Gue melajukan motor dengan kecepatan sedang berhubung gak jauh lagi gue mesti belok masuk ke arah perumahan Bang Sul. Yups gue masih jadi kurir tukang antar makanan buat dia yang katanya lagi sakit.
Sebenarnya gue rada gak enak main ke rumah dia secara dia tinggal sendirian, cowok dan gue cewek apa kata orang entar? Yang ada bakal timbul fitnah kan berabe?
Gue tepikan motor gue di depan sebuah rumah bercat biru, itu loh rumah RT nya bang Sul, biasa gue kan kudu ngelapor kalau gue datang bertandang. Gue raih kantong plastik berisi risol buatan emak gue buat nyogok ralat buat gue kasih ke yang punya rumah ini biar gue gak was was berduaan sama tu orang di rumahnya.
"Assalamualaikum," ucap gue memberi salam masih dengan pakaian tempur gue kalau lagi bawa motor.
Helm dan masker nyetnyet gue.
"Assalamualaikum," seru gue lagi saat tak ada tanda-tanda manusia bakal keluar sembari menjawab salam gue.
Tak lama seorang ibu-ibu berjilbab dengan warna yang sama dengan jilbab yang gue pakai keluar sembari menjawab salam gue. Bibirnya menyunggingkan senyum yang serasa gak asing di mata gue.
Wait. Gue kagak salah rumahkan ya? Kok seingat gue yang kemaren bukain gue pintu beda deh?
"Permisi. Siang Bu," sapa gue kemudian menunduk menyalami ibu tersebut tapi belum kening gue menyentuh tangan ibu itu helm yang masih gue pakai udah duluan nyeruduk badan tu ibu.
"Eh maaf Bu," ucap gue gak enak. Ya salam, gue lupa kalau gue masih pake helm mana muka gue masih ketutupan masker lagi.
Gue melepas helm dan menurunkan masker gue hingga ke leher sebelum menyalaminya kembali
"Gak apa-apa," ucap ibu itu dengan senyum yang masih tersungging manis di bibirnya, heran kali ya ini ibu ngelihat kelakuan gue barusan mana suara ini ibu lembut banget, adem gitu didengar beda banget sama suara toak gue, hadeh.
"Cari siapa ya?"
"Bu RT nya ada?" tanya gue. Aneh juga gue menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.
"Oh Santi, sebentar ya Ibu panggilin. Ayo masuk dulu," ajaknya.
"Ng. Gak deh Bu tunggu di sini aja," tolak gue lah iye kan gue cuma mau minta izin doang.
"Oh yo wes duduk dulu. Ibu masuk sebentar ya," ucap ibu itu sebelum masuk ke dalam rumah.
Sesuai instruksi ibu tadi gue dudukan badan gue di kursi teras rumah bu RT yang gue tahu bernama Santi.
"Eh kirain siapa tadi," ucap mbak Santi begitu melihat gue.
Gue tersenyum Ya Allah ni penghuni rumah adem semua yak mukanya mana pada murah senyum.
"Siang Mbak," sapa gue eh jam setengah sebelas udah termasuk siang kan ya?
"Mau ke rumah Malik ya?" tanya mbak Santi yang sudah pasti langsung gue angguki dengan senyum.
Gue sodorkan kantong kresek berisi risol tersebut ke arah Mbak Santi.
"Ya ampun repot-repot banget tiap mau izin ke rumah Malik pakai bawa makanan segala."
Gue cuma tersenyum kikuk mendengar ucapan mbak Santi. Yah kan maksud gue biar cepat dapat izin, lah.
"Oh iya ini loh Bu Le' yang Santi ceritaan tadi," ucap mbak Santi lagi eh maksudnya apa?
Ibu dengan senyum sejuta watt yang tadi agak bingung mendengar percakapan kami mendekat ke arah gue kemudian memeluk gue sebentar sekarang malah giliran gue yang bingung.
"Ini Ibunya Malik." satu kalimat itu membuat mata gue agak melotot, kaget coy, wadoow calon mertua ey.
"Hah?" respon gue mendadak linglung.
"Alhamdulillah baru tadi diomongin sekarang udah ketemu." Gue tersenyum Canggung mendengar ucapan ibu yang ternyata emaknya Bang Sul yang lain tidak bukan adalah bakal calon jadi mertua gue kalau semisal nasib gue berlabu ke bang Sul.
"Halo Bu apa kabar?" tanya gue canggung, ya kali seumur hidup gue kagak pernah berhadapan dengan keadaan semacam ini.
"Alhamdulillah sehat. Kamu sehat? Mas Mu gak nularin penyakit nya ke Kamu kan?" tanya emaknya bang Sul yang gue yakin lagi ngajakin gue becanda eh tungu 'Mas?'.
"Nggak kok Bu. Yaya mah strong," jawab gue cengengesan.
"Eh iya namanya Tiah ya?" tanya emak bang Sul lagi dan langsung gue jawab dengan anggukan cepat.
"Iya Bu tapi ba... Mas Malik biasanya manggil Yaya," jawab gue gelagatan takut keceplosan manggil anaknya Bang Sul.
Emaknya bang Sul tersenyum manis pantesan rasanya Gue pernah lihat senyum model gulaku begini ternyata dari sini toh Bang Sul dapat senyum model begitu. Tangan si emak mengelus lembut kepala gue. Ya Rob ini kalau beneran jadi mertua gue kayaknya hidup gue bakal bahagia banget secara ini ibu baik banget.
Tak lama setelah basa-basi di depan rumah Mbak Santi, emaknya Bang Sul mengajak gue pergi ke rumah Bang Sul yang
ternyata orangnya lagi ke Puskesmas dan gak ngasih tahu gue sama sekali apalagi masalah emaknya yang tiba-tiba datang.
"Mas Mu lama sekali ya ke Puskesmasnya, Sudah hampir dua jam Ibu datang dia belum pulang juga padahal Ibu sudah mau buat surprise buat dia."
"Surprise apa Bu?" tanya gue yang sudah mulai rileks ngobrol bareng camer gue caileee.
"Soalnya Ibu gak ngomong kalau ke sini," katanya yang hanya gue jawab dengan jawaban Oh.
" Terus tadi Ibu ke sini gimana? Nggak ada yang jemput dong kan Mas Malik nggak tahu?"
"Tadi Ibu dijemput Santi, pas sampai sini eh rumahnya kosong mana gak dikunci lagi."
Tak lama hp gue bergetar menampakkan chat dari manusia yang masih kami tunggu kepulangannya.
'Abang lupa ngunci pintu tadi. Kamu kalau sudah datang langsung masuk aja. Abang mau ke Apotek dulu.'
Terjawab sudah pertanyaan ibu tadi dan langsung gue sampaikan info tersebut ke ibunya bang Sul.
"Yaya pinter masak ya? Harum banget aroma masakannya, sedap," puji ibu sembari membuka rantang yang tadi gue bawa.
"Eh nggak pinter-pinter amat sih masih belajar juga." Gue tersenyum canggung yah walau masih dibantuin masak sama emak gue paling gak gue udah bisa hapal macam macam bumbu masakan.
"Tadi aja pas Ibu masuk rumahnya Malik agak aneh juga kok tumben bersih rupanya tadi Santi cerita kalau kemarin Kamu ke sini. Pantesan bersih ada yang bersihin rupanya." Ibu kembali memasang senyum.
Iya sih kemarin gue risih banget gitu loh ngelihat rumahnya bang Sul yang udah mirip rumah yang nggak ditinggalin manusia selama bertahun-tahun. Ya kali ni rumah, jangankan dipel, disapu aja mungkin setahun sekali, apa nggak ngomel-ngomel gue kemarin pas datang jengukin dia. Kayaknya jiwa mak mak gue mulai bangkit deh.
Gue nggak sadar berapa lama kami ngobrol soalnya asik aja gitu loh yang dibahas seputar aib-aib masa lalu Bang Sul yang bikin gue pengen ngakak sambil guling guling. Secara dibalik mukanya yang kalem dan lempeng itu ternyata waktu kecil dia suka banget ngintipin teman-teman ceweknya yang sebaya dengannya mandi di sungai. Mana mau sok-sokan jadi Jaka Tarub lagi.
Enggak lama kami ngobrol muncullah manusia yang sejak tadi gue ketawain dengan wajah yang cukup kaget, dia datang menghampiri gue dan ibu nggak tahu deh yang mana yang bikin dia kaget, ibu yang tiba-tiba datang atau kami yang asyik ngobrol, gue sih bersyukur aja soalnya dari penerawangan gue selama kami ngobrol, Ibu kayaknya bisa nerima gue dan syukurnya kami itu ngobrol nyambung apalagi bahasa Indonesianya ibu walaupun rada medok tapi fasih banget mana gaul juga gak kayak mertua ayuk gue yang ngerti bahasa Indonesia tapi gak bisa ngucapin kata-katanya kan suseh.
" Ibu kapan datang?" tanya bang Sul langsung menyalami ibu.
Ibu mengelus punggung bang Sul. "Tadi, baru dua jam an mungkin."
Bang Sul melirik ke arah gue yang rasanya pengen ngakak setelah mendengar cerita-cerita ibu tadi.
"Kok Ibu nggak ngomong sih kalau mau ke sini kan bisa Mas jemput."
"Rapopo. Ibu sengaja katanya Santi Kamu sakit mangkanya Ibu ke sini niatnya mau ngerawat Kamu, Kamukan rewel kalau lagi sakit tapi Santi cerita kalau Kamu sudah ada yang ngurus di sini kan Ibu jadi kepo. Mana Kamu gak pernah cerita lagi," jelas ibu sembari melihat ke arah gue.
Bang Sul menggaruk tengkuknya yang gue yakin sebenarnya gak gatal, tanda orang gugup tu setahu gue.
"Mas kan udah pernah bilang ke Ibu kalau di sini mas udah ada calon," ucap Bang Sul membuat gue menahan senyum dan rasanya itu loh kok deg degan gini kayak gimana gitu susah dijelasin.
"Yang pas Kamu nolak ibu jodohin," sambung ibunya bang Sul. Eh maksudnya opo?
"Yah Ibukan mikirnya cuma akal akalan Kamu aja nolak si Mila."
Eh Mila nugu?
"Ibu," panggil bang Sul seolah memberi kode 'jangan dibahas' lah malah gue yang peka kode dari ni orang kebiasaan dikodein ni gue sampai paham betul.
"Eh keceplosan," kata ibu kemudian cekikikan yang gue yakin disengaja.
"Gak akan Ibu lanjutin kok perjodohannya apa lagi udah ketemu calon mantu Ibu ini." Ibu tersenyum tangannya mengelus lembut pipi gue.
Gue yang bingung mau jawab apa cuma tersenyum menanggapi ucapan ibu.
"Assalamualaikum." Kami semua menoleh ke arah pintu seorang gadis ber body goal sedang tersenyum anggun ke arah kami.
"Waalaikumsalam," jawab kami kemudian. Gadis itu berjalan cepat mendekati ibu.
"Ya ampun Ibu ke Jambi? Gak nyangka bisa ketemu di sini," ucapnya terlihat akrab sembari menyalami ibu.
"Iya ini ngelihat anak lanang Ibu udah lama gak ketemu."
"Apa kabar Lo? Seharusnya Lo yang jengukin Ibu, pulang kampung bukannya malah sebaliknya," cerocos gadis itu.
Bang Sul hanya mengangkat bahu sebelum membalas jabatan tangan gadis yang terlihat akrab dengan Bang Sul itu.
"Eh Laras, tebak ini siapa?" ucap ibu sembari tangannya memegang bahu gue.
"Siapa?" tanya cewek yang gue tahu bernama Laras.
"Pacarnya Malik," ucap ibu mendadak serasa ada kebanggaan gitu dikenalin oleh calon mertua sebagai calon anaknya.
"Hai," sapa Laras yang mendadak canggung menyalami gue, mukanya itu loh kok kayak aneh gitu ngelihat gue.
"Laras," ucapnya saat gue mbalas jabatan tangannya.
"Tiah," jawab gue seramah mungkin.
Kemudian entah sejak kapan mereka mulai berbicara dalam bahasa jawa yang sama sekali gak gue ngerti. Kenapa gue
ngerasa kayak gak dianggap gini ya? Radar gue seolah memberi kode ada ancaman.