Hari ini kegaduhan kembali terjadi lagi di kampus di mana Sean berkuliah karena ada 11 orang tua yang berdemo karena anaknya hilang, 7 orang lainnya adalah orang tua yang belum juga mendapatkan pertanggung jawaban dari kampus sementara 4 lainnya baru melaporkan hilang hari ini.
“Kami sedang berusaha semaksimal mungkin, kami juga akan bertanggung jawab atas hilangnya para mahasiswa. Namun, sebelum itu kami harus menyelidiki apa penyebabnya mereka hilang. Jika ini adalah kelalaian kami maka kami akan bertanggung jawab, namun kalau ini bukan kesalahan kami maka kami akan memproses hukum atas tuduhan para orang tua siswa karena telah melecehkan nama baik sekolah ini,” kata Bu Marni tegas.
Kali ini Bu Marni tidak akan tinggal diam diinjak-injak oleh para orang tua siswa tersebut. Beberapa orang tua sudah mulai takut dengan ancaman perempuan paruh baya yang berlogat batak itu. Namun, ancaman itu tidak berlaku bagi Anjani yang terus menyerocos karena Sean belum ditemukan.
“Saya tahu bahwa ibu sudah tahu apa penyebabnya hanya saja ibu takut karena anak saya belum kembali. Iya kan?” tanya Anjani dengan tegas menatap Bu Marni dengan tegas.
Mendengar tuduhan itu tidak bisa membuat Bu Marni berkata-kata lagi, Bu Marni hanya melihat Anjani dengan kesal karena mengatakan itu pada saat banyak orang di ruangan dosen itu.
“Tahu bagaimana? Saya tidak tahu apa-apa. Ibu juga bisa saya penjarakan karena mencemarkan nama baik,” kata Bu Marni yang lama-lama terbawa emosi.
Anjani melihat Bu Marni seolah mereka berbicara dengan telepati sementara beberapa ibu-ibu yang ikut mengadakan rapat tersebut asyik melihat perdebatan antara Anjani dengan dosen tersebut.
“Ah, ibu-ibu jangan bertengkar di sini. Ini area kampus, Bu Marni juga sudah mengatakan bahwa pihak kampus akan melakukan yang terbaik, itu artinya kami akan bertanggung jawab atas keteledoran kami jika memang kami yang salah,” kata Pak Doko dengan sedikit tidak enak karena wajah para orang tua benar-benar sudah kesal dengan kampus tersebut.
“Ya saya juga tahu ini area kampus siapa bilang ini area mall? Saya gak mau tahu ya pokoknya anak saya harus kembali sekarang juga!” teriak Anjani yang semakin menjadi-jadi membuat ruang dosen menjadi gaduh.
“Keluar selagi saya masih baik!” ucap Bu Marni dingin membuat Pak Doko yang melihat itu sedikit gugup karena ia sudah menjadi rekan kerja Bu Marni beberapa tahun belakangan ini dan sudah hapal betul bagaimana sifat wanita paruh baya itu.
Anjani menaikkan alisnya dengan bingung karena sikap Bu Marni berubah drastis sementara Pak Doko memegangi Anjani agar keluar dari ruang dosen tersebut. Wajahnya terlihat kaku karena melihat situasi yang sedang menegang tersebut. Kalau saja dibiarkan mungkin Bu Marni akan menjadi seorang pembunuh atau pasti akan ada headline news yang menampilkan wajah Bu Marni sebagai seorang dosen yang menganiaya orang tua mahasiswa.
Pak Doko menggeleng cepat kemudian tersenyum pada Anjani dengan sangat ramah.
“Bu Anjani, kami tahu bahwa keadaan ini sangat menyakitkan untuk ibu, namun sepertinya hal ini terlalu dibesar-besarkan. Kami di sini juga hanya bekerja dan di sini bukan hanya ada Sean di kampus, kami juga perlu mengawasi mahasiswa lainnya dan juga tugas-tugas kami sebagai seorang dosen. Kami sangat minta maaf atas kejadian tidak mengenakan ini kami akan bertanggung jawab jika kami yang bersalah, untuk kali ini saja izinkan kami untuk melakukan semuanya sendiri tanpa ikut campur tangan orang tua,” kata Pak Doko dengan sabar. Hal tersebut tentu saja membuat Anjani terdiam, memang tidak seharusnya dia melaporkan ini ke sekolah dan membawa masalah. Namun, ini adalah masalah Sean yang hilang bukanlah hal yang sepele.
“Campur tangan? Memangnya saya mencampur tangan? Saya hanya ingin kampus lebih profesional lagi dalam mencegah hilangnya mahasiswa di area kampus.” Anjani mengatakan itu dengan nada ngotot sementara ibu-ibu lainnya masih berada di dalam karena menuntut hilang anak-anakannya.
Bu Marni langsung keluar dengan tas tangannya yang terlihat mewah dan melewati Pak Doko dan Anjani tanpa mengatakan sepatah kata pun.
Pak Doko tak menghiraukan ucapan Bu Anjani ia kemudian pergi menyusul Bu Marni yang tampak kesal dan lesu. Ia harus tahu apa yang tengah terjadi pada rekan kerjanya itu, Pak Doko tahu bahwa akhir-akhir ini memang berat untuk Bu Marni karena telah banyak kasus hilangnya mahasiswa secara misterius.
“Bu Marni tunggu! Apa yang terjadi?? Mengapa ibu pulang padahal nanti setengah jam lagi ada kelas,” tanya Pak Doko dengan wajah bingung sambil mengikuti Bu Marni dari belakang.
Bu Marni berhenti dan menatap Pak Doko dengan wajah yang sudah terlihat lelah.
“Akhir-akhir ini kampus sedang tidak baik-baik saja keadaannya, mungkin karena ada saya jadi kacau. Saya memutuskan untuk cuti dari pekerjaan saja dari pada harus pusing dengan keadaan seperti ini” kata Bu Marni kemudian tersenyum kecut dan meninggalkan Pak Doko sendirian.
Pak Doko tidak menyangka bahwa Bu Marni sampai mengambil cuti karena hal tersebut, Pak Doko tahu bahwa etika di kampus itu benar-benar sudah anjlok sejak hilangnya 6 mahasiswa yang sudah balik itu. Pak Doko tahu mereka sudah balik karena saat itu Pak Doko juga ada di ruang dosen saat mereka tiba.
Pak Doko kembali mengejar Bu Marni dan menahan langkahnya.
“Kenapa ibu tidak ngaku saja pada para orang tua kalau ternyata anak-anak mereka sudah kembali? Itu akan jauh lebih baik dari pada menyembunyikan semuanya dan makin banyak yang ke kampus ini,” kata Pak Doko yang bersikeras untuk memberitahu hal tersebut.
Bu Marni menggeleng cepat bagaimana dia bisa mengatakan itu sementara Sean belum berhasil dibebaskan? Sudah pasti Anjani akan tambah mencak-mencak mendengar hal tersebut.
“Tidak mungkin saya mengatakan itu seenaknya, mereka kembali tanpa Sean lalu bagaimana dengan Bu Anjani kalau tahu anaknya belum bebas? Semua akan merembet ke mana-mana termasuk ke Pak Iwan,” kata Bu Marni dengan kesal.
Namun, sesaat Bu Marni memegang mulutnya ia keceplosan soal masalah Pak Iwan. Wajahnya langsung pucat ketika mendengar ucapannya sendiri, Bu Marni langsung meninggalkan Pak Doko sendirian kemudian merutuki dirinya sendiri yang benar-benar bodoh bisa keceplosan begitu saja padahal ia sudah susah payah menyembunyikan ini semua bertahun-tahun.
“Apa hubungannya sama Pak Iwan?” tanya Pak Doko dengan keheranan melihat kepergian Bu Marni yang tergesa-gesa itu.
Rasa penasaran di dalam lubuk Pak Doko semakin membesar karena ia yang baru masuk 5 tahun terakhir ini tidak mengetahui apapun tentang ini semua. Sedangkan Bu Marni yang sudah bekerja puluhan tahun di kampus tersebut sepertinya mempunyai rahasia yang tidak ia bagikan sedikit pun oleh dosen-dosen baru. Bahkan sepertinya Dosen lama yang lain juga tahu rahasia ini, namun memilih untuk bungkam agar kebusukan kampus tersebut tidak menyebar ke mana-mana dan menjadikan reputasi kampus itu anjlok.
“Apa mungkin ini adalah rahasia lama yang hanya saya saja yang tidak tahu? Astaga saya harus segera mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu,” ujar Pak Doko yang benar-benar sudah tidak dapat menahan gejolak penasaran yang berada di dalam hatinya itu.
Sebenarnya Pak Doko ingin sekali menanyakan itu langsung pada Pak Anton yang merupakan dosen seangkatan dengan Bu Marni, namun Pak Doko tahu bahwa Pak Anton bukanlah orang yang ramah pada informasi.