Max masuk ke dalam Mansion besar ini, dia melihat ke sekeliling dinding yang tinggi dan megah itu terdapat sebuah lukisan-lukisan yang bukan terbuat dari cat biasa. Melainkan sesuatu yang padat sehingga membuat sebuah tekstur tersendiri di dalam setiap lukisan tersebut.
Namun setiap lukisan tersebut digambar dengan bentuk-bentuk yang aneh dan terlihat seperti Makhluk hidup yang nyata. Max tidak paham dengan lukisan-lukisan itu karena juga tidak ada keterangan apa-apa yang menjelaskan setiap maksud tulisannya.
Mathilda sepertinya paham dengan apa yang Max lakukan dengan menoleh ke arah lukisan itu. Dia pun langsung saja berceletuk, “Itu adalah tulisan kakekku, lebih tepatnya kepala keluarga generasi kelima dari keluarga kami. Dia sangat hobi menggambar sebuah makhluk-makhluk aneh yang tidak pernah ia temui sebelumnya. Hanya merupakan ilusi di dalam mimpi. Kau tidak perlu khawatir soal itu. Lukisan-lukisan itu bukanlah lukisan yang nyata” Max pun hanya mengangguk, karena dia tidak tahu harus merespon apa lagi terhadap perkataan Mathilda tersebut.
Tapi bukan makhluk menakutkan yang menjadi perhatian dari Max, melainkan Max sendiri pernah bertemu atau setidaknya familiar dengan setiap lukisan yang ada di gambar tersebut. Seperti misalnya gambar sebuah hiu dengan sayap yang bisa terbang di udara.
Memang terlihat sangat absurd dan tidak masuk akal, tapi Max merasa pernah menemuinya entah di alam mimpi ataupun dunia nyata. Dia lupa hal itu dengan pasti.
Dan juga satu lagi manusia yang hanya sisa tengkorak memakai baju rapi tuxedo lengkap dan memegang sebuah tongkat untuk dia gunakan sebagai alat bantu berjalan. Tengkorak itu tersenyum dengan lebar meskipun tidak memiliki kulit ataupun daging lagi yang membungkusnya. Max mencoba mengingat apakah itu memang makhluk mitologi yang diceritakan ayahnya waktu kecil? Atau mungkin memang sesuatu yang pernah ia temui saat sedang melakukan misi berbahaya melawan Vampir?
Max tidak tahu hal itu dengan pasti saat ini, dia pun mulai mengalihkan pandangannya dan lurus ke depan mengikuti Mathilda dari belakang. Mereka akan menuju ke lantai atas sekarang dengan menaiki sebuah tangga di depannya yang sangat lebar mampu menampung banyak orang secara sekaligus.
Tidak ada yang tampak aneh dengan tangga ini, terlihat normal seperti tangga di Mansion mewah pada umumnya. Sedangkan anak-anak gadis Mathilda yang terlihat masih seumuran dengan Max berlarian berlalu lalang lewat sebuah lorong di lantai atas. Mereka menatap ke arah Max dengan senyum tersipu malu. Max tak paham mengapa mereka bereaksi seperti itu kepadanya. Sedangkan dua wanita yang sejak tadi menemani Mathilda dan salah satunya menjadi sandera Max juga sering kali menoleh ke belakang menatap wajah Max dengan nakal.
Hingga sampailah mereka semua ke sebuah meja makan dengan piring yang sudah tersaji di atasnya. Piring-piring itu ditutupi oleh sebuah porcelain sehingga isi makanannya tidak terlihat sebelum di buka. Mathilda duduk di kursi paling ujung dan dengan ornamen paling mewah daripada kursi yang lainnya.
Kursi itu terlihat benar-benar mewakili kalau Mathilda memang sungguh-sungguh seorang kepala keluarga di rumah ini. Max pun ikut duduk di salah satu kursi itu dengan sebuah makanan yang sudah tersaji di depannya belum dibuka dan terasa hangat menyentuh hidungnya.
“Anak-anak, sayang, waktunya makan. Cepat turun kemari!” Mathilda menepuk tangannya sembari memanggil orang-orang di dalam rumah ini. Mereka pun langsung saja terlihat berdatangan menuju meja makan dan dengan perawakan dan juga sifat yang terlihat berbeda-beda.
Max mengamati salah satu dari mereka merupakan gadis muda yang berlarian di lorong atas tadi. Dan juga dua laki-laki yang telah menggotong Alinzar ke suatu kamar juga hadir di sini duduk bersama dengan Alinzar siap untuk memakan makanan mereka bersama-sama.
“Sebelum aku memulai upacara makannya. Biar kukenalkan terlebih dahulu kepada keluargaku. Kami adalah keluarga Conro, dan ada 10 dari kami yang tinggal di sini. Aku akan memperkenalkan mereka satu persatu kepadamu wahai pemburu.” Ucap Mathilda dengan rendah hati memperkenalkan semua anggota keluarga mereka.
Max kemudian menginterupsi Mathilda dan berkata, “ Aku rasa hal itu tidak perlu kau lakukan. Selain merepotkan dan aku mungkin tidak akan mengingat nama mereka, aku tidak lama berada di tempat ini. Aku hanya menunggu Alinzar bisa sembuh dan segera keluar dari tempat ini. Bahkan kalau bisa aku tidak ingin menginap di tempat ini.”
“Oh... tidak perlu sungkan-sungkan wahai pemburu. Sudah menjadi tradisi kami untuk menyambut tamu yang datang dengan senyuman dan juga keramahan. Dimana sopan santun kami jika orang-orang tahu kalau kami keluarga Conro tidak melayani tamunya dengan baik dan benar.” Balas Mathilda kepada Max mencoba untuk bersikeras mengenalkan mereka semua kepada Max saat ini. Max sejujurnya tak bisa berbuat banyak karena memang dia harus menunggu Alinzar untuk sembuh dan langsung bergegas keluar dari tempat ini. Dan mungkin memakan beberapa makanan dan juga menyantap beberapa minuman tidak terlalu buruk untuk memecah kebosanan dan juga kegusaran dalam dirinya.
“Pertama-tama perlu kujelaskan. Kalau aku mengidap sebuah kelainan dimana aku selalu melahirkan anak kembar. Mungkin kau tidak menyadarinya saat ini karena aku telah mendandani mereka dengan cukup berbeda sehingga mereka mudah untuk dikenali satu sama lain.
Yang pertama adalah anak pertama dan anak keduaku. George dan Josh. George adalah yang berkumis dan Josh tidak. Mereka adalah orang yang telah membantu temanmu masuk ke dalam kamarmu tadi. George, Josh tunjukkan sopan santun kalian.” Ucap Mathilda. Sejak bertemu dengan orang-orang ini, Max memang sedikit curiga karena penampilan mereka begitu mirip. Ternyata mereka benar-benar saudara kembar. “Halo pemburu”.
“Ah... Jangan panggil aku pemburu, Namaku Max. Kalian seharusnya mengingat nama itu.” Balas Mas kepada kedua pria itu. Mereka pun saling menatap antar saudara seperti tidak mengerti apa yang baru saja diucapkan oleh Max kepada mereka.
“Baiklah, selanjutnya adalah anak ketiga dan keempatku. Mereka adalah Jade dan juga Judy, Judy adalah orang yang telah kau ancam untuk dibunuh tadi. Namun jangan khawatir. Aku yakin kalau Judy telah memaafkanmu wahai Pemburu.” Terang Mathilda kepada Max. Judy adalah wanita yang memakai baju bunga-bunga dan Jade memakai baju berwarna hitam.
Max menjadi merasa tidak enak saat ini setelah diperkenalkan oleh Jade dan juga Judy untuk pertama kalinya dengan cara yang lebih sopan. Dan anehnya meskipun sudah memperkenalkan dirinya, Mathilda selalu menyebut Max dengan nama pemburu. Seperti namanya sendiri tidak ada artinya di mata Mathilda. “Halo pemburu”.
“Maafkan kelakuanku yang sedikit kasar tadi, aku yakin kalian tidak senang dengan apa yang kulakukan beberapa saat tadi. Aku sungguh menyesal dengan apa yang kulakukan, kuharap kalian mengerti tentang itu.” Ucap Max kepada kedua wanita itu.
Tapi kemudian kedua wanita itu merespon kurang lebih sama dengan kedua kakak pria mereka. Hanya diam dan saling menatap dengan bingung. Max juga menjadi sedikit bingung apa mungkin dia salah dalam mengucapkan sesuatu.
“Selanjutnya adalah anak kelima dan keenamku. Mereka adalah Angela dan juga Amkha. Entah kenapa mereka selalu tersnyum dan tertawa saat melihatmu. Apa mungkin mereka berdua menyukaimu wahai pemburu?” Sebuah tuduhan yang sangat aneh ditujukan kepada Max.
Orang tua mana yang mau menjodohkan anaknya sendiri dengan orang asing? Max mulai melihat gerak-gerik aneh dalam keluarga ini. Dan dia hanya bisa mengamatinya sekarang. “Ah ibu... apa yang baru saja kau katakan! Ngomong-ngomong, halo pemburu”.
“Halo juga, aku tak tahu harus berkata apa kepada kalian. Namun menurutku kalian memang terlihat cantik. Bukan bermaksud kalau kakak kalian tadi jelek, namun menurutku kalian berdua lebih cocok dengan seleraku.” Ucap Max. Max menutup mulutnya, seperti bingung kenapa dia mengucapkan kata-kata barusan.
Karena Max sendiri tidak mempunyai selera apa-apa kepada wanita. Dia berbicara seolah yang mengucapkannya bukan dirinya sendiri, melainkan sesuatu yang lain. Namun Max tidak berani mengatakannya saat ini, dia hanya diam dan berpikir mengapa hal seperti itu bisa terjadi. Kedua gadis itu merespon cukup berbeda dengan kedua kakaknya, mereka berteriak histeris dan tersipu malu. “Terima kasih, Pemburu.”
“Dan selanjutnya dua anak laki-lakiku yang terakhir. Marcell dan juga Julio. Mereka masih berumur 10 tahun sekarang. Masa-masa anak dimana masih nakal dan juga aktifnya. Aku harap kau bisa memaklumi perbuatan mereka yang kadang-kadang mereka menyebalkan. Dan jika kau memergoki mereka berdua melakukan sesuatu yang mengganggumu, kau bisa langsung saja memanggilku. Aku akan langsung menghukum mereka berdua. hahaha.” Ucap Mathilda dengan entengnya. Namun kedua bocah itu tidak senang dengan apa yang diucapkan oleh ibu mereka barusan. Mereka berdua menatapnya dengan tatapan yang sinis dan penuh amarah.
“Tunggu, kenapa nama mereka berdua berbeda? Aku mengira kalau kau menamai mereka dengan nama yang mirip-mirip sehingga mudah untuk dipanggil. Apa bedanya mereka berdua dengan kakak-kakaknya?” tanya Max kepada Mathilda. Karena dimata Max. Mereka tampak sangat mirip. Bahkan lebih mirip ketimbang kakak-kakaknya.
“Marcell dan juga Julio bukanlah kembar identik. Maka dari itu sebuah langkah yang bijak bagiku untuk menamai mereka dengan sesuatu yang tidak begitu mirip. Bukankah mereka tidak mirip satu sama lain bagimu?” tanya Mathilda kepada Max. Max sungguh bingung menjawab pertanyaan Mathilda itu karena menurutnya mereka berdua nampak begitu mirip satu sama lain.
“Dan yang terakhir perlu kukenalkan padamu adalah suamiku. Namanya adalah Roccus. Kau tidak perlu khawatir dengannya, karena dia memang seperti ini sedari awal.” Ucap Mathilda memperkenalkan suaminya. Ada yang aneh dengan suami Mathilda itu.
Dia semenjak tadi hanya diam dan matanya terlihat lesu. Max mengira kalau dia adalah korban peperangan atau sesuatu yang mirip seperti itu. Max pernah melihat orang-orang seperti dia. Mengalami trauma yang sangat berat sampai-sampai mental dan juga pikirannya kena. Max benar-benar merasa malang dengan orang-orang seperti dirinya.
Tubuh Roccus terlihat sangat gen-dut dengan perut bergelambir. Dia pun sudah membuka dan memakan makanan yang terletak di mejanya bahkan sebelum orang-orang memakan makanan mereka. Dia terlihat menyuapi makanan itu dengan sangat pelan dan seperti tidak nafsu makan. Max merasa curiga dengan tingkah lakunya yang sesekali menatap ke arah Max seperti ada sesuatu yang lain di dalam diri orang itu.
Tidak mungkin hanya Trauma yang dia pikul, karena kemungkinan hal lain juga menyelimuti dirinya. Namun orang-orang seperti dia memang kesulitan untuk mengatakan apa yang terjadi dengan diri mereka kepada orang lain. Alhasil mereka terjebak ke dalam tubuh yang penuh beban dan juga masalah itu.
“Baiklah kalau begitu. Karena aku sudah memperkenalkan mereka semua kepadamu, mari kita makan makanan kali ini. Oh ya, aku lupa mengatakan kalau makanan ini adalah buatan Angela dan Ankha. Ini adalah makanan pertama buatan mereka setelah biasanya dibuat oleh Judy dan juga Jade. Kau sangat beruntung wahai pemburu karena bisa mencicipi masakan mereka berdua untuk pertama kalinya.” Ucap Mathilda kepada semua orang di meja makan ini. Orang-orang kemudian membuka piring di hadapan mereka melihat sebuah makanan lezar terpampang tepat di bawah hidung dan juga mulut mereka. Bahkan George dan Josh sampai meneteskan air liur mereka ke piring itu.
Hanya tinggal Max sekarang yang belum membuka piringnya. Dia terlihat sangat ragu-ragu untuk membukanya karena dia takut akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkannya. Namun ternyata semua orang di meja makan ini selain Rocco menunggu Max untuk membuka piringnya.
Mereka bahkan belum memakan makanan yang sudah disajikan kepada mereka. Karena tak memiliki pilihan lain, Max pun membuka piring di depan matanya itu.
Akan sangat bohong dan berdusta bila Max mengatakan kalau makanan yang dia cium dan lihat sekarang tidak enak.
Itu ternyata adalah ayam panggang dengan sebuah bumbu otentik terbuat dari tanaman-tanaman yang berbau khas ditaruh di dalam sebuah oven. Max tak pernah memakan makanan dengan jenis seperti ini, karena dia tahu kalau makanan seperti ini hanya dinikmati oleh orang-orang kaya saja.
Semua orang pun akhirnya memakan makanan di hadapan mereka. Dan dengan kompak mereka mengerang kenikmatan memakan secuil daging ayam panggang itu. Max belum memakannya, dia menunggu reaksi orang-orang saat memakannya.
Dan ternyata Mathilda sadar kalau Max tak kunjung memakannya. Sambil mengunyah daging di dalam mulutnya, Mathilda menyuruh Max untuk segera memakan makanan itu. “Apa yang kau tunggu? Cepat gigit ayam panggang itu. Aku bisa yakinkan kepadamu kalau makanan ini benar-benar enak. Jika kau tidak kunjung memakannya maka detik demi detik rasanya akan mulai berkurang dan kau tidak bisa menikmatinya secara maksimal.”
Max pun menggigit ayam panggang itu hanya secuil dengan gigi depannya. Dengan melakukan ini berarti dia juga sudah mengingkari ikrarnya sendiri tidak akan pernah memakan makanan dari pemberian orang yang tidak dia kenal.
Namun ayam panggang ini memang sungguh sangat menggoda untuk tidak dimakan. Max pun memakannya. Dan merasakan kenikmatan dan kehangatan yang luar biasa dari ayam panggang itu.
Dagingnya yang empuk dan juga kulit dari ayam tersebut yang masih lembut dan garing di saat yang bersamaan menambah kenikmatan. Kedua gadis yang memasak makanan tadi pun menaikkan alis mereka dan menatap ke arah Max dengan penuh ke ingin tahuan. “Bagaimana pemburu, apakah makanan ini enak?”