Keinginan yang Berseberang

1494 Kata
“Ada yang liat Orisha, gak?” Ghazfan menanyai satu persatu karyawannya setelah lima belas menit mencari keberadaan gadis itu. Terakhir kali ia meninggalkannya di ruang rapat saat Orisha mengacau dengan mengatakan tentang menikah di dalam kerang seperti Jinni Oh Jinni. “Gak, Bang,” jawab Dhea. “Tadi, kan Orisha nyusulin Bang Ghazfan.” Ghazfan menggelengkan kepalanya, saat ia keluar gadis itu tak mengikutinya. “Rex, loe liat, gak?” “Gak, terakhir kali gue liat ya pas di ruang rapat. Setelah Orisha keluar ya gue gak liat lagi.” “Mungkin ke toilet, Bang. Biasalah cewe touch up gitu,” sahut Jordy sambil ia menirukan gaya berdandan para gadis-gadis—sedang menepuk-nepuk pipinya dengan tiga jari—seolah sedang memakai bedak. Ghazfan tak yakin. Orisha yang ia kenal bukan tipe gadis yang berlama-lama di toilet untuk berdandan. Lagian ia juga sudah mengecek toilet di ruangannya dan tak menemukan gadis itu. “Udah dicek, gak?” tanya Rex. “Gak ada, toilet di ruangan gue kosong.” “Ya udah telpon aja, Bang,” sahut Gianna. “Udah, tapi gak dijawab.” “Loe sih, Bang, Nyuekin Orisha terus, makanya dia ngambek.” Rex mulai menyalahkan Ghazfan. “Mau dibantu cariin, Bang?” Jordy menawarkan bantuan. “Boleh. Gianna sama Dhea tolong bantuin cek di toilet wanita. Jordy tolong dicek ruangan-ruangan yang lain.” “Siap, Bang,” jawab Gianna, Dhea, dan Jordy berbarengan. Yang Ghazfan kenal, tiap kali Orisha mengambek gadis itu tak pernah menghilang. Palingan hanya akan mengurung diri di kamar. Kalau pun gadis itu benar-benar marah, ia justru pergi terang-terangan biar dibujuk. Walau selama ini Ghazfan tak pernah membujuknya hingga Orisha kembali sendiri setelah amarahnya mereda. Ghazfan kembali mencoba menghubungi nomor Orisha, sayangnya masih tak terjawab. Sementara jam saat ini sudah menunjukkan pukul 1 siang. Artinya sudah satu jam lebih sejak terakhir kali ia melihat keberadaan gadis itu. Jordy yang telah berkeliling kantor tanpa menemukan Orisha kembali ke hadapan Ghazfan, lalu ia berujar, “Bang, Orisha mungkin balik duluan.” “Bisa jadi tuh, Bang,” sahut yang lain. “Ah, oke. Ya udah, kalian lanjutin istirahatnya dulu sebelum lanjut kerja lagi. Gue mau ngecek Orisha dulu.” Ghazfan memilih kembali ke ruangannya. Setelah kembali ke tempat itu, ia langsung menghubungi Bi Tari untuk menanyakan apakah Orisha pulang ke apartemen atau tidak. “Bi, Orisha balik ke apartemen?” tanya Ghazfan begitu panggilannya terjawab. “Loh, gak ada, Mas. Kan tadi berangkat ke kantor sama Mas Ghazfan.” Ghazfan menggaruk kepalanya karena frustasi. “Oh, mungkin Orisha balik ke rumahnya.” Usai menelepon Bi Tari, Ghazfan beralih menghubungi Bu Octavia untuk menanyakan keberadaan gadis menyebalkan yang pergi seenak hati itu. “Ghazfan?” Begitulah kata pertama yang terucap dari mulut Bu Octavia ketika ia menjawab panggilan Ghazfan. Pun ia berucap dengan nada bingung, setengah bertanya. “Tumben nelpon, Orisha gak kenapa-napa, ‘kan?” Ghazfan meremas rambutnya, jika seperti itu pertanyaan Bu Octavia artinya Orisha tidak pulang ke rumahnya. Dan jika ia justru bertanya balik, maka bisa dipastikan ia akan membuat Bu Octavia heboh karena khawatir. “Ee-ee gak kok, Tante,” jawab Ghazfan dengan tergagap. Otaknya mencari jawaban dengan cepat untuk jadi alasan kenapa ia menghubungi Bu Octavia. “Syukurlah kalo Orisha baik-baik aja, Tante pikir Orisha sakit lagi.” Ghazfan tersenyum kecut di seberang telepon, ia teguk ludahnya dengan susah payah hingga terdengar pertanyaan dari Bu Octavia. Pertanyaan yang ia yakini agak membuat ia menyatakan sebuah kebohongan. “Oh ya, Ghaz, kenapa nelpon?” “Ee-e itu, Tante … tadi HP Ghazfan gak sengaja kepencet. Maaf, Tante,” jawab Ghazfan dengan salah tingkah. “Tante kirain kenapa, ya udah kalo gitu.” “Iya, Tante. Sekali lagi maaf, Tante.” “Iya, gapapa, Ghaz.” Ghazfan menghela napas dengan berat begitu sambungan telepon terputus. Gadis menyebalkan itu benar-benar bertingkah saat ini. Mungkinkah ini upayanya untuk memaksa Gahzfan menikah? Makanya ia sengaja kabur lalu hendak mengancam Ghazfan. Pria itu ingin bertindak seolah tak peduli, sayangnya kekhawatirannya terlalu besar. Ada banyak sekali pikiran buruk yang tercipta di otaknya. Bisa saja Orisha sakit saat kabur. Bisa saja gadis itu melewatkan makan siang dan tak makan obat. Bahkan bisa saja Orisha justru jajan sembarangan karena tak diawasi. “Orisha, Orisha.” Ghazfan menggeram. “Kamu di mana?” Karena tak menemukan keberadaan Orisha melalui Bi Tari dan Bu Octavia, Ghazfan memilih menghubungi Gracia. Mungkin gadis itu tahu di mana Orisha berada. Atau bisa jadi ia yang saat ini menampung Orisha. Seperti biasanya, jika Orisha marah pasti akan pergi ke tempat kos Gracia untuk menginap. “Om Gas, eh salah … maksudnya Kak Ghazfan,” jawab Gracia di sambungan telepon. “Orisha ada sama kamu gak?” “Gak.” “Serius?” “Serius. Orisha gak sama aku.” “Kamu gak disuruh bohong kan sama Orisha?” “Gak, emang gak ada Orisha di sini. Aku malah di kampus. Emangnya Orisha ke mana? Orisha kabur?” “Iya, tadi dia marah kayaknya.” “Kayaknya?” ulang Gracia. “Kalo Orisha gak marah banget dia gak mungkin kabur. Orisha kan sukanya pergi terang-terangan biar dikejar sama Kak Ghazfan kayak di film India.” “Nah itu dia, Orisha kabur gak tau ke mana. Aku tanyain sama Bi Tari dia gak pulang ke apartemen. Aku tanyain ke mamanya juga gak pulang ke rumah. Kira-kira kamu tau gak ke mana Orisha kalo mau ngumpet dari aku?” “Aku gak tau, Kak. Selama ini kalo Orisha pergi dari apartemen Kak Ghazfan palingan ke tempat aku. Atau bentar deh aku kabarin kalo udah pulang, kali aja Orisha ke kost aku.” “Aku tunggu kabarnya, Gre.” “Tapi, mungkin sorean aku baru balik. Soalnya ini masih ada kuliah.” Ah, Ghazfan tak bisa menunggu tanpa kepastian selama itu. Makanya ia putuskan untuk mengecek sendiri keberadaan Orisha dengan mengunjungi rumah kost yang ditempati Gracia. Pria itu mengemudi sekitaran 20 menit dari kantornya ke tempat kos Gracia, namun di tempat itu tak ada tanda-tanda keberadaan Orisha. Tak menyerah, Ghazfan mencoba untuk menghubungi ponsel Orisha lagi. Panggilannya tersambung, tapi tak dijawab. Tapi, hal itu tak membuat Ghazfan kehabisan akal. Ia menghubungi Gracia lagi untuk meminta bantuannya. Walau harus membuat gadis itu meminta izin untuk keluar dari kelasnya. “Gre, aku udah nyampe di kost kamu nih. Cuman gak ada Orisha di sini. Aku tanyain sama ibu kost di sini, katanya gak ada yang datang. Kamu bisa tolong hubungin Orisha, gak?” “Bisa, bisa, Kak.” “Tolong yah, tanyain dia di mana. Soalnya aku yang telponin gak diangkat.” “Ya udah bentar, Kak. Nanti aku kabarin lagi.” Berselang lima menit kemudian, Gracia menghubungi Ghazfan untuk memberi kabar. Sayangnya tak ada kabar baik seperti yang Ghazfan harapkan. Tak hanya mengabaikan panggilan Ghazfan, tapi panggilan Gracia pun tak dijawab oleh Orisha. Ghazfan kembali ke kantornya dengan tangan kosong. Wajah pria itu terlihat kacau. Membuat para karyawannya langsung bertanya dengan kompak. “Orisha belum ketemu, Bang?” Ghazfan hanya menggelengkan kepala dengan ekspresi lelah. Pria itu melangkah dengan lesu ke dalam ruangannya. Saat ia duduk di sofa, pria itu mengedarkan pandangan ke sekeliling dinding ruangan tersebut. “Ah, seandainya ada CCTV di kantor ini. Pasti aku bakalan tau jam berapa Orisha pergi dan ke arah mana dia pergi.” Kantornya memang masih tergolong minim fasilitas jika dibandingkan dengan kantor-kantor lainnya. Memang karena ia baru merintis usahanya dari nol. Karyawannya pun belum terlalu banyak. “Ah, seandainya ….” Ghazfan mendesah frustasi. Inilah kenapa ia masih tak berani menjanjikan apa-apa untuk Orisha. Ia belum merasa pantas. Ia belum merasa cukup mampu untuk mewujudkan keinginan-keinginan gadis itu. Makanya dibandingkan dengan berbohong hanya agar Orisha senang, Ghazfan lebih memilih mengabaikan tiap permintaan Orisha. Bukan tak ingin menikahi gadis itu, hanya saja ingin memampukan dirinya terlebih dahulu dalam segi finansial. Agar ia mampu bertanggung jawab untuk hidup Orisha di masa depan. Tak lucu jika untuk sekadar biaya berobat saja, ia masih harus meminta bantuan orang tuanya atau orang tua Orisha setelah mereka menikah. Kenapa ia diam atau justru menolak saat Orisha dengan gencarnya meminta dinikahi? Bukan karena ia enggan menikahi gadis penyakitan itu. Di matanya, Orisha ya Orisha. Entah sakit atau pun tidak, Ghazfan tak mempermasalahkannya. Yang justru ia permasalahkan adalah ia ingin memantaskan dirinya dulu. Sayangnya, Orisha tak paham itu. Dan juga bukan salah Orisha yang tak bisa memahami. Gadis itu selalu merasa terburu-buru. Ia dikejar oleh waktu yang terasa makin sedikit. Jika orang lain masih bersedia menunggu beberapa tahun, sayangnya Orisha tidak. Bukan karena tak mau menunggu. Ini tentang waktu yang tak ia yakin bersedia diajak kerja sama. Mereka saling berseberang. Ghazfan dengan keinginannya untuk mampu secara finansial lebih dulu. Sementara Orisha yang waktunya semakin terbatas. “Sha, kamu di mana?” tanya Ghazfan sambil menyugur rambut ke belakang. “Kamu gak sakit, ‘kan?” Sekali lagi ia menghubungi Orisha, tapi masih nihil. Tak hanya panggilan teleponnya yang tak dijawab, pesan yang ia kirimkan pun tak dibalas. “Astaga, Sha. Aku harus nyariin kamu di mana?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN