Chapter 38 : Pengamatan Jauh

2062 Kata
Tak terasa setelah memakan ayam panggang itu, Max telah habis memakannya sampai tidak menyisakan apa pun di sana bahkan daging pun tidak terasa sudah habis dia babat. Hanya tersisa tulang kering dan juga lunak di piringnya sekarang sehingga membuat Max begitu kenyang. Angela dan juga Ankha begitu senang melihat Max menghabiskan makanannya saat ini. Sementara anggota keluarga yang lain juga terlihat menyantapnya dengan habis. “Bagaimana pemburu? Apakah kau sudah percaya dengan kami? Aku tahu kau berpikir mungkin kami telah memasukkan sesuatu di dalam makananmu itu. Tapi lihat dirimu sekarang. Kau tidak merasakan sesuatu yang aneh bukan? Justru kami bersyukur kau bisa menikmati hidangan ini bersama dengan kami semua di sini.” Ungkap Mathilda kepada Max. Justru dengan berkata seperti itu, Max masih menaruh curiga terhadap keluarga ini. Dan mungkin mereka ingin melakukan sesuatu yang belum bisa Max katakan dengan gamblang sekarang. Karena itu sama saja seperti mengubur kuburannya sendiri. Max tidak ingin mengacaukan sesuatu lagi di dalam sini. “Aku tidak pernah menaruh curiga terhadap keluarga kalian. Namun jujur memang aku merasakan ada sedikit keanehan dalam keluarga ini. Namun aku tak bisa mengatakannya dengan jujur karena aku yakin itu akan menyakiti hati kalian. Tapi terima kasih atas makanan dan pelayanan kalian terhadapku. Aku benar-benar tak ingin merepotkan kalian lebih lama lagi.” Ujar Max merasa tak enak mendapatkan jamuan makanan seperti sekarang ini. “Kalau aku boleh tahu, bagaimana kondisi Alinzar dan juga kutukannya? Apakah dia bisa sembuh dengan cepat agar kami bisa segera pergi dari tempat ini?” Mathilda menoleh dengan sedikit cemas ke arah George dan Josh. Dia tersenyum tapi seperti menyembunyikan sesuatu di balik wajah berserinya. “Begini Max. Sungguh sangat sulit kukatakan padamu. Namun kutukan ini bukanlah kutukan biasa. Aku tahu kalau kau mungkin sedang tergesa-gesa ingin melakukan sesuatu, tapi kami tidak bisa menyembuhkannya dengan cepat. Kami bisa maksimal melakukannya 7 hari. Benar kan George, Josh?” Ucap Mathilda kepada Max mengungkapkan kondisi Max sebenarnya. George dan Josh pun mengangguk mendengar panggilan dari ibunya tadi. “Hah 7 hari? Kami tidak bisa menunggu selama itu! Ada tugas lain yang lebih penting harus kulakukan selama 7 hari itu!” Max membentak tak ingin Alinzar melakukan perawatan selama itu. Karena dalam waktu 7 hari, mungkin saja pohon kehidupan itu akan tumbuh di suatu tempat entah dimana dan mengubah semuanya menjadi pasir sama seperti di Desa Frello. Max tentu saja tak bisa mengorbankan hal semacam itu terjadi lagi kepada orang-orang di dalam tempat yang entah dimana itu. “Tidak adakah cara agar aku bisa membantu kalian melakukan pengobatan Alinzar agar menjadi lebih cepat daripada biasanya?” “Sebenarnya ada pemburu, namun aku tidak yakin kalau kau bisa melakukannya. Itu adalah tugas yang sangat berat bahkan pemburu kelas S sekalipun akan kesulitan untuk mendapatkannya. Aku tidak ingin agar kau mengorbankan nyawamu yang berharga untuk melakukan tugas yang sangat berbahaya seperti itu,” Ucap Mathilda menjawab sebuah solusi singkat dari Max. Tapi kemudian Max meminta jawaban yang jelas dari Mathilda. “Apa itu, cepat katakan padaku!”. “Kau harus menemukan bunga dahlia berwarna hitam. Aku yakin kau bahkan belum pernah mendengar nama bunga itu, karena memang bunga itu sangatlah langka untuk ditemukan. Dan juga bunga itu sangat berbahaya apabila mencoba untuk diraih, tidak bisa dipetik begitu saja dengan mudah. Lokasi bunga itu ada di sebelah utara tepatnya di atas wilayah Barbaland.” Ucap Mathilda. Begitu mengucapkan lokasinya, Max langsung saja terdiam. Jika memang dia mengambil bunga itu di wilayah itu, maka itu akan mengambil waktu yang lebih lama daripada dia harus menunggu Max sembuh selama 7 hari. “Tidak adakah alternatif lain?” Mathilda beranjak dari kursinya. Sementara anggota keluarganya yang lain masih duduk di sana dengan tenang. “Aku masih punya sebuah rencana lain jika kau tidak keberatan. Dan aku akan menunjukkan itu kepadamu. Marcell, Julio, antarkan pemburu itu ke tempat dimana sudah kuberitahukan sebelumnya.” Mathilda memanggil dua anak paling bungsunya itu. Mereka berdua pun ikut beranjak dan segera melangkah menjauh dari meja makan di depan mereka. Max pun ikut beranjak dari kursi itu dan mencoba untuk mengikuti Mathilda kemana ia akan membawanya pergi. “Kau akan mengajakku kemana?” tanya Mathilda dengan penasaran. “Tentu saja ke sebuah alternatif untuk menyembuhkan temanmu. Kemana lagi kami akan mencoba membawamu?” Mathilda pergi dari meja makan itu. Dia berjalan berkeliling melewati lorong tiap lorong dari griya tawang ini. Max sadar kalau rumah ini sangatlah luas, dia tidak menyangka akan seluas ini karena banyak sekali bagian rumah yang tidak pernah sangka ada di dalam rumah ini. Seperti sebuah halaman untuk berkebun di lantai atas, tempat bermain anak-anak yang dipenuhi oleh boneka dan juga mainan olahraga, tempat berdoa, dan juga banyak ruangan lainnya yang memang menjadi ciri khas dimiliki oleh orang kaya. Max tidak heran lagi kalau keluarga ini memang adalah sebuah keluarga kaya dan mungkin Max bisa dibeli dengan mudah jika ia ditawar oleh Mathilda. “Mathilda, apa pekerjaan kalian sebagai keluarga? Aku melihat perabotan-perabotan di rumah ini terlihat sangat mahal dan tidak mungkin bagiku untuk memiliki atau pun membelinya. Melihatnya saja sudah membuatku bergidik ngeri karena aku takut merusak atau pun memecahkannya. Apa kau memang sekaya itu?” tanya Max kepada Mathilda. Max tak tahu ucapannya barusan akan diterima sebagai pujian ataupun hinaan. Max hanya mencoba untuk mencari tahu kalau sumber kekayaan mereka berasal dari sumber yang benar bukan merupakan sesuatu kesesatan. Mathilda tertawa kecil, sementara dua bocah itu melihat ke arah ibunya yang tertawa. Max tak tahu apa yang dianggapnya sebagai lucu oleh sebuah pertanyaan yang simpel seperti itu. “Aku sering mendapatkan pertanyaan itu dari orang-orang yang mengunjungi tempatku. Dan aku yakin kalau kalian mencurigaiku melakukan bisnis gelap ataupun ilegal, apa lagi rumah kami berada sangat jauh dari ibukota. Tenang saja, pertanyaanmu itu tidak menyinggungku, justru aneh bila kau tidak mempertanyakan apa yang terjadi di rumah ini dan kenapa kami memiliki barang-barang mahal di dalamnya”. “Mungkin kau tidak percaya, tapi kami dulunya adalah keluarga bangsawan. Lebih tepatnya ayah dari kakek buyutku adalah Raja dari Kerajaan Merleth yang kau naungi. Namun karena suatu hal, ayah dari kakek buyutku pergi meninggalkan takhtanya dan meneruskannya kepada adiknya yang sekarang menjadi keturunan inti dari Kerajaan Merleth. Mungkin ceritanya cukup panjang karena memang keluarga kami sudah bertahan sampai beberapa generasi, namun apakah kau mau mendengarkannya wahai pemburu?” tanya Mathilda merasa khawatir bila Max bosan mendengar ceritanya. “Aku memiliki waktu 7 hari di dalam rumahmu, mendengarkan sebuah cerita mungkin malah mengurangi kebosananku di tempat ini”. “Baiklah kalau begitu,” Lanjut Mathilda meneruskan ceritanya. “Kakek buyut kami meninggalkan takhta dan juga kerajaannya hanya karena semata dia mencari sebuah harta yang tidak bisa habis atau tidak akan pernah memiliki kekurangan. Harta ini sangat legendaris sampai-sampai seseorang yang memilikinya harus meninggalkan apa yang mereka punya saat itu. Dan karena kakek buyutku adalah seorang Raja, dia mengorbankan Takhta dan kerajaannya demi harta legendaris itu. Dia berhasil mendapatkannya, membuat kami para keturunannya tidak akan pernah habis menikmati kekayaannya. Namun ternyata kutukan harta itu tidak hanya mengorbankan apa yang dia punya. Melainkan juga kewarasan dan juga jiwanya. Sepanjang hidupnya, Kakek buyutku menjadi orang gila dan tidak waras. Dia pun tidak bisa menikmati kekayaannya sendiri dan mati dengan keadaan yang cukup tragis.” Ucap Mathilda dengan santainya mengucapkan kejadian tragis itu. Merasa sangat iba dengan Sang mendiang Raja, anehnya Max tak pernah mendengar cerita ini. Karena seharusnya seseorang yang sangat penting di Kerajan Merleth harusnya juga mendapat rumor atau pun desas-desusnya tersendiri di dalamnya. Max berpikir atau mungkin kejadian ini terlalu tabu dan memalukan untuk diceritakan, maka dari itu keluarga Conro enggan menceritakannya kepada siapa-siapa. Karena mungkin memang akan menyakiti hati mereka sebagai seorang keluarga. “Jangan khawatir wahai pemburu, cerita itu sudah terlalu lama. Bahkan aku tidak mengenal siapa ayah dari kakek buyutku itu. Kami hidup menyendiri di dalam daerah terpencil seperti ini dan mencoba untuk hidup sederhana di tengah kemewahan. Aneh memang karena kami mungkin memiliki harta se gunung namun tidak bisa menikmatinya dengan baik dan benar. Tapi memang jujur kami tidak memiliki cara lain lagi untuk melakukannya. Pilihannya hanyalah antara kami melakukan ini dan melakukan apa yang kami sukai namun berumur pendek.” Lanjut Mathilda menceritakan masa lalu keluarganya. “Dan mungkin kau berpikir pemburu, harta apa yang sebenarnya ayah dari kakek buyutku raih dan temukan, jawabannya ada tepat di depan matamu sekarang.” Ucap Mathilda berhenti di sebuah ruangan etalase yang tertutup oleh sebuah kaca di depannya. Ruangan itu berisi penuh dengan bunga berwarna hitam bermekaran di ladang yang sangat luas. Max bingung karena seharusnya rumah ini berada di lantai dua, dan bagaimana mungkin bunga bisa tumbuh dan mekar di daerah itu. Max pun berpikir, “Tunggu, bukankah itu dahlia hitam yang kau sebutkan sebelumnya?” Wanita itu mengangguk pelan, sementara kedua bocah itu memegang kedua tangan ibunya di samping kiri dan kanan. “Benar wahai pemburu. Itu adalah dahlia berwarna hitam. Tumbuhan ini yang membuat kami menjadi kaya raya dan tidak memiliki kekurangan sedikitpun. Namun seperti yang sudah aku ceritakan sebelumnya. Jika kau ingin meraihnya, maka kemalangan akan menimpa nasibmu. Salah satunya adalah mengurangi sebagian nyawamu. Apa kau siap menanggung dan menerima pengorbanan seperti itu wahai pemburu?” tanya Mathilda mencoba untuk mengetes seberapa yakin Max untuk mengambil bunga yang ada di depan matanya saat ini. Hidup Max sejak awal memang penuh dengan kemalangan dan juga kesialan. Apa pun yang dia sentuh berubah menjadi api dan hangus begitu saja. Sehingga mungkin mengambil dahlia itu tidak mengubah apa pun dalam hidupnya. Namun untuk mengambil sebagian dari sisa nyawanya, Max tidak yakin akan hal itu. Dia memang telah banyak melakukan hal keji di dunia ini, namun dia masih menginginkan untuk hidup lebih lama dan melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan atau kerjakan sebelumnya. Max bimbang, apakah dia rela mengorbankan sesuatu yang menjadi miliknya hanya untuk menyelamatkan nyawa bocah vampir lebih cepat, atau menyelamatkan nyawa orang-orang asing lebih cepat. “Kau tidak harus menjawabnya sekarang wahai pemburu. Kau masih memiliki waktu. Aku yakin kau sangat lelah sekarang ini. Jadi aku menghimbau agar kau istirahat di kamar yang sudah kami sediakan agar kau memikirkan dengan matang-matang apa yang seharusnya menjadi keputusanmu nanti.” Ucap Mathilda kepada Max yang memang terlihat sangat bingung sekarang. “Marcell, Julio, bisakah kau mengantarkan pemburu ini ke kamar yang sudah kita sediakan padanya? Aku akan sangat membutuhkan bantuan kalian.” Ucap Mathilda kepada kedua anak bocahnya itu. Mereka langsung berjalan menjauh dari ruangan etalase yang berisi penuh dengan bunga itu sekarang. Max pun ikut dengan kedua bocah itu yang segera mengantarnya ke tempat peristirahatannya. Max masih menunduk bingung harus memilih keputusan apa yang harus dia ambil dalam situasi seperti ini. “Selamat tidur wahai pemburu, aku berharap kau bisa menemukan jawabannya besok setelah kau memikirkannya”. Kedua bocah itu berjalan di depan sambil melirik ke belakang ke arah Max berkali-kali. Mereka berdua seperti ingin mengatakan sesuatu kepada Max namun entah takut atau memang malu untuk mencoba mengutarakannya. Max kemudian berinisiatif untuk menanyakan kepada mereka terlebih dahulu karena ia merasa terganggu dengan lirikan kedua bocah itu kepada Max. “Apa yang kalian ingin katakan wahai bocah?” “Jika aku jadi kau pemburu, aku mungkin akan mengambil dahlia itu.” Ucap Sang bocah berdasi hitam, Max yakin kalau namanya adalah Julio. “Kutukan yang disebutkan ibu kami bukanlah sesuatu yang pasti. Aku tidak pernah melihat seseorang mendapatkan kutukan saat mengambil bunga itu. Ya walaupun aku belum pernah melihat seseorang mengambilnya secara langsung sih, tapi aku merasa memang tidak ada orang yang mengalami kejadian fatal dan menakutkan saat setelah mengambil bunga itu. Jadi bisa kukatakan kalau bunga itu benar-benar aman. Kau memang ingin menyembuhkan temanmu bukan?” ucap Julio kepada Max yang sedang kebingungan di sana. “Apa yang kau katakan!? Perkataanmu barusan sungguh tidak berdasar dan tidak masuk akal Julio!” Bantah saudaranya Marcell. Tebakan Max ternyata benar, bocah berdasi hitam itu adalah Julio sedangkan bocah berdasi merah adalah Marcell. “Sudah jelas-jelas kalau bunga itu memakan banyak korban dan aku tidak pernah melihat satu pun dari mereka selamat dengan kondisi yang baik. Apa kau memang ingin menyesatkan pemburu ini dengan mendengarkan saranmu yang sungguh tidak masuk akal?” ucap Marcell marah kepada saudaranya. Kedua bocah ini ibarat seorang iblis dan malaikat yang membisikkan semua kemungkinan di telinga Max saat ini. Hingga Max tak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Ucapan kedua bocah itu membuatnya malah menjadi bingung bukannya semakin tercerahkan. “Diamlah wahai bocah! Aku tidak mengingikan saran dari kalian!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN