Chapter 36

1594 Kata
"Anak, karena ini pekerjaan orang besar, ko duduk jauh-jauh dari pohon sagu e, ini tidak bisa anak kecil yang kerja. Jadi nanti Kaka Liben yang temani ko duduk di sana," ujar Pace sambil menunjuk ke arah sebuah pohon sagu bekas yang telah ditebang. "Ok, Pace." Amir mengangguk setuju. Dia tahu bahwa pekerjaan menebang pohon sagu yang besar itu merupakan pekerjaan orang dewasa, tidak mungkin dia bisa menenang pohon itu, apalagi dengan golok mini miliknya yang sangat kecil di genggaman orang dewasa. Ah, sebuah pisau kalau digenggam oleh orang dewasa. Liben memegang tangan Amir dan mereka berjalan ke tempat yang dimaksud. Amir dan Liben duduk jauh dari Pace dan yang lainnya. Jarak antara Amir dan pohon sagu yang akan ditebang kira-kira sejauh tiga puluh meter lebih. Pace harus memastikan bahwa Amir jauh dari pohon sagu yang akan mereka tebang, sebab Pace takut jika setelah batang pohon sagu ditebang, pohon sagu akan ambruk dan menimpa Amir. Jangan sampai itu terjadi, Pace sangat tidak ingin hal buruk terjadi pada anak angkatnya. Setelah melihat tempat duduk Amir dan Liben, wajah Pace menunjukkan ekspresi belum puas. "Liben, mundur terus ke belakang lagi!" Liben mengangguk, dia menarik pelan tangan sang adik angkat dan mundur ke belakang beberapa langkah. Setelah merasa jaraknya pas, Pace mengangguk puas. "Nah bagus, di situ sudah." Liben dan Amir mengangguk. Dua bersaudara angkat itu duduk melihat Pace dan yang lainnya yang bersiap-siap menebang pohon sagu. "Kaka Liben," panggil Amir. "Ya?" sahut Liben. "Kira-kira berapa lama Pace dan Om Yoke tebang pohon sagu?" tanya Amir. Amir melihat Yoke memegang kapak, dan Pace memegang parang panjang yang telah diasah kemarin. "Kalau kapak dan parang tajam, itu cepat saja, tidak sampai setengah jam. Yang bikin lama ini kita harus potong-potong batang pohon sagu jadi bagian-bagian kecil. Itu makan waktu lama sampai satu jam. Tapi ada yang lebih lama lagi, yaitu kita kasih keluar tepung sagu dari batang," jawab Liben. Amir manggut-manggut mengerti. Dia melihat Yoke dengan gerakan kuat mulai menebang pohon. Sedangkan Pace memilih menunggu giliran. "Kaka Liben," panggil Amir. "Hum, apa?" sahut Liben. "Amir baru sadar, ternyata perut Om Yoke ada kotak-kotak e," ujar Amir. Liben menahan tawa. "Jadi ko baperhatikan Om Yoke lai e," ujar Liben. (Baperhatikan = tukang perhatian) Amir mengangguk. "Tangan Om Yoke kuat skali e, sampai bisa pegang kapak sambil ayun-ayun begitu ke pohon sagu, Om Yoke tra rasa lelah kah?" "Baru mulai. Palingan sebentar lagi Om Yoke istirahat, nanti Om Hans atau Om Martius yang ganti," balas Liben. Amir manggut-manggut mengerti. "Ah, Amir tahu. Bagi-bagi tugas." "Hum, pintar," ujar Liben. "Papa Opal juga punya kotak-kotak di perut," ujar Amir. Liben melirik ke arah adik angkatnya. "Amir, coba ko ceritakan ko pung Papa, Kaka Liben mau dengar cerita dari ko," ujar Liben. "Papa Opal itu kuat. Bisa tinju orang sampai smaput. Bisa tebang kepala orang, bisa menembak, dan bisa semuanya," ujar Amir. "Hum … berarti ko punya Papa itu orang yang kuat," ujar Liben menyimpulkan. Amir mengangguk. "Papa Opal memang kuat, tapi selalu kalah dari Mama Aril." "Eh? kalah dari ko punya Mama?" tanya Liben. Amir mengangguk. "Iya, Kaka Liben. Papa Opal itu kalau berhadapan dengan Mama Aril, pasti kalah." Liben manggut-manggut. "Kaka Liben su tau toh kalau bini-bini marah, taunya suami-suami lari angkat kaki," ujar Amir. "Hahahaha!" Liben terbahak. "Macam Mamade Yona kalau marah, Om Yoke lari ilang enam puluh!" ujar Amir. "Hahahha!" Liben tak kuat tertawa. (Lari ilang enam puluh = lari jauh-jauh, ini adalah peribahasa) Apa yang dikatakan oleh Amir adalah lucu. Di realita memang seperti itu, suami-suami banyak takut pada istri mereka saat marah. "Papa Opal itu takut ke Mama Aril … um … atau yang biasa dipanggil Lia," ujar Amir. Liben manggut-manggut. "Lalu ko punya Papa kerja di mana?" tanya Liben. "Papa Opal kerjanya cuma ikut ke mana Mama Aril pergi," jawab Amir. "Eh?" Liben terlihat bingung setelah mendengar jawaban dari Amir. "Kaka Liben kurang mengerti," ujar Liben. "Hum … gimana yah Amir bilangnya … mau bilang pengangguran juga nggak … mau bilang kerja tetap juga nggak. Tapi yang pasti, Papa Opal akan ikut ke manapun Mama Aril pergi," ujar Amir dalam gaya bicara aslinya. Dia belum tahu cara menjelaskan mengenai pekerjaan atau apa yang dilakukan oleh ayahnya. Butuh waktu untuk benar-benar memahami permasalahan orang dewasa. Yang Amir tahu sekarang ini adalah benar sang ayah hanya mengikuti ke mana ibunya pergi. "Lalu bagaimana dengan ko punya Mama?" tanya Liben. "Kalau Mama Aril itu orang yang kuat. Sampai-sampai dulu Mama Aril pernah patahkan tangan Papa Opal," jawab Amir polos. Liben, "...." hanya berkedip-kedip. "Tapi kadang Mama Aril baik, tapi juga galak dan suka diam," ujar Amir. "Eh, tapi sudah lama Amir tidak bertemu dengan Mama Aril …," ujar Amir agak pelan. Liben mengusap punggung Amir. "Amir pernah cerita kalau Mama Aril itu tentara?" Amir mengangguk. "Mama Aril itu tentara. Selalu pegang *s*****a panjang atau pendek. Amir sudah pernah lihat Mama Aril latihan menembak," jawab Amir. "Mama Aril jarang pulang ke rumah dan jarang lihat Amir dan Kakak Adam," ujar Amir sedih. Liben ikut merasa sedih. "Tapi Amir tidak sedih. Yang sedih itu Kakak Adam." Amir menyangkal bahwa dia sedih, dia menuduh sang kakak yang sedih. Ternyata dia juga sedih. Karena gengsi untuk jujur pada Liben, Amir berbohong. "Amir tidak sedih ditinggal oleh Mama Aril. Karena ada Eyang Ran dan Nenek Poko yang selalu sayang dengan Amir." Liben mengangguk mengerti. Jadi Amir ini tinggal dengan kakek dan neneknya. "Amir, mungkin karena tugas tentara, jadi ko punya Mama jarang pulang untuk lihat ko dan ko punya Kaka. Di sini juga ada tentara, mereka meninggalkan keluarga mereka dan tugas di sini," ujar Liben. Amir manggut-manggut. "Amir sudah tahu. Om Askan dan Om Harun juga tentara," ujar Amir. "Jadi banyak e ko punya keluarga yang jadi tentara," ujar Liben. Amir mengangguk. "Om Mail polisi. Om Amran jaksa, banyak om-om Amir tentara dan polisi, stalalu banyak lai sampe Amir tra bisa hitung denf jari," ujar Amir dalam bahasa Papua. "Hahaha!" Liben terkekeh, setelah itu dia manggut-manggut. "Jadi berarti ko tinggal di kota e?" Amir mengangguk. "Ko tenang saja, nanti kalau situasi sudah aman, Bapa dan Kaka Liben yang akan bawa pulang ko ke kota," ujar Liben sambil mengusap punggung adik angkatnya. Ini adalah janji yang sama yang sudah dituturkan banyak kali. "Orang-orang di Sentani itu baik-baik," ujar Liben. Amir mengangguk, namun dia mengerutkan keningnya. "Orang-orang di Jakarta kenapa tidak baik-baik?" "Eh? Jakarta?" tanya Liben. Amir mengangguk. "Eyang Ran cerita, kalau mau pergi keluar rumah harus bersama om bodygat, kalau tidak dengan om bodygat, nanti ada orang jahat yang bawa lari Amir. Ah, biasa disebut culik," ujar Amir. "Amir … jadi ko tinggal di kota apa?" tanya Liben sambil menggaruk kepalanya bingung. "Kata Eyang Ran sih Amir dan Eyang Ran tinggal di kota Jakarta," jawab Amir. Liben terbelalak. "Jakarta?" "Hum, Jakarta." Amir mengangguk. "Hii Amir, Kaka liben dengar Jakarta itu jauh skali dari sini," ujar Liben. Amir melirik ke arah Liben. "Kaka Liben, ini di kota apa?" "Ini di hutan, Amir. Bukan di kota, ko tra lihat kah ada banyak pohon-pohon di sini," jawab Liben. Amir manggut-manggut. "Ah iya yah. Amir sampai lupa." Liben tertawa geli. Buuuummm braaaaaakk! Pohon sagu telah tumbang, begitu melihat bahwa pohon sagu telah tumbang, Amir dan Liben berdiri dari duduk. Mereka berusaha melihat ke depan. Pace dan yang lainnya mulai memotong batang sagu menjadi beberapa bagian. "Itu dipotong lagi kah?" tanya Amir. "Iya Amir. Potong begitu supaya kita bisa bawa pulang toh," jawab Liben. Amir manggut-manggut mengerti. Keringat membasahi dahi, pelipis dan leher Pace dan yang lainnya. Pace dan yang lainnya bekerja sangat cepat. Sementara itu Amir menyentuh perutnya. "Kaka Liben, Amir sudah lapar." Liben mengangguk mengerti. Dia mengeluarkan bekal dari dalam bakul dan memberikannya pada Amir. "Makan ini, Mama bikin untuk ko." Amir mengangguk. Dia makan apa yang Mace bungkus untuknya. Itu adalah ubi jalar rebus yang manis dan enak. Amir makan dengan lahap dan minum air yang telah disediakan oleh Mace. Setelah makan satu utuh ubi jalar rebus, Amir merasa mengantuk. "Kaka Liben, Amir mau tidur," ujar Amir, setelah itu dia mengusap dan mengucek pelan kelopak matanya. "Mari tidur di Kaka Liben punya pangku," ujar Liben. Amir mengangguk. Dia tidur di pangkuan Liben sambil melihat Pace dan yang lainnya telah selesai memotong batang sagu menjadi beberapa bagian. Batang sagu yang dipotong itu kemudian dibelah kecil-kecil. Tujuannya untuk dipikul dan dibawa pulang. Jika memikul potongan yang besar, maka itu terlalu berat. Mata Amir tertutup dan dia tertidur pulas setelah makan siang. Liben mengawasi Amir, jika ada agas atau nyamuk yang akan mendekat ke arah Amir, maka dia yang akan mengusir agas dan nyamuk itu. "Bapa, mari kita istirahat sebentar dulu," ujar Yoke. Pace mengangguk. Mereka duduk di batang pohon sagu yang telah mereka potong. Hans melihat ke arah Amir dan Liben. "Itu Amir dia sudah tidur," ujar Hans menunjuk ke arah Amir yang tidur. Pace melirik ke arah Amir. "Sudah, kasih biar saja dia tidur," balas Pace. "Bapa, kemaren waktu cari ulat sagu itu. Dia ikut cari ataukah hanya duduk-duduk saja dan tidur seperti itu?" tanya Hans penasaran. "Dia ikut cari. Malah dia yang dapat banyak," jawab Pace. "Ah, Masa?" Hans terlihat seperti tidak percaya. Pace menaikkan sebelah alisnya ke arah Hans. "Anak kecil seperti itu tra takut e?" ujar Hans. "Mau takut apa? dia saja tembak orang jahat," ujar Pace. Hans manggut-manggut. "Bapa, dia pernah minta pulang ka tidak?" tanya Hans. "Ya namanya anak kecil ingat dia punya orang tua toh," jawab Pace. "Dia jarang menangis e?" ujar Hans. "Iyo, dia tidak suka menangis macam ko kecil-kecil yang apa-apa sedikit langsung duduk guling-guling di tanah macam babi luka," balas Yoke. Hans, "...." "Hahaha!" orang-orang terbahak. °°°

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN