Dimudahkan Jalannya

1166 Kata
"Mas Adnan, Assalamualaikum, Mas," salam Qeela saat pria itu mendekat. "Waalaikumsalam," balas Adnan. Bukan suatu kebetulan pagi itu mereka bertemu di pintu utama gedung pengajar langit itu. Sudah seperti ada yang mengatur. Hingga tanpa menukar kartu identitas Qeela dapat masuk karena kehadiran sang pemilik gedung. "Tidak usah pakai itu, dia calon istri saya," tutur Adnan pada petugas di sana. Mengetahui siapa yang berbicara petugas itu mengangguk patuh dan mengembalikan tanda pengenal milik Qeela. Adnan mengambilnya dan menyerahkannya langsung pada Qeela. Tangan Adnan terulur mengisyaratkan Qeela agar lebih dahulu jalan. Keduanya masuk ke dalam lift yang di khususkan untuk para petinggi perusahaan. "Mas kok tadi bilang begitu?" tanya Qeela dengan suara nyaris tidak terdengar. Namun, karena di dalam lift hanya mereka berdua saja maka suara itu cukup baik terdengar oleh Adnan. Adnan menahan tawanya, dia tidak mau Qeela tersinggung karena menertawakannya. "Kenapa, kamu keberatan?" Bukannya menjawab pria itu malah bertanya balik pada gadis yang merona pipinya itu. Qeela menggeleng samar. "Maaf Qeela, saya gak bermaksud membuat kamu gak nyaman. Tadi itu biar kamu di mudahkan sama mereka jika berkunjung lagi ke sini," ucap Adnan meralat ucapannya. "Oh, seperti itu," cicit Qeela pelan. Tersirat sedikit rasa kecewa di sana. "Apa kamu sudah punya calon suami?" tanya Adnan bersamaan dengan bunyi denting lift menandakan kalau lantai yang mereka tuju telah tiba. Keduanya jalan beriringan, dan Adnan membukakan pintu untuk Qeela masuk setelah dia menyapa sekretarisnya. Adnan meminta Qeela duduk di sofa dan dia pun ikut duduk di sebelahnya. "Ibu Pur menyiapkan ini untuk Mas Adnan makan siang nanti, katanya semua menu di sini adalah kesukaan Mas," ucap Qeela. Gadis itu menyerahkan sebuah rantang susun pada Adnan. Pria itu membukanya dan dia tersenyum lebar, benar apa yang Qeela katakan kalau semua menu di dalamnya itu makanan kesukaannya semua. Seketika perutnya berbunyi. Qeela mengulum senyumnya. "Maaf, mencium aroma masakan ini membuat perut saya demo," kelit Adnan yang merasa malu karenanya. "Mas Adnan belum sarapan?" "Sudah, saya sudah sarapan di rumah tadi, tapi ya itu, saya gak tahan sama aroma masakan yang menggoda ini," jawab Adnan dengan kekehan pelan dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Obrolan keduanya terjeda karena kedatangan sekretaris Adnan. "Permisi, Pak, Mba, saya mau infokan kalau ruang rapat sudah siap dan semua team sudah ada di sana semua," ucap Laila-sekretaris Adnan. "Baiklah," jawab Adnan singkat. Dia menutup kembali rantang susun itu dan meletakkannya di meja. "Setelah rapat kita makan siang berdua dengan itu," lanjut Adnan sedikit berbisik pada Qeela. Laila yang tidak mengerti hanya tersenyum. Sedangkan Qeela wajahnya kembali merona. *** Rapat berjalan dengan lancar, semua ide yang team marketing presentasikan membuat Adnan puas begitu juga dengan Qeela. Tinggal menunggu hari H pelaksanaannya, semoga berjalan dengan lancar. "Terima kasih semuanya, saya puas dan berharap nanti acaranya berjalan dengan lancar ya, sialahkan kembali ke ruangan masing-masing. Tapi berhubung sudah hampir jam istirahat kalian bisa istirahat dan makan siang," ucap Adnan menutup rapat itu. Semua bergantian bersalaman dan keluar dari ruang rapat itu. "Kamu senang dengan rencana kami?" tanya Adnan pada Qeela setelah semua orang keluar dari sana. Mereka juga berjalan beriringan menuju lift. "Saya senang, Mas. Rencana kalian matang sekali," puji Qeela. "Harus, segala sesuatu harus benar-benar matang," ulang Adnan. Setibanya di ruang kerja Adnan keduanya kembali duduk di sofa. "Bisa kita makan sekarang? Aku sudah sangat lapar," mohon Adnan. Qeela tertawa mendengarnya, Adnan seperti salah satu anak di panti yang tidak tahan rasa lapar walau hanya sebentar. Qeela langsung melepas rantang susun itu satu persatu dan meletakkannya di depan Adnan. "Silahkan, Mas, selamat makan," ucap Qeela. Adnan membagi separuh nasinya ke piring yang sudah di siapkan office boy ketika dia rapat tadi. "Kamu juga ikut makan," pinta Adnan. "Tapi-" "Saya tahu kamu juga lapar 'kan?" tebak Adnan tepat sasaran. Karena Adnan sudah menuangkan nasi di piringnya, Qeela pun ikut menyiapkan lauk pauk dari rantang ke piring Adnan. Keduanya terlihat seperti suami istri yang bahagia. "Terima kasih," ucap Adnan. Qeela menjawabnya dengan senyuman. Setelah membaca doa makan, Adnan menyuap satu sendok makanan itu. Mengunyah dan menelannya. Kemudian berkomentar, "Hmmm, masakan Bu' Purwati selalu enak, tapi kali ini lebih enak," puji Adnan. "Lebih enak? Kenapa begitu, Mas?" "Karena kamu yang membawanya," jawab Adnan. "Uhuk! Uhuk!" Qeela tersedak dan Adnan langsung memberikan segelas air untuk Qeela minum agar batuknya reda. "Pelan-pelan," ucap Adnan. Qeela mengulum senyumnya, dia tahu betul Adnan tahu dia tersedak bukan karena makan terlalu cepat tapi karena mendengar ucapan Adnan barusan. "Oh, iya, kamu belum jawab pertanyaan saya," singgung Adnan. "Pertanyaan? Pertanyaan apa itu, Mas?" tanya Qeela dengan kening menyernyit karena dia merasa tidak ada pertanyaan yang dia lewatkan sejak di rapat tadi. "Apa kamu sudah punya calon suami?" Deg! Pertanyaan itu, tentu Qeela mengingatnya. Tapi dia kira Adnan sudah melupakannya karena banyaknya obrolan mereka tadi. "Aku tidak pernah melupakan pertanyaan saya, loh!" Kedua mata Qeela membola, Adnan seakan bisa membaca isi hatinya. Qeela terkekeh pelan, "Saya belum ada calon suami, Mas, pria mana yang mau sama anak yatim piatu yang tidak jelas asal usulnya," jawab Qeela lirih. "Saya mau." Dari menunduk, Qeela langsung menengadah menatap lekat kedua mata Adnan. "Kalau kamu mau jadi istri saya," lanjutnya. Ucapan Adnan sejak pagi membuat Qeela serba salah karena malu, seperti saat ini pun Qeela merasa oksigen di sekitarnya menipis, detak jantungnya tidak beraturan iramanya. "M-mas, jangan bercanda. Nanti di catat malaikat loh!" Qeela berusaha bersikap santai dan dia mengalihkan pandangannya pada makanan yang di piringnya. Adnan hanya menggedikan kedua pundaknya kemudian dia melanjutkan makannya seperti Qeela. Setelah makan, Qeela merapihkan rantang itu dan berpamitan pulang dengan alasan masih harus mampir ke suatu tempat untuk membeli kebutuhan panti. "Maaf, saya tidak bisa mengantar kamu pulang," ucap Adnan. "Gak apa, Mas," balas Qeela. "Hati-hati di jalan, Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." *** Dengan motor maticnya Qeela pergi meninggalkan kantor Adnan. Dia mampir ke sebuah supermarket untuk membeli s**u karena stock s**u untuk para bayi dan balita di panti sudah hampir habis. Dengan motor maticnya juga dia kembali ke panti asuhan. Kedatangan Qeela langsung di sambut anak-anak panti dengan ceria. Mereka berebutan memberi salam dengan mencium tangan Qeela. "Dasar bocah, Mba Qeelanya capek tahu baru sampai," tegur salah satu petugas di sana. "Gak apa, Mba," sahut Qeela. "Kamu ini suka banget sama anak-anak ya." Qeela hanya tersenyum dan mengangguk menjawab Sri. Kemudian dia menyerahkan belanjaannya pada Sri agar di bawa masuk ke dalam. "Ibu ada?" tanya Qeela. "Ada di ruangannya sama seorang pria, trus katanya kalau Mba Qeela pulang di minta menemuinya," jawab Sri sembari membawa belanjaan s**u itu ke dalam dapur. "Makasih, Mba Sri," ucap Qeela. Gadis itu bingung, siapa tamu yang saat sedang ada di ruang kepala panti tersebut. Tok! Tok! Tok! Qeela mengetuk beberapa kali pintu. "Masuk," titah Bu Pur dari dalam. Qeela langsung masuk setelah mendapat ijin dari sang empunya ruangan. "Ibu manggil saya?" tanya Qeela saat masuk. Dia masih belum melihat siapa pria yang duduk di hadapan Purwati, membelakangi Qeela. "Ya, Qeela. Silahkan duduk," pinta Purwati. Qeela menarik kursinya dan dia duduk. Ketika dia duduk, matanya seketika membola saat melihat jelas wajah siapa yang sudah lebih dahulu duduk di sebelahnya. "Mas Adnan?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN