Tenaganya menanjak seratus persen begitu tiba di kampus. Cowok itu berlari sangat cepat demi melewati parkiran motor mahasiswa yang penuh, mengabaikan kemarahan orang-orang yang dia tabrak.
Mimi, motor kesayangannya, dipinjam Galih semalam. Sahabatnya itu pulang lewat tengah malam, sedangkan Ale terlalu malas untuk bercengkerama dengan anginnya. Alhasil, pagi ini dia terlambat karena Galih telat mengabari keadaan Mimi-nya. Mimi mogok!
Sialnya, meski tenaga sudah dikerahkan sepenuhnya, pintu sudah tertutup rapat ketika dia sampai di sana dengan napas terengah-engah. Kurang s**l apa lagi, gue?
Ale menenangkan diri sejenak; menormalkan detak jantung serta pernapasan agar kembali normal, meraup udara sebanyak-banyaknya melalui mulut dan hidung. Selain itu, dia juga menyiapkan mental, mencoba membesarkan hati untuk menerima hukuman yang akan diberikan oleh sang pengajar. Setelah merasa dirinya cukup siap, Ale mengetuk pintu tiga kali, lalu membukanya.
Keramaian yang terjadi di dalam ruangan kedap suara tersebut pun terdengar bersamaan dengan melebarnya pintu yang dia buka, dan langsung berhenti begitu orang-orang menyadari kehadirannya. Mereka diam, memaku tatapan hanya pada Ale yang cengar-cengir sambil menggaruk kepala bagian belakang. s**l, umpatnya, kenapa harus telat, sih?
Ale masuk dengan langkah perlahan. “Maaf, Pak. Saya kesiangan.”
Alasan klise yang sangat bodoh. Jika pintar, Ale tidak akan mengucapkan excuse tersebut. Bukan simpati dan pengampunan yang akan dia dapat, melainkan pengusiran!
“Silakan tutup pintunya dari luar.”
“Tapi, Pak, saya cuma telat lima ... belas menit.”
Bego! Ini mah telat banget, Pea, umpatnya dalam hati.
“Perjanjian di awal, kalian boleh terlambat berapa menit, Mikyal?”
Ale melirik mahasiswa bernama Mikyal tersebut, mencoba memberi sinyal agar cewek itu mengerti dan mau sedikit berbohong. Setidaknya ... mungkin ... siapa tahu saja .... Ale menggeram dalam hati. Lu pikir, lu bisa ngebegoin Pak Sam? pikirnya. Dia benar-benar merana.
“Sepuluh menit, Pak.”
“Nah, Nalendra. Silakan tutup pintunya dari luar.”
Ale mendunduk lesu. Bukan. Dia begitu bukan karena sangat menyukai mata kuliah ini, lantas bermuram durja sebab tidak bisa mengikutinya. Cowok itu hanya bersedih karena kesempatannya mendapatkan nilai A hanya dengan kehadiran sebanyak 75%, kandas! Minggu kemarin kesempatan terakhirnya menikmati bolos tanpa memengaruhi nilai.
Sial! Dia sangat geram. Tidak ada yang bisa dia lakukan lagi. Siap-siap jatah bulanan Aing dipotong ieu mah euy.
Seorang cewek kemudian mengambil alih perhatian ketika Ale berbalik untuk keluar. Wajah ayu khas cewek Jawa menarik lepas jiwa Ale dari raganya. Bak bidadari turun dari kayangan, parasnya menyilaukan netra Ale yang berwarna cokelat kehitam-hitaman. Genderang di dadanya seolah ditabuh dengan keras, sekaligus mengalirkan desiran hangat yang memacu adrenalin.
Bisik-bisik di antara teman sekelas pun tidak dia hiraukan. Jiwa dan raganya hanya terfokus pada Dewi Kecantikan yang berdiri di ambang pintu. Sementara jantung berdentam tak karuan, kepala melontarkan tanya akan sebuah nama. Dia yakin cewek itu selalu berada di sekitarnya, tapi mengapa baru kali ini menyita seluruh perhatiannya? Kenapa cewek secantik peri itu tidak pernah unjuk diri?
“Nilakandi dan Nalendra, silakan keluar.”
Nilakandi. Ale mencatat nama tersebut, menjejakkannya di kepala, lalu mematri dalam hati.