Ale menyesal. Dia berpikir, seharusnya dia tidak menghiraukan ancaman Pak Karni dan tetap membawakan buku Ajeng, lalu mengantar cewek itu ke perpustakaan. Kalau itu dia lakukan, setidaknya, mukanya bisa diselamatkan dari bencana memalukan seperti ini.
Dia memang bukan tipe cowok yang memikirkan pendapat orang-orang, apalagi ejekan dosen galak nan sinis ini. Namun, dia benar-benar tidak suka caranya! Seandainya dia mengetahui ini akan terjadi, menjadi bahan ejekan Pak Karni, Ale tidak akan peduli meski mendapat nilai buruk sekalipun.
“Saya perhatikan, Nalendra dan Ajeng itu punya keyakinan yang sama.”
Ale bergeming meski dalam hati sudah ribut menyumpah-serapahi dosen tersebut.
“Nalendra sangat yakin mau dengan Ajeng. Ajeng pun sangat yakin tidak mau.”
Garing, njir! respons Ale. Dalam hati, tentu saja. Kewarasannya masih cukup terkontrol untuk tidak mempermalukan dirinya—lebih dari yang Pak Karni lakukan.
Namun, tawa tetap membahana. Teman-teman sekelasnya pasti sangat terhibur. Atau bisa jadi menurut Ale, mereka tertawa hanya karena takut menjadi sasaran berikutnya. Pak Karni tidak akan segan-segan untuk menandai mahasiswa yang berlaku tidak sesuai standarnya, termasuk itu tertawa pada setiap candaan yang dilontarkan.
Harga diri aing, njir!
Ale tidak malu. Sungguh. Hanya saja, di kelas ini ada mantan pacarnya. Dia tidak ingin menyakiti cewek itu dengan segala lelucon Pak Karni tentang dirinya dan Ajeng (Ale memang seyakin itu; mantannya masih mempunyai rasa dan menaruh perhatian padanya). Bukan hanya keyakinan Ale saja, karena cewek itu sudah sering mengajaknya balikan. Katanya, berpisah dengan Ale membuat hidupnya terasa hambar, dan menginginkan kesempatan kedua. Padahal, Ale tahu, mantannya itu baru diputuskan ketika mengajaknya balikan. Mana mungkin Ale mau kembali hanya demi menjadi pelarian.
Setelah puas menertawai Ale, pak Karni kembali menjelaskan bahwa dengan bantuan konsep sosiologi, dimensi sosial gejala sejarah dapat diungkap. Ale melewatkan penjelasan mengenai bagaimana sejarah menyediakan bukti-bukti yang sebetulnya sangat diperlukan bagi ilmuwan lain untuk menjelaskan kondisi saat ini. Dia hanya memikirkan cara agar bisa keluar dan melancarkan serangan fajar untuk mendekati Ajeng, membuat cewek yang menurutnya kurang ramah itu—kalau tidak bisa dikatakan judes—bertekuk lutut kepadanya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Ale melesat keluar dari ruangan B1.2 ketika pak Karni mengakhiri ceramah. Kaki-kaki panjangnya menaiki satu per satu anak tangga dengan cepat sembari berharap Ajeng masih berada di perpustakaan. Kalau cewek itu sudah pergi, Ale berniat akan semakin membenci dosen itu. Seandainya masih ada, dia tidak akan mengurangi kadar kebenciannya, karena sudah terlanjur mengakar sejak masih mahasiswa baru.
Sampai di ujung tangga lantai tiga, Ale ngos-ngosan. Paru-parunya menyempit. Cowok itu berhenti sejenak sambil menarik napas dalam-dalam. Dia berdoa dalam hati, agar perjuangannya kali ini tidak sia-sia. Baginya, jangankan naik tangga dari lantai satu ke lantai tiga, naik-naik ke puncak gunung pun akan Ale lakukan jika hati Ajeng yang menjadi imbalannya.
Setelah merasa pasokan udara cukup ia dapatkan, Ale mulai berjalan ke arah kiri, tempat perpustakaan berada. Cowok itu tersenyum begitu melihat sang pujaan hati sedang fokus membaca.
Cantik banget, njir, pekiknya dalam hati. Ajeng sama kacamata jodoh banget dah ah. Eh, sama gue ajalah, jodohnya.
Sungguh. Bagi Ale, pesona cewek itu bertambah berkali-kali lipat kalau sedang serius. Plus kacamata bulat yang agak sedikit kebesaran untuk ukuran wajahnya yang kecil. Seolah-olah sifatnya yang judes—selalu judes terhadapnya—sama sekali tidak pernah merekat.
Ale masuk tanpa mengisi buku tamu atau menyimpan tas terlebih dahulu. Orang-orang sudah tahu bahwa dia bersahabat dengan pak Joni, penjaga perpustakaan ini. Dia diperlakukan spesial; tidak didenda ketika terlambat mengembalikan buku, tidak dimarahi jika melanggar peraturan perpustakaan, dan selalu menjadi yang pertama mendapatkan buku untuk mengerjakan tugas. Padahal, masuk ke perpustakaan pun langka. Sebagian dari mereka iri, sisanya lagi tidak peduli.
Cowok asal Bandung itu duduk di samping Ajeng setelah mengusir junior yang tidak dikenalnya. Dia sama sekali tidak peduli jika dianggap melanggengkan senioritas di kampus. Satu-satunya yang dipedulikan Ale saat ini adalah cewek berambut panjang yang sedang membaca itu.
Ale menyangga kepalanya dengan tangan sebelah kanan, miring menghadap Ajeng. Senyuman teramat lebar pun tersungging.
Beberapa saat kemudian, Ale bergidik ngeri ketika mengintip bacaan Ajeng. Melalui gaya bahasanya, dia tahu buku itu berjudul Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Dia pernah membaca salah satu karya sang legenda, dan cukup satu itu saja, karena ia bukan orang yang pandai membaca sastra. Baginya, tulisan-tulisan Pram sulit dicerna. Membutuhkan pikiran yang tenang dan minat yang tinggi untuk membacanya. Lagi pula, Ale bukan pecinta n****+, sekalipun n****+ tersbeut dianggap mengandung fakta sejarah.
“Hei, Cantik.”
Ale mulai beraksi.
Ajeng paling tidak suka kegiatan membacanya diganggu. Dia bisa sangat menyeramkan pada orang yang mengganggunya. Namun, cewek itu memilih pura-pura tak menyadari kehadiran Ale. Melayani keisengannya hanya akan membuat hari ini berakhir buruk. Sudah susah payah dia memperbaiki suasana hatinya yang sempat memburuk beberapa jam lalu. Dia tidak itu kembali terjadi, dan penyebabnya adalah orang yang sama.
“Serius amat, sih.”
Ajeng tetap diam. Dia bukannya tidak tahu maksud Ale terus mengganggunya selama lima bulan terakhir. Cewek itu paham betul, mengingat dirinya bukan lagi remaja ingusan nan polos yang tidak tahu apa-apa.
Sebenarnya, itulah yang membuatnya selalu merasa terganggu. Karena Ajeng tidak bisa dan tidak mau menyediakan ruang untuk siapa pun memasuki hatinya .
“Neng Ajeng,” panggil Ale.
Ajeng mendesah kesal, tapi tetap pada pendiriannya untuk mengabaikan Ale.
“Nggak pengin lihat cowok ganteng, nih?”
Cewek itu mendelik, mengirim sinyal kamu-mati-kalau-terus-ganggu.
Orang lain—terutama sahabat-sahabatnya—akan menjauh jika ekspresi Ajeng sudah kentara sekali kesalnya, tapi Ale tetap pada posisi. Senyum pun tak lepas dari wajahnya. Ale memang bebal. Atau memang ekspresi galak Ajeng kurang menakutkan bagi pemuda itu.
“Cantik, ih. Nengok sini, coba.”
Ajeng sudah tidak tahan. Dia pun menutup buku agak kasar, lalu menatap Ale dengan tajam. “Diam, bisa?”
“Nggak bisa,” jawab Ale cepat. “Kalau di deket kamu tuh bawaannya pengin bersyair terus.”
Syair nenekmu! Ajeng menjerit dalam hati. Cewek itu berpikir, bagaimana mungkin seseorang dapat memiliki energi sangat banyak untuk mengganggunya? Memangya tidak banyak tugas? Seingatnya, di semester ini banyak sekali tugas dan laporan yang harus dikerjakan. Apalagi, ada dua mata kuliah yang membutuhkan usaha dari segi otak, waktu, bahkan tenaga. Tapi kenapa cowok ini malah terus-terusan mengikutinya?
Kekesalan cewek itu bertambah ketika Ale memasang ekspresi merana yang dibuat-buat. Sungguh, Ajeng rasanya ingin menampar cowok di hadapannya ini. Tapi dia tidak mempunyai keberanian untuk melakukan k*******n, sekalipun untuk melindungi privasinya.
“Kamu sinis banget, sih, Cantik.”
Ajeng dongkol maksimal. Dia bosan menghadapi kekonyolan cowok itu. Sungguh. Tidak pernah satu detik pun dia merasa nyaman berdekatan dengan Ale.
Setelah menghela napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan, cewek itu memutuskan untuk bangkit. Buku-buku dia bereskan. Berhenti sejenak, Ajeng kepikiran untuk meminjam Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer tersebut, agar dibaca di rumah saja. Namun, itu sama saja dengan memberi ruang kepada Ale lebih lama untuk terus menggodanya. Alhasil, buku tersebut dia biarkan di meja. Kemudian berlalu.
Ajeng ingin berlalu dari hadapan cowok bernama Nalendra tersebut. Benar-benar membutuhkan ruang privasi yang tidak ada Ale di dalamnya. Sebebnarnya, beberapa kali dia berpikiran untuk melaporkannya ke Kepala Departemen Sejarah dengan tuduhan perbuatan tidak menyenangkan. Namun, urung. Dia tidak yakin akan ada yang mengerti persoalan dalam ranah privasi seperti ini.
Tadinya, Ale berniat mengikuti Ajeng lagi. Tidak sah rasanya kalau belum mengganggu cewek itu sampai titik terendah mood-nya. Namun, niat itu segera dia urungkan. Nanti, akan tiba waktunya Ajeng membiarkan Ale masuk ke kehidupannya. Ale yakin, momen-momen terbaik akan datang di saat yang tepat. Ale sangat mempercayai itu. Lalu, ketika kesempatan itu terjadi, Ale akan menjadi orang paling bahagia yang penah hidup di bumi manusia.
Ini belum seberapa, Cantik, gumamnya dalam hati. Tentu saja. Ale tidak akan mudah menyerah, apalagi hanya karena Ajeng menolak berbicara padanya. Dalam benak Ale sudah banyak rencana yang dapat membantunya melakukan pendekatan.