“Ini sudah siang, dan kau dengan buru-buru memesanku secara tiba-tiba. Ada apa sebenarnya?” tanya seorang wanita berpakaian setengah telanjang yang berbaring di samping Max sekarang. Dia mengucapkan kata-katanya dengan indah sambil mengelus manja rambut Max yang halus. Sejak datang ke dalam tempat ini, Max tidak pernah tersenyum atau memasang ekspresi apa pun. Hanya datar dan juga cenderung tak berkata apa-apa. Membuat wanita itu menjadi bingung apa yang harus dia lakukan untuk meladeninya.“Aku telah melakukan hal buruk. Mungkin seluruh hidupku adalah sebuah kesalahan. Mungkin juga aku tak pantas hidup di dunia ini. Hal terakhir yang aku lakukan adalah hal yang kemungkinan besar akan menjadi bumerang bagi diriku sendiri. Namun sebenarnya aku pun tak tahu hal yang kulakukan itu adalah sesuatu yang benar-benar baik atau bukan. Aku hanya bergerak berdasarkan insting dan egoku saja,” Gumam Max membalas pertanyaan wanita itu, “Apakah kau keberatan mendengarkan ini Vanessa?”
“Tidak Max. Dari sekian banyak pelanggan yang aku layani, kau adalah pelanggan yang paling dinanti-nantikan oleh semua orang di tempat ini. Mungkin kau tidak mempercayai apa yang aku katakan, namun mereka semua peduli dan sayang padamu. Termasuk juga denganku. Katakanlah semua yang berada di pikiranmu sekarang.” Ucap wanita bernama Vanessa itu sambil terus saja mengelus-elus kepala Max dengan lembut.
Banyak sekali orang-orang dari Guild Iron Hammer yang tidak tahu dengan kebiasaan Max seperti ini. Sehabis selesai melakukan misi, dia akan pergi ke rumah bordil dan memesan salah satu pelayan di sana. Bukan untuk berhubungan sek-sual atau pun sesuatu untuk melampiaskan nafsunya, melainkan hanya untuk menyampaikan keluh kesah atau apa pun yang berada dalam pikirannya sekarang. Apalagi jika dia habis menyelesaikan sebuah misi yang sungguh menguras hatinya dan juga pikirannya seperti misi kemarin. Dia akan langsung saja mencoba untuk cepat-cepat pergi ke tempat itu untuk menjadikannya sebagai tempat paling aman untuk merenung ataupun sekedar bersedih mengusap pikiran,
Hampir semua orang di rumah bordir ini tahu akan sosok Max, namun mereka tak tahu siapa dia sebenarnya. Yang mereka tahu hanyalah kalau Max berasal dari Guild terkenal di kota ini yang mampu membuat semua orang menjadi pengikut atau sekedar bergidik ngeri saat mendengar namanya. Mereka juga tidak ingin mencari tahu dari mana Max berasal karena kerahasiaan pelanggan di tempat ini sungguh sangat diutamakan. Akan sangat tidak etis bila rumah bordil seperti ini yang tentu saja menyimpan banyak sekali rahasia dari pelanggannya malah berusaha mencari—cari apa yang terjadi dengan mereka.
Sedangkan Vanessa, pelayan langganan Max sudah sering sekali mendengar keluhan dari pemburu itu sehabis menyelesaikan sebuah misi. Namun selama Vanessa melayani Max, dia tidak pernah sekali pun melakukan hubungan orang dewasa. Lama kelamaan meskipun umur mereka terpaut tak terlalu jauh, Vanessa malah menganggap Max seperti anaknya sendiri. Anak yang sangat malang dan tidak memiliki siapa-siapa untuk bersanding. Vanessa yakin Max juga sedang berpikir seperti itu kepada sosok Vanessa.
“Memangnya, apa yang kau lakukan sampai-sampai kau bermuram durja seperti itu? Aku benar-benar ingin memeras mukamu saat ini yang terlihat begitu menyedihkan dan juga mengerikan di saat yang bersamaan.” Tanya Vanessa kepada Max yang masih merenung saat ini. Max hanya bisa berpangku dan menyenderkan kepalanya di da-da Vanessa sehingga membuatnya lama-lama menjadi terlelap dan tertidur. Namun Max berusaha sekuat tenaga untuk menjaga pikirannya agar tetap selalu terjaga.
“Aku membunuh segerombolan domba,” balas Max dengan muka merenung. Vanessa bingung kenapa Max sangat terpukul karena sesuatu seperti itu. Karena seorang pemburu apalagi berasal dari Guild terkenal pastinya tidak akan keberatan membunuh hewan ternak seperti itu. Hingga akhirnya Vanessa sadar kalau sesuatu yang sedang diucapkan oleh Max saat ini kemungkinan besar hanyalah sebuah perumpamaan dari sesuatu yang lebih mengerikan. Vanessa enggan menjawab domba apa yang Max maksud, namun dia lanjut berkata, “Kenapa kau bersedih membunuh segerombolan domba itu?”
“Selama hidupku, aku mengira kalau domba adalah hewan yang memang harus dimusnahkan dan diciptakan hanya untuk kita konsumsi. Daging dan juga wol mereka akan sangat berguna bagi kita manusia menjalani kehidupan sehari-hari. Namun yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya, para domba itu memiliki keluarga, ayah, anak, ibu, dan juga saudara. Mungkin mereka tidak bisa mengatakan dengan bahasa yang bisa kita pahami, tapi aku yakin kalau mereka menyayangi keluarga mereka satu sama lain. Dan sayangnya, mereka hanyalah seekor domba.” Ucap Max dengan sebuah perumpamaan yang sangat tinggi dan rumit. Vanessa yang tidak memiliki pendidikan tinggi dan juga nalar yang pendek berusaha keras untuk menangkap apa yang Max coba sampaikan kepadanya.
“Mereka tidak memiliki kemampuan untuk melawanku, seorang manusia yang memiliki segalanya. Baik itu akal dan pikiran. Jika pun mereka memiliki semua itu, mereka akan tetap kalah saat melawanku. Karena itu sudah menjadi kodrat alam dan juga takdir dari dunia ini. Domba akan selalu menjadi mangsa dan kita manusia akan selalu menjadi predator siap untuk melumatnya. Mereka tidak memiliki pilihan selain menunggu ajal mereka datang untuk kita jemput. Mereka hanyalah seekor domba.” Gumam Max kembali. Meskipun lama untuk berpikir dan berusaha untuk memahaminya, Vanessa masih bisa paham sedikit-sedikit dengan apa yang coba Max ceritakan kepadanya.
“Namun aku berpikir kembali, itu bukan salah mereka menjadi seorang domba. Mereka sudah terlahir seperti itu tanpa bisa memilih lahir untuk menjadi apa. Pertanyaan sesungguhnya adalah aku, kita manusia yang memiliki banyak sekali pilihan untuk menjalani hidup ini. Namun saat kita memiliki pilihan itu, kita malah membinasakan suatu kaum tanpa memikirkan apa yang sebenarnya mereka pikirkan terhadap kehidupan selanjutnya. Kita hanya memandang mereka sebagai makhluk yang lebih rendah daripada kita maka dari itu wajar untuk menjadi lalapan dan konsumsi. Tapi, apakah pilihan itu memang benar untuk dilakukan? Aku diambang batas antara menyesal dan bangga atas diriku sendiri.” Lanjut Gumam Max terus menerus hingga akhirnya dia berhenti mengutarakan semua perasaannya kepada Vanesaa. Mereka diam untuk sementara, membawa hawa canggung di kamar hangat itu. Hanya jendela setengah terbuka tertutup oleh Gorden berusaha memisahkan diri mereka sendiri terhadap pembicaraan Max barusan.
“Entahlah Max. Aku tidak terlalu paham dengan apa yang kau katakan barusan. Namun menurutku, semua pilihanmu hanya kau sendirilah yang tahu apakah itu memang berakhir benar atau salah. Kita bukan Tuhan atau pun hakim yang mengetahui semua kebenaran di dunia ini. Dan juga meskipun itu sesuatu yang benar untuk dilakukan, apakah kau tega melakukannya jika kau mengorbankan seseorang untuk melakukan kebenaran tersebut?” balas Vanessa. Max yang berbaring langsung saja terkejut dengan apa yang diucapkan oleh wanita itu. Max merasa heran bagaimana dia bisa tahu tentang pengorbanan yang dia lakukan selama misi kemarin berlangsung.
Namun Max memilih untuk tak melakukan apa-apa. Dia tahu Vanessa mungkin hanya berpikir dengan apa yang ia pahami dan ucapkan seadanya. Pengorbanan itu hanyalah sesuatu kebetulan yang diucapkan oleh Vanessa yang memang sedari awal selalu mempertaruhkan hidupnya di dalam dunia ini. Vanessa tak mungkin tahu dengan apa yang dilakukan oleh Max selama misinya. Max pun kembali memejamkan matanya menikmati setiap elusan tangan Vanessa yang wangi dan juga lembut.
“Apakah kau sudah siap melakukan ‘itu’ sekarang Max?’ tanya Vanessa mengisyaratkan akan sesuatu. Max mendongak ke atas, lupa dengan isyarat yang Vanessa maksudkan kepada dirinya.
“Itu apa?” tanya Max kembali tak paham. “Aku rasa sudah saatnya bagimu untuk melakukan layanan utama dari rumah ini. Dan ibu kami berkata kalau kau tidak kunjung melakukannya, terpaksa dia akan mengusirmu di tempat ini.” balas Vanessa lagi. Ibu yang dia maksud tentu saja adalah ibu pemilik bisnis di gedung ini. Dia sebenarnya tidak suka dengan sosok Max karena berpotensi untuk menghancurkan citra dari tempat ini. Dia takut kalau rumor bahwa tempat ini hanya cocok untuk orang-orang yang memiliki hati hancur dan tak bisa bersosialisasi dengan masyarakat akan menurunkan pendapatannya.
“Apakah benar-benar harus sekarang? Aku belum pernah melakukannya sama sekali,” balas Max dengan polosnya. “Tenang saja, aku akan melakukannya perlahan-lahan sambil mengajarimu. Lagi pula, kelak nanti kau pasti akan memiliki seorang istri bukan? Aku yakin istrimu akan sangat terpesona melihatmu sudah berpengalaman melakukannya bersamaku hari ini.” Balas Vanessa menggoda sosok Max dengan lembut.
Max pun bangun dari dekapan Vanessa. Dengan halus, Vanessa membuka perlahan-lahan kancing baju milik Max. Dia melihat sebuah d**a membidang dan juga perut atletis yang sangat memanjakan matanya. Lama sekali Vanessa tidak melihat sesuatu seperti ini apalagi bersama pelanggannya. Dia biasanya melayani seorang pelanggan yang gemuk dan cenderung tidak memiliki apa pun sebagai daya tarik. Berbeda dengan Max sekarang. Vanessa langsung saja memegang roti sobek itu, dan mengelusnya pelan-pelan mencoba menikmati setiap lekukan dan juga bentuknya yang indah.
Sejujurnya, Vanessa menyukai Max. Namun dia tidak memiliki kuasa untuk mengatakan itu karena dia hanyalah seorang pekerja sek-sual berbeda dengan Max seorang Mercenaries. Dia terpikat dengan sosok Max karena dia selalu datang dengan membawa cerita-cerita haru biru sehingga rasa empatinya benar-benar terkuras hanya untuk Max. Setiap Max datang ke dalam rumah bordil ini, dia selalu menawarkan dirinya sendiri untuk melayani Max. Max juga tahu kalau dia tidak akan menolak penawaran itu, bahkan para pelayan di rumah ini mengira kalau Vanessa dan Max memiliki hubungan spesial melebihi sosok pelanggan dan juga pelayan. Andai saja Max tahu perasaan yang di simpan Vanessa selama ini, jika pun dia mengatakannya maka kemungkinan besar Max akan menolak sosok Vanessa mentah-mentah. Maka dari itu, jika Vanessa tidak bisa memiliki sosok Max, maka dia akan mencoba untuk menikmati sesuatu ini bersamanya.
Vanesa membuka kancing bajunya, memperlihatkan padanya sebuah gundukan mangkok yang sangat besar dan megah. Max benar-benar kaget melihat itu, seperti melihat payu-dara wanita untuk pertama kalinya. Vanessa menarik dua tangan Max dan mendekatkannya ke pada dua payu-daranya tersebut. Dia menyuruh Max untuk meremasnya agar dia bisa menikmati juga proses ini dan tidak berjalan dengan satu arah. “Jangan sungkan-sungkan, kau bisa meremasnya sesuka hatimu . Sementara aku akan melakukan sisanya sesuai dengan tugasku”.
Vanessa mendorong Max ke bawah, membuatnya benar-benar terbaring di kasur sekarang. Sementara Vanessa membuka semua atribut yang menempel di badannya, membuatnya benar-benar terbuka dan siap untuk di serang di segala sisi. Vanessa berusaha untuk mengikat rambutnya, merapikannya agar tidak berantakan dan berjalan kemana-mana. Dia kemudian mendekatkan kepala dan bibirnya tepat ke arah Max yang sedang berbaring. Vanessa sejujurnya sangat ingin tertawa sekarang karena melihat ekspresi Max seperti ketakutan dengan sangat lucu bak seperti anak anjing. “Kau berjanji akan melakukannya perlahan-lahan bukan. Aku belum siap untuk melakukan ini.” Ujar Max dengan perasaan sangat gugup.
“Tenang saja, aku sudah berpengalaman melakukan ini.” Vanessa langsung saja mencium bibir Max. Dia melumatnya seperti memakan sebuah anggur merah yang hidup dan tumbuh subur di perbukitan. Vanessa terlihat benar-benar menikmatinya meskipun dia mendominasi sekarang. Setelah sekian lama hanya mengkhayal dan juga bermimpi untuk melakukan hal ini, kedua bibir halus itu saling bertemu dan juga bersentuhan satu sama lain. Hormon dopamin Vanessa benar-benar naik sekarang melebihi kesenangan apa pun yang pernah dia lakukan di dunia ini. Vanessa seperti telah menemukan tujuan hidupnya saat ini, yaitu melakukan itu semua bersama dengan Max, sosok yang tak mungkin ia pernah raih dan dapatkan.
Vanessa berhenti mencium bibir Max yang basah karena bertukar air mulut itu sekarang, Kepalanya bergerak perlahan-lahan menuju ke bawah sambil mencium dan menjilat semua badan Max dari atas sampai bawah. Bak seperti ular yang bergerak di tengah hutan. Vanessa sudah berada tepat di tongkat milik Max sekarang, namun masih tertutup karena Max belum membuka celananya. Vanessa pun akhirnya membuka kancing celana itu, bersiap untuk ganti melumat menikmatinya.
“Max. Apakah kau di sana? Aku ada perlu denganmu!” Teriak seorang Wanita yang sedang menggedor pintu dengan sangat keras. Mengagetkan baik itu Vanessa maupun Max. Vanessa langsung saja lompat dari kasur dan memakai pakaian yang masih ada. Sementara Max membalas panggilan itu dari dalam dengan kondisi yang masih setengah telan-jang sekarang. “Ya benar ini aku. Ada urusan apa memangnya sampai kau menyusulku kemari?”
Dengan ajaib, pintu yang terkunci dari dalam itu terbuka dan Max melihat sosok Vivianne dengan baju rapinya di sana. Mereka berdua sama-sama kaget melihat kondisi baik Max atau pun Vivianne di tempat ini. Di samping Vivianne ada banyak sekali wanita-wanita pelayan dan juga ibu pemilik tempat ini berbaris sambil memasang muka sebal. Sementara itu Max yang berada dalam kondisi setengah telanjang d**a berusaha untuk mengambil bajunya dan memakainya kembali.
“Aku ada misi untukmu, dan aku dengar kau akan berhenti menjadi Mercenaries, ada apa gerangan?” tanya Viviannes sambil membawa kertas misi yang dia dapatkan dari sosok Brooks. Vivianne terus saja mencoba untuk mendorong tangan para wanita yang berusaha untuk mengusirnya pergi dari tempat ini.
“Serius? Kau berusaha untuk menghampiriku di tempat seperti ini? Apakah kau tidak memiliki etika ataupun tata krama sampai harus melakukan seperti ini?” tanya Max yang sudah berpakaian lengkap dan juga bangun dari kasur sekarang.
“Misi ini benar-benar membutuhkanmu Max. Aku tidak mempunyai kandidat lain yang cocok selain dirimu!” Ujar Vivianne. “Baiklah jika itu maumu. Temui aku di taman Eden sekarang”.