Chapter 35

1552 Kata
"Um …." Suara serak terdengar. Itu adalah suara serak anak kecil. Kelopak mata Amir terbuka. Hal yang dilihat oleh bocah laki-laki itu adalah langit-langit rumah, ah atau lebih tepatnya disebut atap rumbia. Amir melihat ke sekitar sekelilingnya. "Eh? di rumah?" Dia bangun dari tidur dan melihat Jingjing dan Cingcing sedang tertidur pulas. Amir keluar dari kamar, dia mencium bau ubi rebus. "Mace lagi masak kah?" tanya Amir setelah dia sampai di pintu dapur. Suara khas baru bangun tidur jelas terdengar dari nada suara Amir. Mace yang sedang meniriskan gembolo rebus yang diambil beberapa waktu lalu dari kebun melirik ke arah Amir. "Eh ko sudah bangun?" Amir mengangguk. Kryuuk kryuuk! Bunyi perut Amir. Ternyata anak itu telah lapar. "Coba lihat ko punya ulat sagu itu, mau dibakar kah atau mau coba makan mentah?" tanya Mace, dia melirik ke arah bakul. Amir melirik ke arah ulat sagu. "Mace, memangnya ulat sagu bisa makan mentah kah?" "Bisa, Anak," jawab Mace. "Mau coba?" tanya Mace. Amir terlihat berpikir, beberapa detik kemudian dia mengangguk. "Sa mau rasa ulat sagu mentah," ujar Amir. "Ambil saja di dalam bakul itu. Itu Mama sudah cuci bersih," ujar Mace. "Ok." Amir mengangguk. Namun, sebelum tangannya mengambil ulat sagu, Amir berkata, "Sa mau makan tapi setelah lihat Pace dan Kaka Liben makan dulu." "Eh?" Mace melirik ke arah Amir. "Percobaan Pace dan Kaka Liben toh Mace. Umpama kalau mati, nanti yang mati duluan Pace dan Kaka Liben, kan ulat masuk mulut," ujar Amir dengan nada dan wajah polos tanpa dosa. "Buahahahahahahahahahahah!" Mace tak kuat menahan tawa. Semburan tawa membahana di tengah dapur kecil itu. Air mata Mace menguap karena terlalu banyak tawa. Liben yang sedang membantu Pace menggosok parang panjang dan kapak ikut tertawa. Pace pun sama. Mereka tak sanggup menahan tawa. Setelah tertawa beberapa lama, Mace menghapus air mata tawa dan melirik ke arah Pace yang sedang menggosok kapak. "Bapa, stop gosok kapak itu lah mari coba akang ulat sagu ini biar anak ini dia percaya kalau makan ulat sagu tra mati," ujar Mace. Pace dengan senyum dan tawa geli mengangguk. Kapak yang telah digosok sebagian itu dibiarkan begitu saja dan Pace berdiri dari duduk dan masuk ke rumah. "Mari Bapa kasih lihat cara makan ulat sagu," ujar Pace. "Ok," sahut Amir. Pace mengambil satu ulat sagu lalu memasukkan badan ulat sagu ke dalam mulut dan menggigit ulat sagu itu memisahkan antara ulat sagu dan kepala ulat sagu. Setelah itu Pace dengan gestur santai mulai menggigit dan mengunyah ulat sagu lalu menelan. Amir manggut-manggut setelah melihat cara Pace memakan ulat sagu. "Pace, bagaimana rasanya? asin tidak? pahit kah? ah atau asam?" tanya Amir dengan raut wajah penasaran. "Rasa enak, Anak. Ada manis-manisnya," jawab Pace. Amir manggut-manggut. Pace memberikan seekor ulat sagu pada Amir. "Ini Anak, coba ko coba makan dulu. Setelah makan pasti ko ketagihan," ujar Pace. Amir memberi isyarat tahan dengan telapak tangannya. "Sabar dulu Pace. Sa tunggu sebentar lagi baru makan," balas Amir. "Eh? tunggu sebentar?" tanya Pace. Amir mengangguk. "Amir mau tahu reaksi ulat sagu di dalam perut Pace. Apakah dalam beberapa menit Pace smaput ka tidak," ujar Amir. Pace, "...." "Pfthahahah!" Pace dan Mace terbahak. (Smaput = semaput/pingsan) "Adoh anak e, ko lucu sekali!" Pace geleng-geleng kepala. Liben menutup mulutnya menahan tawa. Adik angkatnya sungguh lucu. "Tidak ada racun Anak. Ini bukti nih, Bapa tra kenapa-napa. Ayo coba! Bapa juga tra mati, ujar Pace. Amir melihat ulat sagu yang diberikan oleh Pace padanya. Dengan anggukan kooperatif, Amir menerima ulat sagu itu dan mulai menggigit ulat sagu seperti cara Pace makan. Setelah menggigit ulat sagu dan mengunyah sebanyak tiga kalu, mata Amir melihat ke arah mata Pace. Tatapan dua orang laki-laki beda generasi itu saling menatap. "Bagaimana Anak? enak toh?" tanya Pace. Amir mengangguk. "Ada manis-manisnya," ujar Amir. Pace tersenyum. "Memang rasanya manis-manis gurih," ujar Pace. Amir mengangguk. "Lebih enak kalau dibakar," ujar Pace. "Ok, coba bakar. Sa mau rasa," ujar Amir. "Ok." Mace menyahut dari arah dapur. Dengan cekatan, Mace mengumpulkan bara api lalu membakar ulat sagu. Seperti biasa, Amir akan duduk tak jauh dari tunggu tradisional sambil melihat Mace mengipas bara api agar panas dari bara api stabil. Kryuuk kryuuk! "Ouugh! perut Amir sudah tidak tahan lapar, Mace." Amir menatap memelas ke arah Mace. "Sabar e Anak, sedikit lagi ko pung ulat sagu bakar ini dia masak," ujar Mace. Amir mengangguk. Tak lama, hanya satu menit, ulat sagu bakar telah siap. Amir dengan lahap menggigit ulat sagu bakar itu. Rasanya enak dan lumayan untuk mulut orang kota seperti Amir. Makanan-makanan yang dimakan oleh Amir di hutan pedalaman Papua, tak ada di kota pulau jawa. Meskipun Amir baru pertama kali merasakan makan ulat sagu, dia cukup menyukai makanan itu. "Makan yang banyak Anak, jangan ko sakit-sakit," ujar Mace dengan nada sayang. Amir yang sedang memasukan sayur ke dalam mulut mengangguk patuh. Dua temannya sibuk menikmati beberapa ulat sagu bakar yang diberikan. Jingjing dan Cingcing cukup menyukai ulat sagu bakar itu. Mereka tidak pilih-pilih makanan. °°° Setelah makan yang cukup lezat, Amir akan bermain dengan anak-anak di suku pedalaman selama satu atau dua jam, kemudian dia akan pergi tidur. Namun, hari ini Amir tidak lagi tidur siang sebab dia telah tidur dalam perjalanan pulang dari mencari ulat sagu. Bermain hingga sore dan matahari terbenam. Mace datang menghampiri Amir. "Anak, mari pulang sudah lalu mandi, sudah mau malam ini," ujar Mace. "Ok, Mace." Amir mengangguk. Dia melihat ke arah Balo dan kawan-kawan lalu berkata, "Kaka Balo, Kaka Pele, Amir pulang dulu, sudah malam ini." "Ok, Amir. Nanti besok kita main lagi e," ujar Balo. "Ok. Itu pasti," sahut Amir. Amir dan dua temannya yaitu Jingjing dan Cincing berjalan pulang ke rumah Mace. Sesampainya di rumah, Mace menuangkan air panas dan menambahkan dua labu air dingin di wadah. "Anak, tadi agas-agas dan nyamuk gigit ko, mari Mama kasih mandi ko dengan air panas," ujar Mace. "Ok, Mace." Amir mengangguk patuh. (Air panas yang disebutkan oleh Mace adalah air hangat) Setelah mandi dan berpakaian layaknya suku pedalaman, keluarga angkat Amir mulai makan malam. Setelah makan malam yang sederhana, ah ada sisa ulat sagu lagi. Amir tidak bosan atau menolak makan. Setelah makan malam, Amir dan Liben duduk di depan rumah sambil memandangi langit. Langit tertutup rimbunnya pohon, namun itu tak masalah bagi Amir dan Liben. Amir berkata, "Kaka Liben, besok kita pergi cari ulat sagu atau tidak?" "Besok kita pergi ke tempat kemarin untuk tebang pohon sagu, Amir," jawab Liben. "Oh, jadi besok kita tebang pohon sagu untuk cari ulat sagu?" tanya Amir. "Tidak Amir, kita tebang pohon sagu untuk ambil sagu. Nanti kalau sudah ditebang pohon sagu dan sudah diambil sagunya, Kaka Liben kasih lihat untuk ko," jawab Liben. Amir mengangguk. "Sagu itu untuk apa Kaka Liben? batangnya untuk jadi kayu bakar kah?" tanya Amir. "Di dalam batang pohon sagu, nanti ada sagu, itu bentuknya seperti terigu kalau dikasih air. Biasa orang kota sebut tepung sagu. Tepung sagu itu bisa dibuat makanan, seperti sagu lempeng, kue sagu, atau papeda. Nanti kalau sudah ada sagu, Mama bikin untuk kita," jawab Liben. Amir manggut-manggut mengerti. "Oh begitu. Amir tidak sabar tunggu besok e," ujar Amir. "Kenapa ko tidak sabar?" tanya Liben. "Mau pergi tebang pohon sagu toh," jawab Amir. Liben tersenyum. "Liben, bawa masuk Adik itu. Sudah malam e, jangan terlalu di luar," ujar Mace. "Yo, Mama." Liben mengangguk. "Amir, ayo tong masuk sudah, jangan sampai Mama marah," ujar Liben. Amir mengangguk. (Tong = torang, kita) °°° Pagi-pagi setelah sarapan pagi, Pace dan Liben telah menyiapkan peralatan untuk menebang pohon sagu. Kapak dan parang panjang telah disiapkan. Amir juga tak mau kalah, dia menyiapkan golok mini yang dimiliki olehnya. Hans dan Yoke datang ke rumah Pace. "Bapa, sa dengar dari Martius kalau pohon sagu sudah bisa ditebang kah?" tanya Hans. Pace mengangguk. "Sa su bilang Martius itu untuk bilang ke ko dan lain-lain," balas Pace. (Sa su = saya sudah) "Oh sa dan yang lain su siap nih, tinggal kita brangkat saja," ujar Hans. "Ok, kita brangkat sekarang!" perintah Pace. Mace datang memperlihatkan bakul berisi makanan. "Ini makanan untuk Amir. Kalau dia lapar kasih makan dia. Kalian biar tra makan satu hari jua tra apa-apa, asalkan jangan sa pung anak Amir tidak makan." "Hahaha!" Pace tertawa. Hans melirik ke arah Amir yang ternyata sudah siap ikut untuk menebang pohon sagu. "Eh Amir, ko ikut juga kah?" tanya Hans. Amir tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang putih, lesung pipit indah menghiasi dua pipinya. Lesung pipit itu adalah kecacatan yang mempesona. "Iya Om Hans. Amir ikut Pace dan Kaka Liben mau tebang pohon sagu. Kata Kaka Liben kalau pohon sudah ditebang nanti kita bisa makan sagu. Katanya tepung sagu bisa bikin kue." "Ah, pintar sekali e," puji Hans. "Terima kasih Om Hans," ujar Amir. Hans terkekeh. "Hans, ko tra tau kah? kemarin Amir ikut Bapa dan Matius cari ulat sagu," ujar Yoke. "Ah, yang betul?" Hans terlihat terbelalak. "Hah, ko terlalu tanam diri di rumah deng ko punya bini, jadi tra tau kalau Amir ini setiap hari ikut Bapa atau sa cari ikan dan udang," ujar Yoke. (Deng = dengan) Hans menjatuhkan rahang bawahnya melirik ke arah Amir yang sekarang sedang terkekeh. "Hehehe, jadi selama ini Om Hans tanam diri dengan Mama Yako e, oh sekarang Amir mengerti," ujar Amir sambil manggut-manggut layaknya orang dewasa. Hans, "...." menutup wajah malu. "Hahahaha!" orang-orang tertawa. Amir Amir, ada-ada saja. °°°
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN