunjuk sosok Alinzar yang tengah berjalan di sana. “Hei semuanya lihat! Itu adalah Vampir Sang pembawa petaka di tempat ini!” Hanya satu umpatan, membuat sebuah gemuruh yang sangat besar memenuhi seluruh ruangan ini. Mereka semua mulai mencemooh Alinzar di sana. Dengan kata-kata kasar dan juga rasis yang sangat tinggi. Mereka sudah tahu kalau Alinzar adalah pembuat dan pemanggil para Gargoyle di desa ini. Dan meskipun mereka juga sudah tahu kalau Alinzar bersedia membantu mereka, tidak menghilangkan fakta kalau dia telah menghilangkan beberapa nyawa dari keluarga mereka tersayang. Orang-orang mulai melemparkan perkakas dan juga makanan ke arah Alinzar. Mulai dari air panas, sayap ayam, sampai dengan tulang-tulang daging sisa. Max menarik Larissa dan juga Alinzar untuk terus berjalan lurus ke depan. Mencoba untuk tidak mempedulikan orang-orang ini. Max sudah tahu bagaimana reaksi yang akan terjadi selanjutnya jika Alinzar maupun Larissa menanggapi balik reaksi mereka. Dan mungkin kekacauan yang akan timbul karena tanggapan itu. “Terus saja berjalan, mereka tidak peduli dengan apa yang akan kalian katakan. Mengabaikan merupakan metode lebih baik untuk menyelesaikan semua masalah ini. Max sepertinya mulai mengerti dimana dia sekarang. Dinding-dinding berasal dari batuan itu bukanlah dinding yang mudah untuk dibuat ataupun dicari bahannya. Akan sangat mahal dan membutuhkan waktu lama membangun tembok sekuat itu apalagi dengan ekosistem Desa Frello yang seperti ini. Dan di tempat ini dimana para pengungsi berkumpul merupakan area yang sangat luas. Dia sangat yakin kalau tempat ini adalah sebuah kastil dimana Sang Raja tinggal. Dan tempat yang digunakan para warga untuk mengungsi adalah halaman kastil yang hangat. Bahkan di dinding tempat ini masih tersisa beberapa karpet merah dengan lambang dan juga simbol matahari sama persis seperti lambang yang ada di zirah Larissa sebelumnya. Desa Frello bukanlah desa biasa. Pintu sudah berada di depan sekarang. Pintu kecil dengan beberapa aksen simbol matahari di atasnya. Penjaga dengan memakai zirah lengkap beserta dengan tombak di tangan kanan mereka berjaga di luar pintu itu dengan sangat siap. Sepertinya mereka adalah anak muda yang masih tak memiliki pengalaman untuk bertarung dengan para monster ataupun musuh sebenarnya. “Kami adalah para ksatria, cepat izinkan kami untuk masuk ke dalam dan memulai rapat!” Pinta Larissa kepada dua penjaga itu. Mereka langsung saja membukakan pintu itu untuk mereka berdua. Mereka masuk ke dalam ruangan. Ada sebuah meja melingkar dan sangat panjang dengan beberapa kursi yang masih kosong menunggu untuk diduduki seseorang. Namun di belakang dan diantara para kursi itu ada banyak sekali prajurit yang masih memakai penutup kepala mereka menunjukkan kalau semua ksatria yang tersisa harus mendengar rencana yang ada di rapat ini. Max menyadari seberapa penting dan genting situasi di dalam desa ini setelah melihat kondisi seluruh ruangan. “Alinzar, Max, silahkan duduk. Rapat akan segera dimulai.” Ujar seorang ksatria yang Max kenal. Itu adalah London, Ksatria yang terjebak di luar gerbang dan menyelamatkan Max bersamaan dengan Mosko dan juga Larissa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN