Chapter 33 : Debu dan Darah

1961 Kata
Cahaya gemerlapan datang dari arah mata Max sekarang. Pasir dan juga debu penuh menutupi mulut dan juga seluruh pipinya. Sampai-sampai dia memuntahkan beberapa pasir itu dan membersihkan apa yang ada di mulutnya. Max membuka matanya lebar-lebar, melihat situasi di sekelilingnya. Dia terdampar di sebuah padang pasir yang sangat sepi dan juga luas. Dia tidak mengenali tempat ini sebelumnya. Dia hanya mendengar sebuah angin yang diikuti oleh pasir bersamanya membuat sebuah alunan yang menenangkan sekaligus mengerikan di saat yang bersamaan. Max melihat kondisi tubuhnya, dia sembuh atas semua luka yang telah dia derita selama berada di desa Frello. Seperti anak yang baru lahir ke dunia. Kulitnya yang terluka karena terkena cakaran Gargoyle dan tebasan para ksatria sebelumnya menjadi mulus bahkan tidak meninggalkan tanda-tanda kalau dia pernah bertarung. Hanya baju dan pakaiannya saja yang sekarang compang-camping dan terkena noda darah akibat pertarungan sebelumnya itu. Tapi sekarang Max tak tahu dia harus melakukan apa. Dia hanya mencoba untuk keluar dari tempat ini dimana pun dia berada sekarang. Max bingung, karena setahunya di Kerajaan Merleth tidak ada area dengan gurun pasir seluas ini. Merleth berada di area sub tropis di mana terjadi 4 musim di sana seperti bagian kerajaan yang lain. Akan sangat aneh bagi Max bila tiba-tiba terdampar di tempat seperti ini. Dan meskipun ada, tempat itu berada jauh dari kerajaan Merleth dan tidak mungkin Max dalam kondisi tidak sadarnya bergerak sejauh itu. Max melihat sekelilingnya lagi, dan ia tetap melihat tidak ada apa-apa di sana kecuali pasir dan juga debu menggunung. Meraba bagian punggung dan pinggangnya, Max benar-benar panik. Karena dia tidak menemukan senjatanya terletak di sana. Seharusnya senjata itu tetap menempel di pinggang dan juga punggung Max sekarang. Namun dia tidak bisa menemukannya di tubuhnya. Hanya ada belati perak yang masih terikat di sana. Panik, Max langsung buru-buru menggali pasir-pasir itu di sana. Mencari keberadaan di mana senjatanya berada. Tapi Max tentu tidak tahu pasti dimana letak senjata-senjata itu berada. Pasir-pasir ini memiliki jumlah yang sangat luas, besar, dan masif. Jika dibandingkan dengan dirinya yang seorang diri tentu tidak akan bisa menemukan dimana letak senjata-senjata itu di sana. Max pun memegang belatinya, menghujam pasir itu dan menusuknya berkali-kali meluapkan rasa kesalnya yang amat sangat besar. Dia seharusnya mampu menjaga senjata-senjata itu agar tidak hilang, karena senjata Max adalah segalanya bagi dirinya. Tanpa mereka mungkin Max bukanlah siapa-siapa. Seseorang yang utuh. Max berteriak dengan keras, tidak ada yang menyambut teriakannya saat ini. Benar-benar hening. Mungkin, hanya beberapa pasir yang bergetar mendengar suaranya yang keras dan berfrekuensi cukup tinggi. Max tidak pernah berteriak sekencang ini sebelumnya. Namun dia melihat momentum ini dan merasa kalau tempat ini mungkin adalah tempat yang paling tepat untuk meluapkan semua emosi yang ada di dalam dirinya. Lagi pula selama menjalani hidup sebagai pemburu monster, Max tidak pernah sekalipun menghibur dirinya sendiri. Mungkin teriakan adalah hal yang paling bisa menghiburnya. Tapi saat Max berteriak, tiba-tiba ada suara yang muncul selain dari dirinya. Max buru-buru mengambil belati peraknya dan mencoba untuk bersembunyi. Mengamati, apa dan siapa sebenarnya yang berada di sana. Mungkin saja Max bertemu dengan musuh yang juga mengintai dan akan membunuhnya sekarang ini. Namun di padang pasir seperti ini tidak mudah untuk bersembunyi karena semuanya bisa terlihat dengan jelas tidak ada objek untuk berlindung di belakang bayangannya. Jauh di sana, Max melihat sebuah pohon yang tampak berdiri masih kokoh. Namun pohon itu terlihat aneh karena tidak terlihat seperti pohon yang hidup di daerah gurun melainkan pohon yang hidup di area biasa hutan belantara. Tanpa basa-basi karena dia juga tidak memikirkan apa-apa, Max berlari menuju pohon pinus itu. Tak disangka-sangka, Saat Max menghampiri pohon pinus itu ternyata ada seekor Gargoyle yang berada di ambang hidup dan mati. Dia sepertinya bereaksi ikut berteriak setelah mendengar teriakan milik Max. Namun kondisi Gargoyle itu saat ini cukup mengenaskan. Setengah badannya ke bawah terkubur ke dalam pasir sedangkan setengah badannya ke atas masih bisa bernafas. Dia menggerakkan tangannya dengan aktif mencoba naik kembali ke permukaan namun tak bisa karena pasir itu selalu menghisap tubuhnya ke bawah. Bahkan saat ia melihat Max yang mendekatinya, Gargoyle itu mencoba untuk menyerang Max yang sebenarnya malah ingin untuk menolongnya. Merasa kasihan akan Gargoyle malang itu, Max pun akhirnya mengakhiri penderitaannya. Dia menikam Gargoyle itu sampai mati dan tidak memiliki kesadaran lagi. Dia tidak tahu mengapa dia harus kasihan dengan makhluk mengerikan itu. Karena dia telah merenggut banyak nyawa manusia tak berdosa juga. Mirip seperti Vampir yang telah ia bunuh berulang-ulang kali selama hidupnya. Tapi membunuh Gargoyle tidak memiliki kepuasan tersendiri baginya. Tidak membuatnya merasa lebih baik atau semacamnya. Gargoyle itu terkubur di pasir yang terus menghisapnya. Tentu saja dalam keadaan meninggal. Terik matahari membuat kulit dan juga kepala Max menjadi cukup pusing, dia pun berteduh di bawah pohon itu dan mencoba untuk beristirahat lagi untuk sejenak. Dia memikirkan apa yang sebenarnya terjadi dengannya beberapa waktu terakhir ini. Dia tertidur dan tiba-tiba bangun di sebuah gurun pasir. Apa mungkin semua yang dia lakukan di desa Frello adalah sebuah mimpi semu? Atau memang dia terjebak dalam ilusi sihir kuno? Max tak tahu jawaban apa yang membuatnya merasa lebuh baik melihat semua ini. Max mengingat kalau para Gargoyle itu sebenarnya adalah manusia. Raja Frello telah berbohong kepada rakyatnya dan terutama Alinzar karena berkata kalau mayat yang terkubur di sekitar Desa Frello adalah mayat Vampir. Mereka tidak tahu kalau Raja Frello sesungguhnya adalah Raja tiran yang kejam menghalalkan berbagai cara hanya untuk bisa mewujudkan ambisinya. Max juga teringat kalau semua dosa yang ia lakukan kepada Alinzar adalah sebuah dosa yang keji. Dia selama ini hanya menjadi boneka bagi para Vampir agar bisa membunuh sesamanya. Max sudah tak tahu lagi sekarang mana yang baik dan mana yang benar. Dia mengikhlaskan semua yang terjadi agar biarlah sudah terjadi. Dengan kenyataan seperti itu, Max ternyata sadar kalau dia mengingat semua yang terjadi padanya akhir-akhir ini. Bahkan dia mengingat kalau dia ternyata jatuh dari atas menara kastil dan meledakkan semua Gargoyle yang ada di ruangan pesta bersamanya. Seharusnya jatuh dalam ketinggian seperti itu membuat tubuh dan juga otak Max hancur berkeping-keping. Namun nyatanya dia masih sehat dan bisa berpikir dengan waras sampai seperti sekarang ini. Belum lagi letak dimana senjatanya berada, dia merasa kalau senjatanya pasti melayang di suatu tempat dan tidak bisa dia temukan lagi sekarang entah kemana. Bahkan dia tak tahu bagaimana dia terjebak di dalam gurun pasir seperti ini. Max duduk sambil kedua tangannya bertumpu di pasir di samping kiri dan kanannya. Tangannya meraba pasir di sana dan merasakan debu-debu halus bercampur dengan kerikil di telapak tangannya. Tapi tiba-tiba ada sesuatu yang keras dirasakan oleh Max di sana. Sesuatu itu terasa seperti sebuah batu yang terasa halus. Penasaran akan apa itu sebenarnya, Max pun menggalinya dan mengambil batu permata itu yang ternyata tidak dikubur terlalu dalam. Terang saja, itu ternyata batu permata mirip seperti batu yang ada di da-da Gargoyle raksasa yang dia lawan bersama Alinzar! Namun itu bukanlah permata utuh, melainkan hanya kepingan dari bongkahannya saja. Max memegangnya dan merabanya melihat kalau itu adalah berlian yang sangat indah dan mengkilat. Melihat batu berlian itu membuat Max sadar kalau pertarungannya di Desa Frello bukanlah mimpi ataupun ilusi semata. Itu benar-benar terjadi sampai sisa-sisa pertarungan itu dia bawa di tangannya sekarang. Namun Max masih bingung bagaimana dia bisa berada di gurun pasir seperti ini. Max pun berdiri, melihat gurun pasir ini dalam situasi dan pemandangan yang lebih jelas. Ternyata dia melihat kalau kontur dari tanah yang ia pijak sekarang ini benar-benar familiar dengan yang pernah ia lihat. Ia seperti pernah mengunjungi tempat ini sebelumnya walaupun dia sebenarnya tak pernah berada di gurun pasir. Max melihat ke semua arah kalau apa memang mungkin pasir yang ia pijak sekarang adalah Desa Frello? Max membalik badannya, melihat hutan pinus yang berada di belakangnya saat ini. Dia melihat kalau pohon ini memang tampak aneh. Ada sesuatu yang janggal di luarnya. Akhirnya Max menemukan dan menyadari sesuatu, ada sebuah ukiran yang tergambar di luar pohon itu. Ukiran dengan nama seseorang, tertulis dengan menggunakan pisau dengan ujung runcing dan tajam sengaja dibuat untuk memahat sesuatu. Tu lisan itu bernama “Lacroix”, Max tak mengenal siapa nama itu. Namun dia yakin kalau itu adalah nama familiar yang sering dipakai oleh orang-orang di Kerajaan Merleth. Max bersender lagi di pohon itu, dia memikirkan segala kemungkinan yang terjadi. Jika memang Dia berada di desa Frello sekarang, bagaimana mungkin tempat itu bisa berubah menjadi padang pasir seperti sekarang? Dan jika memang ini adalah kemampuan sihir, tidak ada yang bisa melakukan sihir dengan kemampuan semasif itu yang bisa mengubah suatu wilayah dengan sangat mudah. Namun akhirnya Max berpikir, seberapa lama dia tertidur di tempat ini. Apakah mungkin dia telah tertidur ratusan atau ribuan tahun sampai-sampai semua yang pernah ia kunjungi berubah menjadi pasir sekarang? Dan semua orang yang dia kenal mati dan tak bisa hidup bersamanya lagi? Kemungkinan-kemungkinan itu membuat Max makin bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Dia mengumpulkan segumpal pasir di tangannya dan membuangnya ke hadapannya karena saking kesalnya. Max mulai menangis, karena jika itu mungkin benar, dia tak tahu lagi harus melakukan apa sekarang. Semua hidupnya benar-benar hancur karena dia telah tertidur terlalu lama dan melewatkan banyak hal. Tapi tiba-tiba batu kristal yang Max taruh di sampingnya itu bersinar dengan terang. Max mengusap air matanya dan buru-buru mengangkat batu kristal itu mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan batu itu. Ternyata batu itu tidak hanya bersinar, melainkan membentuk sebuah garis lurus Vertikal seperti menunjukkan sesuatu. Saat Max membawa batu kristal itu ke arah yang berlawanan, garis itu ikut berputar ke arah yang berlawanan. Max yakin kalau batu itu memang ingin menunjukkannya sesuatu. Max berjalan mengikuti kemana arah batu itu melaju. Padang pasir yang tinggi dan juga menjulang luas dia lewati begitu saja sampai garis itu menunjukkan maksud dan tujuannya. Meskipun berada di bawah panas matahari yang terik, tapi batu itu masih bisa bersinar mengalahkan sinar sang Surya. Dan lama kelamaan, batu itu bersinar semakin terang semakin jauh dia berjalan menuju garis yang ditunjukkan oleh batu permata itu. Sampai akhirnya sampailah Max berhadapan dengan seorang tubuh yang dia kenal. Tubuh itu berwarna pucat dengan rambut berwarna putih dan juga perawakan yang masih muda. Dia terbaring tak sadarkan diri dengan kaki dan juga tangan yang terlentang. Ada tanduk yang muncul sedikit di dahinya membuatnya benar-benar mengenal siapa dia. Batu kristal itu juga bersinar sangat terang dibandingkan sebelumnya sampai-sampai tangan Max terasa panas saat menyentuhnya terlalu lama. Max langsung membuang batu kristal itu dan menghampiri tubuh yang terbaring itu. Dia adalah Sang bocah Vampir terakhir, seseorang yang telah menyelamatkan desa Frello, Alinzar Decipio. Berbeda dengan sebelumnya, tidak ada ukiran tubuh yang menempel di badan Alinzar. Ukiran yang menyala-nyala hilang dan hanya menyisakan beberapa bekas luka kehitaman di sana. Max tak tahu apakah Alinzar saat ini masih hidup atau sudah berada di alam lain. Dan saat Max memeriksa jantung dan denyut nadinya, ternyata itu masih berdetak! Max tentu mengingat bagaimana Alinzar meledakkan tubuhnya menghancurkan Gargoyle raksasa itu bersama dirinya. Namun kenapa saat ini dia bisa merasakan detak jantung Alinzar dan juga denyut nadinya? Terlihat terlalu aneh untuk bisa dibayangkan. Namun akhirnya Max memiliki ide. Dia menyayat sebagian lengannya sampai mengucurkan darah yang deras. Aliran itu kemudian dia berikan tepat di mulut Alinzar yang menganga lebar. Max memiliki ide itu agar tentu saja berusaha untuk menghidupkan Alinzar kembali. Usaha Max terlihat sia-sia karena dia tidak melihat reaksi apa-apa di dalam tubuh Alinzar. Bahkan tubuh Alinzar tidak berdenyut atau bergerak sedikit pun. Max terlihat putus asa, sepertinya Alinzar memang tidak bisa diselamatkan. Tapi tiba-tiba batu kristal yang dibawa oleh Max tadi melayang dan berada di atas Alinzar sekarang. Batu itu mengecil sampai seukuran batu kerikil. Dan secara ajaib, batu itu masuk ke dalam tubuh Alinzar. Alinzar bangun dengan posisi mata melotot dan juga berteriak dengan sangat kencang seperti merasakan siksaan luar biasa. Dan kemudian Alinzar berubah menjadi tenang, dia pun berkata. “Dimana aku?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN