“Ada perkembangan, Le?” tanya Fatir sambil memantik api untuk membakar rokok yang diapit telunjuk dan jari tengahnya.
Ale menggeleng kuat. “Kagak ada. Tuh cewek juteknya ngalah-ngalahin adek gue. Parah!”
Ketiga temannya tertawa. Mereka pernah beberapa kali bertemu dengan adik perempuan Ale. Narin Ratu Gladis tidak pernah sekali pun menanggapi ocehan ketiganya, dan hanya menjawab ketika ditanya tanpa bertanya balik. Jadi, mereka bisa membayangkan bagaimana cewek incaran Ale menanggapi perjuangan cowok itu demi mendapatkannya.
Pohon-pohon mangga yang menaungi mereka dari sinar matahari menjadi saksi betapa tangguhnya Ale mendekati cewek bernama Ajeng itu. Di bawahnya, ada bangku panjang yang sangat nyaman untuk diduduki, apalagi dijadikan tempat menggoda mahasiswa baru yang menarik perhatian mereka.
Sebenarnya, ada mitos yang beredar di kalangan mahasiswa Departemen Sejarah; mahasiswa yang doyan nongkrong di bawah pohon mangga akan sulit untuk lulus tepat waktu. Paling tidak, lima tahun mereka baru bisa lulus. Mitos adalah cerita sejarah yang kredibilitasnya patut dipertanyakan. Jadi, mau percaya atau tidak, kembali pada pribadi masing-masing.
Ale, Galih, Aldi, dan Fatir memilih untuk tidak percaya. Bagi mereka, cepat atau lambatnya kelulusan seseorang tidak ditentukan oleh tempat nongkrong. Selama rajin kuliah, nurut apa kata dosen, dan tentunya punya kemauan, pasti bisa lulus tepat waktu. Sayangnya, para pemegang kepercayaan tersebut tak memiliki satu pun dari tiga kriteria tadi. Hanya Fatir yang lebih baik. Meski tidak begitu rajin, ia punya kemauan dan nurut pada dosen. Pun pintar.
Mau bagaimana lagi? Tempat ini sudah menjadi kesayangan mereka sejak menjadi mahasiswa baru. Tidak mungkin mereka berlari ketakutan dan pindah tongkrongan hanya karena sebuah mitos. lagi pula, nongkrong di sini murah. Cukup membeli gorengan seharga seribu rupiah, atau camilan-camilan lain yang juga tidak kalah murah. Makanan berat seperti soto, gado-gado, lontong sayur, dan pecel pun tergolong murah untuk ukuran kantin salah satu universitas besar di Indonesia.
“Udah punya cowok, kali,” celetuk Aldi.
“Kagak!” Ale membantah dengan cepat. “Gue nggak pernah lihat dia jalan sama cowok.”
“Iya juga, ya? Ajeng, kan, kata lu lebih jutek dari dedek Arin. Nggak mungkin ada cowok yang tahan jadi pacarnya.” Galih menimpali sambil cengar-cengir.
“Jangan salah, Gal. Ada, kok, yang demen banget sama dia.”
Galih mengangkat alis sebelah, meminta penjelasan atas ucapan Aldi barusan.
“Nih,” Aldi menepuk bahu Ale, “kembaran lu ini, kan, cinta mati sama tuh cewek.”
Gelak tawa selalu menjadi bumbu penyedap dalam pertemanan yang sudah terjalin seama hampir tiga tahun tersebut. Mereka sudah saling memahami satu sama lain, sehingga tidak ada yang tersinggung setiap kali melontarkan candaan.
Ale menepis tangan Aldi yang masih bertengger di bahunya. Dia sama sekali tidak tersinggung. Meski tidak tahu apakah perasaannya ini benar cinta mati atau sekadar suka, dia tidak mau menampiknya. Mungkin, yang dimilikinya untuk cewek bernama Ajeng itu bisa dia simpulkan; sangat suka.
Empat s*****n itu langsung terdiam ketika beberapa saat kemudian, cewek yang menjadi topik pembicaraan mereka datang. Cewek itu, Ajeng, Mengenakan kemeja berwarna merah muda. Berjalan santai dengan beberapa buku tebal di tangannya, cewek itu berhasil memukau Ale dan kawanannya.
Sungguh. Bukan hanya Ale yang terpesona oleh kecantikan Ajeng. Ketiga temannya juga mengakui itu. Alis tebalnya tidak tampak seperti lukisan pensil andalan para wanita. Tinggi badannya yang sedikit di atas rata-rata perempuan Indonesia menjadi daya tarik tersendiri. Apalagi, cekungan matanya menimbulkan kesan tajam kala menatap.
Rambut hitam yang dibiarkannya tergerai menjadi poin paling penting bagi Ale. Entah bagaimana caranya, Ale sangat ingin merasakan kelembutannya. Duh, gumam cowok itu, elus-elus rambutnya tiap hari kalau dia jadi cewek gue mah.
Jiwa pejuang cowok itu pun segera muncul ke permukaan ketika sadar bahwa buku yang dibawa Ajeng sangatlah tebal. Tampilan luarnya pun sangat familier. Membuatnya bangkit seketika, untuk menghampiri sang pujaan hati dan merebut hatinya. Maksudnya, merebut buku-buku tebal itu dari tangan Ajeng. Barangkali, cewek itu luluh dan bersedia memercayakan hatinya pada Ale.
“Halo, Cantik!” Ale berlari-lari kecil menghampiri Ajeng. “Mau ke perpus, ya?”
Ajeng berhenti pada undakan ketiga dari bawah. Cewek itu mendelik pada Ale sejenak, lalu kembali berjalan. Sebenarnya, dalam hati dia sudah mengucapkan sumpah serapah. Ingin sekali rasanya menjalani hari-hari di kampus tanpa mendapatkan gangguan dari orang lain, terutama cowok bernama Ale ini.
Ale sudah terbiasa mendapatkan perlakuan dingin dari Ajeng. Bahkan terkadang, dia digalaki. Tetapi yang namanya Ale sudah bertekad, tidak ada yang bisa menghalanginya. Sungguh. Tidak ditanggapi Ajeng tidak lagi menyebalkan. Dia biasa-biasa saja. Ale juga mengerti bahwa setiap usaha tidak ada yang membuahkan hasil secara instan.
“Tebel-tebel gitu bukunya. Sini, aku bantu bawa.” Ale bergerak mengambil alih buku-buku tersebut dari tangan Ajeng. Akan tetapi, cewek itu segera menghindar, agar menjauhkan tangannya dari jangkauan Ale.
Buku wajib mahasiswa Sejarah ini memang tebal dan berat, tapi bagi Ajeng, lebih baik membawanya sendirian daripada memberi celah pada Ale untuk mendekatinya. Lagi pula, tangannya masih sanggup untuk membawa beberapa buku tebal lagi. Cewek itu yakin jika membiarkan Ale membantu, sama saja dengan menyalakan lampu hijau supaya cowok menyebalkan itu semakin gencar melajukan aksi. Intinya, Ajeng tidak suka pada Ale.
Ajeng mengeratkan pegangan. “Nggak perlu!” ketusnya.
“Ih, nggak usah malu-malu gitu, kali.” Ale tersenyum, menggoda Ajeng dengan menaik-turunkan alis. “Udah, sini, biar kang mas aja yang bawa.”
Wajah Ajeng sudah mulai memerah, berusaha menahan amarah. Ale yang selalu mengganggunya benar-benar menyebalkan. Sebentar saja mereka berhadapan, sudah membuat cewek itu tidak mampu mengendalikan emosi. Rasanya selalu ingin marah-marah.
Ale tersenyum puas ketika Ajeng secara tiba-tiba melepaskan pegangannya. Dia pikir, cewek pujaannya itu sudah menyerah dan mau membiarkan dirinya membantu. Namun, yang tidak dia ketahui, seorang dosen dengan gaya khasnya berdiri sambil berkacak pinggang. Laki-laki paruh baya itu sedang memperhatikan gerak-geriknya.
Ale berbalik kegirangan. Gila! Ini pertama kalinya Ajeng nyerah, njir! pekiknya dalam hati. Ini merupakan pertama kalinya Ajeng menyerah pada rayuannya. Sudah berbulan-bulan Ale berusaha mendekati Ajeng, melakukan apa pun agar cewek itu mau memberi saja sedikit celah padanya untuk berdekatan.
Namun, malang tak dapat dihalang. Pekikan gembira di hatinya hanya berlangsung sesaat. Tubuhnya membeku, sedangkan pandangannya mendadak buram. Saat berhasil berbalik, dia melihat sesorang yang menurutnya sangat menyebalkan sedang memperhatikannya. Sungguh. Ale tidak mengada-ada. Laki-laki yang berdiri dan menatapnya garang tersebut memang selalu membuatnya meriang ketakutan.
Cowok itu mendadak bisu. Mukanya pucat pasi. Tenggorokannya kering. Diam-diam, dia berharap agar yang berdiri di sana, di depan sekre himpunan sambil berkacak pinggang itu bukanlah pak Karni. Namun, Ale terlalu mengenal tatapan itu; garang nan menyeramkan!
Pantesan, njir, Ajeng nyerah gitu aja, umpat Ale. Cewe itu mepunyai citra sebagai mahasiswa terbaik dan teladan. Paling pintar sejurusan, pula. Dia bahkan tidak pernah terlibat masalah dengan dosen, kecuali terlambat. Itu pun hanya satu kali, menurut info yang dia korek dari orang-orang di sekelilingnya. Waktu itu ... ketika dia untuk pertama kalinya melihat bidadari tersebut.
“Saya memanggil nama kamu di kelas, mencari-cari kamu, dan ternyata malah menggoda anak perempuan. Kemari, Nalendra!” Hardikan pak Karni membuat nyalinya tambah menciut.
Tidak ada mahasiswa yang berani membantah Karni Sukarni, dosen paling galak sedepartemen. Selain itu, mood swing-nya juga menjadi momok bagi para mahasiswa. Sebagian besar dari mereka memilih untuk menjadi penurut. Terlalu riskan jika harus berhadapan dengannya.
“Tiga menit kamu tidak ada di kelas, Metodologi Sejarah kamu akan saya kasih E.”
Setelah itu, pak Karni meninggalkan Ale bersama rasa bimbangnya.
Cowok itu tidak pernah peduli pada perolehan nilai di kartu hasil studi selama indeks prestasi kumulatifnya berada di atas angka tiga. A, B, atau bahkan C tidak menjadi soal sama sekali. Namun, E sangatlah keterlaluan. Dia tidak ingin mengulang dan terus-menerus berada di kelas pak Karni. Cukup satu semester saja ia bertatap muka di kelas dengan dosen galak itu.
Ale menatap nanar buku-buku SNI—Sejarah Nasional Indonesia—di tangannya, lalu menoleh ke arah Ajeng. Cewek itu memandangnya dengan jenaka, merasa terhibur menyaksikan Ale mati kutu di hadapan dosen.
Ale mengalami konflik batin yang sangat hebat!
Mana yang harus Ale pilih sekarang? Masuk kelas agar lepas dari ancaman huruf E dan kehilangan kesempatan bersama Ajeng, atau tetap mengantar perempuan itu ke perpustakaan yang jelas-jelas akan membuatnya mengulang tahun depan?
Menengok ke arah teman-temannya nongkrong di bawah pohon mangga, Ale tidak menemukan mereka di sana. Ale menggerutu dalam hati. Dia yakin teman-temannya sengaja meninggalkannya sendiri, dan sudah melihat dosen tersebut dari kejauhan, lalu memilih untuk menyelamatkan diri masing-masing.
Melirik lagi pada Ajeng, cewek itu masih memandangnya dengan tatapan yang sama, dan Ale ingin berteriak saking kesalnya. Tapi tidak berani. Dia takut usahanya akan sia-sia jika meluapkan kekesalan pada sang pujaan hati.