Chapter 32

1557 Kata
Amir sekarang sedang duduk tak jauh dari tungku tradisional, bocah itu sedang melihat Mace membakar ikan hasil tangkapan jaring yang tadi siang ditangkap oleh Pace. "Huumm haluuuuum!" ujar Amir. Seperti biasa, dia akan mengusap bawah dagu seakan ada air liur yang tumpah. Mace terkekeh geli. "Adoh Anak e, ko ini paleng lucu skali," ujar Mace. "Heheheh!" Amir hanya terkekeh memperlihatkan deretan giginya. "Kita dapat banyak ikan di kepala air, Mace. Padahal kalau pakai jaling itu dapat banyak ikan. Tahu begini sudah dali dulu-dulu kenapa kita tidak pakai jaling saja?" ujar Amir. "Sebenarnya ada jaring sudah lama, cuman hanya jaringnya rusak, jadi tunggu Bapa perbaiki jaring baru bisa pakai," balas Mace. "Oh begitu." Amir manggut-manggut mengerti. "Mace, coba balik ikan itu, sudah mau hangus e!" Amir menunjuk ke arah ikan bakar. "Ah! batul e, sudah mau hangus. Untung ko lihat!" balas Mace. Mace cepat-cepat membalik ikan yang ada di arang tungku. Bau harum khas ikan bakar tercium. Jingjing dan Cincing selalu melihat ke arah tungku mengikuti Amir yang melihat ke arah ikan bakar itu. Tiga anak campuran itu sedang menunggu makan siang yang lezat. Asik menunggu ikan bakar, kening Amir terlihat mengerut. Dia menyentuh perutnya. "Ouh …," ringis Amir menahan sakit. Mace melirik ke arah Amir. "Anak, ada apa? Ko sakit perut kah?" tanya Mace. "Astaga, anak ini sudah lapar mungkin!" Mace hendak menyiapkan makan untuk Amir. "Tidak Mace, Amil mau pelgi ke belakang dulu," ujar Amir. Dia berdiri dari duduk dan mengambil golok mini yang selalu dia bawa jika pergi memetik sayur atau mencari ikan. "Mau kemana, Anak?" tanya Mace. Amir menjawab, "Mace, Amil mau pup." Mace, "... oh …." Mace manggut-manggut mengerti. "Jangan balik-balik muka ke belakang e, nanti lihat Amil pup," perintah Amir. "Hum, ok ok!" Mace mengangguk. Amir berjalan ke arah belakang rumah, tidak terlalu jauh, berjarak sekitar dua hingga tiga puluh meter. Di sana ada cukup rimbun semak-semak. Suara Mace terdengar. "Liben, ambil air untuk Amil, dia ada bera itu di rumput-rumput!" perintah Mace. Tak lama kemudian Liben menyahut, "Yo, Mama!" Liben keluar dari rumah, dia pergi mengambil satu labu air dan berjalan mendekat ke arah Amir yang sedang menunaikan panggilan alam. Amir menggali tanah dengan golok mini, setelah dirasa bahwa lubang itu mampu menampung kotoran manusia yang akan dia keluarkan, Amir membuka koteka dan duduk jongkok. Selama sebulan pup dengan cara tradisional, membuat Amir tidak punya pilihan selain pup dengan cara yang sekarang. Tidak ada wc modern, tidak ada wc duduk, tidak ada wc keramik, yang ada sekarang adalah wc alam di atas tanah. Liben mengerti sang adik angkat jika sedang *buang air besar, anak itu tidak mau didekati oleh orang lain. Jadi Liben duduk di bawah pohon berjarak sekitar sepuluh meter dari semak-semak tempat adik angkatnya buang air. °°° Adelio mengerutkan keningnya dalam setelah melihat peta pencarian yang telah dilakukan. Semua tanda yang diberi tanda x itu pertanda bahwa wilayah itu sudah dilalui atau sudah didatangi untuk mencari keberadaan keponakannya, namun tak ada. Ada sepuluh titik di peta yang diberi tanda x. Adelio mengusap gusar wajahnya. "Benar-benar tidak ada," ujarnya. Mata Lia melirik ke arah selatan danau Sentani. Dia berkata, "Kita harus merubah arah pencarian. Sebelah barat, utara dan timur danau Sentani tidak membuahkan hasil, aku akan ke arah selatan." Adelio melirik ke arah adik iparnya. Setelah itu dia melirik ke arah peta. Arah selatan danau Sentani, itu merupakan daerah yang luas. Hutan lebat di sana, mungkin sang ponakan ada di sana atau bisa jadi ponakannya telah dibawa orang ke kota lain. "Aku akan mencari di kota-kota kabupaten Papua hingga Papua Barat. Kemungkinan orang membawa Amir ke kota lain," balas Adelio. Lia hanya mengangguk singkat. Alan berjalan mendekat ke arah Adelio. "Adel, Lia. Om harus balik ke Jakarta. Mama Poko tidak baik, selalu saja berteriak agar Amir segera ditemukan. Dan kesehatan Kakek kalian juga tidak begitu baik," ujar Alan. Adelio dan Lia mengangguk mengerti. Naufal datang dari arah yang berlawanan dari Alan, dia memegang alat canggih untuk mencari orang. "Om Alan, tolong sampaikan salam Opal untuk Kakek Ran. Opal belum bisa kembali ke Jakarta," ujar Naufal dengan tatapan sendu. Alan mengangguk mengerti. "Om mengerti. Kakek Ran juga pasti mengerti. Sekarang semuanya fokus mencari Amir. Kerusuhan sudah reda, meskipun banyak anggota militer yang dikerahkan untuk menjaga keamanan, masyarakat sipil belum mau keluar sembarangan. Om berpikir, mungkin saja Amir berada di salah satu rumah masyarakat sipil dan mereka takut mengeluarkan Amir," balas Alan. Naufal terlihat berpikir. Ya, mungkin saja. "Opal, semua itu mungkin saja selama kita belum menemukan tubuh atau jejak yang memberi petunjuk bahwa Amir telah tiada-akhhm!" Alan langsung menyesali kata terakhirnya. Dia langsung berdehem. "Maksud Om, Amir pasti masih hidup. Tidak ada tanda-tanda yang memastikan bahwa dia-ah! sudahlah! pokoknya firasat Om Alan mengatakan Amir masih hidup." Alan tak tahu harus menjelaskan apa pada sang ponakan. Naufal mengangguk penuh harap. °°° Bodyguard yang ditugaskan untuk menjaga Adam ketika berada di taman kanak-kanak, melihat Adam duduk termenung sendirian. Adam terlihat diam dan sama sekali tak mau mendekat ke arah teman-temannya. Seorang guru TK berjalan mendekat ke arah bodyguard itu, dia berkata, "Maaf Pak, Adam tidak mau berbicara dengan siapapun selama kurang lebih satu bulan ini, saya khawatir ada yang salah atau sesuatu terjadi padanya. Jika ini dibiarkan terus-menerus, maka psikologinya akan terganggu." Bodyguard pria itu mengangguk mengerti. "Saya mengerti. Akan saya laporkan pada majikan saya." Bu guru itu mengangguk setuju. "Saya sudah berusaha untuk mengajaknya bicara, namun dia tidak mau membuka mulut atau membalas sekatapun ucapan saya. Umpan saya tidak dianggap." Bodyguard mengangguk mengerti. °°° Wajah bodyguard yang berada di taman kanak-kanak tadi terlihat agak menyesal setelah berbicara dengan Ben. "Guru TK sudah melakukan yang terbaik, namun Tuan Adam tetap tidak mau bicara pada siapapun. Beliau takut hal ini akan mempengaruhi psikologi Tuan Adam," ujar sang bodyguard. Ben melihat ke arah Adam yang hanya duduk diam sambil menunduk. "Terima kasih untuk kerja hari ini," balas Ben. Bodyguard itu mengangguk dan dia pamit undur diri. Ben mendekat ke arah Adam, lalu dia mengusap kepala Adam. "Kenapa Adam tidak mau bermain bersama teman-teman?" Adam hanya diam dan tak menjawab. Dia menunduk memperlihatkan wajah sendu yang amat sedih. Ben tidak marah, dia malah merogoh ponselnya dan menelpon seseorang. 'Gendhis' Itu adalah nama kontak yang dipanggil oleh Ben sekarang. Beberapa detik kemudian panggilan tersambung. "Halo, assalamualaikum Om Ben," salam orang dari seberang. Itu adalah suara wanita yang merdu dan manis. "Gendhis, maaf Om Ben mengganggu waktu kamu, tapi bolehkah Om Ben sedikit merepotkan kamu?" tanya Ben. "Baik, apa itu, Om?" tanya Gendhis. "Terkait dengan hilangnya Amir, kamu pasti sudah tahu … ini … tentang Adam yang tidak mau bicara pada teman-temannya. Hari ini, ada laporan dari bodyguard bahwa Adam sering diam dan melamun, dia tidak ingin bicara dengan siapapun di sekolahnya. Guru TK-nya takut jika Adam seperti ini terus maka akan berdampak pada psikologisnya. Itu … bisakah Om Ben merepotkanmu untuk datang ke Jakarta? maaf, hanya kamu psikiater yang dekat dengan Lia dan Ariella," ujar Ben. "Baik, Om. Gendhis akan ke Jakarta. Hari ini akan urus cuti, dan besok akan ke jakarta," ujar Gendhis. "Terima kasih," ujar Ben. "Om, kita keluarga. Anak Aril juga anakku," balas Gendhis. °°° Gendhis tersenyum manis ke arah Adam yang duduk sambil menunduk. "Halo Adam, masih ingat Kakak Hesti?" tanya Gendhis dengan nada lembut ke arah Adam. Dia menunjuk ke arah anak perempuan berusia enam tahun. Namanya adalah Hesti, dia adalah anak perempuan dari Gendhis. Hesti, anak perempuan yang berusia enam tahun lebih itu tersenyum ke arah Adam. "Halo, Adam." Adam hanya diam. Ben dan Gendhis saling melirik. Kemudian Gendhis mengangguk mengerti. Sebagai psikiater, dia paham apa yang terjadi pada Adam. "Adam rindu adik Amir?" pertanyaan Gendhis langsung membuat Adam mendongak melihat ke arah Gendhis. Mata Adam memerah dan berkaca-kaca. Tepat sasaran! Gendhis tersenyum lembut. "Adam harus jujur ke Tante Didi. Ayo katakan, apakah Adam kangen Amir?" Adam mengangguk. Air matanya tumpah setelah anggukan kuat Adam. "Amir juga pasti kangen Adam," ujar Gendhis. "Tapi Amir belum pulang ke rumah … Adam ingin bermain bersama Amir. Tante Didi, Adam janji, kalau Amir pulang, Adam akan bermain bersama Amir, dimanapun Amir bawa Adam bermain, Adam tidak akan keberatan," ujar Adam sedih. Gendhis mengangguk mengerti, dia mengusap kepala Adam. "Jika Adam mau Amir kembali ke rumah dan bermain bersama Adam lagi, Adam harus semangat belajar dan bermain bersama teman-teman lain. Kalau Adam diam terus dan tidak ingin bermain, bagaimana Amir bisa yakin nanti kalau Adam itu mau dibawa ke mana saja bermain oleh Amir?" Adam terdiam, dia terlihat berpikir. Beberapa saat kemudian Adam bertanya, "Jadi Adam tidak boleh sedih?" "Hum, tidak boleh," jawab Gendhis. "Adam juga tidak boleh menangis. Ah, bukankah Amir tidak suka orang yang cengeng?" tanya Gendhis. Adam mengangguk pelan. "Kata Amir … Adam selalu cengeng …," jawab Adam lirih. Gendhis tersenyum dan mengusap kepala Adam. "Jadi, Adam tidak boleh cengeng supaya Amir pulang dan bermain lagi bersama Adam." Adam mengangguk. "Um … Adam janji tidak cengeng lagi." "Pintar!" puji Gendhis. Gendhis melirik ke arah anaknya. "Hesti, ayo bermain bersama Adam." "Baik, Bun." Hesti menyahut. Hesti menarik pelan tangan Adam dan mengajaknya bermain. "Adam, ayo kita bermain. Kamu mau main apa?" Adam menatap Hesti. "Amir suka main di saluran got …," jawab Adam. Hesti dan lainnya, "...." Jadi, apakah mereka harus mengizinkan dua anak itu main di saluran got? Ben memijat pelipisnya. Setidaknya sang cucu tidak pendiam lagi. °°°
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN