Sakit T_T

1769 Kata
Bang Sul : Abang Sakit Masa. Tiah : Wadoww.. Kok bisa? Bang Sul : Abang juga manusia woy Tiah : Bukan begitu. Aku juga tahu Abang manusia, masa iye jin. Bang Sul : Lah terus? Tiah : Kok bisa sakitnya mau sama Abang? Bang Sul : T_T . Abang alone di rumah. Tiah : Mangkanya Bang cari bini biar gak alone di rumah Bang Sul : Ya udah hayuk nikah. Tiah : Lu ngajak nikah kayak ngajak beli cilok Bang. Bang Sul : Haha, tapi Abang serius loh. Tiah : Yo wess, terus kalau sendirian mau ngapain? Bang Sul : Mau Kamu ke sini atuh. Letih, lesu, lunglai, lapar gak ada makanan. Tiah : Tuh kode keras banget Bang. Bang Sul :LAPAAAR Tiah : Iye, iye entar Aku ke sana. Bang Sul : Azek. Tiah : Ongkir ya. Bang Sul : Apaan? Tiah : Ongkos kirim. Bang Sul : Lah buat apa? Tiah : Kan mau Aku antarin makanan. Bang Sul : Gaje. Tiah : Batal nih? Bang Sul : Ampun..  *** Itulah kiranya isi chat unfaedah gue sama Bang Sul. Akhirnya gue tahu kalau dia bisa sakit juga. Walau gue masih gak habis pikir kok bisa gitu dia sakit padahal ya dia pulang pake motor ujan-ujan jam sembilan malam aja besoknya masih sehat wal afiat. Lah ini tanpa sebab yang jelas dia sakit, inikah yang namanya takdir? Gue hendak mengumpat kasar begitu ibu-ibu dengan motor matic tiba-tiba berhenti melintangkan motornya di tengah jalan tanpa sebab. Sumpah ya kalau aja nabrak orang di bolehkan oleh negara dan dihalalkan oleh agama udah gue giles ni ibu-ibu mana dia malah celingak-celinguk gak jelas Dengan kesal gue pencet klakson hingga bunyinya melengking keras membuat ibu-ibu itu menoleh ke arah gue dan dengan antengnya dengan muka sok polos dia kembali celingukan tanpa mengindahkan klaksonan gue ditambah dibelakang gue motor dan mobil juga mulai menggila memencet klakson. Ni ibu-ibu nyari perhatian amat. "Bu, rumah sakit jiwa masih jauh lurus aja," teriak gue yang berkali-kali menahan diri agar gak nyumpah serapah ni orang. Ibu itu menoleh ke arah gue sambil melotot gak suka, sumpah ya ni orang nyari perhatian amat. "Maksud Kamu apa?" Katanya dengan nada ketus setengah berteriak membuat gue mendengus kesal gue udah siap kalau tu ibu-ibu tetibaan turun dari motor dan mendekati gue "Maksudnya itu Ibu sinting ya emang ini jalan palak bapak Kau." Gue menoleh ke arah belakang gue, sumber suara suer itu bukan gue yang ngomong. Seorang sopir truk pasir sudah turun dari mobilnya menghampiri sang ibu gaje ditambah gerutuan dari pengendara lain. "Apa Kau bilang Aku sinting? Kau yang sinting Bang tega Kau selingkuhin Aku." Lah opo iki? Sinetron live kah? "Sudah berapa kali Aku bilang sama Kau, dia itu cuma kenalan saja," ucap sang supir yang gue kira mungkin suami sang ibu gaje. Wait ini kenapa jadi kayak drama ala ala. Tiba-tiba ibu itu turun dari motornya dan duduk di atas aspal sembari menerjang-nerjangkan kakinya persis anak kecil. Pertengkaran masih berlanjut ditambah entah sejak kapan orang-orang jadi berkerumun. Kalau aja jalan ini bukan jalan g**g sempit, kalau aja jalannya gak berlubang dalam sudah gue salip itu ibu-ibu sambil gue kelaksonin kenceng-kenceng. Enggak lama setelah itu, setelah mendapat sumpah serapah dari pengguna jalan g**g sempit ini sang supir truk memindahkan motor ibu-ibu gaje dan menepikannya. Gue sih gak tahu dan gak kepo juga kelanjutan pertengkaran mereka ya ampun nyesel gue lewat jalan pintas begini mending gue ikut macet-macetan aja wong hasilnya tetep sama aja. Setelah berkendara lebih dari setengah jam akhirnya gua sampai juga di depan sebuah gerbang perumahan yang bertuliskan "Citra Abadi Permai" gue lajukan kembali motor gue masuk ke area perumahan setelah gue chat spam ke Bang Sul tapi gak kunjung di balas juga.  Gue nyaris melongo ralat lebih tepatnya gue beneran melongo setelah melihat penampakan wujud dari deretan rumah yang berjajar rapi, lo pada pernah nonton spongebob kan? pernah nonton bagian pas squidward rumahnya hancur terus pindah ke perumahan yang isinya mirip rumah dia semua? nah begitulah yang sekarang gue rasakan, gue berasa kayak lagi di dalam cerita spongebob bagian yang itu. Ya tuhan ini perumahan terdiri dari 3 jalan utama dan semua rumahnya bentuknya sama semua, sama asli sampai cat dan detailnya sama mana kagak ada nomornya lagi. Dengan kesal gue telpon berkali-kali nomor bang Sul dan gak kunjung di angkat juga.Ni orang ketiduran, lagi semedi di wc apa mati, astagfirullah. Akhirnya pada panggilan ke 7 Bang Sul mengangkat telponnya juga dengan suara parau kayaknya beneran abis mati suri eh abis bangun tidur. "Bang rumahnya yang mana sih? capek nih nyarinya gak ketemu-ketemu mana rumahnya sama semua lagi, ditelpon gak diangkat-angkat," ucap gue ngegas namun tiba-tiba hening. "Bang?" panggil gue setelah beberapa saat gak ada suara sampai suara tawa terdengar dari speaker hp gue. "Dek kamu di mana?" tanyanya begitu selesai dengan tawa menyebalkannya. "Di rumah Allah, puas!" sergah gue kesal. Mana cuacanya panasnya pol. "Jangan Dek jangan ke rumah Allah dulu, belum waktunya mending ke rumah Abang dulu," katanya membuat otak gue mendadak mendidih. "Bang Aku balik ya gak jadi ke ...." Belum gue menyelesaikan kalimat bang Sul sudah keburu menyela. "Eh jangan-jangan. Kamu di mana sekarang?" "Di perumahan Citra Abadi Permai," jawab gue ketus, bodo amat. Lagi-lagi hening, lagi-lagi terdengar suara ketawa karpet. "Kamu ngapain di situ?" ya salam bang kelahi yuk. "Main congklak. Ya mau ke rumah Abanglah." Ini kalau dia masih jawab bikin gue kesal gue beneran balik. "Perumahan Abang itu Citra Abadi aja gak pakai Permai." Gue mengelus d**a sembari merapal istigfar dalam hati takut-takut mulut gue menyumpah serapah ke orang yang sedang mentertawakan gue di sebrang sana. "Itu perumahan baru. Sekarang Kamu keluar perumahan itu terus lurus aja ikutin jalan nanti sebelah kiri ada tulisan 'Jalan Anggur' masuk aja sampai ketemu gerbang perumahan Citra Abadi, rumah abang di jalan pertama sebelah kiri pagarnya warna coklat ada pohon inainya," jelasnya memberi petunjuk seharusnya dari tadi woy ngasih tahu gue bukannya nunggu gue ngamuk dulu dan nyasar ke antar berantah. Tanpa mengucapkan kata-kata gue matikan telpon dan melajukan kembali motor gue mengikuti petunjuk yang di berikan bang Sul tadi. HP gue terus menjerit menandakan ada panggilan masuk dan bisa gue tebak dari nada deringnya kalau itu dari si manusia karpet yang bikin gue naik darah. Gue telusuri jalan sembari menoleh ke arah kiri menjadi papan bertuliskan 'Jalan Anggur' lucu juga semua lorong yang gue lihat semua bertuliskan nama buah sebagai nama jalan. Setelah hampir sepuluh menit seperti orang hilang akhirnya gue sampai juga di depan gerbang bertuliskan 'Perumahan Citra Abadi' saja gak pakai Permai sesuai dengan instruksi bang Sul. Bang Sul melambai ke arah gue, iya Bang Sul kalau gue gak salah lihat, dengan kaos oblong kan celana selutut plus rambut dan mata pucat khas orang sakit. "Lama. Abang kira Kamu nyasar lagi, kalau gak, ngambek gak jadi ke sini," katanya begitu gue membuka helm. "Kalau gak mikir Abang lagi sakit mending Aku pulang," gerutu gue kesal. Bayangin aja mau ke rumah ni orang aja banyaak banget rintangannya, ya macetlah, dihadang ibu-ibu gajelah, ya nyasarlah. "Syukur deh kalau gitu Abang sakit," Bang Sul tersenyum senang seolah sakitnya dia adalah anugerah terindah. "Yuk masuk," ajaknya sembari tangannya mengambil barang bawaan gue yang lo pada pasti tahu isinya apaan. "Bang rumah ketua RT nya di mana?" tanya gue. Paling gak gue harus lapor RT dulu kan berabe kalau sampai digrebek warga, secara bang Sul cuma tinggal sendiri. "Mau ngapain?" "Ngajak ngerumpi Bang. Ya mau laporlah atuh Abang. Kalau kita digrebek warga gimana gegara berduaan di rumah." Bang Sul tersenyum. "Yah gak apa-apa lumayan nikahnya lebih cepat, gratis lagi," katanya yang gue hadiahi cubitan di lengannya. "Aaaaduuuhh duuu duuh. Tu tuh di sana." Tunjuknya ke arah rumah bercat biru dua sekitar tiga rumah dari rumah bang Sul yang tadi gue lewati. "Kenapa gak ngomong dari tadi. Tahu itu rumah RT nya Aku ke situ dulu," gerutu gue yang gue yakin Bang Sul gak mau berkata-kata lagi kalau gue udah menggerutu gak jelas dia bakal ngalah dan mingkem daripada gue ngamuk katanya. Gue ambil satu kantong kresek berwarna putih berisi gorengan dari tangan bang Sul dan berjalan menuju pagar hendak ke rumah ketua RT meninggalkan Bang Sul yang gue yakin sedang mendesah sambil geleng-geleng kepala karena gue berjalan cepat dengan wajah gak woles. Gue tekan bel rumah bertuliskan 'Ketua RT 02' beberapa kali sampai pintu terbuka menampakkan wajah seorang ibu-ibu yang gue yakin masih seusia dengan ayuk pertama gue. "Siang Bu," gue menyodorkan kantong kresek berisi gorengan tersebut dan langsung disambut oleh ibu tersebut. "Saya Tiah. Temennya Bang Sul.. laiman Malik," kata gue nyaris hanya menyebut Bang Sul. "Saya mau main ke rumahnya soalnya dia lagi sakit, tapi dia kan tinggal sendiri Saya takutnya nanti digrebek warga dikira ngapa-ngapain lagi berdua," jelas gue dan dibalas senyuman oleh ibu tersebut. "Oh iya gak apa-apa. Asal jangan di tutup aja pintunya lagipula di sini orangnya juga gak terlalu peduli sama tetangga maklumlah." Gue mangangguk kemudian tersenyum mengiyakan. Gue berjalan kembali ke rumah Bang Sul. Gue panggil namanya beberapa kali tapi tak kunjung ada jawaban. Gue melangkahkan kaki masuk ke rumah Bang Sul sembari mengucap salam sampai gue dengar sahutan dari bang sul yang terdengar dari belakang. Gue masuk sampai ke dapur. Pintu dapur terbuka. "Abang di sini," katanya. Gue melongo menahan emosi melihat kelakuan manusia yang ngakunya lagi sakit ini. "Woy Bang, Abang ngapain?" teriak gue nyaris histeris. Lah iya gimana enggak Bang Sul sekarang sedang memanjat pohon Nangka dan tangannya sedang asyik memutar-mutar buah nangka tersebut. "Nangkanya udah masak. Sayang kalau keburu busuk di batang," katanya dengan wajah tak berdosa. "Bang, Aku jadi ragu Abang ini beneran sakit apa enggak? orang sakit mana ada yang manjat pohon nangka Bang?" tanya gue gemas pengen menggoyang-goyangkan pohon nangka itu sampai tu orang ikutan jatuh bareng nangkanya, Astagfirullah. Bang Sul melompat turun, iya melompat. Oke gue ulangi M.E.L.O.M.P.A.T dari pohon nangka yang tinggi sambil membawa karung berisi nangka yang tadi ia petik. Kalau aja mukanya gak sepucat itu udah pasti gue gak yakin kalau dia beneran sakit. Gue yang sudah kehilangan kata-kata hanya mengikuti bang Sul yang mulai membelah nangka yang baunya sudah sangat harum menyengat kemudian menyarungkan plastik ke tangannya mulai membersihkan nangka tersebut. Sementara gue cuma memperhatikannya saja. Dengan cekatan tangannya memisahkan daging buah nangka dengan bijinya kemudian memasukkannya ke wadah yang berbeda. "Ini Kamu wadahin aja buat Kamu bawa pulang. Sisain dikit buat mbak Santi," instruksinya sembari tangannya mencuci biji nangka tersebut. "Abang gak mau?" tanya gue dan siapa pula itu si Mbak Santi? Bang Suk menggeleng, "Abang gak terlalu suka Nangka enakkan lagi bijinya kalau udah direbus," katanya sembari menyalakan kompor dan mulai merebus biji nangka yang sudah dibersihkan. OK FIX pacar gue orang stress.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN