Chapter 33

1525 Kata
Satu setengah bulan hilangnya Amir. "Pace, kita hari ini mau ke mana kah? mau pergi tangkap ikan atau berburu?" tanya Amir. Selama satu setengah bulan tinggal dengan keluarga angkatnya, Amir tidak lagi cadel huruf 'r'. Dia sudah terbiasa mendengar dan bercakap dengan menggunakan bahasa sehari-hari Papua. "Ah tidak, Anak. Kita hari ini tidak pergi tangkap ikan ataupun berburu," jawab Pace. "Eh? lalu nanti kita makan siang dengan apa, Pace? makan ubi rebus saja kah?" tanya Amir. Pace tersenyum ke arah Amir. "Kita hari ini akan pergi cari ulat sagu," jawab Pace. "Ulat sagu?" Amir mengerutkan keningnya. "Iya Anak, ulat sagu," sahut Pace. "Um … kayaknya Amir pernah dengar nama ulat sagu … tapi dengar di mana e?" gumam Amir sambil mengingat. Pace tersenyum geli. Beberapa minggu lalu, Amir pernah mengatakan bahwa jika ikan dan udang habis, lalu mereka akan makan apa? Pace menjawab mereka akan makan ulat sagu. "Waktu itu Bapa ada janji untuk Anak tuh, kalau kita akan pergi mencari ulat sagu untuk dimakan," ujar Pace. "Akh! itu dia!" Amir langsung terperangah sadar. Dia menunjuk ke arah Pace dan berkata, "Kalau ikan dan udang sudah habis di sungai, Pace janji untuk Amir mau pergi cari ulat sagu untuk dimakan!" "Nah! ko ingat. Memang anak ini pintar sekali e," puji Pace. Pace sangat senang memiliki anak angkat yang sepintar Amir ini. "Hehehe, siapa dulu dong? Amiiir!" Amir berbangga diri, dia mengusap lubang hidungnya dengan jari jempol membuat gestur sombong. "Hahaha!" Pace tertawa. Amir selalu saja membuat hari-hari Pace dan yang lainnya terasa ramai dan banyak suka cita. Keluarga angkat Amir sangat senang dengan kehadiran Amir di tengah-tengah mereka. Mace melirik ke arah Pace, dan bertanya, "Bapa, sebenarnya ini anak punya nama siapa? Amil kah Amir?" Mace agak bingung mengenai nama Amir. Sudah satu setengah bulan ini Mace memanggil Amir dengan sebutan Amil. (Kah=atau, ini adalah kata konjungsi atau kata hubung dari logat bahasa sehari-hari Papua dan Timur Indonesia. Artinya dapat berbeda-beda tergantung penempatan dan maksud dari kalimat atau ucapan) Pace melirik ke arah Mace. "Seharusnya ini anak tidak teler huruf r lagi, Mama. Jadi, sa pikir anak ini namanya Amir," jawab Pace. (Teler = cadel) Mace manggut-manggut. "Amil ko punya nama sebenarnya Amil kah atau Amir?" tanya Mace. Amir melirik ke arah Mace, dia tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi putihnya dan menjawab, "Mace, sa pung nama itu Amir Aji Basri." (Sa pung = Saya punya nama) Logat bahasa sehari-hari Papua sudah sangat kentara dalam ucapan Amir. "Ah! jadi memang ko kemarin-kemarin teler huruf r e! sekarang Mama su tau ko punya nama asli!" Mace terlihat senang. (Su=sudah) "Hehehehe, sekarang Amir tidak cadel lagi, Mace. Kaka Liben, Kaka Balo, Kaka Cilo, dan Kakak Cilo setiap hari main dengan Amir, jadi Amir sudah lancar bicara huruf r!" balas Amir. "Ah, pintar sekali Anak!" Mace memperlihatkan jempol kanan ke arah Amir. °°° Beberapa saat kemudian. "Pace, kita mau cari ulat sagu di mana?" tanya Amir di atas punggung Liben. Amir, Pace, Liben dan beberapa orang dewasa laki-laki bepergian untuk mencari sumber protein hari ini, sumber protein yang akan mereka cari adalah ulat sagu. Ulat sagu sangat enak dimakan baik mentah atau pun dibakar. Nutrisi protein yang terkandung di dalam ulat sagu sangat baik untuk tubuh. "Kita cari ulat sagu di pohon sagu yang sudah busuk, Anak," jawab Pace. "Ah! yang waktu itu Pace bilang ulat sagu di sagu busuk toh?" tanya Amir sambil mengingat ucapan Pace tempo hari. "Nah, benar Anak." Pace menyahut sambil mengangguk membenarkan. "Jadi pohon sagu busuk itu di mana, Pace?" tanya Amir. "Di tempat pohon sagu toh, Anak," jawab Pace. "Tempat pohon sagu itu di mana, Pace?" tanya Amir. "Tempat pohon sagu itu ada di sekitar kali rawa," jawab Pace. "Kali rawa itu di mana Pace?" tanya Amir. "Kali rawa itu jauh sekali e Anak dari sini," jawab Pace. "Seberapa jauh itu, Pace?" tanya Amir. "Sejauh mata memandang," jawab Pace. "Tidak bisa dilihat dari sini kah, Pace?" tanya Amir. Pace, "...." tidak mampu lagi menjawab pertanyaan dari anak angkatnya. "Hahahaah!" orang-orang yang mengikuti Pace dan Amir terbahak. "Bapa, Amir ini tidak pernah lelah bertanya," ujar pria a. Pace mengangguk. "Sa punya anak yang ini nih kalau satu hari tidak bertanya, maka pasti ada yang salah pada dia," ujar Pace. "Hahahah!" orang-orang tertawa. Pace melirik ke arah Amir dan berkata, "Anak, pokoknya ko tenang saja, nanti sampe di tempat kali rawa-rawa yang tempat sagu itu baru Bapa kasih lihat ko." "Ok, Paceku!" Amir mengangguk. Beberapa saat kemudian, Amir dan yang lainnya tiba di tempat yang dimaksud. Pace melirik ke arah satu pohon sagu besar dan tinggi. "Martius, ini pohon sagu su bisa tebang ini," ujar Pace. Martius yang adalah pria a tadi melihat ke arah pohon sagu yang tingginya sekitar tiga belas meter. "Iya Bapa. Su bisa tebang," balas Martius. "Besok kita datang lagi untuk tebang ini pohon," ujar Pace. "Iya, Bapa." Martius mengangguk mengerti. "Pace, kita sudah sampai di tempat sagu busuk kah?" tanya Amir. Pace menunduk dan melirik ke arah Amir, dia mengangguk. "Iya, Anak. Ini sudah yang dinamakan kali rawa-rawa pohon sagu." Pace menunjuk ke arah kali kecil, seperti rawa kecil. Habitat hidup pohon sagu memang ditempat yang basah dan banyak air. Amir melihat ke sekeliling, banyak akar pohon sagu yang mencuat dari dalam ke luar tanah. Akar pohon sagu mirip dengan akar pohon kelapa. Amir manggut-manggut mengerti. "Duri-duri semua e Pace, ini pohon apa?" tanya Amir sambil menunjuk beberapa pohon sagu yang masih kecil dan ada yang sudah agak besar. "Ini yang namanya pohon sagu, Anak," jawab Pace. "Oh, yang duri-duri itu?" tanya Amir menunjuk pohon berduri. Itu adalah pohon sagu. "Iya, Anak. Itu akang sudah pohon sagu," jawab Pace. (Akang = merujuk pada objek yang dimaksud (berupa benda) "Lalu kita mau cari ulat sagu di dalam pohon sagu yang itu?" tanya Amir. "Tidak Anak, itu pohon sagu masih hidup dan belum ditebang. Kita akan cari ulat sagu di pohon sagu yang sudah ditebang dan batangnya sudah busuk," ujar Pace. "Oh …," gumam Amir sambil manggut-manggut, "lalu di mana pohon sagu yang busuk, Pace?" Pace menunjuk ke arah kiri, berjarak sekitar dua puluh meter dari tempat mereka berdiri sekarang. "Itu sana! itu sudah yang namanya pohon sagu busuk." Amir melirik ke arah yang ditunjuk. "Ayo kita cari ulat sagu!" Amir terlihat sangat bersemangat. Pace mengangguk. "Kaka Liben, ayo!" panggil Amir. Liben berjalan mengikuti Amir dari belakang. Amir berlari ke arah pohon sagu itu. Kakinya penuh dengan becek dan tanah lumpur, namun dia tidak merasakan jijik. Setiap hari anak yang bernama Amir ini bermain di luar rumah, bahkan masuk di dalam saluran got, jijik apa yang ada pada diri Amir? Sama sekali tidak ada rasa jijik. Begitu sampai di dekat pohon sagu busuk, Amir terlihat bingung menatap pohon sagu itu. "Kaka Liben, ini mau cari ulat sagu bagaimana kah?" "Begini caranya cari ulat sagu, Amir." Liben mencongkel dalam isi pohon sagu yang busuk. Setelah mencongkel satu menit, ditemukanlah se-ekor ulat sagu. Kepala ulat sagu kecil, sementara badan ulat sagu itu berwarna putih agak coklat. Ulat sagu itu menggeliat minta dilepaskan oleh Liben. "Wooah! jadi ini ulat sagu?" tanya Amir dengan tatapan takjub ke arah ulat sagu yang dijepit oleh ibu jari dan jari telunjuk Liben. Liben mengangguk. "Iya, Amir. Ini sudah ulat sagu. Ini yang nanti sebentar siang kita makan." Amir manggut-manggut mengerti. "Ok, Amir mau cari ulat sagu," ujar Amir. Dia mengeluarkan golok mini dari saku pinggang dan mulai mencongkel pohon sagu busuk. Merasa bahwa adik angkatnya telah paham dan tahu wujud dari ulat sagu, Liben membiarkan Amir mencari ulat sagu. Sementara itu, Liben melanjutkan mencari ulat sagu. Tak sampai satu menit, suara seruan Amir terdengar. "Kaka Liben, Amir dapat satu ulat sagu ini!" Liben melirik ke arah Amir. Matanya terbelalak setelah melihat bentuk ulat sagu yang dilihat oleh Amir. Tangan kanan Amir hendak memegang ulat sagu itu, namun Liben dengan cepat berkata, "Amir, itu bukan ulat sagu, itu ulat bulu! lepas! lepas!" Liben menjauhkan Amir dari ulat bulu. Ya, ulat bulu, bukan ulat sagu. Amir mengerutkan keningnya. "Eh? ini ulat bulu?" Liben mengangguk. "Iya, ini ulat bulu, bukan ulat sagu." Amir melirik baik-baik wujud ulat bulu. "Oh, warnanya hijau, ulat sagu warnanya putih," ujar Amir sambil manggut-manggut mengerti. Dia menemukan perbedaan mendasar antara ulat sagu dan ulat bulu. "Nah, benar. Ulat bulu warna hijau, sedangkan ulat sagu warna putih," timpal Liben. Kemudian Liben berkata lagi, "Lihat ini, ulat bulu ada bulunya, itu yang halus-halus. Kalau kena badan nanti gatal-gatal. Jadi Amir tidak boleh pegang." Amir dan Liben melihat lebih dekat ke arah ulat bulu itu. "Coba lihat ini, ulat sagu tidak ada bulu," ujar Liben. Amir manggut-manggut mengerti. "Ok ok, sekarang Amir sudah tahu." "Nah, kalau sudah tahu, ayo cari lagi," ujar Liben. "Ok." Amir mengangguk. Dia melanjutkan mencongkel batang pohon sagu busuk. Tak berapa lama, mata Amir menemukan dua ulat sagu asli yang sedang menggeliat. Amir mendekat ke arah ulat sagu itu dan melihat lebih jelas dan saksama. Merasa bahwa itu adalah ulat sagu yang asli, Amir mengambil ulat sagu itu. "Kaka Liben, ini benar-benar ulat sagu yang asli toh? bukan tipu-tipu." Amir memperlihatkan ulat sagu ke arah Liben. Liben mengangguk puas. "Ya, benar sekali. Itu yang asli, bukan tipu-tipu." Amir mengangguk puas. °°°
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN