Chapter 9

1792 Kata
Dor! Dor! Dor! Dor! "Aakh!" Orang-orang berteriak ketakutan dan menutup mata mereka, mereka tak ingin melihat butir peluru yang ditembakan dari *s*****a laras panjang itu ke arah mereka. Namun, setelah beberapa detik mereka menutup mata mereka, tidak ada apapun yang terjadi pada tubuh mereka. Baik dari tembakan peluru atau hal kasar lainnya yang dilakukan oleh kelompok pemberontak. Secara perlahan mereka membuka kelopak mata mereka lalu melihat ke arah depan. Tak jauh dari depan mereka, empat kawanan dari kelompok pemberontak telah mengeluarkan *darah dari mulut mereka ah, atau lebih tepatnya mereka memuntahkan *darah segar. Satu orang yang merupakan bagian dari kawanan kelompok pemberontak itu memegang dadanya sambil meringis menahan sakit yang luar biasa dari dadanya. "Bsuukk!" *darah segar disemburkan keluar dari mulut. Para wanita dan anak-anak yang tadi disandera itu mundur takut ke belakang. "Jangan pukul pelempuan dan anak-anak! Eyang Lan nanti malah!" seru Amir dengan nada marah ke arah empat kawanan kelompok pemberontak. Tiga wanita dan lima orang anak itu melirik ke arah depan, berjarak sekitar lima belas meter seorang anak laki-laki kecil, berbaju kaos merah dan celana hitam, bersepatu sport, ada seekor anak kucing di bahu kanan dan seekor anak anjing di sebelah kiri melihat ke arah empat orang yang terkapar jatuh ke tanah. Dua tangan anak itu memegang *pistol silver yang diarahkan ke empat orang yang hendak mengeksekusi mereka. Mereka yakin, empat orang jahat itu pasti baru saja ditembak oleh seorang anak kecil itu. Wajah anak kecil itu terlihat marah ke arah empat orang yang terkapar itu. "S-s**l … uhuk! uhuk! uhuk!" seorang dari kelompok pemberontak terbatuk lalu mengeluarkan darah. Dia adalah orang yang menyuruh untuk menembak para wanita dan anak-anak. "Lali! ayo lali! seru Amir. Lari. Para wanita dan anak-anak cepat berlari ke arah hutan lebih dalam. Namun, seorang anak lelaki berusia sekitar 12 tahun berhenti berlari lalu melihat ke arah belakang, tepatnya ke arah Amir yang terlihat lelah dan ngos-ngosan. Anak lelaki itu ragu untuk berlari mengikuti keluarganya, dia malah berlari menuju ke arah Amir lalu menggendong Amir dan setelah itu dia berlari menyusul yang lainnya. °°° "Dia baik Bapa, sa mohon jang usir dia pigi dari sini," ujar seorang anak lelaki yang tadi menggendong Amir lari ikut yang lain. (Dia baik Bapak, saya mohon jangan usir dia pergi dari sini.) Seorang lelaki paruh baya yang berpenampilan fisik sama seperti anak lelaki itu melihat ke arah Amir yang duduk di pangkuan istrinya. "Lapal … Tante, Om … Amil lapal," ujar Amir lirih. Wajahnya terlihat memelas. "Ambil air dan makanan, cepat!" perintah sang istri dari pria paruh baya itu. Beberapa orang datang membawa air dan makanan yang berupa ubi bakar. "Iya Bapa, dia selamatkan kita semua sampai kita bisa hidup sekarang ini. Kalau tidak ada dia, kita semua sudah ditembak mati oleh empat orang yang buat kerusuhan itu," timpal seorang wanita yang merupakan korban k*******n dari empat orang kelompok pemberontak tadi. "Bapa, sa mohon, jangan biarkan dia pergi sendiri, dia sendiri saja kasihan," ujar seorang wanita lain. (Bapak, saya mohon) "Iya Bapa, ana ini dia baik," timpal wanita lain. (Iya Bapak, anak ini dia baik.) Pria paruh baya itu melihat Amir meminum air dan makan ubi bakar dengan lahap. Mungkin karena Amir satu hari kemarin hingga ini hanya makan apel, jadi perutnya tidak kenyang, makanan yang diberikan oleh keluarga yang tak sengaja dia tolong itu membuat Amir tidak bisa mengabaikannya. Selain itu, ada beberapa goresan kecil di tangan dan pipi Amir, itu goresan dari semak-semak yang Amir lewati. Wajah pria paruh baya itu terlihat iba ketika melihat Amir yang makan makanan apapun yang diberikan oleh mereka. "Baik sudah, anak itu dia bisa tinggal di sini, tapi setelah kerusuhan ini berakhir, dia harus dibawa pulang ke keluarganya," ujarnya. Anak lelaki yang tadi membawa Amir tersenyum senang. …. Amir tersenyum ke arah anak yang membawanya, lalu ke arah orang-orang yang sedang melihatnya. Setelah kenyang, banyak orang ingin melihat wajah anak kecil yang katanya menolong keluarga mereka dari eksekusi kelompok pemberontak. "Halo Pace, Mace, Kakak," ujar Amir dengan nada suara semanis mungkin. Mace yang dipanggil itu tersenyum. "Adik kecil ini tahu nama sendiri?" tanya Mace. Amir mengangguk. "Amil Aji Basli," jawab Amir. "Oh nama Amil Aji Basli, yah." Mace manggut-manggut mengerti. "Adik kenapa bisa ada di hutan?" tanya Mace, suara Mace tidak terdengar kasar, bahkan terdengar lembut. Setelah mendengar pertanyaan ini, wajah Amir terlihat sedih. "Amil hilang … tidak tahu alah lumah …," jawab Amir sedih, namun setelah itu dia berkata lagi, "tapi Papa Opal dan Mama Alil punya teman sepelti Mace dan Pace. Papa Opal biasa manggil temannya dengan sebutan Pace saat sedang video call dengan Amil. Pace itu baik, suka tertawa dengan Papa Opal, jadi Pace dan Mace juga pasti olang baik." Setelah mengatakan ini, Amir tersenyum. Mata Mace memerah, dia memeluk sayang tubuh Amir. "Tuhan e, ini anak masih kecil tapi sudah hilang dari dia punya orangtua." "Ini pasti karena kerusuhan kemarin," ujar salah seorang laki-laki. "Iya, pasti," timpal laki-laki lain. "Anak ini tidak boleh dilihat oleh orang lain, takut jangan sampai dorang bunuh ini anak," ujar salah seorang pria. (Dorang=mereka) "Iya, Om Yoke, betul itu," timpal yang lain setuju. "Anak ini akan tinggal dengan saya, biarkan dia jadi anak angkat saya dulu untuk sementara, nanti setelah tidak ada kerusuhan lagi, kita akan ke kota lalu cari tahu siapa keluarganya," ujar Pace. "Bagus itu, Bapa." Yang lain mengangguk setuju. Tidak ada yang benci terhadap kedatangan Amir ke kelompok mereka, sebab mereka telah tahu bahwa anak dan istri mereka selamat karena anak kecil itu. "Um … Amil tidak bisa pulang ke lumah?" tanya Amir dengan nada penuh harapan. Wajah Mace terlihat iba. Sayang sekali, anak kecil seperti dia harus terpisah dari keluarganya karena kerusuhan ini, batin Mace. Anak lelaki yang tadi membawa Amir ke rumahnya mengusap kepala Amir. "Amil, Kaka Liben dan yang lain tidak bisa bawa kembali Amil ke kota, sebab ada kerusuhan di sana, ada orang jahat seperti yang tadi Amil tembak." Wajah Amir terlihat sedih. "Tapi Amil mau lihat Eyang Lan, Kakek Ben, Nenek Poko dan Kakak Adam." Anak lelaki yang bernama Liben itu terlihat sayang pada Amir. "Amil, Kaka Liben janji, nanti kalau tidak ada lagi kerusuhan, Kaka Liben dan Bapa yang akan bawa pulang Amil ke rumah." Liben berjanji. Amir mengangguk pelan, namun dia masih merasa sedih. "Nanti Pace dan Kaka Liben bawa pulang Amil, Jingjing dan Cingcing juga yah?" Amir menunjuk ke arah dua temannya. Pace dan Liben mengangguk. "Bapa, kasih masuk anak ini di dalam rumah, dia sudah lelah ini," ujar Mace. "Um, bawa dia masuk," sahut Pace. Mace menggendong Amir masuk ke dalam rumah sederhana mereka. Di tempat tinggal Liben, barang-barang elektronik tidak ada, baju yang mereka gunakan juga tidak semuanya memakai baju kaos, mereka ada yang memakai seperti rok rumbai di badan mereka. Setelah membawa masuk Amir, Mace menyiapkan tempat tidur untuk Amir. "Anak, tidur di sini, jangan takut, Mace dan Pace baik tidak akan apa-apakan kau." Mungkin karena Amir memanggil mereka dengan sebutan Pace dan Mace, jadi dia mengikuti saja apa mau Amir. Amir mengangguk, matanya terlihat fly. Saat kepala Amir jatuh di bantal, matanya tertutup dan tidur lelap. Mungkin karena terlalu lelah berjalan selama berjam-jam, Amir tertidur. °°° Askan melihat ke arah sekelilingnya, banyak rumah yang dibakar, ada beberapa mayat yang diangkat oleh tim medis. Sebagian dari mayat itu adalah pasukan pemberontak yang menyerang kota dan masyarakat sipil. Jaringan di kota Jayapura yang terputus kini dipulihkan kembali berkat pasukan khusus yang diterjunkan ke lapangan. Mobil berhenti di sebuah markas tentara TNI angkatan darat. Askan turun dari mobil, dia berjalan ke arah dalam markas. Irfan yang sedang berbicara dengan pangdam berpangkat Mayor jenderal. Askan memberi hormat pada atasan yang berpangkat lebih tinggi darinya. Setelah itu Askan duduk dekat Irfan. "Om sudah beritahu masalah hilangnya Amir pada Opal dan Aril?" Irfan menggelengkan kepalanya. "Belum, Askan. Mereka masih menyusuri hutan yang diduga jalur pelarian dari pasukan pemberontak, namun komandan mereka akan memanggil kembali mereka ke kota untuk memberitahu kabar ini. Om sudah memberi tahu komandan Aril." Askan mengangguk mengerti. "Askan, kamu tidak bisa melakukan pencarian sebelum mengetahui info detail ke mana sepuluh kardus yang diduga berisi Amir di dalam sebelum situasi di kota benar-benar stabil dan bersih dari anggota pasukan pemberontak," ujar Irfan. "Askan ngerti Om," sahut Askan sambil mengangguk. °°° "Kapten, Anda diminta agar segera ke Kodam tujuh belas Cendrawasih, ada hal penting yang ingin disampaikan oleh Mayor Jenderal Markus Kuntoro Satria," ujar salah seorang anak buah yang ditugaskan oleh Pangdam Kodam XVII Cenderawasih untuk memberi tahu Ariella atau sekarang Lia. Mata dingin Lia yang menyeret dua orang anggota pasukan pemberontak melirik ke arah prajurit kepala yang memberitahunya. Prajurit kepala itu melirik ke arah Naufal yang sedang melihat ke selikingnya. "Pak Naufal Basri juga diminta segera ke Kodam bersama Kapten Lia." Naufal melihat ke arah Praka yang bernama Maximus. "Sekarang?" "Ya, Pak." Praka Maximus mengangguk. "Kapten Lia diarahkan ke Kodam, tugas di sini akan diambil alih oleh Lettu Sandi," ujar Praka Maximus. Lia mengangguk singkat. Dia melepaskan tubuh dua orang yang dia seret. Kaki dua orang itu telah patah karena dipatahkan oleh Lia. Sementara itu Naufal berjalan mengikuti ke mana Lia pergi. Naufal memasukkan dua *pistol yang digunakan untuk menghabisi pasukan pemberontak. °°° "Um …." Suara serak Amir terdengar. Amir membuka matanya, dia melirik ke atas, itu adalah atap yang dibuat dari daun sagu atau rumbia. "Amil, sudah bangun? mari makan dulu, Nak." Mace tersenyum ke arah Amir. Hari telah malam, rupanya Amir tidur dari siang hingga malam. "Ma, kasih mandi dulu Anak itu," ujar Pace. "Bapa, ini sudah malam, dingin," balas Mace. "Kalau begitu lap saja dia punya badan dengan air hangat, kasihan banyak luka itu," ujar Pace. "Um." Mace menyahut sambil membuka pakaian Amir. "Lap badan dulu e, Amil punya luka banyak," ujar Mace. Amir mengangguk. Di saat yang sama, mobil jeep yang mengangkut Naufal dan Ariella berhenti di markas Kodam. Suami-istri itu turun dari mobil dan langsung berjalan ke arah yang telah dikatakan sebelumnya. Angin bertiup menerpa wajah Naufal, namun, dia berhenti berjalan sejenak. Ariella yang sedang dikuasai oleh Lia hanya melirik Naufal lalu dia melanjutkan langkah kakinya. "Perasaanku tidak enak," gumam Naufal. Namun, dia cepat menggelengkan kepala lalu menyusul Ariella. Setelah memberi hormat pada atasannya, Ariella dan Naufal dipersilakan duduk. "Om Irfan, Askan?" Naufal melihat penuh heran ke arah sang adik sepupu. Askan adalah TNI angkatan laut yang ditugaskan di Surabaya, selain itu, Askan juga termasuk anggota pasukan khusus Denjaka, masalah yang diurus yaitu seputar keamanan perairan laut Indonesia, di sini harusnya yang mengurus adalah TNI angkatan darat. Wajah Irfan terlihat serius, sedangkan wajah Ariella terlihat dingin dan datar seperti biasa, wajah Naufal terlihat penasaran. "Opal, Aril, ini kabar buruk untuk kalian berdua." Wajah Naufal semakin penasaran. Namun wajah Ariella tidak terlihat berubah. "Amir hilang kemarin pagi naik pesawat kargo menuju ke sini." °°°
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN