Chapter 12

1938 Kata
Ajeng sedang menikmati sarapan ketika pintu rumahnya diketuk. Suara laki-laki yang mengucap salam kemudian, membuatnya tersedak kuah sayur sop bakso kesukaannya. Gila. Sepagi ini, pengganggu itu sudah datang ke rumahnya. Lebih gila lagi, dari mana seorang Nalendra Al Ghifari mendapatkan alamat rumahnya? *** Ale pada akhirnya menurut pada Aldi untuk mendengarkan usulannya. Meski menebak tidak akan memberinya saran yang efektif, cowok itu tetap menaruh harap sedikit, agar sahabatnya itu memiliki sisa-sisa kewarasan. "Gue sama Deri udah berunding. Kami setuju kalau gue sama Deri bagian internal. Ngasih informasi ke anak-anak. Nah, elu sama Ajeng bagian yang ke luar sana. Nggak perlulah lu ngadain rapat-rapat internal nggak jelas, cukup rapat besar aja nanti barengan divisi lain. Anggap kami berdua membukakan jalan buat lu pepet Ajeng." Aldi menyapukan tangan ke rambutnya yang masih berantakan. "Kurang pengertian gimana lagi gue, Le?" Ada kebanggaan tersendiri yang tercetak di wajah Aldi. Cowok itu merasa dirinya telah memberi saran yang pasti akan sangat bermanfaat bagi keberlangsungan kisah cinta seorang Nalendra Al Ghifari. Senyuman di wajah Ale merekah, begitu lebar hingga membuat matanya memicing. Usul yang diajukan oleh Aldi kali ini sangat patut diajungi dua jempol. Dia tidak akan menyanggah, apalagi memprotes, karena temannya itu benar. Bahwa Aldi dan Deri telah membukakan jalan baginya agar dapat mendekati Ajeng secara lebih intens. Lalu, dengan antusiasme berlebihnya, Ale merangkul—hampir memeluk—bahu Aldi dan mengusap-usap kepala temannya itu. "Gila, Di. Ide lu cemerlang banget, sumpah! Thank you teu eureun-eureun, lah!" Rontaan Aldi pun luput dari perhatian Ale akibat rasa terima kasihnya yang bisa dibilang cukup berlebihan. Bahkan wajah sahabatnya itu sudah memerah seperti keputung rebus akibat menahan napas. Kemudian, Aldi menepuk-nepuk punggung Ale dengan kencang. “Gue nggak bisa napas, Setan!” Aldi terus meronta dengan kuat. Setelah beberapa lama, barulah Ale melepaskan rangkulannya, tapi masih tersenyum dengan begitu lebar. Wajahnya berbinar, penuh cahaya harapan. Harapan seorang cowok yang sedang dilanda asmara. Ah, senangnya bisa melihat teman berbahagia dan melupakan kekesalannya. Sebenarnya, cowok itu tidak paham seberapa dalam perasaan sang sahabat pada seorang Nilakandi Ajeng Kiani. Satu hal yang dia tahu, Nalendra Al Ghifari adalah orang yang sangat serius jika menginginkan sesuatu. Sahabatnya itu akan berusaha melampaui batasnya agar keinginan itu tercapai walau harus berdarah-darah. Aldi kemudian mendecih kesal, menampakkan wajah sebal yang dibuat-buat, mengeluh atas kelakuan Ale yang berlebihan. "Lebay amat. Najis, Le." Meski begitu, Aldi turut senang, karena telah memberikan sahabatnya itu sebuah harapan, yang semoga saja, dapat membawa kebahagiaan suatu hari nanti. "Berhubung ide lu memang kelihatannya bakal menjadi asal-usul terciptanya masa depan gue yang cerah, kali ini gue biarin lu berkata-kata semerdeka lu, Di." "Merdeka, sih, merdeka. Tapi ini bekas rangkulan lu bisa menurunkan harga pasar gue, Le. Ya, Allah, gue ternoda." Kalimat dramatis Aldi didukung oleh wajah frustrasi yang dibuat-buat, menyebabkan Ale memandangnya jijik. "Omongan lu udah kayak idola kampus, Njing! Jones aja belaga ngartis." "Dih, lu nggak tau aja ini yang deketin gue bejibun." "Siapa? Bu Jessi?" ejek Ale. "Bukan, ya, anjir. Sembarangan!" "Ha ha ha! Cocok bege!" Aldi mendelik tidak terima. Cowok itu sudah malas jika disangkutpautkan dengan salah satu pedagang kantin di fakultas mereka. Bu Jessi selalu menjadi momok menakutkan bagi Aldi. Perempuan paruh baya itu kerap kali menggodanya, bahkan tidak jarang pula melakukan hal-hal yang menurutnya sudah termasuk pelecehan s*****l. Mencolek dagu sampai menepuk bokongnya. Aldi bisa saja menghindari kantin fakultas. Namun, gorengan di sana tidak ada duanya. Aldi sangat menyukai mendoan khas Purwokerto yang dijual pedagang lain. Stand mendoan tersebut berada di samping lapak dagangan bu Jessi. Meskipun sudah berusaha menghindari bu Jessi, dengan datang ke kantin jika dapat info bahwa perempuan itu tidak ada, Aldi selalu kecolongan. Ibu paruh baya itu selalu tiba-tiba muncul di belakangnya. Aldi tersenyum penuh kemenangan. Benar, kan? Usulnya itu memang berfaedah bagi masa depan Ale juga untuk kesenangan duniawinya. Jarang-jarang seorang Nalendra membiarkannya menguasai permainan itu tanpa harus meminta. Mampus, gue mah bahagia dapet tugas internal doang. Nikmatin dah itu orang-orang luar yang tengilnya minta ampun. Cowok itu bergumam jahat dalam hati. Urusan jahil-menjahili, Aldi tentu saja belajar dari ahlinya. Berteman dengan Ale selama hampir tiga tahun membuat pemuda berusia sembilan belas tahun tersebut menerapkan apa saja yang pernah dialami, mempelajari, lalu mengaplikasikan. Hasilnya, terlihat sekarang. Aldi terbebas dari tugas berhubungan dengan orang-orang luar, yang entah kenapa, selalu menimbulkan kesan buruk di pikirannya. Aldi tidak pernah suka berinteraksi dengan mereka yang merasa memiliki wewenang lebih, menduga diri sangat dibutuhkan, sehingga berlaku tidak ramah. Aldi berpikir seperti itu bukan tanpa bukti. Ia pernah mengalaminya, bukan hanya sekali, melainkan berkali-kali. Baginya, berhubungan dengan orang-ornag yang sudah ia kenal lebih mudah dan efisien. Efisien waktu, tenaga, dan juga bensin. Ya, Aldi tidak akan jauh-jauh dari hal ekonomis. Memang pada dasarnya pemuda itu adalah penggemar sejarah ekonomi dunia. Entah apa hubungannya, yang pasti segala aksi dan kreasi harus bernilai ekonomis. Aldi sudah mulai menumpukan fokusnya untuk game PES, game sejuta umat tersebut, sedangkan Ale menatapi ponsel terus-menerus, menanti Ajeng membaca pesannya yang terkirim sejak sepuluh menit lalu. Nada dering yang mengudara dari ponselnya membikin jejaka itu terperanjat, membuyarkan kedunguannya. Kalau Aldi atau Galih menyadari kegugupannya menanti reaksi Ajeng, ia yakin mereka akan berkata seperti ini; Gugup? Shalat lu ganti pakai mukena, nggak usah sarungan lagi! Padahal Ale hanya mengenakan sarung untuk shalat Jumat dan hari-hari besar saja. Ale tertawa pelan setelah membaca balasan yang ia tunggu-tunggu tersebut. Seperti Ajeng yang biasanya, selalu judes tapi menggemaskan alias membuatnya jengkel-jengkel cinta. Galak tapi jenaka. Wajah yang selalu terlihat marah kalau berhadapan dengannya pun selalu terlihat elok. Ah, kemolekan Ajeng bahkan tak kalah oleh Laksmi istri Wisnu. Lagi pula, Ale tidak tahu apakah Sang Dewi benar-benar cantik seperti yang diceritakan, tapi anggap saja Ale lebih beruntung daripada Sang Dewata. Alasannya? Tidak ada. Ale hanya ingin mengirakan bahwa kemujurannya mengalahkan semua Dewa di seluruh dunia. Selesai bertukar pesan, yang kebanyakan berisi amarah dari Ajeng, anak muda itu merongrong sang sahabat, membuyarkan fokusnya yang sedang menyerang Barcelona agar Real Madrid dapat menjebol lini pertahanan tim musuh bebuyutannya tersebut. "Bajinguk! Ronaldo gue udah mau nyetak gol, Setan! Lu maen ganggu aja." Aldi mendamprat Ale yang hanya cengar-cengir, tidak merasa berdosa sama sekali. "Nyengir, lagi. Gigi lu kuning aja pamer! "Abis gosok gigi pake close up, Di, gigi gue putih cemerlang bersinar mengalahkan sang mentari." "Wow. Silau, Man." Aldi berkata dengan datar, tidak menunjukkan antusiasme yang selaras dengan perkataannya. Ale mencebik, mengambil analog stick, lantas bersuara, "Lawan Liverpool berani nggak?" "Yakin mau lawan Real Madrid? Tanding sama tim papan bawah aja kalah. Dih, malu sama ball possession gue mah." Ujarannya membuat Ale mendengus sebal. Ia tidak menonton pertandingan tim kesayangannya semalam, berkat kehadiran cecunguk-cecunguk itu. Namun, ia mengikuti beritanya via portal berita do Google. Meski begitu, Ale tetap bangga menyanjung tim favoritnya tersebut. Biarkan anjing menggonggong, kafilah berlalu. Begitu pikirnya. Bagi Ale, kebanggaan terhadap klub kesuakaan tidak boleh hanya ketika berjaya. Ketika klub down pun harus didukung. Mengkritisi tanpa menghakimi. "Sabodo, ah! Gue mau ke Burjo, lapar." Ale melempar benda penunjang hobinya tersebut lalu bangkit, menarik jaket berwarna hitam dari kapstok di samping lemari pakaiannya. "Ikut, Le. Tunggu!" Aldi bergegas menjeda permainan layarnya, menyisir rambut dengan tangan, kemudian menyusul Ale yang sudah keluar duluan tanpa menggubrisnya. *** Bangun pukul 07.00 WIB, Ale bergegas mandi. Jangan tanya apakah Ale shalat subuh atau tidak, karena pemuda itu tak pernah bisa bangun ketika adzan berkumandang, seolah telinganya sudah bersahabat dengan setan-setan yang membelenggu. Jangankan subuh, shalat dzuhur dan ashar bahkan terkadang saja ia laksanakan. Sesuai rencananya, Ale akan mendatangi satu atau dua biro perjalanan dengan Ajeng. Sengaja tidak memberitahukan gadis itu mengenai jam keberangkatan mereka, bermaksud memberinya kejutan. Pemuda itu mengetahui letak rumah Ajeng sejak lama, tapi tidak pernah berani menyatroninya sampai ke rumah. Ia masih cukup waras untuk membiarkan sang pujaan hati menjaga privasinya. Pukul 08.00, Ale sampai di depan rumah berwarna soft blue. Kediaman Ajeng ini terletak tidak jauh dari jalan, mudah untuk mencarinya, berhadap-hadapan dengan rumah makan penyetan yang menjadi favorit banyak mahasiswa, sebab harga murah. Bergaya minimalis dengan sentuhan arsitektur khas Jawa Tengah, yakni rumah joglo pada bagian atapnya. Seorang laki-laki berwajah tampan yang pernah dilihatnya mengantar Ajeng ke kampus, muncul sesaat setelah Ale menekan bel. Ale mengkeret. Kalau sepagi ini laki-laki itu sudah ada di rumah Ajeng, ada kemungkinan mereka related by blood. Tapi, ia tidak akan tahu kalau tidak bertanya. "Masnya siapa, ya?" Pertanyaan Ale sontak membuat kening laki-laki itu mengerut dalam. Siapa yang tuan rumah, siapa yang bertanya soal identitas. "Seharusnya saya yang bertanya seperti itu pada Anda," ketus pria itu. Ale mengusap tengkuk gugup, menghilangkan aura menyeramkan yang mencuat di sekitar akibat tatapan tajam lawan bicaranya. "Saya Nalendra, Mas, temannya Ajeng." "Ada perlu apa?" laki-laki itu tadi berkata bahwa ia adalah anak dari pemilik rumah ini. Berarti mereka one hundred percent related by blood, alias kakak atau adik-kalau diperhatikan dari wajah Ale yakin laki-laki ini adalah kakaknya-maka Ale harus menjaga sikap. Restu orang tua sangat penting, tapi rida dari keluarga yang lain tak boleh diabaikan. "Saya dan Ajeng mau ke biro-biro perjalanan untuk kepentingan KKL kami." "Oh, tunggu sebentar. Masuk dulu saja. Saya panggilkan Kia," ujar laki-laki itu pada akhirnya. Ale menurut, mengikuti arahan sang tuan rumah untuk duduk di sofa berwarna putih di ruang tamu. Ketika pantatnya sudah mendarat dengan nyaman, pandangannya mengedar ke seluruh penjuru ruangan. Tidak ada foto keluarga terpajang di dinding, hanya beberapa lukisan abstrak yang Ale tak pahami maksudnya. Ia bukan penggemar seni lukis, omong-omong. "Wira, siapa yang datang?" Ale melongok ke arah pintu menuju ruangan lain ketika mendengar seorang perempuan bersuara. Laki-laki yang menyambutnya itu ternyata bernama Wira. Wira Dharma Bhakti? Atau Wira-wiri? Ale terkekeh sendiri. Untuk apa juga ia penasaran akan nama panjang Wira? "Temannya Kia, Bu." Kia ... Kia ... Kiani? Ah, ternyata Ajeng mempunyai nama panggilan sendiri di rumah. Sama seperti dirinya yang dipanggil Ghifar oleh Arin dan Bunda Yani. Si penguping Nalendra mendengus geli mendengar percakapan antara anak dan ibu tersebut. Kelewat formal dan kaku. Ale berpikir mungkin keluarga ini penganut paham KBBI. Soal ejek-mengejek memang Ale jagonya, ingat? Setelah hampir satu jam menunggu, menghabiskan setengah gelas teh manis hangat yang disuguhkan oleh asisten di rumah ini, orang yang dinanti pun datang. Gadis itu mengenakan kemeja biru polos, dipadukan dengan celana jeans hitam. Hari ini Ajeng mengenakan flat shoes yang senada dengan tas selempang berwarna abu-abunya. Wajah gadis cantik itu tertekuk begitu senyum lebar yang menyebalkan khas Ale menyambutnya. Dia sengaja berlama-lama di ruang sarapan tadi. Membiarkan si pengganggu itu nenunggu lama. "Aku kan udah bilang nggak mau. Ngapain ke sini segala, sih?" ketus Ajeng sambil duduk dengan kasar di sofa yang berhadapan dengan Ale. "Kan, itu tugas kita." "Ke biro-biro perjalanan itu tugasnya Seksi Transportasi, bukan Humas." Ajeng bersedekap, menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa seraya memandang Ale dengan tajam. "Ih, Neng Ajeng pinter. Sebenarnya aku mau ngajak kamu ke Peleburan, nemuin Prof. Nia buat bicarain soal kerja sama penelitian itu," ujar Ale. Ajeng mencebik melihat binar yang memancar di wajah Ale. Mengesalkan sekali mendapati Ale berada di rumahnya sepagi ini. Apalagi pemuda itu menyebut nama seorang profesor yang tidak Ajeng sukai atas beberapa alasan. Ia tidak akan mengungkapkannya, cukup disimpan dalam hati. "Semoga nggak jadi. Aku nggak mau dijadiin babu buat proyeknya dia." Masygulnya terhadap sang profesor rupanya cukup menjejak, hingga gadis itu bertutur dengan hati yang panas dan menggebu. Ale menyeringai. "Ya, makanya aku ajak kamu buat ke sana. Nego sama Prof. Nia, bikin dia nggak mau kerja sama bareng kita." Ajeng menunduk dalam-dalam, berpikir keras. Haruskah ia menuruti kata-kata Ale? Tidak apa-apakah?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN