Chapter 11

1688 Kata
"Liben, ko tra usah pake kain lagi eh? kasih ini kain untuk Amil pake jua," ujar Mace sambil menutup sebagian tubuh Amir dengan kain. (Kamu tidak usah pakai kain lagi, yah?) "Iya, Ma." Liben menurut. "Sio kasian e, anak kecil begini bisa hilang … bagaimana deng dia pung orang tua ni kah? sa tra tau apa masih hidup atau tidak," ujar Mace sedih setelah melihat wajah damai Amir yang tertidur. (Bagaimana dengan orangtuanya? saya tidak tahu apakah masih hidup atau tidak) Wajah Liben terlihat sayang pada Amir. "Ini anak paling berani sekali e, sampe bisa kasih selamatkan kam itu bukan main. Kam hidup ini karena dia berani tembak akan itu pemberontak," ujar Mace. (Kam=kalian.) Liben mengangguk. "Iya, Ma. Amil paling berani. Biar dia tra kuat lari, dia masih bilang untuk torang lari." (Tra = tidak, torang = kita, kami) Mace mengusap sayang kepala Amir. "Semoga orangtua ini anak baik-baik saja." Liben mengangguk mendoakan dalam hati. "Liben, ko tidur bae-bae, jang sampe ko sepa ini ade, awas!" Mace memperingatkan Liben. (Ko=kami, bae-bae=baik-baik, jang=jangan, sepa=sepak atau tendang, ade =adik.) "Iya, Ma." Liben mengangguk. Mace keluar dari dalam kamar sederhana milik Liben. Sedangkan Liben sebelum tidur di samping Amir, dia melirik ke arah Jingjing dan Cingcing yang terlelap tidur. "Sudah tidur kah?" tanya Pace. Mace mengangguk. "Sudah." Pace manggut-manggut, dia memasuki kamar setelah menutup pintu rumah sederhana dari daun rumbia atau daun sagu. "Bapa, kabar dari kabupaten bagaimana e?" tanya Mace yang ikut masuk kamar. "Tidak baik, Ma. Kacau sekali di kabupaten daripada di kota Jayapura. Yakop dan Hans tra berani turun ke sana, dorang hanya lia dari jauh saja," jawab Pace. (Dorang=mereka, tra=tidak) "Tuhan e, kacau sekali e." Mace terlihat khawatir. Pace berbaring lalu berkata, "Keluarga Bapa Eden tra hidup lai. Dorang terlambat lari menyelamatkan diri. Makanya Yakop dan Hans cepat-cepat lari ke sini." "Tuhan e." Mace terlihat sedih, dia menghapus air matanya. "Itu pemberontak terlalu s***s, Ma. Kita yang orang asli saja dibantai apalagi orang pendatang? mereka tidak kasih ampun," ujar Pace dengan nada menyesal dan sedih. "Ma e, kalau terjadi apa-apa lai, kalau misalnya dorang masih mau *bantai kita, kita lari jauh sudah kastinggal tempat ini lalu bangun tempat tinggal baru jauh dari sini," ujar Pace. (Kastinggal=kasih tinggal/tinggalkan) "Biar sudah Liben tra usah sekolah lai, mo bagaimana lai? torang pung anak sekolah sedikit saja sudah ditembak dibakar dan lain-lain, torang hati sakit lai," ujar Pace. (Mo=mau) "Ini untung karena kita sudah jauh dan kasih pisah diri dari suku kita lain, coba kalau masih sama-sama, kita baku hantam trus." Mace hanya dengar apa yang dibicarakan Pace. Di dalam kamar kecil milik Liben, dia melap air matanya yang turun. "Om Eden e … sampe hati lai sudah pigi kas tinggal torang e." (Pigi=pergi) °°° Naufal membuka kelopak matanya. Hal pertama yang dia lihat adalah ruang rawat Ariella yang hanya ada dia seorang. "Aril?" panggil Naufal. Naufal turun dari sofa yang semalam ditiduri, dia hendak mencari sang istri di kamar mandi. Bunyi suara langkah kaki mendekat ke arahnya. Pintu kamar rawat terbuka, Askan terlihat. "Aril pergi mencari keberadaan Amir pagi subuh tadi." "Apa?!" Naufal terbelalak. Dia buru-buru memakai sepatu boot dan berjalan lari keluar ruang rawat. "Bro Opal, sarapan dulu!" teriak Askan. "Nanti saja!" balas Naufal. Naufal buru-buru berlari ke arah anak buah Basri yang sedang menunggu tuan mereka. "Berikan *pistolku!" Bodyguard itu dengan cepat mengeluarkan dua *pistol milik Naufal beserta beberapa tabung peluru. Naufal tidak bisa tidur di samping istrinya dengan membawa serta *s*****a api ataupun *s*****a tajam. Sebab, dia pernah hampir dibunuh oleh kepribadian ketiga Ariella. Setelah mendapatkan apa yang diinginkan, Naufal berlari masuk ke mobil jeep. Di belakang ada Askan berlari cepat ikut masuk ke mobil jeep itu sambil membawa bungkusan makanan. "Aku yang saja yang bawa mobilnya," tawar Askan. "Tidak perlu," balas Naufal. Roti isi tiba-tiba berada di depan bibir Naufal. "Buka mulut lalu makan roti." Naufal membuka mulutnya lalu memasukkan sebuah roti isi yang besar itu ke dalam mulutnya lalu mengunyah. Setelah beberapa saat kemudian, Naufal bertanya, "Kenapa tidak bangunkan aku kalau Ariel pergi?" "Bodyguard terlambat lihat di rekaman gerbang rumah sakit. Saat istrimu keluar pintu kamar, bodyguard yang berjaga di depan pintu melihat Bro Opal baik-baik saja dan tidak terluka, mereka berpikir Aril baru sadar dan membutuhkan udara segar. Namun setelah dua jam Aril tak balik," jawab Askan. Askan melihat bahwa kakak sepupunya itu mahir dalam memilih jalan. "Bro Opal tahu ke mana Aril pergi?" Naufal mengangguk. Setelah beberapa saat waktu yang mereka tempuh. Akhirnya mobil jeep hijau berhenti di persimpangan jalan. Naufal memilih jalan ke kiri yang terlihat layak untuk dilalui oleh sebuah mobil pikap. "Ini …," ujar Askan terlihat mengingat sesuatu, "ini adalah tempat terakhir mobil pikap yang membawa kardus buah milik Walikota Jayapura terekam." "Ya." Naufal membenarkan. "Aril ke sini?" tanya Naufal. Naufal mengangguk. Mobil jeep itu menyusuri jalan, namun sayangnya tidak menemukan mobil pikap yang dimaksud. Setelah itu, dia melihat sebuah mobil berhenti di tepi jalan. "Ayo turun." Naufal turun dari mobil begitu juga dengan Askan. "Ini mobil yang dipakai Aril ke sini," ujar Askan. "Ya." Naufal mengangguk. Mereka memasuki hutan terdekat, Naufal selalu melihat ke arah jam tangan yang berada di tangan kirinya. Ada sebuah titik merah yang terlihat dekat dengannya titik biru. Langkah kaki Naufal terlihat sangat cepat, titik biru di jam tangan Naufal juga terlihat bergerak cepat mendekat ke arah titik merah. Askan sekarang paham, bagaimana kakak sepupunya dapat dengan mudah menemukan saudara iparnya. Setelah beberapa menit berjalan menyusuri hutan, Naufal melihat Ariella berdiri di sebuah belakang mobil pikap. Mata Askan terbelalak. "Itu mobilnya!" Askan buru-buru berlari cepat mendekat ke arah mobil pikap itu. Ariella melirik ke arah datangnya Naufal. Naufal melihat tatapan mata yang diberikan oleh Ariella. "Sepupu juga ingin cari Amir." "Amir … tidak ada di sini," ujar Lia. Nada dinginnya sudah berkurang tidak lagi sedingin biasanya ketika dia berbicara dengan Naufal. Mungkin karena ini berkaitan dengan Amir, jadi dia terlihat tidak terlalu dingin. Namun, ada sedikit rasa khawatir dari nada suaranya. Askan memeriksa satu demi satu kardus buah, dan hasilnya nihil Amir. "Akh!" Askan kesal. "Aku sudah periksa semuanya," ujar Lia. Setelah mengatakan kalimat ini, Lia berjalan memasuki hutan. Naufal mengikuti Lia pergi, sementara itu Askan memilih untuk menelpon bala bantuan dan beberapa anjing pelacak agar segera datang ke tempat di mana ditemukannya Amir. °°° Irfan dan beberapa perwira tentara terlihat berdiri di pinggir mobil pikap yang membawa sepuluh kardus buah itu. Beberapa anjing pelacak terlihat mencium bau amir atau apapun itu yang berkaitan dengan Amir. Lalu mereka pergi ke satu arah. Askan mengikuti ke mana anjing-anjing itu pergi. Sementara Irfan terlihat diam sambil melihat lebatnya hutan yang berada di depannya. Hutan di pinggiran kota saja sudah lebat seperti ini, apalagi hutan di pedalaman? "Saya baru sehari dari Jayapura kembali ke Jakarta. Besoknya saya mendengar kabar hilangnya salah satu kerabat saya dan pecahnya kerusuhan, maka saya kembali lagi ke sini," ujar Irfan. Mayjen Markus ikut melihat ke arah hutan. "Tidak banyak orang yang dapat bertahan di hutan ini." "Saya tidak menyangka anak umur dua setengah tahun bisa hilang jauh dari tempat tinggalnya ke sini," ujar Irfan. "Ketika saya mendengar pemberitahuan Anda, saya sempat berpikir bahwa ini seperti mimpi," ujar Mayjen Markus. "Semoga Tuhan selalu menyertai dan melindungi Nak Amir," ujar Mayjen Markus. "Amin ya Allah." Irfan menutup sejenak matanya. °°° "Amil sudah bangun?" Mace tersenyum hangat ketika melihat Amir membuka matanya. Mace sengaja menunggu Amir untuk bangun dari tidur. "Um …." Amir bangun dari tidur. Dia melihat di sekelilingnya. Tempat tidak berubah itu berarti dia tidak mimpi. Benar bahwa dia ada di sini. "Makan pagi dulu yah, Nak? Mamade Yona tadi bawa satu keranjang patatas untuk Amil, tadi Kaka Liben yang kumpul api lah Mace yang bakar, mari Nak." Mace bantu membawa Amir ke tengah rumah. (Mamade= adik mama, patatas = ubi jalar, 'lah' biasa ditunjukan sebagai kata 'lalu'. Pace yang sedang menikmati sarapan pagi berupa ubi jalar bakar dan air putih hangat tersenyum ke arah Amir. "Mari Nak, duduk di pinggir Bapa sini," ujar Pace. Amir duduk di samping kanan Pace, lalu Pace memberikan ubi jalar bakar pada Amir. Amir tersenyum. "Telima kasih, Pace." Pace mengangguk. Amir tidak memakan semua ubi bakar yang diberikan oleh Pace, dia membagikan dua potongan kepada Jingjing dan Cingcing. "Jingjing dan Cingcing juga lapal, ayo makan. Dua teman Amir itu memakan ubi bakar yang diberikan oleh Amir. Mace pergi ke dapur kecil untuk mengambil satu sendok kecil gula. Persediaan gula yang mereka ambil dari perkampungan telah menipis dan nyaris habis. Namun, Mace tetap membuat teh manis hangat untuk diberikan pada Amir. "Anak, ini teh gula, minum," ujar Mace. Amir mengangguk, dia tersenyum ke arah Mace. " Telima kasih, Mace." Mace balas tersenyum, "Sama-sama, Anak." Amir meniup air teh hangat untuk diminum. Setelah itu dia tersenyum senang ke arah Mace. "Makanan enak, Mace. Amil suka." Mace tersenyum, dia mengusap sayang kepala Amir. "Tinggal di sini dulu, Anak e? nanti kalau sudah tidak kerusuhan lagi, baru Pace, Om Yoke, Om Hans dan Kaka Liben bawa pulang Amil ke kota." "Um." Amir mengangguk. Senyuman Amir yang terlihat gigi-gigi kecil yang baru tumbuh itu terlihat sangat manis di mata semua orang. Baju kecil Liben yang dipakai Amir terlihat seperti baju daster di tubuh kecil Amir. Saat Amir sedang santai dan enak mengunyah ubi jalar bakar, matanya jelalatan melihat seisi rumah Pace. Jujur saja, Amir yang terlahir dengan sendok emas di mulutnya tak pernah melihat rumah sederhana yang Pace tinggali ini, Amir selalu penuh dengan kemewahan. Jadi, rumah Pace adalah hal baru baginya, apalagi dia baru pertama kali makan ubi jalar bakar dan memakai baju yang tak ada celana atau bahkan dalaman. Pandangan mata Amir terlihat terhenti di dinding rumah Pace, tangannya yang memegang ubi jalar bakar pemberian kedua dari Mace itu, diletakan kembali ke piring anyaman bambu sederhana. Jari telunjuknya menunjuk ke arah dinding. "Pace, itu apa?" Pace dan yang lainnya melihat ke arah dinding. "Oh, itu koteka, Anak," jawab Pace. "Um … itu … Amil lihat di tv … teman Papa Opal pakai itu di celana," ujar Amir sambil mengingat. Amir melirik ke arah Pace, wajahnya terlihat memelas bercampur senang. "Pace, Amil mau juga pakai itu. Sekalang Amil tidak ada celana." °°°
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN