Suara sneaker yang beradu dengan lantai gedung memecah keheningan. Cewek itu berlari dari parkiran menuju kelas, karena ia terlambat mengikuti kelas. Kejadian yang sangat langka, sebenarnya. Selama menyandang status sebagai mahasiswa, Ajeng terlambat datang ke kampus bisa dihitung dengan jari. Orang tuanya tidak pernah membiarkan ia bergelung dengan selimut terlebih dahulu ketika bangun. Harus langsung bangkit dan mengerjakan kewajibann; salat subuh, merapikan kamar, menyapu rumah, dan mencuci pakaiannya sendiri. Sekalipun kelasnya siang, atau sedang dalam masa haid, Ajeng tidak pernah bangun terlalu siang. Pukul enam adalah batas toleransi dari orang tuanya, terutama sang ibu.
Ia bernapas lega begitu sampai di ruangan. Sepertinya, Dewi Keberuntungan sedang berpihak padanya. Bu Marni sang dosen pengampu belum kelihatan batang hidungnya. Artinya, Ajeng masih memiliki waktu untuk bernapas dan meredakan detak jantungnya yang sejak tadi berpacu begitu cepat. Pengalaman terlambat yang terakhir kali dialami membawanya pada petaka. Ajeng menyebutnya petaka, karena akibat dari keterlambatan itu adalah gangguan yang selalu dia dapatkan setiap hari. Gangguan dari cowok bernama Nalendra Al-Ghifari.
Ketika membuka pintu kelas lebar-lebar, Ajeng dapat merasakan ada yang tidak beres. Mahasiswa yang hadir hari ini kelihatan lebih banyak dari jumlah mahasiswa di kelasnya. Mahasiswa di kelas A tidak lepas dari ribut-ribut, tapi dengan jumlah yang dua kali lipat ini, suasana dalam ruangan terasa sangat menyesakkan baginya. Mereka ada yang bergosip, memainkan ponsel, dan sebagian lainnya tertidur.
Seharusnya ia merasa senang, karena dosen belum datang. Akan tetapi, kondisi ini membuatnya mau tak mau harus menelan pil pahit. Apalagi, ketika masuk, dia menyadari bahwa ada penggabungan kelas. Parahnya, kelasnya digabung dengan kelas si pengganggu.
Sambil menahan rasa tidak suka, cewek itu mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kelas, mencari kursi yang belum diduduki. Namun, mood yang sudah buruk harus bertambah buruk netranya bersitatap dengan tatapan jenaka milik Ale. Ajeng sebenarnya takut akan mendapat masalah dalam mata kuliah yang diampu oleh bu Marni ini. Sepengetahuan Ajeng, bu Marni sering disebut sebagai pak Karni versi perempuan. Bermasalah sedikit saja, namanya akan berada dalam daftar hitam dosen tersebut. Ke depannya, ia akan sulit untuk meraih nilai bagus.
Cewek itu sempat berpikir untu berbalik dan membolos saja, tetapi kemudian nuraninya tidak membenarkan hal itu. Hanya karena seorang Nalendra Al-Ghifari yang selengean dan tukang mengganggu, ia sampai hati melewatkan kelas ini? Tidak, itu tidak boleh terjadi. Apa hebatnya si tukang rusuh itu hingga memengaruhi kecintaan Ajeng pada mata kuliah Sejarah Terapan?
Ajeng sudah memutuskan. Ia akan mengambil risiko apa pun, kecuali bolos. Langkah beratnya membawa cewek itu ke tempat duduk di paling depan. Biasanya, ia akan memilih kursi paling belakang, tapi berhubung sekarang di sana ada Ale, lebih baik duduk di depan saja. Ajeng tidak ingin dekat-dekat dengan si pembuat onar itu.
Setelah meletakkan tas di bawah kursi, Ajeng mengitarkan pandangannya. Banyak wajah-wajah asing di kelas ini. Ajeng mengangkat bahu tak peduli. Penggabungan kelas bukan hal langka, apalagi bagi mata kuliah yang diampu oleh Bu Marni. Amat sangat wajar mengingat wanita paruh baya itu adalah dosen paling sibuk sedepartemen, bahkan mungkin sefakultas. Mudah baginya untuk membuat alasan agar beberapa kelas digabung.
Ajeng mengambil ponsel di tas, membuka aplikasi w******p untuk memastikan apakah Ilham menghubunginya atau tidak. Perempuan berambut panjang itu mendesah kasar. Sudah tujuh bulan sejak mereka menjalin hubungan, seharusnya Ajeng mengerti kalau kekasihnya itu takkan menghubungi selain malam hari dan weekend.
Ajeng kembali menyimpan ponselnya. Ini namanya long distance relationship antarfakultas rasa antarprovinsi, gumamnya dalam hati. Nasib mempuyai pacar seorang mahasiswa teknik memang begini. Pacaran rasa jones alias jomblo ngenes, biasa Rita (sahabatnya) menyebut seperti itu.
Perempuan penyuka n****+ itu mendengkus kasar saat melihat Ale sedang tertawa bersama teman-temannya. Ia berpikir keras, bagaimana caranya agar Ale menyingkir dan berhenti mengganggu? Bagaimanapun, dirinya rindu menjalani hari-hari yang biasa dilalui tanpa gangguan. Tenang. Damai.
Perpustakaan yang selalu tenang berubah menjadi neraka. Kata teman-temannya, sebelum ini, cowok itu tak pernah mengunjungi perpustakaan. Namun, beberapa bulan terakhir, selalu ada Ale setiap kali Ajeng ke sana. Kantin yang semula merupakan tempat makan favoritnya pun kini menjadi momok paling menakutkan, karena Ale akan berada di sana setiap jam makan siang tiba.
Beberapa menit kemudian, Bu Marni masuk dan memulai ceramahnya. Materi hari ini tidak ada yang Ajeng lewatkan, karena sejatinya, Ajeng adalah seorang penggemar Sejarah Terapan. Ya, Ajeng sangat senang belajar materi ini, tetapi berita penutup yang disampaikan oleh Bu Marni membuat Ajeng harus berpikir ulang mengenai kesenangannya itu.
“Mulai hari ini sampai semester enam berakhir, Kelas A dan B tetap digabung.” Penutup mata kuliah yang memiliki beban tiga SKS itu telah membuat Ajeng tak lagi memiliki semangat belajar.
Memang benar Ajeng harus bisa mengesampingkan segala hal yang dianggap mengganggu demi prestasi, tapi pengganggu ini adalah Nalendra Al-Ghifari yang pantang mundur kalau sudah merecoki Ajeng. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Membolos setiap hari? Tentu saja, Ajeng akan menjawab tidak dengan lantang dan tanpa ragu. Melakukan hal itu sama saja dengan Ajeng melemparkan diri pada ayahnya agar dikirim ke Bandung, lalu kembali menjadi mahasiswa baru di salah satu universitas di sana.
Sebelum resmi menjadi mahasiswa di jurusan tersebut, Ajeng sempat ditanya oleh sang ayah apakah keputusannya sudah bulat. Kedua orang tua Ajeng menginginkan putrinya menjadi seorang guru. Ibunya lulusan salah satu universitas keguruan negeri di Bandung. Ajeng sempat diminta untuk ikut tes di sana, tetapi dia menolak. Cewek itu ingin mempelajari sejarah secara utuh. Secara murni, tanpa kekangan kurikulum. Banyak hal yang menurutnya disembunyikan. Terlalu banyak peristiwa yang dibiarkan dalam kegelapan, tanpa satu pun masyarakat bisa mengaksesnya secara penuh. Dia iri pada negara-negara Barat yang begitu mengapresiasi sejarah.
***
Ajeng buru-buru keluar ketika bu Marni selesai mengajar. Tujuannya hanya satu, yaitu menghindari seorang Nalendra.
“Ajeng!” Ale berteriak sambil buru-buru menyusul Ajeng yang sudah keluar terlebih dahulu.
Sementara itu, Ajeng hanya bisa mempercepat langkahnya. Menaiki tangga dengan cepat, napasnya ngos-ngosan begitu sampai di lantai tiga. Tujuan cewek itu adalah perpustakaan, Naura dan Rita—teman-teman dekatnya—sudah menunggu di sana. Ale sebenarnya bisa mengganggunya di hadapan siapa pun. Kali ini, Ajeng hanya mencari peruntungan dengan berharap, semoga Nalendra tidak menganggunya sampai ke perpustakaan.
Melihat Ajeng datang dengan dahi bercucuran keringat membuat Naura dan Rita menggeleng pelan. Sejak beberapa bulan terakhir, sahabat mereka itu memang memiliki hobi baru, yaitu melarikan diri. Tentu saja, lari dari kerjaran cowok pengganggu yang merusak ketenteraman seorang Nilakandi.
Begitu sampai di hadapan kedua sahabatnya, Ajeng mendesah lega. Tubuhnya yang bercucuran keringan pun diterpa air conditioner. Kemudian, ia menyadari bahwa Naura dan Rita telah memusatkan perhatian padanya, dan mengabaikan buku yang sedang mereka baca.
“Ale lagi?” tanya Naura. Ekspresi di wajahnya seolah mengatakan bahwa ia turut prihatin.
Ajeng mengangguk lemah.
“Dia kayaknya suka beneran sama kamu,” timpal Rita.
“Iya, suka.” Ajeng menimpali dengan santai, terkesan malas. “Suka ganggu aku.”
Meski begitu, Naura dan Rita dapat merasakan ketidaksukaan Ajeng yang begitu besar pada Ale.
“Ha ha ha, sabar, Mbak Bro. Anggap aja dia sasaeng fan.” Celetukan Rita membuat Naura dan Ajeng dengan serta-merta menatapnya penuh rasa penasaran.
“Apaan, tuh?” Naura bertanya sambil menyipitkan mata.
Kalau Rita sudah berbicara dalam bahasa asing selain bahasa Inggris, dapat dipastikan itu adalah Bahasa Korea. Naura dan Ajeng tak mungkin mengerti, tahu Girls’ Generation saja gara-gara dipaksa oleh Rita untuk menonton video klip terbaru mereka.
“Penggemar fanatik yang parah banget pokoknya. Suka ngintilin ke mana-mana, lebih parah dari paparazzi,” jawab Rita.
“Buset, paparazzi aja udah nyeremin gitu, ya,” timpal Naura.
Lalu, Rita berlanjut menceritakan segala peristiwa yang menimpa idolanya pada Naura. Meski Naura tidak tertarik, Rita tak peduli dan terus berbicara. Hal itu membuat Ajeng tertawa.
Tawa cewek itu tak lepas dari pengawasan mata elang milik Ale. Tadinya, Ale akan menghampiri Ajeng dan mengganggu cewek itu. Namun, melihat wajah sang pujaan begitu ramah ketika mengobrol dengan teman-temannya, cowok itu memutuskan untuk berdiri di pintu. Memperhatikan tawa Ajeng diam-diam dan merekamnya dalam benak.
Selain membaca, ternyata Rita dan Naura juga bisa menghilangkan sifat judes Ajeng. Tawa dan berbagai ekspresi yang ditunjukkannya, membuat Ale semakin terperosok jauh ke dalam pesona Nilakandi Ajeng Kiani. Membawanya pada angan indah yang entah kapan akan terealisasi.
Ale berandai-andai. Seandainya, tawa itu ditunjukkan ketika ia menggodanya.