Chapter 13

1474 Kata
Ajeng mencebik melihat binar yang memancar di wajah Ale. Mengesalkan sekali mendapati Ale berada di rumahnya sepagi ini. Apalagi pemuda itu menyebut nama seorang profesor yang tidak Ajeng sukai atas beberapa alasan. Ia tidak akan mengungkapkannya, cukup disimpan dalam hati. "Semoga nggak jadi. Aku nggak mau dijadiin babu buat proyeknya dia." Masygulnya terhadap sang profesor rupanya cukup menjejak, hingga gadis itu bertutur dengan hati yang panas dan menggebu. Ale menyeringai. "Ya, makanya aku ajak kamu buat ke sana. Nego sama Prof. Nia, bikin dia nggak mau kerja sama bareng kita." Ajeng menunduk dalam-dalam, berpikir keras. Haruskah ia menuruti kata-kata Ale? Tidak apa-apakah? *** Di sinilah Ale dan Ajeng berada, di depan kantor tata usaha FIB Peleburan, melongok ke sana-kemari memindai keberadaan profesor yang mereka cari. Sesungguhnya, menghadapi Profesor Nia tidak menyeramkan seperti bertemu muka dengan Pak Karni dan Bu Marni. Akan tetapi, kali ini mereka—hanya Ale karena ini kali pertama baginya— menemui pengampu mata kuliah Sejarah Pergerakan Nasional itu untuk kepentingan selain mata kuliah. Banyak kabar beredar yang mengatakan bahwa Profesor Nia adalah orang sangat alot kalau diajak berdiskusi soal hal lain di luar perkuliahan. "Nyari siapa, Dik?" tanya seorang perempuan kurus berkacamata. Ale mengenalinya sebagai staf tata usaha D3 Kearsipan. "Kami nyari Prof. Nia, Bu. Beliau ada?" Menggunakan kata beliau untuk menyebut seorang dosen memang lumrah terjadi di Indonesia apalagi di Jawa. Namun, bagi Ale, hal tersebut cukup menggelitik. Pengaruh feodalisme pada masa lalu masih diterapkan kuat hingga sekarang. Ale si pemberontak menentang sebutan-sebutan yang hampir merujuk pada penggolongan kasta tersebut. Meski begitu, Ale tetap menghormati mereka yang lebih tua serta tidak ingin mendapat lebih banyak masalah, apalagi dari seorang profesor, jadi ia biarkan lidahnya menyebutkan kata beliau. "Prof. Nia hari ini tidak datang. Beliau sedang ke Jakarta untuk menghadiri seminar." Informasi yang didapat membuat Ale mendecak kesal dan Ajeng menunduk lesu. Ale merasa dongkol, karena sebelum datang kemari ia telah membuat janji dan profesor itu menyepakati. Kalau sudah begini, rasanya lebih baik ia bergabung bersama Aldi dan Galih yang masih bergelung dalam mimpi di kosnya. Pemuda itu mengacak-acak kepalanya ketika mendapati Ajeng juga menampakkan wajah kesal. Menurut kabar yang beredar, gadis itu memiliki alasan tertentu sehingga tidak menyukai Profesor Nia. Ah, dengan adanya kejadian ini pasti ketidaksukaan Ajeng pada profesor tersebut kian meningkat, atau bisa jadi kebencian gadis itu pada dirinya semakin menguat. Sial! "Ya, sudah. Terima kasih, Bu. Kami permisi," pamitnya. Wanita itu mengangguk tanpa membalas senyum Ale. Ajeng mendecak kesal, lalu berjalan mendahului Ale yang berkacak pinggang sambil mendesah pelan. Gadis itu benar-benar jengkel sekarang. Berjibaku dengan perasaan bersalahnya pada Ilham karena berani dibonceng cowok lain, menahan diri agar tidak memaki Ale yang mengendarai motornya secara ugal-ugalan, lalu setelah sampai di kampus Peleburan yang dituju pun tak dapat ditemui. Ini menyebalkan. Seharusnya ia masih bergulung di balik selimut tebal berwarna hijaunya, pergi ke kampus selepas dzuhur, bukan malah terjebak di kampus ini bersama Nalendra si pengganggu. Sampai di parkiran, Ajeng mengambil helm dari atas jok Mio hitam Ale dan langsung memakainya. Masih kentara kekesalan di wajahnya. Rasa tidak suka pada dosen yang satu itu semakin menjadi, dan anehnya, Ajeng tidak menyalahkan Ale sama sekali. Padahal kalau dipikir secara logika, Nalendra itu memiliki etiket yang sangat buruk, pasti menemui dosen saja ia tidak memahami tata caranya. Seharusnya, Ajeng semakin membenci Ale, 'kan? Lalu, ada apa dengan otaknya saat ini? Kenapa ia seolah memahami Ale atas kejadian ini? "Kamu ke kampus nggak?" Ajeng mendelik mendengar pertanyaan itu. "Bukannya kamu udah hafal jadwal kuliahku?" sinisnya. Ale terkekeh pelan, dan Ajeng baru menyadari bahwa pemuda itu terlihat tampan ketika wajahnya dihiasi tawa. Astaga! Aku mikir apa? Gadis itu berpaling ke arah lain, menghindari Ale yang menatapnya dengan intens. Matanya ... ya, ampun, aku nggak sanggup natap matanya kayak biasa. "Udah, yuk, kita balik ke atas." Ale memakai helm dan mulai menstarter Mimi kesayangannya. "Aku juga ada kelas jam satu." "Nggak nanya!" Ale terkekeh. Tidak pernah terbayang dalam benaknya bahwa suatu hari ia akan menyukai seorang gadis yang judesnya ampun-ampunan. Tipe idealnya sebelum bertemu Ajeng adalah seseorang yang ramah dan cennderung manja. Lihat kini, pemuda itu berjuang mendekati Ajeng, menyalip setiap kesempatan yang ada agar bisa lebih dekat mengenal gadis itu. "Eh," Ale belum juga menjalankan motornya, "aku makan dulu. Temenin, ya?" "Ogah!" "Ya, udah." Kemudian Ale memacu kendaraan roda duanya, membelah jalanan dari Peleburan menuju Tembalang yang memakan waktu sekitar lima belas menit dengan kecepatan normal. Sepanjang perjalanan, tak ada satu pun dari kedua sejoli itu yang bersuara. Ajeng terlalu enggan untuk beriteraksi dengan Ale secara intensif. Salah-salah otaknya semakin aneh dengan terus memikirkan perjaka itu. Sementara itu, Ale terlalu menikmati keberadaan Ajeng bersamanya di atas motor ini, motor yang menjadi saksi bisu perjuangannya sebagai seorang pelajar, sejak duduk di tingkat kedua sekolah menengah atas. Kalau Ajeng bisa ia dapatkan hatinya, Mimi tidak akan ia buang meski nanti sudah b****k dan tak bisa digunakan lagi. Dengan kata lain, Mimi menjadi saksi bisu kisah cintanya dengan Ajeng. Ketika berhenti di depan sebuah rumah makan yang terlihat kecil, Ajeng mengutuk Ale dalam hati. Jelas sekali kalau laki-laki itu suka memaksa. Sekarang apa yang harus Ajeng lakukan? Ikut makan? Atau hanya duduk dan memperhatikan Ale menyantap makan siangnya? "Ayo," ajak Ale sambil merapikan penampilannya setelah melepas jaket dan helm. Ajeng tidak punya pilihan selain mengikuti laki-laki itu. Gadis itu memilih duduk di meja yang menempel pada dinding. Ia tidak berminat untuk makan. Nasi yang menggunung, bercampur lauk-pauk di atas piring Ale melenyapkan nafsu makannya. Ajeng mengernyit, heran melihat Ale yang langsung makan tanpa menoleh lagi padanya. Melihat cara makan Ale yang tenang, tampak tak suka berbicara, Ajeng pun menarik kesimpulan bahwa seorang Nalendra akan diam kalau sudah berhadapan dengan makanan. Sambil memperhatikan Ale, gadis itu mengusap perutnya, mengasihani lambung si pemuda aneh yang dipaksa menampung makanan sebanyak itu. "Kamu nggak makan?" tanya Ale begitu makanan di atas piringnya habis. Hanya tersisa tulang ayam, lainnya bersih, menyebabkan Ajeng menelan ludah. Demi Tuhan, Ale memakan nasi sebanyak itu, tiga kali lipat lebih banyak daripada porsi makannya. Gadis muda itu menggeleng pelan, masih berada di antara rasa terkejut dan tak percaya. Seblak yang satu porsinya sedikit saja tidak pernah Ajeng habiskan. "Sori, ya, aku lapar banget, nggak sarapan dulu tadi." Dipikir aku sarapan apa! Ajeng diam, tak menggubris perkataan Ale. Sebenarnya ia tidak tahu harus berbuat apa. Ini pertama kalinya ia menemani seorang lelaki—selain Ilham dan Wira—dan Ajeng merasa ada yang tidak beres dengan otaknya. Bagaimana mungkin ia memikirkan masa depannya, melihat seorang laki-laki memakan masakannya dengan lahap di meja yang sama dengannya setiap hari, dan wajah yang muncul di benaknya adalah Nalendra Al-Ghifari? Kenapa tidak Ilham atau yang lain? Benar, memang ada yang tidak beres. "Jeng, aku mau nanya sesuatu sama kamu." *** Rita sedang berjalan pelan-pelan, menelusuri trotoar yang melewati Fakultas Hukum dan Fakultas Ilmu Budaya. Hari ini, dia sedang tidak ingin mengendari matic kesayangannya. Banyak hal yang ingin dia renungkan sambil berjalan. Kebetulan, tempatnya indekos hanya beberapa meter di belakang Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, yang biasa dikenal dengan FISIP. Beberapa waktu terakhir ini, Galih, mantan pacarnya, tidak berhenti menghubunginya. Meminta hal yang dia sendiri tidak tahu apakah bisa memberikan padanya atau tidak. Hal yang sebenarnya tidak pernah dia pikirkan lagi sejak lama. Kesempatan kedua. Rita tersenyum sinis ketika mengingat bagaimana Galih meminta dengan mudah hal tersebut. “Tolong, Ta. Gue nggak bisa kayak gini. Kasih gue kesempatan kedua. Gue sayang banget sama lo, Ta.” Waktu itu, Rita hanya diam. Tidak tahu harus merespons seperti apa. Tidak mau memberi respons juga, sebenarnya. Bagi cewek itu, urusan mereka sudah selesai ketika Galih membohonginya demi bisa pergi ke toko buku dengan sang mantan. Gara-gara Galih menghubunginya lagi, cewek itu sempat berpikir bahwa keputusannya salah. Tidak seharusnya dia memutuskan hubungan hanya karena satu kebohongan. Namun, lagi-lagi, otaknya berteriak bahwa itu sama sekali tidak salah. Memutus hubungan adalah keputusan yang sudah sangat tepat. Jika seseorang berbohong, hal tersebuut akan terus diulang. Rita tidak mau menjadi orang bodoh yang terus-terusan percaya pada berbagai alasan. Dia juga tidak mau menjadi cewek yang insecure ketika sang pacar pergi tanpa dirinya. Jika hubungan itu berlanjut, Rita takut dirinya akan menjadi pacar yang posesif. over-protective, dan menjadi lebih sering over-thinking. Hubungan harus dilandasi kepercayaan. Dia tidak mau sering bertengkar hanya karena saling tidak percaya. “Hei!” Panggilan seseorang membuat Rita terkejut bukan main. Melamun sambil berjalan efeknya luar biasa. Dia bahkan tidak menyadari seseorang sudah mengikutinya sejak tadi. Pun sudah melewati jalan pintas untuk menyeberang dari Fakultas Hukum ke Fakultas Ilmu Budaya. Cewek itu memilih untuk diam, tidak merespons sedikit pun. “Naik, yuk?” Rita masih tak acuh. Kakinya terus melangkah, kali ini dengan fokus penuh. “Ya udah, hati-hati. Gue tungguin di parkiran, ya.” Rita baru berhenti berjalan ketika orang itu pergi. menghela napas berat, dia bergumam dalam hati, “Jangan baik sama gue, Ga. Gue takut.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN