Ghazfan merutuki diri karena membiarkan Orisha tinggal bersama kedua orang tuanya. Ia bahkan tak menahan-nahannya. Rupanya ia baru menyesal setelah kembali ke apartemen dan tak menemukan gadis itu lagi. Rupanya ia baru sadar kalau segala tingkah menyebalkan Orisha yang selalu membuatnya pusing tujuh keliling bisa juga ia rindukan.
Pria itu membuka pintu kamar Orisha. Tak ada keberadaan gadis itu di sana. Orisha tak ada di sana sedang merengek dengan segala permintaannya. Atau tak ada Orisha yang sedang merajuk karena Ghazfan enggan mengabulkan keinginannya.
Kamar itu kosong. Sekosong perasaan Ghazfan tanpa Orisha. Pria itu mendengkus pelan, mendengkus atas perasaannya yang terasa menggelikan menurutnya. Bisa juga ia merindukan gadis menyebalkan itu.
Ia tahu bahwa Orisha masih ada. Masih bernapas dan hidup, walau di tempat yang lain. Yah, ia tahu itu. Tapi, tidak menemukan Orisha di depan matanya membuat ia sangat kosong. Lantas akan jadi sekosong apa perasannya saat Orisha benar-benar telah tiada?
Pria itu menggelengkan kepalanya dengan cepat.
“Pikiran bodoh macam apa ini?” Ghazfan berujar, kesal dengan pikiran buruk yang terlintas dalam benaknya. “Gadis menyebalkan itu pasti akan tetap hidup. Harus.” Ia melanjutkan dengan yakin. Tapi, benarkah gadis itu bisa benar-benar bertahan hidup? “Sha, please … kamu harus bertahan.”
Ah, pada akhirnya Ghazfan melirih. Berdoa dengan putus asa. Tubuhnya merosot sendiri hingga tanpa ia sadari tubuhnya terduduk di lantai dalam keadaan memeluk lutut.
Dari tempat yang berbeda—di rumah orang tuanya—Orisha sedang berguling-guling di tempat tidur. Ia merasa mengantuk, tapi matanya tak bisa terpejam. Bagaimana mau terpejam kalau mata itu sibuk menatap layar ponselnya. Mengamati wajah Gahzfan yang menjadi wallpaper layar ponselnya. Ia telah mengumpat puluhan kali karena hingga semalam ini, Ghazfan sama sekali tak menghubunginya.
“Dasar Om Gas menyebalkan, apa dia tak merindukanku?”
“Sha, kamu segitunya merindukan Ghazfan?” tanya Bu Octavia sambil menggelengkan kepala.
“Ma, Orisha boleh balik ke apartemen Om Gas itu gak?”
“Hush, Om Gas terus. Kakak Ghazfan, Sha.”
“Soalnya dia nyebelin banget. Masa sejak tadi pagi sampai sekarang udah malam begini, Orisha gak pernah ditelpon.”
“Kakak Ghazfanmu tersayang itu mungkin lagi sibuk, Sha.”
“Iya, sibuk ngurusin pernikahan orang. Tapi, gak ada waktu buat ngurusin pernikahannya sendiri.” Orisha mengomel sembari meletakkan ponselnya.
Bu Octavia yang duduk di sofa memilih mendekati putri tunggalnya itu. Ia ikut naik ke tempat tidur. Duduk di dekat Orisha yang sedang memeluk boneka. Dielusnya kepala gadis itu lalu bertanya.
“Emangnya Gahzfan mau nikah, Sha? Ghazfan pernah ngajakin Orisha nikah?”
Orisha melepaskan bonekanya. Ia cemberutkan bibirnya lalu menggeleng. “Gak pernah, Ma. Om Gas menyebalkan itu gak pernah ngajakin Orisha nikah. Orisha yang selalu ngajakin tapi gak pernah dijawab.”
“Emangnya Orisha pengen banget nikah sama Kakak Ghazfan?”
“Mau, Ma. Mau banget.”
Bu Octavia tertawa. “Tapi, Kakak Ghazfan gak ngajakin Orisha nikah, gimana dong?”
“Mama sama Papa lamarin Kakak Ghazfan buat Orisha aja, boleh ya?”
“Mana ada perempuan yang melamar laki-laki, Sha?”
“Ya ada, Orisha yang lamar Kakak Ghazfan. Soalnya ditungguin dari dulu sampai sekarang gak dilamar-lamar.”
“Sha, kalian itu masih muda. Ghazfan juga baru merintis usahanya. Perjalanan kalian masih panjang, jangan terlalu buru-buru buat nikah. Menikah itu gak seindah yang di film, Sha. Menikah itu bukan cuma buat sebulan dua bulanan. Tapi, bertahun-tahun, sampai puluhan tahun.”
“Tapi, Orisha mungkin gak bakalan punya waktu yang lebih lama lagi, Ma,” ujar gadis itu dengan senyum terpaksa.
“Sha, kok ngomongnya kayak gitu lagi? Orisha pasti bisa sembuh.”
Sembuh? Entahlah. Orisha berharap, tapi ia pun sudah siap menerima kemungkinan terburuk.
“Dari film-film yang Orisha nonton, pernikahan itu selalu indah dan sangat romantis. Mereka melalui banyak kesulitan untuk mempertahankan hubungan di awal hingga pertengahan film. Di akhir filmnya, mereka menikah. Setelah menikah, filmnya berakhir. Jadi, penonton cuma tau dan liat bagian bahagia dan senangnya pernikahan.” Orisha bercerita dengan fasih, sementara Bu Octavia mendengar gadis itu sambil mengelus rambutnya. “Mungkin bakalan kayak gitu juga buat Orisha, Ma. Orisha bakalan dapat happy ending dengan menikah. Tapi, setelah menikah hidup Orisha berakhir.”
“Sha, omongannya kok gitu terus. Kalo ngomong tuh yang baik-baik. Omongan itu doa loh.”
Orisha menyengir tanpa dosa sementara Bu Octavia sudah berkaca-kaca.
“Orisha kan udah berdoa yang baik, Ma. Orisha pengen menikah biar happy ending. Daripada Orisha gak nikah-nikah, kan justru itu lebih ngenes, Ma. Udah Orisha sakit bertahun-tahun, eh sampai mati gak nikah-nikah.”
Bu Octavia memalingkan wajahnya ke samping. Menghindari tatapan Orisha yang akan memerangkapnya sedang menangis. Wanita itu menarik napas dalam-dalam untuk menguasai diri. Tapi, rasa sesak yang bergemuruh dalam dirinya itu teramat besar. Sebagai seorang ibu, bagaimana mungkin ia akan setenang ini menghadapi putrinya yang sedang sekarat.
“Ma, tapi … Orisha jahat banget yah kalo minta dinikahin sama Kakak Ghazfan?”
“Kok jahat?” tanya Bu Octavia dengan bingung sambil mengusap air matanya perlahan.
“Iya, jahat. Kalo abis nikah terus Orisha meninggal kan kasian Kakak Ghazfan. Kakak Ghazfan masih muda udah harus jadi duda.”
“Stop, Sha! Orisha gak bakalan kenapa-napa. Orisha bisa sembuh!” tegas Bu Octavia. “Orisha bisa sembuh terus nikah sama Ghazfan, punya anak, dan hidup yang bahagia sampai tua. Percaya sama Mama.”
Orisha tersenyum getir, ia terlalu serakah jika mengharapkan sejauh itu. Tapi, bukankah kata Ghazfan ia memang gadis yang serakah karena selalu punya banyak permintaan. Jadi, bolehkah ia menambah lebih banyak permintaan lain?
Gadis itu memilih memeluk Bu Octavia. Bu Octavia pun balas memeluk putri kesayangannya itu dengan erat. Telapak tangannya yang lembut mengusap puncak kepala Orisha, membawa rasa nyaman yang makin menguasai Orisha. Menghantarkan rasa kantuk untuk menyelimutinya. Hingga tanpa ia sadar, ia terbuai dalam tidur yang nyenyak.
Di pagi hari. Ah, bahkan sebelum benar-benar pagi, Orisha sudah bangun dan bersiap-siap menemui Ghazfan. Gadis itu dengan penuh semangat melangkah keluar dari rumah setelah meminta izin dari orang tuanya untuk menemui Kakak Ghazfannya tercinta. Ia berangkat dengan diantar oleh sopir.
Begitu tiba, ia langsung masuk. Apartemen tersebut dalam keadaan masih sepi. Bi Tari belum datang. Sementara Ghazfan tak terlihat di mana keberadaannya. Orisha bergegas mencari pria itu di kamar, sayangnya tak ada.
“Apa aku kesiangan?” tanya Orisha pada dirinya sendiri. Gadis itu melihat jam di ponselnya. “Tapi, ini masih terlalu pagi buat Om Gas itu ke kantor. Bi Tari aja belum datang. Atau jangan-jangan Om Gas itu gak pulang?” Orisha membuat kesimpulan sendiri.
Tak tahu harus berbuat apa karena ia sendiri, makanya Orisha memilih masuk ke kamar yang dulunya selalu ia tempati. Berniat untuk beristirahat sambil menunggu Ghazfan pulang atau menunggu Bi Tari datang.
“Loh, ternyata di sini,” ujar Orisha dengan pelan. Ia agak kaget saat menemuka Gahzfan justru sedang tidur di atas ranjangnya. “Pasti kangen dia sama aku,” lanjutnya dengan senang.
Gadis itu terkikik sendiri sementara Ghazfan masih belum menunjukkan tanda-tanda akan bangun. Atas inisiatifnya sendiri, Orisha ikut bergabung di tempat tidur. Berniat untuk memeluk pria itu. Yang pastinya kalau dalam keadaan tak tidur sangat susah untuk dipeluk oleh Orisha.
Tak ingin membangunkan Gahzfan, Orisha merangkak pelan hingga ia bisa berbaring tepat di samping Ghazfan. Ia memilih berbaring dengan posisi miring agar bisa berhadapan langsung dengan Ghazfan yang juga sedang miring ke arahnya.
“Dasar Om Gas!” gerutu Orisha dengan suara pelan. “Gak kangen apa sama aku?”
Orisha mendekatkan tangannya. Ia hendak menyentuh wajah Ghazfan dengan ujung-ujung jarinya. Dan ketika ujung jemarinya menyentuh puncak hidung Gahzfan, pria itu langsung bergerak. Memberikan respon atas sentuhan kecil yang terasa menggelitik permukaan hidungnya. Bahkan ia sampai menggosok bagian hidungnya walau tanpa membuka mata.
Dengan pergerakan tersebut, posisi tidur pria itu jadi berubah. Semula ia baring miring ke arah Orisha berubah menjadi telentang.
“Jadi, pengen meluk.” Orisha terkikik saat ia mendekatkan diri pada Ghazfan. Perlahan-lahan ia lebarkan lengan pria itu lalu ia rebahkan kepalanya. “Ah, nyamannya,” ujarnya dengan penuh suka cita. Kenyamanan yang ia sebut itu tak hanya tergambar dari raut wajahnya yang berbinar dengan indah, namun dari jernihnya suara gadis itu terdengar. Menyatakan bahwa di sisi Ghazfan adalah tempat di mana ia merasa paling aman dan nyaman.
Tangannya kini merangkul ke tubuh pria itu, membuat satu lagi respon yang diberi oleh Ghazfan—menggeliat perlahan—walau belum benar-benar bangun. Orisha mendongakkan kepalanya untuk melihat Ghazfan yang untungnya masih memejamkan mata. Ia sebenarnya berniat mencuri sesuatu saat ini.
Ah, gadis menyebalkan itu. Ia memiliki niat buruk untuk mencuri kesempatan untuk mencium Ghazfan saat pria itu tidur. Soalnya kalau Ghazfan sudah bangun, ia yakin pria itu akan menolaknya mentah-mentah.
Demi misi tersebut, Orisha melepaskan pelukannya. Kepala dan tubuh bagian atasnya sedikit terangkat untuk menuntaskan misi tersebut. Tangannya ia gunakan sebagai penopang tubuh agar tak ambruk sebelum Ghazfan terbangun.
Perlahan-lahan Orisha menurunkan wajahnya mendekati wajah Ghazfan, atau lebih tepatnya mendekati bibir pria itu. Namun, dalam keadaan sedekat ini pada Ghazfan dan terutama ia memiliki niat yang buruk, maka gemuruh napasnya terdengar begitu hebat. Bahkan sebelum ia memulai ciuman tersebut, ia sudah terengah duluan karena terlalu bersemangat.
Hanya tersisa sekitar lima senti sebelum bibir Orisha menyentuh bibir Ghazfan, pria itu sudah membuka mata. Secara reflek membuat Orisha kaget hingga ia menarik diri menjauh.
“Mau ngapain, huh?” tanya Gahzfan dengan mata yang memicing.
Ia ketahuan, dan kini ia terperangkap. Yah … terperangkap dalam kuasa Gahzfan karena pria itu langsung mengguling tubuh Orisha hingga gadis itu berhasil ia kurung di bawahnya. Kedua tangan Ghazfan memenjara Orisha agar tak melarikan diri.
“Mau ngapain?” Ia mengulang pertanyaannya.
“M-ma-mau nyium.” Orisha tak perlu berbohong di saat ia sudah ketahuan begini. Walau begitu, jawabannya tetap terbata-bata karena gugup.
“Siapa bilang kamu boleh nyium aku sesuka hati, huh?”
“Emangnya gak boleh?”
“Gak boleh.”
“Kenapa?”
“Soalnya kamu menyebalkan,” jawab Ghazfan lalu menyentil dahi gadis itu. “Kenapa kau ke sini?”
“Bisakah kau minggir dulu, kau berat tau,” omel Orisha.
“Aku tidak sedang menaiki tubuhmu sampai-sampai kau harus keberatan.”
“Terus ini apa namanya?”
“Aku hanya kebetulan ada di atasmu. Tapi, beban tubuhku bertumpu pada tanganku sendiri. Bukan padamu.”
“Tapi, kau tetap berat.”
“Tapi, yang merasakan beratnya ya tanganku sendiri. Bukan kau.”
“Dasar menyebalkan. Dasar Om Gas menyebalkan. Kau sangat berat.” Orisha menyaringkan suara seraya mendorong Ghazfan. “Aku bisa sesak napas tau.”
Ini tak aman untuk Orisha. Bukan karena Ghazfan yang berat lantas ia akan sesak napas, tapi karena terlalu dekat dengan pria itu, terlebih dengan posisi seintim ini.
“Kalo aku sesak napas terus mati gimana?”
“Kalo mati ya di kubur,” jawab Gahzfan dengan enteng.
“Kamu … kalo aku mati kayaknya gak bakalan sedih.” Justru ia yang berakhir sedih.
“Kenapa aku harus sedih?”
“Emangnya kamu gak bakalan kehilangan aku?” tanya Orisha dengan lirih.
Ghazfan menggelengkan kepalanya perlahan, sejurus dengan itu ia mengguling tubuhnya sendiri ke samping. Membiarkan orisha bernapas dengan lebih lega tanpa ia di atas tubuh gadis itu.
“Ga ….” Orisha memanggil seraya ia berbaring menyamping. “Kalo misalnya kita menikah terus aku meninggal, kamu gak bakalan sedih?”
Ghazfan mendengkus pelan. Ia kemudian terdengar menjawab pertanyaan tersebut walau tanpa melihat Orisha. “Emangnya sejak kapan aku bilang kalau aku bakalan nikahin kamu?”
Tak terima dengan jawaban menyebalkan itu, Orisha segera duduk. “Kenapa?”
“Kenapa apanya?” balas Ghazfan.
“Kenapa kamu gak mau nikahin aku?”
“Aku tanya balik deh, kenapa aku harus nikahin kamu?”
Mata Orisha sudah berkaca-kaca. Wajahnya kian terasa panas. Bom air mata itu akan segera meledak melalui kedua sudut matanya.
“Ga … kamu beneran gak mau nikahin aku? Aku pengen banget nikah sebelum aku mati. Anggap aja permintaan terakhirku.”
“Terus aku dapet apa setelah nikahin kamu? Toh, kata kamu setelah nikah kamu bakalan mati.” Suara Ghazfan mulai meninggi. Pria itu bahkan telah ikut duduk. Suaranya yang terdengar marah itu membuat Orisha tertunduk. “Apa untungnya buat aku? Apa yang aku dapetin, Sha?”
“Emangnya harus ada untungnya?” tanya Orisha dengan air mata yang mulai turun. Ia sebenarnya mencoba menahan diri agar tak menangis, tapi air mata itu tak mau mendengarnya. “Kita kan gak jualan, Ga? Jadi, mana ada untungnya. Tapi, kalo abis nikah kamu mau jualan, ya aku bantuin deh. Walau aku gak bisa bantuin kamu jualan lama-lama,” ujarnya dengan sesenggukan.
Orisha mengusap air matanya dengan kasar. Lalu tangannya yang basah itu, ia lap pada baju yang dipakai Gahzfan tanpa ragu-ragu dan tanpa merasa bersalah. Tak hanya sampai di situ. Karena ia pun mendekatkan diri lalu mengelapkan ingusnya di baju Gahzfan.
“Astaga, Orisha!” kesal Ghazfan. “Ini nih salah satu alasan kenapa aku gak mau nikahin kamu, kamu selalu jadiin baju aku sebagai lap ingus. Bayangin seberapa banyak bajuku yang harus berakhir jadi lap ingus kalo aku nikahin kamu.”
Orisha menjauhkan diri setelah puas mengelapkan ingusnya di baju Ghazfan. Matanya yang sembab itu mendongak untuk melihat Ghazfan yang terlihat sangat kesal.
“Gak bakalan banyak kok, Ga. Toh, aku juga gak bakalan lama lagi hidupnya,” sanggahnya. Bibirnya terlihat sedikit menunjukkan kecemberutan, walau setelahnya ia kembali berujar. “Kamu nikahin aku, terus kita jualan biar kamu dapat untung. Gimana kalau kita jualan tabung gas? Tokonya aku mau namain Tabung Gas Orisha.” Ia mencipta sebuah bayangan akan hari-harinya setelah menikah dan menjaga toko tabung gas yang ia maksud. Wajahnya yang tadi cemberut kini terlihat bersemangat. “Ga, nikahin aku secepatnya yah … biar aku masih punya waktu buat jualan tabung gas.”
Gadis menyebalkan itu menyengir tanpa dosa di akhir kalimatnya, tapi sebaliknya Ghazfan justru menggeram marah sebelum ia bangkit dari tempat tidur. Ia enggan mendengar tentang kalimat-kalimat mengerikan itu lagi lebih lanjut. Sudah cukup. Ia tak sekuat itu untuk melihat wajah tak berdosa Orisha yang menyengir di saat gadis itu menghancurkan hatinya melalui ucapan yang sebenarnya tak Orisha maksudkan untuk menyakiti Ghazfan.