Entah berapa lama mereka ngobrol dan gue cuma jadi penonton. Iya penonton, penonton yang gak dibayar cuma nonton mereka ngobrol yang nggak gue ngerti apa, ngenes banget kan gue? Yang gue tahu cuma si Laras ini temen masa kecilnya si Bang Sul dari jamanan masih pake k****t dan sekarang kerja sebagai Pramugari. Oke gue ulang Pramugari sodara-sodara pantes badannya aduhai begitu.
Dengan bosan dan gak tahu harus apa gue ambil hp dari dalam tas, daripada bengong kayak orang oon mending gue main hp. Gue buka aplikasi chat dan mencari nama mantan sobat jombs gue yang sekarang si dia udah punya doi siapa lagi kalau bukan....... si Dedew.
Gue dikacangin masa
Hanya berapa detik centang dua pesan gue sudah berubah biru.
Sama siapa? Babang Lu?
Gue melirik sekilas ke arah bang Sul yang rupanya lagi merhatiin gue. Gue cebikkan bibir ke arahnya, Bang Sul mengerutkan keningnya tanda tak mengerti dengan tatapan ngenes nan horor dari gue. Mulutnya seolah mengisyaratkan kata "Kenapa?"
Gue menangangkat bahu acuh dan kembali fokus ke layar Hp hendak membalas pesan Dedew. Tapi belum jari mengetik balasan kembali Ibu sudah lebih dulu terdengar.
"Iah," Ibu menepuk paha gue lembut.
"Buatin minum gih buat Laras kan Dia ngetamu di sini," ucap Ibu membuat gue mendadak cengo.
Whats? Apa? Yip-yip? gue mengedip-ngedipkan mata bingung. Lah kenapa harus gue? Kan gue juga tamu? Yang punya rumah aja anteng tuh duduk di sofa sambil menatap gue dengan tatapan aneh yang sedikit membuat gue risih.
Karena gue gak mau kelihatan jelek dan mencoba menjadi calon mantu idaman, hanya dengan mengangguk kecil gue berdiri hendak ke dapur namun baru sampai pintu dapur Laras sudah duluan berteriak. Sumpah asli lebay banget tanpa teriakpun gue masih bisa dengar secara ini ruang tamu sama dapur dekatnya udah kayak mata kiri sama mata kanan sedekat upil doang.
"Tehnya jangan terlalu pekat ya, gulanya dikit aja," pesannya membuat emosi gue mendadak naik ke ubun-ubun, ni orang belum pernah nyicipin teh rasa sianida? Atau mau gue campur merica sekalian biar lebih hot?
Gue tersenyum canggung tanpa membalas ucapannya gue langsung membalikkan badan melanjutkan langkah gue yang tertunda. Berhubung gue kemarin udah kayak pembantu bersihin rumah Bang Sul jadilah sekarang gue hapal di mana aja letak pekakas dapur rumah ini, lah iya kan gue yang nata tempat penyimpanannya.
Pertama gue panaskan air dengan teko listrik kemudian menyiapkan gelas, teh, gula dan garam kalau-kalau gue mengkhilafkan diri untuk mencampurkan garam ke minuman si tamu tak diundang itu.
Sembari menunggu air yang sedang gue masak panas gue masukkan gula ke dalam gelas, gue coba sabar dan tidak emosi supaya gue gak beneran masukin garam ke minuman tuh orang walau ada sedikit ide iseng masuk ke dalam otak gue, kalau cuma seujung sendok aja garamnya gak akan kerasa asin banget kali ya? Campur tidak yaa? Belum selesai gue berkutat dengan niat jahat gue tahu - tahu Bang Sul sudah berdiri di samping gue membuat gue tercekat saat hendak mengambil wadah garam halus untuk melancarkan niat gue.
"Ini garam Dek bukan gula," ucapnya membuat gue manyun, niat gue cuma mau masukin dikiiiiit aja garamnya suer dikit doang cuma seujung sendok, sendok makan gajah.
Tanpa menghiraukan ucapannya gue menata gelas ke atas nampan supaya mudah membawanya nanti.
"Kamu kenapa? Kok dari tadi diem aja?" tanya nya.
Menurut ngana?
"Aku rapopo Mas," jawab gue sarkas entah kenapa jawaban ngasal dengan nada sebal itu justru membuat manusia satu ini mengulum senyum.
"Ekhmm," katanya berdehem gaje.
"Gitu dong, manggilnya Mas kan enak didengar," ucapnya kepedean, gue cuma ngasal manggil begitu bejo, elah.
"Emang Abang mau dipanggil Mas?" tanya gue yang ditanya malah makin senyum-senyum gaje membuat gue berpikiran buat kumur-kumur terus nyemburin air bekas jigong gue itu ke mukanya siapa tahu setannya keluar.
"Beneran mau?" tanya gue lagi dan membuat dia makin senyam senyum ya tuhan gitu aja kesenengan dia, ternyata benar hal sepele aja bisa buat seseorang bahagia sampe kayak orang gila senyam senyum mulu.
"Yah mau. Dari dulu emang biasanya Abang dipanggil amas." Gue mencebikkan bibir, mon maaf jangan samakan aku dengan mereka, aku tidak suka panggilan yang sama, sama manusia yang lagi ngobrol sama Ibu, manusia gaje yang kadang manggil nama kadang manggil Mas dengan nada sok diimut imutin, astaga baru ketemu gak sampe sejam gue udah pengen gotong tu orang ke laut biar bisa gue tenggelamkan.
"Mas?" Bang Sul makin senyam senyum.
"Buloh, emang masalah buat Lo." Gue bisa melihat Bang Sul matanya sedikit melebar saat gue mulai menyanyikan lirik lagu dangdut yang cuma gue hapal beberapa bait, senyumnya sudah berganti dengan cebikan kesal yang terlihat lucu di mata gue.
"Pacarku banyak emang lagi cari jodoh," lanjut gue melanjutkan lirik lagu yang paling gue hapal. Gue nyengir begitu melihat wajah kesal Bang Sul.
"E Masbuloh emang masalah buat Lo. Cowokku banyak buat....eemm," belum selesai gue menyanyikan kelanjutan lagunya mulut gue sudah lebih dulu dibekap dengan tangannya yang baunya pahit seperti bahu obat.
"Pahit pahit," teriak gue tertahan tangan besar manusia baboon satu ini.
"Siapa suruh nyanyi begitu hah?" ucapnya kesal sendiri, ya salam gitu aja marah.
Baru gue mau melanjutkan menjahili Bang Sul ibu sudah terlebih dahulu datang bersamaan dengan lampu teko yang mati menandakan airnya telah matang.
Ibu menggelengkan kepalanya, "Ya ampun nduk nduk, malah pacaran di sini. Itu Laras temenin Ibu mau ke wc dulu." Ibu berlalu berjalan ke tempat tujuannya.
Gue mengambil teko hendak menuangkan air ke dalam gelas, baru satu gelas yang gue isi air panas, tangan Bang Sul sudah terlebih dahulu merebut teko tersebut dari tangan gue lalu meletakkan kembali ke tempatnya, membuat gue bingung. Bang Sul mengaduk air hangat becampur gula dan teh tersebut, kemudian mengeluarkan dua gelas yang sudah gue isi teh celup dan gula dari atas nampan dan menggantinya dengan gelas lain.
Gue memperhatikan tingkahnya dengan tatapan bingung. Bang Sul mengisi teko lain dengan air dari dispenser kemudian mengangkat nampannya dengan santai ke arah ruang tamu dan membuat gue menatap dia yang mulai menjauh dan gelas berisi gula yang tergolek di atas meja secara bergantian.
"Udah selesai tehnya?" tanya ibu sekembalinya dari wc saat melihat gue masih berdiri di dapur dengan tampang bingung dan ragu mau gue lanjut buat tehnya atau tidak.
"Nampannya di bawa Ba.. Mas ke depan," jawab gue lagi-lagi nyaris memanggil anaknya dengan sebutan Bang Sul.
Ibu manggut manggut kemudian berjalan ke ruang tamu dengan gue yang mengekor di belakangnya.
"Lah piye? Kok malah air putih?" Ibu terlihat heran, mungkin beliau heran tadi gue masak air tapi yang datang malah air putih dari dispenser yang bahkan gak ada anget-angetnya. Ibu menatap gue dan Bang Sul bergantian. Yang ditatap malah asik meniup teh dalam gelas di tangannya.
"Air putih aja udah cukup, nanti Lo gumoh minun teh buatan Dia," ucap Bang Sul asal membuat gue melotot, ada yang tahu di mana bisa beli sianida? Rasanya pengen gue cekokin ke ni orang.
Bang Sul tersenyum samar saat meminun tehnya, ya tuhan semoga tangan gue gak gerak sendiri buat ngambil tu teh panas terus gue siram ke mukanya, hadeh.
Gue tersenyum canggung ke arah Ibu dan Laras membuat gue ngerasa gak enak kesannya gue kayak gak bisa buat teh gitu.
"Gulanya abis, yang ada garam. Lo gak mau kan minum teh pakai garam?" tanya Bang Sul. Halo permisi Mas gula berkilo-kilo dalam lemari itu apaan ya? Sejenis pasir?
"Lagipula yang boleh minum teh buatan Dia cuma Malik," ucap Bang Sul kemudian membuat semua orang di ruangan ini mengheningkan cipta termasuk gue. Sa aee lu Bang.