Chapter 8

1626 Kata
"Kak Rahim, bagaimana?" tanya Popy dari telepon ke arah kakak sepupunya. Suaranya terdengar penuh dengan nada harapan. "Poko, anak buahku di sana masih dalam pencarian, karena kerusuhan kemarin, kondisi kota Jayapura belum terlalu stabil, pasalnya, pasukan khusus yang dipimpin Aril mengejar ke arah hutan, mereka belum beritahu hilangnya Amir," jawab Ibrahim dari seberang telepon. Wajah Popy terlihat bertambah sedih dan khawatir. "Ya Allah … bagaimana ini … Opal dan Aril belum tahu …." Popy seakan terlihat hampir putus asa. "Poko, tenanglah, jangan khawatir atau stres, lihatlah Om Ran agar beliau tidak apa-apa," balas Ibrahim. " … ya … um … Kak Rahim, tolong cari Amir, Poko mohon," sahut Popy. "Poko, tenanglah, itu kewajibanku. Arwah Mama Cika tidak akan tenang di alam sana jika aku mengacuhkan masalah ini," balas Ibrahim. Mata Popy memerah lalu tak lama kemudian air matanya ikut turun. Lilis mengusap pelan punggung Popy. Sebagai menantu Basri, dia harus mengambil alih masalah rumah, namun karena kakek dari suaminya sakit, dia harus datang untuk melihat kondisi kakek dan mengatur masalah rumah tangga. Apalagi, Popy tak ada anaknya yang di rumah, Chana dan Aqlam masih berada di Sorong, Naufal dan Aril ada di Jayapura, Adelio dan istrinya ada di Madrid, sedangkan anak bungsunya ada di Beijing. Popy menurunkan telepon dari telinganya sambil sesenggukan. Lilis mengambil alih telepon Popy lalu meletakkannya di atas meja. "Tante Poko, sarapan dulu yah? ini sudah jam sembilan tapi Tante Poko teh belum sarapan, nanti Tante Poko teh sakit," ujar Lilis. Dia membujuk Popy. "Lilis … Tante nggak lapar," balas Popy lirih. "Tante, nanti kalau sakit, Tante Poko teh tidak bisa lihat Kakek Ran, nanti siapa yang mau rawat Kakek Ran?" bujuk Lilis. Popy terlihat diam, air matanya masih mengalir turun. "Makan dulu yah?" bujuk Lilis. Popy mengangguk pelan. Lilis melirik ke arah seorang pelayan. "Makanannya dibawa ke sini saja, yah." "Baik, Nyonya," sahut pelayan mengangguk mengerti. Di sisi lain, Ben melihat ke arah Adam yang menunduk. Ben tahu, Adam sedang menahan tangis. Ben mengusap sayang kepala Adam. "Adam, Amir pasti ditemukan dan dia akan pulang ke rumah lagi untuk bermain dengan Adam." Adam mendongak melihat wajah Ben. "Kakek Ben … kapan Amir pulang?" Ben diam untuk beberapa detik, dia tidak tahu harus menjawab apa, sebab situasi di Jayapura belum stabil. "Secepatnya, sayang," jawab Ben. Ben menggendong Adam, matanya memerah. °°° "Aku akan ke Jayapura," ujar seorang pria paruh baya. Ibrahim mengangguk. "Irfan, aku percayakan situasi di sana untukmu. Aku akan turun beberapa hari kemudian. Irfan Yusuf Baqi mengangguk. "Aku akan tangani masalah keamanan di sana sekaligus mencari keberadaan Amir." Ibrahim mengangguk setuju. Drt drrt drrt. Ponsel Ibrahim bergetar. Dia merogoh ponsel di saku celananya. "Bilal," ujar Ibrahim. Irfan mengangguk mengerti. "Halo assalamualaikum Bilal, ada apa?" tanya Bilal. "Waalaikumsalam, Kak Rahim, aku ingin minta tolong untuk menugaskan Askan di Jayapura, dia ngotot ingin turun langsung mencari keberadaan Amir, bisakah kau menugaskan dia ke sana untuk alasan tugas lain tugas apalah itu yang penting dia ke sana?" Bilal langsung ke *inti. "Baik, itu hal mudah, aku akan memberitahu Irfan, kebetulan dia juga akan turun di Jayapura untuk meredam kerusuhan di sana," balas Ibrahim. "Ya, terima kasih. Sampaikan salamku pada Irfan. Assalamualaikum," ujar Bilal. "Waalaikumsalam," balas Ibrahim. Ibrahim menutup panggilan lalu melirik ke arah Irfan. "Fan, Askan ingin ditugaskan ke Jayapura." Irfan mengangguk. "Baik, dia akan dikirim ke sana." Sebagai seorang wakil dari panglima TNI, hal itu mudah baginya. °°° Amir melap butiran keringat yang turun dari pelipisnya. Matahari sudah meninggi menandakan bahwa telah tengah hari. Sementara itu, tempat yang dituju yaitu kantor polisi dan rumah terdekat tak kunjung ditemukan. Hal ini membuat Amir lelah karena telah berjam-jam berjalan menyusuri hutan pedalaman. Tidak ada tanda-tanda perumahan atau orang yang lewat, Amir semakin bingung. Beruntungnya, dia tidak takut dan menangis, sebab ajaran sang kakek selalu dia ingat. Laki-laki sejati itu tak takut apapun dan menangis. Laki-laki sejati itu harus kuat. Kryuuk kryuuk! Amir berhenti berjalan, dia memutuskan untuk duduk di rerumputan. "Lelah … Amil lapal …," ujar Amir. Dua temannya menyahut. Untungnya, masih ada dua buah apel yang dibawa oleh Amir. Karena bajunya kecil, jadi Amir tak bisa membawa banyak buah, hanya empat buah apel, namun dua buah apel yang terdahulu telah dimakan Amir selama perjalanan mencari bantuan. Sekarang dua buah apel itu dimakan oleh Amir, itu adalah apel yang terakhir. Amir memakan satu buah apel, sisa satunya diberikan pada Jingjing dan Cingcing. Tiga anak campuran itu makan apel terakhir. °°° Bahrun dan Abil tak bersuara sedikitpun ketika melihat kakek buyut mereka yang sedang menutup mata, selang infus dipasang di pergelangan tangan sang kakek buyut dan selang oksigen terpasang di hidung kakek buyut mereka. Wajah dua bersaudara itu terlihat sedih dan tak ada tanda-tanda senyum sedikitpun. Lilis berjalan keluar dari kamar Randra menyusul keberadaan sang suami. Dimas sedang melihat detik-detik terakhir Amir dimasukkan ke dalam bagasi pesawat kargo. Mata Dimas terlihat ngeri dan tak ingin melihat rekaman cctv itu, sebab di dalam kardus yang dimasukkan ke dalam bagasi pesawat kargo itu bukan hanya ada lukisan mahal, melainkan juga ada keponakannya. "Dia dekat sekali dengan Aqlam dan Channa, tapi … mereka tidak menyadari keberadaannya," ujar Dimas seakan tidak percaya bahwa rekaman itu nyata. Roza yang telah berumur tua itu memperlihatkan rekaman lain. "Tidak ada Tuan Amir di dalam bagasi kargo itu saat pesawat mendarat di Jayapura, semua telah diperiksa kecuali sepuluh kardus berisi buah apel mahal kiriman walikota Jayapura." "Kami sangat yakin bahwa ada Tuan Amir di dalam, sebab setengah isi dari kardus berisi apel itu terlihat di beberapa sudut bagasi. Kemungkinan besar bahwa yang melakukan itu adalah Tuan Amir, mungkin karena lapar atau haus," ujar Roza. Wajah Dimas terlihat khawatir. "Saya teh khawatir, apa Amir sudah makan atau belum?" tanya Lilis sedih. Dimas menutup matanya untuk beberapa saat. Setelah itu Dimas melirik ke arah rekaman detik-detik kardus yang buah yang diduga ada Amir di dalamnya. Jika dilihat dari luar, tutup karton itu memang tidak lagi diselotip. Ada bekas sobekan di sana, juga isi dari dalam karton itu terlihat penuh, sementara dari hal penyelidikan, diketahui bahwa hampir sebagian isi dari karton itu yang berupa apel telah ditemukan di sudut bagasi, hal ini membuat Dimas yakin bahwa sang keponakan berada di dalam karton buah itu. "Yang aku bingung … bagaimana bisa Amir membuka selotip mulut kardus itu dan masuk ke dalamnya?" Dimas penasaran. "Tuan Dimas, anak kucing berjenis British Shorthair dan anak anjing berjenis alaskan malamute milik gubernur Papua juga hilang, tapi pihak bandara di sana belum memberitahu detailnya bagaimana sampai hewan yang dikirim untuk gubernur itu hilang," ujar Roza. Dimas memijat pelipisnya. °°° "Sayang, hati-hati di sana. Ada kerusuhan di sana," ujar Menda. Askan mengangguk. Dia memakai pakaian semi dinas berupa kaos angkatan laut dan celana dinas lapangan. Hal ini karena Askan ingin langsung turun langsung ke tempat hilangnya Amir. Menda mencium punggung tangan sang suami lalu Askan mengecup kening istrinya dan dua anak kembar laki-laki miliknya. "Aku pergi," ujar Askan. "Ya." Menda mengangguk. Setelah memberi salam, Askan berjalan meninggalkan rumah. Askan ditugaskan di Surabaya, di kota itu juga ada keluarga dari sang istri. Namun karena peristiwa masa lalu, Askan dan istrinya tidak pernah mengunjungi sanak saudara dari sang istri. °°° Seorang wanita paruh baya yang memakai baju persit melihat Irfan yang merupakan suaminya naik ke pesawat militer. Ada seorang gadis berusia sekitar 22 tahun yang berdiri di samping wanita itu. "Semoga saja kerusuhan di sana dapat diredam dan pencarian Amir segera lakukan semaksimal mungkin," ujarnya. "Lina, ayo kita ke rumah Kakek Ran untuk lihat kondisi beliau," ujar wanita itu. Gadis yang bernama Lina itu mengangguk. Lina dan ibunya setelah mengantarkan sang ayah pergi menaiki pesawat ke Jayapura, mereka langsung menuju ke rumah Randra. Meskipun ayah Lina dan Popy merupakan sepupu yang agak jauh, namun mereka adalah satu buyut Baqi. Keluarga Baqi dimanapun selalu saling sayang dan saling lihat satu sama lain. °°° Amir melanjutkan perjalanannya mencari kantor polisi, namun semakin lama semakin tak ada tanda-tanda keberadaan dari kantor polisi itu. Jika kantor polisi tidak ditemukan, Amir berharap setidaknya dia dapat melihat satu saja rumah dari penduduk agar dia dapat meminta bantuan untuk mengantarkannya ke rumah. "Tidak ada siapapun … Amil lelah," ujarnya. Anak berusia dua setengah tahun itu telah lelah karena berjalan lama. Amir menarik napas dan mengeluarkan udara, dia terlihat ngos-ngosan, tubuh kecilnya telah lelah, dia melirik ke sekelilingnya. Tidak ada jalan biar sekecil apapun, itu berarti tak ada yang lewat di situ. "Ah! jangan!" Terdengar sebuah suara histeris ketakutan dari arah depan. Suara itu adalah suara seorang wanita. "Jangan pukul anak saya!" seru seorang wanita. Amir yang mendengar suara itu segera berjalan ke depan. Dia tidak bisa terlalu berlari karena telah lama berjalan menyusuri hutan dan kelelahan. Langkah kaki Amir kecil tidak sebanding dengan langkah kaki orang dewasa, jadi meskipun Amir berjalan selama lima jam, jarak dan waktu yang ditempuh Amir berbeda dengan orang dewasa yang mungkin hanya satu atau dua jam saja. Jingjing ikut berjalan di sisi kiri Amir. Sementara itu, *pistol silver masih dipegang oleh Amir ditangan kanan Amir. "Ampun! jangan apa-apakan kita. Kita tidak tahu apa-apa," ujar seorang wanita dengan nada takut. Amir melihat wanita itu berkulit hitam dan rambut keriting, bukan cuma wanita itu. Tetapi semua orang yang dia lihat dengan jarak sekitar lima belas meter darinya semuanya berkulit hitam dan rambut keriting. "Itu … milip teman Papa Opal dan Mama Alil," gumam Amir. Ya, dia ingat bahwa ada teman dari orangtuanya yang juga memiliki ciri-ciri fisik yang sama dengan orang yang sedang dicekik oleh empat orang pria bersenjata dengan ciri-ciri fisik yang sama. "Bunuh mereka semua!" perintah seorang pria yang merupakan komandan dari kelompok itu. Mata Amir melotot lebar setelah dia melihat empat orang pria itu *menodongkan *s*****a laras panjang ke arah lima anak-anak dan tiga wanita. Dor! Dor! Dor! Dor! "Aakh!" °°°
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN