Banyak Menangis

1902 Kata
“Sha, tadi kamu ke sini naik apa?” “Naik mobil.” “Siapa yang nganterin?” “Sopir.” Ghazfan menarik kursi untuk duduk. Ia hendak menikmati sarapan yang disajikan oleh Bi Tari yang tiba sekitar setengah jam yang lalu. “Abis sarapan, aku anterin kamu pulang.” “Kok kamu ngusir sih?” “Emangnya kamu gak mau balik?” “Gak mau, aku mau ikut kamu ke kantor. Boleh, ‘kan?” Mengeluarkan jurus merengek selalu menjadi pilihan untuk meluluhkan Ghazfan. Walau selama ini rengekannya kebanyakan tak mempan untuk Ghazfan. “Ga … boleh, ‘kan?” “Mau ngapain kamu ke kantor. Orang-orang di kantor tuh pada sibuk, Sha. Mereka semua punya banyak kerjaan. Kalo kamu dateng, kamu pasti gangguin mereka.” “Gak, janji. Seriusan, aku gak bakalan gangguin siapa-siapa. Aku cuma diem dan duduk-duduk aja.” “Kamu lebih baik istirahat aja.” “Aku udah baikan, Ga. Aku pengen ikut. Aku bosen tau di rumah atau di rumah sakit terus.” Membawa Orisha ikut ke kantor bukanlah ide yang baik. Tapi, terus-menerus berselisih dengan gadis itu pun membuat Ghazfan pusing. Makanya ia memilih diam untuk melanjutkan sarapan. Usai sarapan, sebelum ditolak lagi oleh Ghazfan, Orisha segera menyambar tas laptop milik Ghazfan yang akan dibawa pria itu ke kantor. Berniat membantu, begitulah menurutnya. “Tas aku mau dikemanain?” “Mau aku bawain, aku mau bantuin kamu. Liat, aku baik, ‘kan? Gimana kalo aku jadi asisten kamu?” Ghazfan menghela napas panjang. Ia tak membalas lagi. Ia hanya berpamitan pada Bi Tari kemudian keluar dari apartemen. Sementara dengan riangnya, Orisha mengikut di belakang pria itu. Sesekali ia terdengar berdendang kecil sepanjang jalan menuju parkiran. Perjalanan ke kantor mereka lalui sekitaran 10 menit. Saat tiba, Orisha langsung menyapa karyawan-karyawan Gahzfan yang semuanya sudah ia kenali. Toh, ia memang sudah sering berkunjung ke kantor tersebut bahkan sejak Ghazfan baru membeli bangunan kantornya itu. “Gimana kabarnya, Sha?” “Baik, Mbak Gianna. Mbak Gianna gimana kabarnya?” “Baik juga, Sha.” “Eh, ‘setia setiap saat’ … pagi, Bang Rex-Rexona,” sapa Orisha sambil cengengesan. Tak lupa ia pasti menirukan gerakan andalan iklan deodorant itu. Sudah bertahun-tahun mengenal Orisha, Rex harus terima ia dilabeli dengan nama produk deodorant yang cukup terkenal di negeri ini. “Pagi juga, Sha. Udah sembuh?” “Udah,” jawabnya dengan penuh semangat. Orisha menyapa satu persatu karyawan yang ia temui hingga ia masuk ke ruangan Gahzfan. Ia menunggu pria itu duduk di balik meja kerjanya, setelah itu ia letakkan tas laptop yang ia bawa dari rumah di hadapan Ghazfan. “Selamat bekerja, Bang Ghazfan,” ucapnya sambil menunjukkan deretan giginya. Menyengir pada pria itu. “Kenapa aku dipanggil Bang juga?” “Biar diterima jadi salah satu karyawan kamu, boleh yah, Bang Gahzfan?” “Katanya kamu ke sini mau duduk dan diem-diem aja.” “Iya deh, aku diem-diem.” Akhirnya Orisha mojok di sudut ruangan Ghazfan. Bukan sambil duduk, tapi sambil berbaring di sofa. Sambil beristirahat karena sejak pagi ini, ia cukup banyak menggunakan tenaga untuk melakukan banyak hal. Yah, walau untuk ukuran orang sehat apa yang dilakukan Orisha sebenarnya bukanlah sesuatu yang berat. Tapi, dengan penyakit yang dideritanya, berjalan pun bisa menjadi hal yang sangat berat. Tapi, memang aslinya Orisha yang semangat maka saat ia baikan sedikit, ia tak suka menghabiskan waktu untuk hanya terus mengurung diri di kamar. Ia ingin melakukan banyak hal, yah … mencoba melakukan hal-hal yang mungkin suatu hari nanti tak lagi sempat ia lakukan. Bersama Ghazfan sepanjang hari, misalnya. Setelah berfokus pada laptopnya sekitaran satu jam, mengetik, membaca laporan, serta melihat beberapa tayangan simulasi acara pernikahan klien-kliennya, pria itu akhirnya berdiri dari duduknya. Ia sedikit merenggakan tubuh sambil melirik pada Orisha yang tumben-tumbennya benar-benar diam. Bisa-bisanya gadis itu tak bertingkah atau sibuk mengacau. “Sha,” panggil Ghazfan. “Apa?” “Tumben diem?” “Kan disuruh diem.” “Tumben nurut?” “Biar diterima kerja di sini,” jawabnya dengan cengiran. “Aku beneran pengen kerja di sini, Ga. Di sini ada lowongan gak buat aku?” “Gak ada lowongan buat kamu. Semuanya udah full di sini.” “Kalo lowongan jadi istri kamu gimana?” Ghazfan menghela napas dengan berat. “Apa lagi itu. Kamu ditolak.” “CK!” Orisha bangkit berdiri setelah melihat Ghazfan keluar. Ia mengikuti pria itu. “Om Gas menyebalkan,” rutuknya sambil menutup pintu. “Om Gasmu kenapa lagi, Sha?” Rex muncul di depan Orisha, pria itu hendak ikut rapat bersama Ghazfan. “Om Gasmu kenapa?” ulangnya. “Aku ditolakin buat kerja di sini.” “Emangnya kamu bisa kerja?” “Ih, aku diremehin.” “Bukannya gitu, Sha. Cuman kan kamu sering sakit. Kalo kamu kerja, terus kerjanya berat, nanti stress, nanti malah sakit. Kan yang repot Om Gasmu juga. Kecuali kalo kamu suka bikin Om Gasmu repot.” “Ya … gak sih.” “Nah, kan. Om Gasmu tuh bermaksud baik.” “Tapi, omongannya gak pernah baik. Jutek melulu kalo ngomong sama aku.” “Namanya juga tukang gas, maklumin aja, Sha. Untung dia gak meledak. Bayangin kalo Om Gasmu itu meledak, bahaya.” Orisha mengangguk setuju. Untunglah Om Gas menyebalkan itu tak sampai meledak. “Ayo, mau ikut rapat bareng Om Gasmu, ‘kan?” “Iya.” Rex dan Orisha masuk paling belakangan di ruang rapat. Orisha duduk cukup jauh dari Ghazfan karena tak lagi ada kursi yang tersisa di dekat pria itu. Tak masalah, lagian Orisha juga bukan bagian dari rapat itu. Ia hanya mengikuti apa pun yang dilakukan Ghazfan. Dan sesuai kesepakatan ia harus duduk dan diam-diam saja. Satu persatu sanggota tim Ghazfan mempresentasikan rancangan konsep pernikahan yang mereka terima dari klien. Beberapa masih dikoreksi oleh Ghazfan untuk hal-hal detailnya agar lebih pas dengan konsep yang diinginkan oleh klien. Sementara itu, Orisha sibuk mencoret-coret di kertas. Seolah tengah mengerjakan sesuatu yang sangat penting. Beberapa kali Ghazfan melirik gadis itu, tumben-tumbennya Orisha jadi serius. Membuat Ghazfan jadi penasaran apa yang sebenarnya dilakukan oleh Orisha. Walau begitu, tapi Ghazfan tetap tak menginterupsi jalannya presentasi anggota timnya untuk menanyai Orisha. Ia membiarkan presentasi tetap berlanjut yang disertai diskusi kecil-kecilan oleh anggota tim lain. Sementara ia lebih ke mengamati. Rapat tersebut berakhir hampir setelah dua jam saling mengutarakan ide dan saling bertukar sudut pandang. “Gimana, masih ada yang perlu dibahas sebelum kita istirahat makan siang?” “Aku … aku,” jawab Orisha dengan semangat. Padahal bukan ia yang ditanyai, justru ia yang mengangkat tangan dengan tinggi. Seolah ada hal yang begitu penting untuk turut ia utarakan di rapat tersebut. “Gak, kamu gak termasuk,” jawab Ghazfan. Apakah ditolak oleh Ghazfan membuat Orisha mengurungkan niatnya? Tidak. Tak semudah itu ia berhenti. “Aku, aku mau jadi klien juga di sini. Aku mau pernikahanku diurusin sama kalian-kalian.” “Kamu mau nikah, Sha?” tanya Dhea, salah seorang di ruangan tersebut. “Iya, maulah.” “Konsep pernikahan kamu maunya yang kayak gimana, Sha?” Gianna turut bertanya, ikut tertarik untuk mendengar seperti apa konsep pernikahan yang diinginkan oleh Orisha. “Aku mau nikah ala-ala Jinni Oh Jinni,” ucapnya dengan yakin, menyebut sebuah judul sinetron lawas dari tahun 90-an itu. “Jinni Oh Jinni? Kamu mau rambutmu diiket tinggi, terus ting … ngilang gitu, Sha?” Rex turut bertanya. “Bukan, aku mau nikahnya di dalam kerang.” “Kerang?” Hampir semua orang di dalam ruangan rapat tersebut membeo, kecuali Ghazfan yang justru tak menunjukkan sedikit pun ketertarikannya. Pria itu malah memilih fokus dengan ponselnya. “Iya, kerang. Jadi, aku masuk ke dalam kerang gitu. Jadi, nanti calon suamiku bakalan jalan menuju kerang raksasanya. Terus pas dia udah berdiri di depan kerangnya, kerangnya langsung kebuka. Surprise …,” ujarnya dengan nyaring. “Wah, idenya boleh juga tuh, Sha. Belum pernah tuh ada yang modelan kayak gitu.” “Emangnya kapan kalian mau nikah?” Mendengar pertanyaan itu, Orisha langsung cemberut. Ia sih maunya secepatnya, tapi Ghazfan bahkan belum juga mengiyakan lamarannya. “Kalo sekarang-sekarang sih, kita lagi full, Sha. Ada beberapa klien yang lagi kita urusin nikahannya.” Rex menambahkan, sambil ia buka catatannya mengenai daftar tanggal pernikahan klien-klien yang mereka terima. “Tapi, kalo bos yang nikah sih harusnya dibisain dong. Masa kita bisa mewujudkan pernikahan impian orang lain, tapi pernikahan bos sendiri gak bisa,” timpal Jordy. “Nah, setuju banget.” Dhea mengacungkan jempol tanda persetujuannya. “Bang, emangnya kapan loe nikahin Orisha?” Rex beralih bertanya pad Ghazfan. “Emangnya kapan gue bilang mau nikahin Orisha?” “Lah, emangnya Orisha bakalan nikah sama siapa?” “Gak tau, tanya aja sendiri. Tuh orangnya ada di situ,” tunjuk Ghazfan lalu melenggang keluar dari ruang rapat tanpa rasa bersalah. “Sha, kamu nikahnya bukan sama bos?” tanya Jordy. “Sha, kamu dijodohin?” tanya yang lain. “Kamu nikahnya sama siapa?” Dhea pun ikut bertanya, mempertanyakan hal yang sama. Orisha menggeleng dengan frustasi. “Gak tau, belum ada calonnya. Gak ada yang mau nikahin cewek sekarat kayak aku.” Yang lain jadi salah tingkah, mereka secara serentak menggaruk kepala yang gatal. Mau menghibur Orisha, tapi tak tahu dengan ucapan yang seperti apa yang bisa menghibur gadis itu. Kalau dipikir-pikir, yah memang benar ucapan Orisha, mana ada orang yang mau menikahi gadis berpenyakitan sepertinya. Salah sedikit bisa-bisa Orisha langsung meninggal. Orisha bangkit dengan langkah yang lunglai, ia keluar dari ruang rapat tersebut. Meninggalkan orang-orang yang menatapnya dengan kasihan. “Kasian yah Orisha.” “Iya,” timpal yang lain. “Masih muda tapi udah sakit parah kayak gitu.” “Iya, mana gak sembuh-sembuh.” “Ya, kalo dipikir-pikir, cowok mana sih yang mau nikahin cewek sekarat. Iya, ‘kan?” “Bener, gue sebagai cowok yah juga ogah nikahin cewek yang udah mau mati kayak Orisha. Walaupun Orisha juga gak mau sama gue. Maksudnya buat apa coba kita nikah kalo kita juga udah tau ujung ceritanya bakalan kayak gimana.” “Makanya Bang Ghazfan gak mau nikahin Orisha,” sahut yang lain. “Tapi, kan kasian Orisha. Dia dari dulu selalu ngikutin Bang Ghazfan. Pasti ngarep banget bisa dinikahin sebelum dia ee ….” Dhea tak melanjutkan ucapannya, tak enak. “Kasian sih kasian, tapi ya mau gimana coba. Gak ada yang bisa maksain Bang Ghazfan.” “Iya, kasian juga Bang Ghazfan kalo baru nikah udah ditinggal Orisha, ‘kan?” Orisha yang masih berada di luar mendengar semua ucapan-ucapan itu. Ia sebenarnya tak ada niat menguping. Namun, saat ia baru selangkah dari pintu, orang-orang telah membicarakannya. Makanya ia memilih mencuri dengar dengan duduk melantai sambil bersandar di tembok ruang rapat. Sedih, mendengar orang lain mengasihaninya. Sedih, mendengar bahwa orang-orang beranggapan jika menikahi gadis sekarat tak akan ada gunanya. Tapi, di sisi lain ia juga tak bisa menyalahkan siapa pun. Tak bisa menyalahkan Ghazfan yang terus menolaknya atau menyalahkan orang-orang yang mengasihaninya. Gadis itu berdiri dari duduknya, lantas memilih meninggalkan kantor Ghazfan tanpa berpamitan. Juga tanpa mengatakan kepada siapa pun bahwa ia pergi. Pada akhirnya ia melangkah sendiri. Membiarkan kakinya yang lemah itu membawanya menjauh dari Ghazfan. Mungkin seperti ini nantinya, yah nanti … ketika kematian membawa ia pergi. Nantinya, ia akan berjalan sendiri. Ghazfan tak akan mengantarkannya. Dan ia pun tak bisa bersikeras untuk membawa Ghazfan agar ikut bersamanya. Dan pada akhirnya, Orisha menangis sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Ghazfan, ia masih muda, dan masa mudanya ia habiskan dengan banyak menangis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN