Chapter 31

1556 Kata
Amir melihat Pace memasang jaring di sekitar kolam air yang berukuran dua kali dua meter. Karena sudah dua minggu lebih panas, jadi mata air dan kolam yang menampung air juga berkurang dan kecil. Amir duduk di atas batu yang berukuran sedang sambil menongka dagunya. Ciri khas dia jika sedang melihat orang melakukan sesuatu. Pace sudah selesai memasang jaring. "Pace, kita tunggu belapa lama kah bial bisa bawa pulang ikan?" tanya Amir. "Kita tunggu sampai ikan-ikan ini masuk dan terjerat di jaring, Anak," jawab Pace. "Itu tunggu belapa lama, Pace?" tanya Amir. "Um … tidak terlalu lama oh Anak, setengah jam lagi sudah ada ikan yang masuk," jawab Pace. "Oh begitu." Amir manggut-manggut mengerti. "Lalu kita duduk-duduk saja begini kah Pace?" tanya Amir. Pace menggeleng. "Sambil menunggu ikan masuk jaring, mari kita cari sayur dulu Anak untuk makan hari ini," ujar Pace. Amir mengangguk bersemangat. Dia berdiri di atas batu dan mulai melompat turun. "Pace, ayo kita cali sayul!" seru Amir. "Amil, di sini banyak sayur!" Liben berseru dari arah seberang sungai kecil sambil melambaikan tangan kanan yang telah memegang dua tangkai sayur pakis. "Eh?! Kaka Liben ini, cali sayul balu tidak ajak-ajak Amil e!" Amir melotot ke arah Liben dan menongka pinggangnya. "Hahaha, ko terlalu serius jadi Kaka Liben tra mau ganggu," balas Liben setelah tertawa. Amir dengan cepat berlari ke arah Liben. Dua orang itu terlihat sangat serius memetik pakis muda untuk dijadikan sayur. Amir telah mahir memetik sayur pakis, sebab kesehariannya selama satu bulan tinggal di hutan pedalaman adalah mencari ikan, udang dan sayur. Jadi, dia tahu mana sayur yang dapat dimakan oleh keluarga angkatnya. Tangan Amir dengan sekejap penuh dengan sayur pakis muda, dia memeluk sayur itu agar tidak jatuh. "Amil, mari ko punya sayur Kaka Liben taruh di bakul," ujar Liben. Amir mengangguk tanpa menoleh ke arah Liben. "Ok." Satu kata 'ok' yang dikeluarkan oleh Amir. Dia memberikan sayur pakis yang ada di gendonganya tanpa melirik ke arah Liben, sebab dia sibuk memetik sayur pakis yang dilihatnya. "Banyak sekali e sayul di sini, ini kalau kita bawa pulang banyak, pasti Mace senang sekali ini," ujar Amir dengan nada penuh semangat. "Iya, Amil, Mama pasti senang toh," timpal Liben. "Amil mau ambil banyak-banyak ah!" seru Amir. Pace yang memetik sayur tersenyum ke arah Amir. Semakin hari, Pace semakin sayang pada Amir. Anak angkatnya itu sama sekali tidak menangis takut tinggal dengan mereka. Amir tidak menangis untuk pulang dan merengek takut. Kadang Pace berpikir, apakah anak seumuran Amir ini nyata ataukah hanya ilusi semata? Karakter Amir ini hampir sama persis dengan anak sulung Pace yang telah menghadap Ilahi sepuluh tahun. Pemberani, tidak takut apapun dan tegas. Satu yang membedakan Amir dengan anak sulungnya yaitu Amir ini bocah yang cerewet. Suka bertanya ini itu, jika tak puas dengan jawaban, maka dia akan bertanya lagi. Namun, meskipun Amir ini cerewet, Pace tetap menyukai Amir apa adanya. Sa ingin anak ini tinggal sedikit lama dengan sa, Tuhan. Sa paleng sayang ini anak, batin Pace. Ya, Pace ingin tinggal lebih lama dengan Amir. Sesungguhnya Pace tak ingin Amir cepat pulang ke kota. Tapi janji Pace sebelumnya harus ditepati. Sa harap bisa beberapa bulan tinggal dengan anak ini sebelum kota benar-benar aman dan bawa dia pulang ke kota, batin Pace. Pace melihat Amir yang tertawa lebar sambil memetik sayur. Anak itu tidak menunjukan tanda-tanda lelah. Visual Amir di mata Pace berubah menjadi seorang anak berkulit hitam rambut keriting yang memakai koteka sedang memetik sayur pakis dengan senang dan tertawa bahagia. Bibir Pace bergetar dan bergumam, "Maipe …." Ya, visual yang Pace lihat dalam diri Amir sekarang adalah visual anak sulungnya yang sepuluh tahun lalu telah tiada. Mata Pace berkaca-kaca saat melihat betapa bahagianya Amir yang memetik sayur. Dua puluh lima tahun yang lalu. Seorang anak berkulit hitam dan rambut keriting berlari senang sambil memperlihatkan beberapa ikan yang ditusuk di bagian insang menjadi satu dan berlari riang ke arah seorang pria berusia tiga puluhan. "Bapa! Bapa! lihat ini! sa dan Kak Yoke pergi tangkap ikan di danau Sentani dapat banyak ikan e!" seru anak berumur lima tahun itu dengan nada riang. Pria yang dipanggil Bapa oleh anak laki-laki itu menoleh ke arah anak kecil itu. "Maipe, ko ini pergi dengan Kaka Yoke baru tra bilang-bilang Bapa dan Mama, kita cari tra ada ko." Wajah Bapa terlihat lega saat melihat sang anak kembali dengan selamat. "Hehehe, ikut Kaka Yoke toh tangkap ikan di danau," balas Maipe setelah tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi putihnya. Pace ikut tersenyum senang, dia mengusap sayang kepala Maipe. "Ayo ke rumah, sebentar lagi ada acara doa persahabatan," ujar Pace. "Ok," sahut Amir. Di belakang ada Yoke yang sedang memikul ikan di dalam jaring. Ikan di danau Sentani sangat banyak. Danau sentani adalah danau yang terbesar di Papua. Suku Sentani mencari ikan untuk bertahan hidup. Banyak suku-suku yang bertahan hidup dengan mencari ikan. Luasnya danau Sentani sangat luas. Danau Sentani terbentang dari wilayah kota Jayapura sampai ke kabupaten Jayapura, Papua. …. Beberapa saat kemudian banyak orang sudah terlihat duduk di sebuah rumah beralaskan tanah dan hanya ditutupi oleh atap rumbia atau daun sagu. Banyak makanan telah dimasak dan diletakan di tengah. Ada ikan bakar, umbi rebus, sayuran, ada daging dan sebagainya. Makanan yang ada terlihat enak dan banyak rasa, sebab mereka tinggal tidak terlalu jauh dengan perkampungan. Jadi, bahan-bahan dapur seperti garam, gula dan sebagainya mudah didapat di beberapa toko terdekat. Meskipun jarak kurang dari dua kilometer. Namun itu cukup dekat dengan perkampungan. "Mari kita berdoa ucapkan syukur atas persahabatan antara dua suku ini, saya harap tidak ada lagi pertikaian di antara suku kita dan suku lain," ujar Ketua adat suku. Kepala suku bukalah Pace yang sekarang, dia adalah ayah dari Pace. Kakek dari Maipe dan Liben. "Tete, sa mau pakai itu!" Maipe menunjuk ke arah pinggang seorang anak yang berusia sama dengan dia. (Tete = Kakek) Sang kepala suku melirik ke arah koteka. "Maipe, itu punya orang," ujar kepala suku. Maipe terlihat agak sedih dan memelas. "Katanya kita berteman, tra apa-apa toh pakai itu?" Kepala suku dari suku lain tersenyum. "Ah, boleh-boleh! Matius, kasih kamu punya koteka untuk sodara Maipe e? kam kan sekarang basudara," ujar kepala suku itu. (Kam=kalian) Matius yang memakai koteka mengangguk. Dia mengeluarkan satu koteka cadangan di dalam tas ransel kain. Itu adalah koteka cadangan apabila koteka yang dipakai olehnya basah. "Ini Maipe, saya kasih untuk kau, ini jadi tanda persahabatan di antara kita," ujar Matius ke arah Maipe sambil memberikan koteka. Maipe mengangguk. "Baik Sodara, terima kasih." Maipe menerima koteka itu. "Mari saya kasih tahu cara pakai," ujar Matius. "Yo Sodara, mari pasang," balas Maipe. Matius mengikat koteka di pinggang Maipe. Wajah Pace terlihat senang, senyum senang tercetak. …. Pace yang melihat Amir sekarang masih tersenyum mengingat masa lalu yang terjadi dua puluh lima tahun lalu di mana anak sulungnya baru berusia lima tahun. Meskipun ada sedikit perbedaan umur antara Maipe yang dulu dan Amir yang sekarang, namun pada dasarnya mereka sama saja. Badan Amir terlihat lebih bugar dan segar. Ini kemungkinan karena makanan dan gizi yang diterima oleh Amir selalu diperhatikan oleh kakek buyutnya. Badan Amir yang gemuk berisi itu tidak terlalu gemuk atau gendut. Malah bagus. "Pace, ini sayul tambah lagi kah?" tanya Amir, jari telunjuknya menunjuk ke arah bakul yang sudah penuh. Mata Pace terbelalak. "Anak, itu terlalu banyak e, nanti kita tra sanggup makan," jawab Pace. Amir terdiam lalu melirik ke arah bakul yang penuh. Selama beberapa detik diam, Amir melirik ke arah Liben dan berkata, "Barang Kaka Liben lai, tra bilang-bilang sa e kalau bakul su penuh." Liben dan Pace, "...." melirik serentak ke arah Amir. Beberapa detik sunyi. Bibir Liben terbuka. "A-amir … ko su bisa bahasa Papua e!" Wajah Liben terlihat tak percaya pada saudara angkatnya. Mata Pace berkedip-kedip ke arah Amir. Sementara Amir terkekeh. "Hehehe, skali-skali toh bahasa Papua." Liben dan Pace, "...." terlihat senang dan terperangah. Amir melirik ke arah Pace. "Pace, jadi ini sudah cukup toh?" tanya Amir menunjuk ke arah bakul. Pace hanya mengangguk tanpa sadar. "Kalau begitu kita lihat ikan sudah, jangan sampai ikan-ikan sudah banyak masuk jaling itu," ujar Amir sambil menunjuk ke arah tempat diletakkannya jaring ikan oleh Pace. Pace hanya mengangguk. "Ayo lihat ikan!" seru Amir penuh semangat. Dia berlari ke arah jaring ikan. Tinggi air setinggi dadanya. "Pace, Amil tenggelam ini!" seru Amir. Pace tersadar dan buru-buru membuang beberapa tangkai pakis yang telah dipetik dan melangkah cepat ke arah Amir. Namun, Pace menemukan Amir sedang mengintip di dalam jaring ikan sambil meraba ikan yang berhasil tertangkap jaring. Pace, "...." tiba-tiba menjadi linglung. Liben hanya menggelengkan kepalanya. Adik angkatnya itu memang setiap hari selalu hiperbola. Karena hiperbolanya, orang-orang cepat ingin datang padanya dan melihat apakah dia baik-baik saja. Namun, meskipun sang adik angkat selalu hiperbola, Liben tetap menyayangi adiknya itu. Liben tersenyum dan berjalan mendekat ke arah Amir dan Pace. "Pace, ayo angkat jaling sudah! su banyak ikan nih!" perintah Amir menunjuk ke arah jaring. Pace mengangguk dan menyahut, "Baik, Anak." Pace menarik jaring ikan, dan benar saja, banyak ikan air tawar yang terjaring. Meskipun ukurannya tidak terlalu besar, yaitu hanya seukuran dua jari orang dewasa, namun cukup banyak ikan yang terjaring. Sekitar dua puluh ekor ikan tertangkap. "Yes! kita dapat banyak! sa pulang bilang Mace bakal ah!" seru Amir sambil mengepalkan kepalan tangan kanan ke atas. Logat bahasa Papua sudah mulai kentara digunakan oleh Amir. Pace dan Liben tertawa senang. °°°
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN