39 - Perjalanan Panjang Dan Kisah

2093 Kata
Callisa menatap nanar gumpalan awan dibawah sana,sangat cantic namun entah kenapa sangat berat meyakinkan hatinya untuk sampai ke Indonesia karena penampilannya yang sekarang. Callisa bukannya menyesal tentu saja bukan,ia malah sudah nyaman dengan pakaian terlindungi seperti ini. Kesannya cuman aneh saja. Dulu,setiap kali Callisa bepergian maka akan sangat banyak pasang mata yang mengarah padanya dan kebanyakan adalah sorot kekaguman. Malahan banyak yang berbisik memuji kecantikannya atau bajunya yang sangat limited edition. “Wah,kemarin aku sangat mengincar baju itu tapi dia sudah memakainya,” “Kepengen jadi anak orang kaya,please!” “Sepatunya adalah barang yang sangat kuimpikan sejak kemarin terus dia sudah punya? Jadi anak orang kaya gampang banget ya? Jadi pengen kayak gitu juga sayangnya engga bisa.” “Kapan ya bisa pake kacamata kayak gitu.” Dan masih banyak lagi kalimat atau bisikan pujian yang mengarah padanya,dulu. Tapi sekarang? Sudah tidak ada malahan semua oraang sibuk dengan urusannya tanpa memusatkan pandangannya pada Callisa lagi. Poin bagusnya Callisa bisa berjalan dengan ketenangan tanpa adanya orang yang mengenalinya atau memujinya. Tapi Namanya juga belum terbiasa,ya begini. Sejak tadi atau mungkin sampai beberapa jam kedepan Callisa hanya akan sibuk sendiri tanpa ada yang mengajaknya berbincang. Andaikan Callisa masih dengan penampilan yang dulu mungkin sudah banyak kamera yang mengarah kearahnya,menanyakan beli baju dimana atau anaknya siapa. Atau ada yang berusaha mengajaknya bicara ataunya lagi mengajaknya selfie mengingat Callisa adalah selebgram juga. “Tapi ingat Callisa,mereka menyukai duniamu bukan kamu,” peringatnya pada diri sendiri, Karena perjalanan yang masih sangat Panjang,Callisa mengeluarkan beberapa kertas yang sengaja ia lipat didalam tas mungilnya. Kisah-kisah cinta yang Afanza berikan padanya sejak berbulan-bulan lalu,Callisa sengaja menyimpannya di tas agar bisa dibaca kembali dan menemani perjalanan panjangnya. “Ada anak Rasulullah yang bernama Zainab,kamu tau tidak? Ia dipulangkan kepada Nabi Muhammad karena suaminya enggan memeluk islam. Mereka menikah tepat sebelum masa kenabian,Zainab mengikuti ayahnya sedang suaminya enggan melakukannya. Tetap kukuh dengan keputusannya yaitu percaya dengan agamanya sebelumnya.” Suara Afanza seakan menggema di samping Callisa,ia tersenyum dibalik jilbab sepanjang sikunya. “Saat ada semacam peperangan,suaminya Zainab ikut memerangi Nabi Muhammad yaitu ayah mertuanya sendiri. Namun pasukan suaminya Zainab ini kalah dan dia menjadi tawanan umat islam. Zainab selaku istrinya menebus suaminya dengan sebuah kalung yang dulu ibunya berikan,kamu masih ingat siapa istri Nabi Muhammad yang pertama kan?” “Siti Khadijah?” “Benar sekali,beliau yang menghadiahkan kalung itu pada anaknya selaku hadiah pernikahan. Nah suaminya bebas,namun setelah pulang sehabis jadi tawanan si suami tetap bertahan dengan kepercayaannya jadilah dia memulangkan istrinya,dia menangis. Merasa terluka karena terpisah dengan perempuan semulia Zainab. Tapi selang waktu berlalu,Zainab dan suaminya kembali Bersama karena akhirnya suaminya masuk islam,namun kayaknya engga terlalu lama karena Zainab meninggal dunia. Terus apa yang bisa kita ambil dari sini?” Callisa melipat kertasnya,sengaja menyandarkan punggungnya dan tak lupa memejamkan matanya. Cinta? Ada banyak kisah cinta yang lebih tragis dari kisahnya namun tetap serasa ada yang mengganjal di pikiran Callisa. “Aku percaya bahwasanya mau sejauh apapun seseorang pergi bahkan terhalang agama sekalipun,kalau memang Allah sudah mengatakan mereka berjodoh maka mereka akan demikian. Mau terpisah negara,mau terpisah kota,terhalang restu atau beda perasaan? Mau sesulit apapun kalau Allah bilangnya jodoh,ya jodoh. Tapi engga selamanya mengandalkan Allah,Callisa. Ada yang Namanya berusaha mendekat kesana,Allah hanya memberikan ruang sedang kita yang berusaha mengisi ruang itu. Mau diisi dengan kebenaran atau dengan keburukan? Tergantung mereka.” Ya,Callisa setajam itu mengingat setiap perkataan kakak pembina bercadar itu. Hingga lama-kelamaan,Callisa benar-benar terlelap dalam perjalanan panjangnya. Agak merasa Lelah karena keberangkatannya sempat tertunda di pemberhentian pertama,untungnya hanya 3 jam tidak memakan waktu sehari. Melelahkan sekali bukan? Pulang ke Indonesia memang sangat melelahkan sekali. *** Suasana rumah yang sangat sepi tak mengurungkan niat Aydan untuk menyapu halaman,baru sampai siang tadi dan sorenya sudah sibuk membersihkan rumah. Resiko tinggal sendiri ya begini,apa-apa harus di lakukan sendiri padahal kata neneknya andaikan mau menikah dan menerima CV yang neneknya berikan maka sekarang Aydan takkan menyapu halaman. Palingan sibuk berkutat dengan pekerjaan. Tinggal sendiri itu sudah sangat biasa untuk Aydan walaupun kadang kesepian juga tak ada teman mengobrol padahal butuh atau teramat ingin dimasakkan karena Lelah sehabis kerja. Semuanya memang butuh sosok pendamping namun entah kenapa hanya sosok Callisa yang membuatnya tergerak melamar, “Astagfirullah…” ujarnya,kenapa nama Callisa selalu ada sih? Menyelesaikan acara menyapunya dengan cepat barulah masuk kedalam rumah. Ia makin pusing melihat tumpukan cuciannya di keranjang,hanya beberapa pasang baju namun sungguh melelahkan. Ditambah dua piring yang saling bertumpuk di wastafel,tiga cangkir besar dan beberapa sendok. Sebenarnya bisa ambil jasa pembantu namun kesannya susah,takutnya malah timbul dosa. Apalagi sejak dulu Aydan sudah sangat terbiasa sendirian. Aydan menyemangati dirinya sendiri barulah mengerjakan semuanya satu persatu dengan celana kaos diatas mata kaki juga baju kaos berwarna navi. Aydan mengerjakan semuanya dalam diam,ditemani suara ceramah yang sengaja ia putar agar rumah ramai,ceramahnya random asal putar saja. “Kita harus mencoba ikhlas dalam menghadapi cobaan-cobaan yang Allah berikan dari berbagai aspek. Jangan tanyakan mengapa itu terjadi tapi jadikan itu sebagai penguat diri agar bahagia di masa depan nanti,ikhlas dan sabar adalah kunci untuk hamba-hamba yang percaya pada ketentuan Allah SWT. Seperti dalamn surah Ghafir ayat 65 yang selalu meminta kita ikhlas dalam berbagai ujian atau cobaan yang Allah berikan,selama percaya pada Allah maka insyaallah akan dimudahkan,” Suara mesin cuci yang terputar juga suara air yang mengalir plus penceramah yang ada di ponselnya menemani hari Aydan sore ini. Ia menganggukkan kepalanya beberapa kali pertanda paham dengan apa yang Ustadz itu katakan,ikhlas ya? Membahas tentang ikhlas. Aydan jadi teringat dengan perkataan neneknya kemarin. Neneknya ikhlas menerima Callisa terlepas Callisa adalah anak dari orang yang menabrak orangtua Aydan? mana mungkin neneknya punya hati selapang itu? Bahkan hidup Bersama Callisa atau menemukan solusi lain saja ia belum menemukannya sama sekali. “Astagfirullah,ada apa denganmu Aydan?” tanyanya pada diri sendiri,kurang dari sejam ia sudah mengucapkan istigfar karena pikirannya selalu saja terganggu satu nama. Callisa,Callisa dan Callisa. “Kamu tau Aydan? kamu mempunyai tiga materi yang harus kamu siapkan di pertemuan pekan depan,beberapa tugas yang mahasiswa yang harus segera kamu periksa dan melengkapkan nilai mereka. Kamu juga memiliki jadwal bimbingan mahasiswa yang akan melakukan sidang,lantas kenapa kamu masih berleha-leha bahkan dengan gampangnya membiarkan nama Callisa masuk kedalam pikiranmu?” katakan Aydan sudah gila sekarang ini tapi sudahlah,berhubungan dengan cinta memang tiada habisnya. Mematikan kran air karena sudah selesai,memutar kembali pengaturan mesin cuci agar cuciannya cepat selesai. Aydan beralih membuka kulkas dan menghembuskan napas Lelah. Kulkasnya kosong dengan bahan makanan sedang perutnya mulai lapar. “Resiko belum menikah kali ya?” gumamnya,beralih mengambil ponsel lalu memesan makanan secara online, “Ingat,memesan makanan hanya boleh sesekali dalam keadaan terdesak dan saat ini aku dalam keadaan terdesak karena lupa membeli bahan makanan. Mana semuanya habis,padahal aku kira kemarin masih ada beberapa telur dan kangkung potong didalam sana.” Jangan lupakan,saat sendiri Aydan seringkali suka bicara sendiri bak perempuan cerewet melebihi cerewetnya Callisa. “Callisa lagi?” kesalnya,dari balik kacamatanya ia hanya bisa menatap Lelah meja makan yang kosong melompong. Untuk mengistirahatkan diri,Aydan memilih menuju ruang tamu dan menghempaskan badannya disana. “Nenek tidak main-main dengan perkataan nenek kemarin,Nak.” Mata Aydan terpejam perlahan,ia kira menghadapi seribu mahasiswa yang keras kepala akan sangat memberatkan akan tetapi berhadapan dengan Cinta terutama yang berhubungan dengan Callisa ternyata lebih berat dari itu. Cukup menguras pikiranmya,fokusnya yang selalu terganggu dan masih banyak lagi. Aneh memang namun nyata sekali. Mendengar suara dari arah mesin cuci,Aydan segera bangun dan menuju kesana untuk mengeluarkan bajunya. Tak semua bajunya ia mesin cuci,ada beberapa juga yang Aydan cuci tangan karena kainnya yang mudah kusut atau rusak. Memindahkannya ke keranjang cucian bersih barulah menjemurnya di halaman belakang khusus menjemur pakaian. “Teruslah bersabar Aydan,suatu hari nanti kamu akan mendapatkan istri yang akan kamu ajak kerjasama dalam membangun rumah tangga atau pernikahan impian,untuk sekarang biarkan kamu mengerjakan semuanya sendiri. Semangat!” ujarnya disela-sela memasang bajunya di hanger dan menggantungnya. “Insyaallah,” lanjutnya setelahnya fokus menjemur beberapa pakaian itu. Sehabis semuanya beres,Aydan mengambil kerjaannya. Ia sudah mengatakan tadi bukan? Ada banyak pekerjaan yang harus Aydan kerjakan tapi pikirannya selalu saja berpikir random dan sangat tidak jelas sekali. Namun kening Aydan berkerut bingung melihat email teratas dan pengirimnya adalah perempuan? Aydan tak membacanya malahan langsung menghapusnya. Tenang,itu bukan dari mahasiswa. Karena Aydan sudah memperingati mereka agar menulis kelas dan jurusannya di subjek agar memudahkan Aydan. Tidak ada waktunya mengurus perempuan,Aydan harus fokus bekerja. Harus! *** Suara dentingan wajan dan spatula saling menggema di dapur,sesekali orang yang memasak itu menggelengkan kepalanya tak percaya menatap adik iparnya yang terlihat mengenaskan saat ia memeriksanya tadi. Sangat terlihat tidak terurus,Rasya bahkan hanya mendengar, “Lapar kak,” sambutan yang cukup bagus bukan? Merasa nasi goreng dadakannya sudah matang,Rasya segera memindahkannya ke piring lalu menyimpannya di hadapan Ray. Adik iparnya ini malah sibuk berkutat dengan pekerjaannya dan tidak ingat makan sama sekali,bagaimana Rasya tidak khawatir atau memeriksa keadaannya beberapa jam sekali? Kalau dibiarkan malah Rasya bisa menemukannya dalam keadaan pingsan saking tidak pedulinya dengan dirinya sendiri. Sembari menunggu Ray selesai makan,ia membereskan alat masak yang dipakainya tadi. Mencucinya lalu membersihkan kompor agar tetap bersih,tak lupa menyimpan perkakas atau bumbu-bumbu lainnya ke tempat semula. “Callisa jadi pulang kak? Kok ada engga kabar? Katanya bakal pulang minggu ini. Aku sampe bawa kerjaan kerumah agar bisa langsung ketemu pas dia pulang nanti,tapi kok udah masuk hari ketiga minggu ini belum nyampe? Bukannya perjalanan kesini engga sampe 24 jam ya? Apa eng-“ “Makan Ray,bukan bertanya.” Potong Rasya cepat. Membuat Ray kembali fokus pada makanannya. Ditempatnya Rasya berdiri mematung,pesannya tak dibalas Callisa sama sekali. Rakaf juga memberitahunya bahwasanya tak ada kejelasan,hanya mengatakan nanti entah apa arti dari kata nanti itu. Rasya sudah mencoba menghubungi tempat yang Callisa tempati namun mereka enggan memberitahukan karena katanya itu adalah privasi dan hal yang tidak boleh dibocorkan tanpa izin dari empunya. Benar-benar tempat yang sangat bagus untuk pelarian bukan? Jadinya mau mereka disana atau sudah pergi darisana lalu menuju tempat lain takkan ada yang tau,sangat dijaga privasinya. “Mama!” suara putri kecilnya membuyarkan lamunan Rasya,segera membalikkan badannya tak lupa memasang senyum cerah. “Tante Call mana?” pertanyaan yang hampir sama dengan pertanyaan Ray tadi. Rasya menyamakan tingginya dengan Ratu,putrinya. Memperbaiki tatanan rambutnya yang agak berantakan mungkin karena berlari tadi,”Tadi pas menyebrang di jalan tadi,ada yang memantau?” tanyanya lembut,tidak menjawab pertanyaan Ratu sebelumnya. “Ada pak supir,” jawabnya seadanya,ditangannya terdapat barbie kesayangannya. “Tetap ingat kata mama ya sayang,jangan menyebrang kesini tanpa pantuan siapapun. Walaupun ini Kawasan kompleks tapi bahaya bisa datang kapan saja,Ratu mau makan sesuatu? Buah?” Anak umuran 4 tahun lebih itu menggelengkan kepalanya pertanda tidak mau,ia malah mendongak menatap omnya yang sejak tadi sibuk makan atau melamun. “Om Ray,Tante Call mana?” tanyanya membuat Rasya tak habis pikir. Putrinya mungkin sedikit kehilangan apalagi di masa pertumbuhannya ada Callisa yang dulunya selalu menemaninya. Dari umur 1 tahun hingga 3 tahunan lebih ada Callisa yang selalu menjadi pangasuh dadakannya,ada Callisa yang menemaninya saat Rasya sibuk mengajar di kampus atau mengantarnya ke kampus. “Tidak tau sayang,Om belum ketemu.” Jawabnya seadanya,berusaha menjawabnya sehangat mungkin agar Ratu tidak terkena dampak moodnya yang sedang memburuk. “Ratu pengen main barbie sama tante Call,pengen liatin kalau Ratu punya banyak koleksi barbie terbaru. Tante Call pasti seneng karena Ratu sudah bisa buat rumah princess di kertas,Mama! Tante Call-nya mana?” bukan jawaban yang Rasya berikan tapi usapan lembut di rambutnya. “Tidak tau juga ya? Apa tante Call ikut granpa dan granma pergi? Tapikan Ratu sudah minta jangan bawa tante Call pergi. Masa tante dibawah juga,Ratu kan kangen.” Rasya memeluk sayang putrinya,tak lama suara tangis Ratu terdengar. “Hiks Hiks,mau main sama Tante Call,Mama.” Rengeknya tapi tak dibalas Rasya. Ibu satu anak itu malah membawa Ratu pergi dari rumah Ray,meninggalkan Ray sendirian disana ditemani lamunannya sendiri. Tinggal satu sendok lagi maka nasi goreng buatan Rasya akan habis namun Ray enggan memakannya,mood makannya ikut menghilang karena tak ada kabar apapun dari Callisa. Sudah 12 jam-an ini ia mencoba menghubungi Callisa namun tidak ada jawaban alias nomornya tidak aktif. Apakah jadi pulang ataukah tetap tinggal disana selama 6 bulan lagi? Karena adiknya pernah bilang batas paling lama tinggal disana adalah setahun. Ray berdiri menyimpan piringnya di wastafel lalu berjalan kosong menuju ruang tamu untuk melanjutkan pekerjaannya. Entah Ratu sudah berenti menangis atau bukan,itu bukan urusan Ray sama sekali. Kepalanya sudah sangat pusing memikirkan Callisa,sengaja bekerja terus agar sibuk dan tak memikirkan Callisa lagi. Tapi tetap sama saja,ia tetap memikirkan Callisa-nya. Adik tersayangnya,perempuan yang sangat Ray ingin lindungi melebihi dirinya sendiri. “Callisa,engga capek bikin aku kayak gini Dek?” pasrahnya,tertawa sumbang di ruang tamu. Percayalah,Ray membenci momen menyedihkan seperti ini. Menyebalkan sekali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN