Chapter 11

2517 Kata
Ajeng melempar ponsel ke sembarang arah dengan pelan. Dia masih menyayangi ponsel yang dibelikan sang kakak dua tahun lalu itu. Tidak mungkin cewek itu merusaknya, karena ponsel tersebut merupakan hadiah ulang tahunnya yang kesembilan belas. Cewek itu pun memutuskan untuk tidak menggubris pesan Ale. Dia sangat kesal. Gara-gara kepanitiaan ini, dirinya dan si pengganggu itu berada di bagian yang sama. Humas. Yang paling membuatnya merasa s**l adalah Nalendra Al-Ghifari jadi tahu nomor ponselnya. Rasa syukur karena tidak masuk ke grup angkatan, sekarang sudah tidak berlaku lagi. Pengganggu itu sudah memiliki media sosialnya yang paling pribadi. *** Ajeng berjalan menuju kampus dengan malas. Sangat malas, malah. Hari ini, dia yakin, pasti akan berjalan lebih lama daripada biasanya. Setelah menerima pesan dari Ale semalam, dirinya langsung berpikiran untuk membolos dari kuliah dan rapat bersama cowok itu. Memang, sih, tidak hanya berduaan. Akan tetapi, rekan satunya lagi ialah sahabat dekat Nalendra Al Ghifari. Sudah pasti, Ale sudah pasti bisa mengganggunya dengan leluasa. Cewek itu mendengkus. Di hadapan orang lain yang tidak dikenal saja, Ale terus-terusan mengganggunya. Apalagi, jika hanya ada orang terdekatnya saja. Terlalu fokus pada hal-hal yang belum tentu dilewatinya membuat dia sadar bahwa langkah gontainya menarik perhatian kedua temannya, yang sedang duduk di joglo besar. Rita dan Naura, kedua sahabat Ajeng itu memang sengaja mennunggunya di sana. Mereka sama-sama memiliki jadwal kuliah pagi. Sebelum masuk kelas, biasanya, tiga s*****n itu saling bercengkerama. Membicarakan apa saja yang menarik perhatian mereka. Kadang, di hari itu, mereka saling mengungkapkan apa pun yang menjadi beban di hati dan pikiran masing-masing. Sepertinya, hari ini pun sama. Akan ada sesi interogasi khusus Ajeng, agar cewek itu mau bercerita. Memang, beberapa hari ini, Ajeng terlihat murung. Tidak seperti biasanya. Cewek itu juga lebih tertutup. Di grup chat pun jarang sekali muncul. Hanya sesekali saja, itu pun sangat singkat. “Ajeng!” panggil Naura. Ajeng berhenti, lalu menoleh ke arah dua sahabatnya berada. Rita dan Naura melambaikan tangan, meminta Ajeng untuk menghampiri mereka. Senyum simpul di wajah seorang Nilakandi Ajeng Kiani sudah cukup membuat Rita dan Naura bertambah yakin untuk menjalankan sesi interigasi khusus itu. “Sini, duduk.” Rita menepuk tempat di sampingnya, mengisyaratkan agar Ajeng duduk di sana, di antara dirinya dan Naura. Ajeng duduk di sana tanpa berpikir lagi. Dia bahkan tidak curiga sama sekali. Kepalanya sudah kepalang dipenuhi oleh tingkah absurd Ale dan kekesalannya terhadap Ilham, sang pacar. “Udah sarapan, Jeng?” Naura yang bertanya. Dahi Ajeng mengerut. “Ada apa?” “Nanya aja,” jawab Naura dengan ekspresi yang datar. Ajeng mengedikkan bahu. “Ibu aku nggak mungkin ngebiarin anak-anaknya keluar rumah tanpa sarapan, sih.” “Iya juga, ya.” Rita menahan tawa. Naura seharusnya tidak terlalu kentara dengan menanyakan apakah Ajeng sudah sarapan atau belum. Sudah jelas, jika menyangkut sarapan, Ajeng dan keluarganya tidak pernah melewatkan hal penting itu. “Lagi ada masalah apa, deh, Jeng? Beda banget akhir-akhir ini.” Rita bertanya secara langsung. Sudah cukup basa-basi yang hanya membuat aneh itu tadi. Ajeng menghela napas dalam-dalam. Dia sebenarnya tidak berniat menyembunyikan apa pun, tetapi pikirannya yang penuh membuat dia lupa bahwa ada teman-temannya yang pasti bersedia mendengar. “Udah beberapa hari ini, aku berantem sama Ilham. Kayaknya, udah semingguan, deh.” Rita dan Naura saling menatap. “Kenapa?” tanya Naura. “Ya, gitu. Biasa, Ilham ngajak pergi, tapi nggak jadi. Dia yang batalin as usual. Nggak tahu kenapa, aku nggak bisa maafin gitu aja. Akhirnya, kami diem-dieman, deh.” Ajeng memberi jeda. Mengingat kondisi hubungannya dengan Ilham beberapa hari terakhir membuatnya kesal lagi. “Tadi malam dia juga telepon. Aku diemin lama, terus abis itu kuangkat. Nggak tahu kenapa, aku kayak lega gitu bisa ngomel panjang kali lebar.” “Terus, kalian udah baikan?” Ajeng menunduk, dan kedua sahabatnya mengerti respons tersebut. “Nggak apa-apa, Jeng. Yang penting, kamu dan Ilham nanti bicara. Berdua. Ngomong baik-baik.” Naura menasihati. “Iya, yang penting kamu harus inget, ada kita berdua yang akan selalu jadi pendengar kamu.” Ajeng tidak bisa untuk tidak tersenyum. Mereka mungkin baru dipertemukan di bangku perkuliahan, tetapi ikatan yang dirasakan sudah lebih dari sekadar teman. Setelah itu, sesi interogasi berlanjut pada Naura yang ternyata sedang mengajukan dana hibah penelitian. Juga Rita yang didekati seorang cowok. “Kok, nggak pernah cerita, sih?” todong Ajeng. “Siapa cowoknya?” Rita diam sebentar. Dia tidak tahu apakah harus memberi tahu kedua temannya atau tidak. Masalah ini dia pendam sendiri, karena berhubungan dengan masa lalunya. Sementara itu, Rita sangat ingin menghilangkan masa lalu tersebut dari kepalanya. “Galih,” jawabnya dengan pelan. “Hah? Kok, bisa?” respons Ajeng dan Naura berbarengan. Rita sudah menduga. “Jadi, Galih itu mantanku waktu SMA. Hubungan kita berakhir nggak baik.” Ajeng dan Naura diam, mencerna informasi yang baru mereka ketahui. “Pantes,” gumam Naura. “Kalian satu SMA, tapi kayak orang nggak kenal. Padahal, satu jurusan juga.” “Iya juga, ya.” Ajeng mengamini. Rita mengedikkan bahu. Pikirannya menerawang pada kejadian beberapa tahun lalu. Ketika dirinya dan Galih berakhir dengan sangat tidak mengenakkan. *** Dadanya kembang kempis. Mata hitam bulat itu menatap nyalang ke arah cowok, yang saat ini sedang memandangnya penuh permohonan. Permohonan agar dimaafkan. Meminta supaya diampuni kebodohan yang telah dilakukannya. "Ta, gue nggak bermaksud kayak gitu." "Orang b**o aja nggak bakal berpikiran positif kalau posisinya jadi gue, Ga! Lo pikir, kedua mata gue ini pajangan doang, hah?" Rita memejamkan mata erat-erat. Emosinya tidak bisa lagi dikontrol. Sebelum melakukan konfrontasi, cewek itu tidak sengaja melihat Galih, sang pacar, sedang bersama Jani, teman sekelasnya, di toko buku. Teman sekelas Rita, sekaligus mantan pacar Galih. Keduanya asyik bercanda. Tidak menyadari kehadiran Rita di sana. Hari itu, Rita sengaja pergi sendirian ke toko buku. Alasannya, dia memang sangat membutuhkan referensi untuk lomba esay yang diadakan provinsi. Rita mewakili sekolahnya. Galih tidak bisa menemaninya ke toko buku, karena cowok itu, katanya, diminta untuk mengantar sang mama belanja bulanan. Rita percaya saja. Waktu itu memang tanggalnya para ibu rumah tangga memperbarui stok kebutuhan di rumah. Sayangnya, begitu kakinya menapak di atas lantai toko buku itu, pertunjukkan sepasang manusia beda kelamin yang saling melempar canda, tertangkap retina matanya. Seketika itu juga, amarah Rita menggelegak. Rita bukan tipe cewek yang melarang pacarnya berteman dengan cewek lain. Dia bahkan mengenal dekat beberapa teman cewek Galih. Namun, yang membuatnya meradang adalah kebohongan yang dilontarkan sang pacar. Maksudnya apa? Selama ini, dia tidak pernah melarang jika Galih meminta izin untuk pergi atau menemani teman ceweknya. Rita percaya sepenuhnya pada sang pacar. Tidak ingin mengekang. Begini balasannya? Begini cara Galih mencederai kepercayaannya? "Lo tahu sendiri, Ga." Rita mengusap air mata yang entah sejak kapan membasahi pipinya. "Lo tahu sendiri, gue nggak pernah ngelarang lo dekat sama siapa pun. Gue nggak ngelarang, Ga. Kenapa lo bohong?" Rasanya, dia ingin berteriak. Akan tetapi, mereka saat ini sedang berada di ruang publik meskipun di wilayah yang jarang dilalui orang-orang. Menarik perhatian manusia lain bukanlah opsi yang baik. Bisa kehilangan muka jika dirinya menjadi bahan gunjingan orang tak dikenal. "Dengerin gue dulu, Ta." Galih memohon. "Dengerin apa lagi, Ga? Dengerin omong kosong lo soal nganterin nyokap lo belanja bulanan? Iya?" Meski amarah belum surut, Rita berusaha menekannya, agar tidak meledak-ledak. "Gue ngaku salah, Ta. Salah banget. Tapi gue mohon. Dengerin dulu penjelasan gue." "Mau jelasin apa lagi, sih, Ga?" Amarah membuatnya sama sekali tidak ingin mendengar pembelaan apa pun dari Galih. Fakta bahwa Galih berbohong lah yang membuatnya merasa disakiti. Selama ini, Galih tidak pernah berbohong. Ke mana pun dia pergi, apa pun yang dilakukan, cowok itu selalu memberi tahunya. Mereka berdua terbiasa saling memberi kabar, memberi tahu kegiatan masing-masing. "Gue takut lo nggak ngasih izin, Ta." Rita mendengkus. "Takut gue nggak ngasih izin, lo bilang? Bisa-bisanya lo berpikiran kayak gitu di saat gue sama sekali nggak pernah ngelaran lo berteman. Bahkan sama mantan lo itu." Mengingat bahwa Galih berbohong demi pergi dengan mantannya membuat cewek itu kembali dilanda sesak yang begitu hebat. Sesak yang sangat menyakitkan. Galih diam. Tidak ada yang salah dari perkataan Rita. Dirinya memang bodoh, karena terlalu berpikiran negatif. Memang Rita tidak melarangnya berteman dengan Jani. Namun, entah kenapa, dia takut Rita marah atau cemburu jika tahu dia akan keluar dengan sang mantan. Jadi, dia memutuskan untuk berbohong. Kebohongan yang baru disesalinya setelah tepergok sang pacar. "Sekarang, gue tanya, deh." Rita melipat kesua tangannya. Menatap Galih dengan tajam. "Lo mau kita gimana? Gue udah ngasih kepercayaan penuh sama lo. Menurut lo, setelah ini, hubungan kita bakal sehat-sehat aja, nggak? Sementara lo pernah berbohong demi bisa jalan sama mantan." "Gue cuma nganter, Ta. Bukan jalan." "Pake otak, dong, kalau mau respons. Lo cukup jawab pertanyaan gue, bukan malah nge-highlight omongan gue yang itu." Nada suaranya meninggi. Rita kesal, karena Galih salah memilih fokus. "Sorry, gue nggak bisa jawab, Ta. Tapi gue bisa yakinin lo, Ta. Gue nggak akan ngulangin ini." "Lo berjanji kayak gitu karena ketahuan, kan? Kalau nggak, lo akan terus berbohong sampai gue kayak kambing b**o yang percaya-percaya aja sama omongan lo." "Rita." Rita menghela napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan kasar. Dia tidak bisa berpikir jernih. Baginya, hubungan ini tidak akan lagi sama. Tidak akan semudah dulu untuk kembali menaruh kepeecayaan pada Galih. "Hari ini, kita putus. Terima kasih atas satu tahunnya, Galih." Rita berbalik. Telinganya dia tutup rapat-rapat, agar tidak mendengar suara Galih yang memohon padanya, untuk tetap tinggal. Meminta, agar dirinya mau memikirkan kembali keputusan itu. "Jangan ngambil keputusan pas lagi marah, Ta. Please." Namun Rita tetaplah Rita. Cewek yang tidak pernah menarik kembali ucapannya. *** "Le, ada yang mau gue omongin.” Aldi menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya, memberi isyarat agar Ale yang baru selesai mandi itu duduk di sana. “Sini bentar, dah." "Apaan?" tanya Ale sambil mengeringkan rambut hitamnya dengan handuk kecil berwarna putih. "Gue ada usulan. Ini usul bisa menjadi asal-asul terciptanya masa depan lu, Le." "Asal-usul apaan, anjir? Lu kalau ngomong suka lebay gitu. Heran, gue." Ale memberikan tatapan skeptisnya pada Aldi. Aldi mengelus d**a. Rupanya, Ale masih belum menerima maafnya. Oh, tentu saja. Galih yang terzalimi, dan Aldi belum meminta maaf padanya, karena pemuda itu turut tidur bersama Ale dan belum bangum hingga sekarang. "Gue ada usul, gimana kalau Humas dibagi dua? Satu tim untuk internal, satu lagi untuk eksternal." "Emang pembagian setiap tahunnya kayak begitu, Oncom! Internal sama eksternal udah ada dari zaman Kutai Kartanegara baru ditemuin," timpal Ale dengan asal. Aldi melongo sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Emangnya pas zaman Kerajaan Kutai, udah ada KKL, ya?" tanyanya polos. "b*****t!" Ale memukul kepala sahabatnya itu dengan handuk basah bekas dipakai mengeringkan rambut. "Beloon lu kebangetan, ya. Itu tuh perumpaan doang, Aldiran Zakar! Kesel beneran gue jadinya." "Zakaria, Le, Zakaria!” Aldi melempar korek api ke arah Ale. “g****k lu, ganti nama orang sembarangan. Bisa turun harga pasar gue di mata cewek-cewek kalau lu panggil begitu." Ale tertawa keras. Ia mengaduh, tepatnya pura-pura kesakitan akibat lemparan korek yang mendarat di pahanya. Akan tetapi, tak lantas membuatnya berhenti mentetertawakan temannya yang sedang kesal itu. Aldi memiliki nama lengkap Aldiran Zakaria, tetapi Ale dan kedua temannya yang lain sering memenggalnya dengan tidak tepat, menghilangkan huruf i dan a di belakang namanya. "Ha ha ha! Elu, sih, oon dipelihara. Apanan biasanya juga kayak begitu pembagian di Humas." "Tapi kali ini beda, Le. Udah gue bilang bakal menjadi asal-usul terciptanya masa depan lu yang indah." Ale mencebik kesal. Di antara mereka berempat, yang paling bisa dipercaya kalau berurusan dengan saran hanyalah Fatir seorang. Sisanya, nol besar, terutama Aldi. Tidak akan ada solusi yang benar-benar solusi, yang keluar dari mulut sahabatnya itu. "Apaan, udah apaan?” Ia sudah bersiap-siap memukul kepala Aldi, kalau-kalau pemuda itu melafalkan saran atau statement bodoh yang berpotensi membuatnya sakit kepala. Namun, yang Aldi ucapkan kemudian, merekahkan senyum di wajah Ale yang semula nampak kusut. *** +62 812-xxxx-xx09: Cantik, besok kita datangi biro perjalanan, ya? Rapatnya nggak jadi aja. Aku sama anak-anak udah bagi tugas. Kamu sama aku bagian eksternal. +62 812-xxxx-xx09: Semangat bekerja sama, Jantung Hati *heart* Ajeng melempar ponselnya ke atas meja perustakaan. Untung saja, perpustakaan ini sepi. Penjaganya pun sedang makan siang di luar. Cewek itu kesal sekali. Setelah kuliah tadi pagi, dia tidak ada jadwal lagi. Sengaja menunggu rapat dengan tim humas lainnnya di perpustakaan, agar tidak bolak-balik. Kalau tahu dibatalkan sepihak begini, lebih baik dia pulang saja dari tadi. Mengambil lagi ponselnya, Ajeng mulai membalas pesan dari Ale dengan kalimat-kalimat pedas yang kejam. Demi kenyamanan dan keselarasan hidupnya, ia bertekad akan melakukan negosiasi sampai titik darah penghabisan. Sekaligus mengeluarkan kekesalannya, karena sudah dibuat menunggu untuk hal yang akhirnya dibatalkan. Nilakandi Ajeng Kiani: Heh, cowok k*****t! Enak banget sih ngatur-ngatur orang. Nilakandi Ajeng Kiani: Situ siapa? Ketua KKL aja bukan! Kalau nggak jadi, bilang dari awal! Balasan sudah dikirim, tapi Ajeng merasa tidak puas sama sekali. Bagi gadis yang mendapat didikan untuk tidak berlaku kasar pada orang lain seperti Ajeng ini, pesan yang ia kirim untuk Ale itu dirasa cukup bengis dan membuatnya merasa bersalah. Gadis itu menatap ponselnya lama-lama, harap-harap cemas menantikan respons Ale. Pemuda itu belum membacanya, dan kenapa Ajeng begitu ingin agar Ale tidak membacanya saja dan langsung menghapus pesan darinya? Tak lama waktu berselang, tulisan read di samping kalimat-kalimat yang ia kirim itu pun muncul. Ajeng buru-buru menutup chat room-nya agar tidak langsung terbaca ketika Ale membalasnya. Kemudian Ajeng berpikir sambil mendekap ponselnya di d**a. Kenapa ia terlihat seperti orang bodoh yang gugup meantikan respons dari ultimate crush-nya? Buru-buru Ajeng menggeleng. Mengenyahkan pikiran tidak masuk akal itu. +62 812-xxxx-xx09: Aku kan memang bukan ketua KKL, tapi emilik hatimu yang paling ganteng se-FIB Ajeng menunggu beberapa saat untuk membalas, agar tidak ketahuan sedang menunggu balasan. Nilakandi Ajeng Kiani: Nggak mau satu tim sama kamu. TITIK +62 812-xxxx-xx09: Ih, Neng Ajeng kok gitu? Enak tau barengan sama aku. Terjamin dah keamanannya. Kenyamanan hati Neng Ajeng juga terjamin udah ? Nilakandi Ajeng Kiani: Pokoknya G A M A U Ajeng keluar dari room chat. Kemudian, menggerutu sepuasnya dalam hati. Tukang ganggu nggak tahu diri! Nggak sadar muka! Jelek gitu juga. Gadis itu berhenti menggerutu kala benaknya mengingat profile picture Ale di w******p. Ia sempat memperbesar foto profilnya, pemuda itu terlihat tampan dalam balutan sweater berwarna krem, dengan tubuhnya yang menyandar pada besi penyangga. Bola matanya yang hitam pekat menatap kamera, tidak menampakkan antusiasme, tapi juga tak tersirat kelam di sana. Senyumannya tidak selebar yang selalu Ale tampilkan di hadapan Ajeng, cukup manis. Gadis itu menedang-nendang tak tentu arah, kemudian mengelng keras demi menghilangkan bayangan Ale di kepalanya. Ajeng tidak mau memikirkan Ale lebih banyak lagi. Gadis itu pun mulai mengalihkan fokusnya pada sembarang buku di hadapannya. Memikirkan Nalendra Al-Ghifari adalah hal teraneh yang pernah Ajeng lakukan. Sungguh. Maka, Ajeng berusaha sekuat tenaga untuk mengenyahkan cowok itu dari pikirannya. *** Ajeng sedang menikmati sarapan ketika pintu rumahnya diketuk. Suara laki-laki yang mengucap salam kemudian, membuatnya tersedak kuah sayur sop bakso kesukaannya. Gila. Sepagi ini, pengganggu itu sudah datang ke rumahnya. Lebih gila lagi, dari mana seorang Nalendra Al Ghifari mendapatkan alamat rumahnya? "Siapa itu, Nduk?" tanya ibunya yang sedang membaca buku resep masak. Ajeng memang yang palong terakhir sarapan, karena cewek itu baru akan keluar pukul sembilan nanti. Dia menghela napas pelan. "Biar Ajeng yang buka aja, Bu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN