Aydan menunduk menatap jam di pergelangan tangannya,sudah sangat terlambat untuk menghadiri acara pernikahan sepupunya yang ada disekitar sini,sebenarnya sangat dekat hanya saja Aydan agak kesiangan gara-gara matanya baru terpejam sehabis subuh,sengaja memilih bermalam di hotel daripada berkumpul dengan keluarga yang lain.
“Mudah-mudahan engga ada yang nyariin atau sadar aku belum ada disana,” gumamnya sambil berlari kecil ke ballroom,dari kejauhan suara nasheed yang di putar menggema.
Ya,bukan musik tapi Nasheed. Keluarganya termasuk taat agama dan katanya sangat membenci yang Namanya musik makanya memutuskan menyewa jasa begituan,Aydan tak begitu memusingkan yang terpenting tak membuat neneknya khawatir karena tak menghadiri acara pernikahan sanak saudara.
Aydan mengenakan pakaian seragam putih biru,sama seperti keluarga yang lainnya khususnya yang laki-laki.
“Nenek sejak tadi nyariin,Bang.” Bisikan adiknya menyambut Aydan saat baru duduk di sampingnya,Aydan membalasnya dengan ringisan bersalah.
“Katanya kalau sampe jam sepuluh belum muncul juga,nenek bakal nyusul ke kamar hotel,” lanjut Yaksa lagi,adik bungsu Aydan yang sejak tadi sengaja duduk agak belakang menunggu kakaknya.
“Bangunnya terlambat soalnya habis subuh tidur lagi,akad sudah selesai?” jawabnya dengan berbisik,pasalnya ada banyak tamu di sekitar.
“Sengaja di percepat tadi,abang sih telat.” Respon Aydan hanya anggukan,mulai memperhatikan sekitar dimana tempatnya khusus laki-laki dan disebelah khusus perempuan. Sudah Aydan katakana bukan? Keluarganya memang sangat taat agama namun Aydan tak terlalu memperhatikannya.
“Bang Tio grogi banget tadi,bagusnya ada abang di sampingnya tapi telat. Cuman nenek bilang abang mana paham soal ginian nikah aja belum,” neneknya memang selalu berlebihan setiap kali membahas pernikahan ditambah dengan kabar Aydan gagal meminang anak orang,sehabis itu neneknya makin gencar bahas nikah dan nikah.
Apalagi usia Aydan tahun ini sudah masuk 30 tahun.
“Mana ijab kabulnya pake Bahasa arab untung cuman sekali pelafalan coba diulang-ulang bakal makin susah. Eh abang udah makan belum? Aku bisa minta Mba Qei untuk bawain abang makan,sejak tadi juga khawatir soalnya abang belum dateng,” arah pandang Aydan langsung kearah tirai yang terbentang tinggi,adik perempuannya pasti sedang sibuk mengurus tamu sekarang.
“Masih agak kenyang sih,engga usah.” Jawabnya,membuat Yaksa yang ada disampingnya mengangguk paham.
“Coba telepon Qei,minta kasi tau nenek kalau aku udah disini.” Tanpa menunda,Yaksa menuruti perintah kakaknya,segera menelpon Qeisya untuk memberitahukan Aydan sudah datang.
Sambil adiknya sibuk menelpon,Aydan berdiri bergabung dengan sanak keluarganya yang lain. malahan rata-rata sudah menggendong anak atau ada anak kecil di pangkuan mereka,ada segelintir juga yang belum menikah tapi dominan sudah menikah semua,setiap kali berkumpul maka neneknya akan sangat kesal karena Aydan tak kunjung menggandeng pasangan di acara kumpul keluarga besar.
“Apa kabar Pak Dosen,betah banget di Jakarta kirain engga bakal dateng kesini,” Aydan menyambut uluran tangan sepupu jauhnya,tertawa kecil mendengar lelucon itu.
“Biasalah kerjaan sangat banyak makanya jarang datang,untung ada waktu luang makanya bisa kesini. Terakhir kali liat si kecil masih belajar jalan eh udah sebesar ini.” Ia mendekat,menoel pipi anak perempuan yang ada di gendongan sepupunya,menyapanya dengan hangat dibalas dengan wajah kebingungan.
“Kerjaan gimana,aman?” satu pertanyaan datang lagi,
“Masih seperti sebelum-sebelumnya,banyak suka dukanya kalau kerjaannya ngajar. Alhamdulilah berjalan lancar semua,aman.” Balasnya tak kalah santai,membuat keduanya tertawa kompak. Tak lama sepupu jauhnya pamit katanya akan menemui istrinya.
Kapan ya Aydan bisa seperti itu? Mau melamar perempuan saja atau menentukan perempuan yang akan dilamar saja belum ada,bagaimana bisa berangan menggendong anak sendiri apalagi menghampiri istrinya? Tak mau makin pusing,Aydan mendekati adiknya lagi yang sibuk berbincang dengan keluarga sebayanya.
“Eh Bang Aydan,kirain engga datang Bang.” Ternyata semua respon orang begini.
Mereka yang tadinya berbicara dengan Yaksa bersamalam dengan Aydan lalu pamit pergi,mungkin tidak mau menganggu waktu Aydan juga Yaksa.
“Rata-rata sanak keluarga yang ketemu aku bahasnya abang kapan nikah,emangnya penting banget ya?”
Aydan tersenyum mendengar keluhan adiknya,tidak menyangka Yaksa sudah sebesar sekarang dan sudah pintar mengeluhkan banyak hal. Mungkin memang Aydan-lah yang semakin tua makanya tidak terasa,
“Ya memangnya mereka mau bahas apa kalau ketemu kamu? diantara semuanya kan orang semua tau aku belum menikah makanya mereka jadiin itu pertanyaan basa-basi. Pertanyaan kayak gitu umum kok setiap pertemuan keluarga,malahan kesannya aneh kalau aku tidak mendengar pertanyaan seperti itu,” ujarnya Panjang lebar,memandang tamu laki-laki yang ternyata lumayan banyak.
“Untuk memulai percakapan selalu ada awalan kan? Nah mereka menjadikan aku sebagai awalan. Kamu risih? Kan yang ditanyain perihal kapan aku nikah bukan perihal kapan kamu nikah,Yaksa,” katanya tak habis pikir,Yaksa memang tipikal orang yang tidak suka keluarganya di usik.
“Engga suka ajasih,mereka kok keganggu banget masalah abang yang belum menikah? Itukan urusan keluarga kita. Aku aja sama Mba engga masalah mau abang nikah atau engga,mereka yang tergolong keluarga jauh kok demen banget ganggu apalagi bertanya ranah pribadi kayak gitu.”
Aydan menepuk pundak adiknya beberapa kali,terbiasa hidup di pesantren membuat Yaksa paham mana yang pantas di bahas dan mana yang memang ranah pribadi seseorang. Aydan tak mengatakan apapun,sangat memaklumi kekesalan adiknya mengenai pertanyaan umun seperti itu. Lagian masih banyak pertanyaan lain,
Kapan nikah,Aydan?
Wah,Calonnya belum ada ya?
Mau kucarikan endak? Ibu ada banyak sanak keluarga yang cari pasangan.
Sudah mapan kok belum nikah?
Aydan sudah sangat kenyang dengan pertanyaan semacam itu,sangat-sangat terbiasa. Hanya adiknya yang tidak terbiasa karena tinggalnya di pesantren,tiap hari bahasnya agama,sudut pandang baik dan dunia al-Quran berbeda dengan umum.
Disamping Aydan,Yaksa hanya menggelengkan kepalanya tak suka.
“Habis acaranya selesai nanti atau sehabis diliat sama nenek,mending abang langsung terbang ke Jakarta aja tidak perlu ikut jamuan makan malam. Biar aku yang cari alasan supaya abang tidak dijadikan bahan pembicaraan selama acara perkumpulan keluarga,kerjaan di Jakarta masih banyak kan?” ternyata kekesalan adiknya belum selesai juga.
“Dek,aku menghargai ketidaksukaan kamu membahas mengenai ikut campurnya mereka pada keluarga kita. Namun nyatanya ada beberapa keluarga jauh yang memang dengan tulusnya menanyakan perihal itu,karena mereka perhatian dan sayang sama kita apalagi kita keluarganya,tidak punya orangtua juga. hanya punya nenek-kakek dari pihak Ummi dan nenek dari pihak Abi.” Percayalah,Aydan sudah seperti dosen yang memberikan pengertian pada mahasiswanya.
Adiknya memang masih mahasiswa sih,cuman bukan Aydan dosennya disana.
“Iya Bang,Iya. Yaksa paham,” pasrahnya,tapi raut wajahnya belum berubah sama sekali.
“Kuliah,aman?” tanyanya mencoba mengalihkan pembicaraan,memang sempat bertemu di Jakarta namun hanya sebentar karena Yaksa tidak jadi bermalam.
“Ya gitulah Bang,tugas banyak banget. Yang satu belum selesai eh dikasi lagi yang baru,belum sempat istirahat eh ada tambahan kelas atau kelas dadakan. Belum lagi organisasi yang aku ambil,capek bang tapi tetap bersyukur kok. Abang sebagai dosen keknya senang banget kasi tugas ke mahasiswanya,” keluhan yang sangat Panjang,tapi jangan berpikir Yaksa secerewet ini kesemua orang. Ia bersikap begini hanya pada keluarganya saja.
Kedua kakaknya,nenek-kakeknya.
“Kamunya aja yang malas,” tanggap Aydan santai membuat Yaksa menatapnya dengan pandangan tak percaya.
“Abang coba jadi mahasiswa deh,”
“Lah,aku kan udah jadi mahasiswa. Mana mungkin asal ada sarjana kalau engga ngerasain yang Namanya jadi anak mahasiswa? Kamu kayaknya di pusingin tugas dek makanya engga fokus,haha.” kekehnya membuat Yaksa kesal kembali.
Sejak dulu,Aydan memang suka melihat adiknya kesal serasa menjadi hiburan tersendiri untuknya. Atau semua kakak memang begitu adiknya? Mereka tidak suka melihat adiknya tenang makanya terus menganggu ketenangannya itu.
“Dahlah,dosen mana paham.”
“Mana paham gimananya? Semua dosen sudah merasakan jadi mahasiswa jadi bagian mananya dosen tidak memahami perasaan mahasiswa?” tanyanya lagi membuat Yaksa mengibaskan tangannya di udara pertanda menyerah.
Aydan tertawa,ia suka berkumpul dengan adiknya apalagi merasakan hal begini.
***
Bukannya ikut berkumpul dengan keluarga lainnya,Aydan malah duduk diatas sajadahnya sambil membaca Al-Qur’an. Sejak tadi ponselnya berbunyi tapi tak begitu Aydan pedulikan,palingan kalau si penelpon Lelah terus menghubungi maka akan dengan sendiirinya mengunjungi Aydan ke kamarnya.
żālika bi`annallażīna kafaruttaba'ul-bāṭila wa annallażīna āmanuttaba'ul-ḥaqqa mir rabbihim, każālika yaḍribullāhu lin-nāsi amṡālahum
Suara Aydan yang membaca surah Muhammad di ayat 5 dan seterusnya menggema didalam kamar hotelnya,menemani keheningan ruangan yang sengaja ia ciptakan sendiri. Aydan sengaja membesarkan suaranya agar jika ada keluarganya didepan ia bisa langsung tau jika Aydan sedang membaca Al-Quran.
Mendekatkan diri atau berkumpul dengan keluarga adalah momen yang sangat penting namun Aydan tidak akan melupakan kewajibannya apalagi rutinitasnya yang selalu membaca Al-Quran sehabis magrib sampai masuk waktu isya,terserah keluarganya mau menyebutnya apa. Aydan tidak akan memperdulikan semua opini itu.
żālika bi`annallāha maulallażīna āmanụ wa annal-kāfirīna lā maulā lahum
Aydan telah berada di ayat 11,dengan kusyuk membacanya. Hingga suara ketukan pintu juga suara yang sangat Aydan kenal memanggilnya tanpa henti,namun Aydan tak menghentikan bacaannya membuat orang itu meninggalkan depan kamar Aydan.
Hingga saat Adzan isya berkumdang,Aydan menyudahi bacaannya bergegas menuju mushallah yang ada di hotel. Sengaja keluarganya pilih yang memang ada mushallahnya agar memudahkan seluruh keluarganya melaksanakan shalat. Hanya beberapa yang bermalam di hotel seperti Aydan,sedang yang lainnya bermalam di rumah keluarganya yang di sekitar sini.
Sehabis shalat,Aydan kembali masuk ke kamar untuk berganti pakaian barulah menuju rumah yang mengadakan pernikahan. Disambut wajah kesal Nining,nenek tersayangnya juga kekehan kecil dari Qeisya yang berdiri di samping neneknya. Dua perempuan yang akan selalu Aydan jaga ditambah nenek dari pihak abinya yang masih hidup sampai sekarang namun jarang bertemu karena Aydan jarang kesana.
“Kamu ini,daritadi nenek minta Qei untuk telepon terus minta Yaksa untuk panggil malah sibuk sendiri,ayo makan. Tinggal kamu yang belum makan,yang lainnya sudah semua.” Aydan hanya pasrah saat neneknya menarik lengannya masuk menuju makan. Tak lupa tersenyum tipis saat bertemu dengan keluarga lakilaki.
“Besok akan pulang ke Jakarta kan? Makanya jangan suka mangkir kalau nenek panggil. Nenek kan masih kangen sama kamu,mau habisin waktu sama kamu eh malah seneng sendiri di kamar situ. Adik-adikmu minta nenek tenang,mana bisa tenang kalau cucu tertua nenek belum makan malam,” sambil terus berceloteh,nenek Aydan itu juga menyendokkan nasi juga lauk untuk cucu sulungnya.
“Kamu ini makin tua makin manja,makan aja harus nenek yang siapin. Ya makanya nikah biar bukan nenek lagi yang siapin,” Aydan menerima sodoran piring yang Nining berikan.
“Aydan masih mau dimanjain sama nenek tau,” belanya,untungnya hanya ia dan neneknya di Kawasan meja makan entah lainnya kemana semua.
“Alah alasan,palingan endak mau bahas nikah makanya bilang gitu. Mau nenek buatin minum apa? Tadi adikmu titip teh anget,samain?” sambil mengunyah makanan,Aydan mengangguk mengiyakan.
Sambari makan,Aydan memperhatikan punggung neneknya yang beralih profesi menjadi ibunya sejak kecelakaan itu terjadi. Mendidik Yaksa dengan baik,memperhatikan Qeiya juga mengajarinya banyak hal ditambah terus mengomeli Aydan karena enggan ikut dengannya ke pesantren. Mau sebanyak apapun yang mencerca Aydan perihal pernikahan maka neneknya akan menjadi penolong pertama.
“Wah Pak Dosen,makan aja disiapin sama nenek Nining,” sekilas Aydan melihat,dia adalah anak dari sepupu mamanya. Apa ya Namanya? Pokoknya keluarga jauh.
“Ya iyalah disiapin sama nenek masa orang lain? nenek belum ikhlas liat Aydan diambil perempuan lain makanya nenek larang lamar anak orang. Sana gih,jangan ganggu cucu nenek makan.” Aydan itu hanya bahan bercandaan,yang dikasi tau juga hanya tertawa lalu meninggalkan ruang makan. Hanya mampir mengambil gelas habis itu keluar.
“Ademu,Yaksa. Tadi ngambek katanya kesel sama keluarga besar nenek yang bahas kapan kamu nikah. Pemikiran adekmu itu persis kayak abimu,engga suka keluarganya di ganggu.” Ia kembali membawa dua gelas teh hangat diatas nampan,menyimpannya satu di samping piring makan Aydan.
“Minta nenek untuk ijinin kamu pulang besok,endak suka dia abangnya di ganggu. Nenek juga endak suka cuman Namanya keluarga pasti ada aja pertanyaannya dan kelakuannya,nenek bisa apa? Kamu sudah dewasa jadi paham malahan terbiasa. Kasi paham adekmu ya nak,kayaknya sejak tadi mukanya murung terus. Aneh benar,kamu yang ditanya dia yang kesal,kebalik Namanya.”
Aydan membalasnya dengan anggukan beberapa kali barulah setelahnya Nining keluar meja makan tapi baru beberapa langkah ia pulang kembali,”Nak,nenek mau bilang sesuatu.” Ujarnya serius.
“Apa,Nek?” tanya Aydan penasaran.
“Masalah kamu dengan perempuan yang sempat mau kamu lamar itu,nenek endak masalah mengenai orangtuanya pelakunya. Masalah kita ada pada orangtuanya bukan anaknya,yang akan menemani kamu bukan orangtuanya melainkan anaknya,nenek tau sampai sekarang kamu masih suka kepikiran malahan kayaknya masih berharap sama dia alias keinginan kamu sama-sama itu ada. Nenek ikhlas,Nak. Kamu ikhlas menerimanya maka orangtuamu juga tidak mempermasalahkannya.”
Nining mengatakan semua itu dengan suara berbisik takutnya ada keluarga lain yang mendengarnya dan menjadikannya gosip dadakan padahal tidak tau cerita aslinya.
“Nek,” Aydan menatap neneknya dengan pandangan tak percaya.
“Nenek tau kamu suka banget sama dia,kamu mana mungkin memilih perempuan yang sikapnya salah. Nenek insyaallah ikhlas menerimanya di keluarga kecil kita,kakek kamu juga sama. Semua kakaknya mendukung bukan? Adik-adikmu juga sama,mereka setuju dan ikhlas,” Nining mengusap sisi kepala cucunya dengan sayang barulah meninggalkannya di ruang makan sendirian.
Aydan menatap nanar piringnya dimana isinya masih ada seperempat,apa Aydan bisa melakukannya dan tidak pernah teringat dengan semua kasus itu? Tapi mana bisa? Mana mungkin Aydan mengesampaingkan kasus itu demi cintanya juga cinta Callisa.
Setelah Aydan berusaha keras melupakannya,kenapa neneknya dengan gampangnya mengatakan hal tadi? Ikhlas? Aydan paham agama,sangat. Mau bukan orangtua Callisa pelakunya sekalipun tetap saja takdir orangtuanya mati hari itu dan akan ada pelaku lainnya.
Tapi ini berat,Aydan sulit mengambil keputusan.