Orisha mulai mengerjap pelan untuk menyesuaikan cahaya yang tertangkap oleh matanya. Gadis itu kini menatap orang-orang di sekelilingnya yang menunjukkan senyum.
“Mama, Papa,” panggilnya dengan suara yang pelan. “Kakak Ghazfan.” Ia lanjut memanggil pria itu sambil menyengir. “Papi sama Mami juga di sini. Semuanya pada kumpul, artinya Orisha lagi sakit parah.”
Pemasangan WSD menunjukkan hasil yang positif bagi Orisha. Buktinya, gadis itu bisa bangun dan melihat keberadaan orang-orang di sekitarnya tanpa keluhan apa pun. Saat ini ia juga tak lagi mengalami sesak napas atau merasa dadanya tertekan. Walau memang, rasa nyeri di bagian pemasangan WSD cukup menghambat pergerakannya.
“Sha, ada yang sakit gak?” tanya dokter Meira untuk memastikan.
“Di sini, Mi. Di sini sakit,” tunjuknya pada area dadanya. “Nyeri, Mi.”
“Tapi, nyerinya gak bikin sesak, ‘kan?”
“Gak, Mi.”
“Nyerinya itu karena ada selang yang dipasang di dadanya Orisha. Yang paling penting sekarang Orisha gak kesulitan bernapas lagi.”
“Mama sama Papa kapan pulangnya?” Orisha beralih melihat kedua orang tuanya bergantian.
“Semalam Mama sama Papa sampai di Jakarta.”
“Mama sama Papa pulang karena Orisha masuk rumah sakit?”
“Gak, Sha. Mama sama Papa emang udah mau pulang. Mama sama Papa pulang buat minta maaf karena Orisha ngambek. Malam sebelumnya kan Orisha ngambek.”
Orisha jadi teringat penyebab ia mengambek pada kedua orang tuanya. Yah, perkara mie instan yang dimasak oleh Bu Octavia dan ketahuan olehnya.
“Mulai sekarang Papa sama Mama juga janji sama Orisha, Papa sama Mama gak bakalan makan mie instan. Biar kita jadi baik kayak Kakak Ghazfan kesayanganmu ini.” Pak Kharrel melirik Ghazfan lantas tersenyum, melontarkan candaan untuk mengejek Orisha.
“Kalian tau gak …,” sahut dokter Meira, membuat semua pasang mata di ruangan tersebut menoleh padanya. “Orisha abis dicium sama Kakak Ghazfan kesayangannya, kata Orisha ciuman pertama.”
“Emangnya baru ciuman, Mi? Setelah bertahun-tahun gitu?” tanya dokter Simon tak percaya.
“Iya, Pi. Katanya baru ciuman. Mana ciumannya di sini,” tunjuk dokter Meira pada bibirnya sendiri. Wanita itu mengulum senyum saat melihat raut wajah Orisha yang terlihat malu-malu. Sementara Gahzfan malah menunjukkan ekspresi datar.
“Emangnya baru ciuman, Sha?” Bu Octavia turut bertanya untuk memastikan.
Orisha mengangguk malu-malu. “Kakak Ghazfan nyium Orisha pagi-pagi, Ma.”
“Sha, aku gak nyium kamu.” Ghazfan mengelak. “Kamu itu cuman mimpi.”
“Gak, kamu beneran cium aku kok. Aku bisa rasain.” Orisha membalas dengan kesal karena tak diakui, walau ucapan balasannya masih terdengar cukup lirih.
“Iya, kamunya rasain dalam mimpi.”
“Tapi, abis dari rumah sakit itu kan kamu beneran cium aku,” sahut Orisha lagi. Mengumumkan pada seluruh dunia bahwa Ghazfan memang telah memberi stempel di bibirnya usai pulang dari rumah sakit.
“Oh, ciuman lagi pas pulang dari rumah sakit?” goda dokter Meira. “Makin sering aja nih ciuman.”
“Wah, Papa mau minta pertanggungjawaban Gahzfan nih udah nyium-nyium anak gadisnya Papa nih.” Pak Kharrel turut berkomentar seraya ia melihat Ghazfan yang tengah menggaruk kepala karena salah tingkah.
“Tuh, kamu harus nikahin aku,” sambar Orisha dengan cepat.
“Siapa nih yang mau nikah?” Sebuah suara muncul, bersamaan dengan terbukanya pintu ruang perawatan Orisha. “Sembuh dulu gih, bisa gak nikah dengan selang-selang yang masih kepasang gitu?” ejeknya.
“Ini Ayam Geprek satu punya dendam apa sih?”
Ayam Geprek? Siapa dia?
Sungguh, bukan ayam geprek seperti yang dijual di berbagai tempat makan. Dia manusia, kakak kandung Ghazfan. Ghavrack nama pria itu, seorang dokter di departemen saraf. Namun, karena sering kali berselisih dengan Orisha, jadilah ia dinamai dengan sebutan Ayam Geprek.
****
Orisha bertahan sekitaran dua minggu di rumah sakit untuk memantau kondisinya setelah pemasangan WSD. Kedua orang tuanya juga memilih tak ingin terburu-buru membawa Orisha pulang karena mengkhawatirkan penyakit Orisha kambuh atau justru makin parah jika berada di rumah.
Walau bosan tiap hari terkurung di ruangan yang sama, terikat oleh selang-selang yang sangat membatasi pergerakannya, tapi Orisha menurut juga pada akhirnya. Ia tak ingin bersikeras dan akhirnya kondisinya malah jadi parah.
Selama dirawat di rumah sakit, Ghazfan seperti biasa, akan menemani gadis itu di sela-sela aktivitasnya di kantor. Terkadang ia yang menginap di rumah sakit, atau sesekali kembali ke apartemennya untuk beristirahat, berganti dengan orang tua Orisha yang berjaga.
“Orisha mau pulang sama Kakak Ghazfan.” Gadis itu memutuskan, ia lihat Ghazfan dengan wajahnya yang memelas. Ingin agar pria itu angkat suara, meyakinkan kedua orang tuanya bahwa ia yang akan menjaga Orisha.
Sayangnya, Ghazfan justru membuang muka saat dilihat oleh Orisha. Mengundang kekesalan gadis itu.
“Ga …,” rengeknya.
“Apa?”
“Aku mau pulang sama kamu.”
“Iya, aku yang anterin pulang. Tapi, pulangnya ke rumah orang tua kamu.”
“Kamu gak mau tinggal bareng aku lagi? Kamu mau balikin aku ke orang tua aku?”
“Orisha … Orisha, kamu tuh kayak orang yang dicerai suaminya aja, ngomong dibalikin ke orang tua.”
“Emang kayak gitu, Om Gas menyebalkan itu mau balikin aku ke Mama sama Papa.”
“Sha, Om Gas terus. Kakak Ghazfan.” Pak Kharrel mengingatkan.
“Emangnya Orisha lebih suka tinggal sama Kakak Ghazfan dibanding sama Mama dan Papa?” tanya Bu Octavia. “Orisha emangnya gak kangen sama Mama dan Papa?”
“Bukan gitu,” jawabnya sambil mengerucutkan bibir. “Emangnya Mama sama Papa udah bakalan tinggal di Jakarta? Gak bakalan pindah-pindah rumah lagi?”
“Untuk sekarang Mama bakalan tinggal di Jakarta, Mama bakalan nemenin Orisha.”
“Mama sama Papa gak kerja lagi?”
“Kerja, Sha. Tapi, Papa yang kerja. Mama yang nemenin Orisha.”
Melihat kondisi terkini dari anak semata wayangnya itu, Pak Kharrel dan Bu Octavia sepakat untuk menetap di Jakarta untuk saat ini. Pekerjaan di luar kota bisa mereka tangani secara online dengan bantuan orang-orang kepercayaannya. Sementara untuk hal-hal mendesak, barulah Pak Kharrel akan turun tangan sementara Bu Octavia akan tetap mendampingi Orisha.
Mereka tak akan membiarkan Orisha sendiri tanpa pengawasan lagi. Kejadian saat Orisha mengalami henti napas tanpa ada yang melihatnya membuat kedua orang tuanya sangat menyalahkan diri. Dibandingkan menyerahkan seluruh pengawasan pada Ghazfan atau sahabat mereka, harusnya sebagai orang tua, merekalah yang bertanggung jawab untuk kelangsungan hidup anak mereka.
Kedua orang tua Orisha bukan menyalahkan Ghazfan hingga Orisha mengalami henti napas sendirian. Justru menyalahkan diri sendiri. Makanya, untuk menebus rasa bersalahnya, mereka memutuskan untuk memfokuskan pada pengobatan Orisha saat ini. Gadis itu perlu dukungan agar tak putus asa dengan penyakitnya yang makin parah.
“Untuk sekarang, kerjaan Papa udah bisa di-handle secara online, Sha. Jadi, Papa sama Mama bisa tetap kerja sambil jagain Orisha,” tambah Pak Kharrel.
“Ga, gimana kalo kamu juga pindah tinggal bareng sama aku, bareng-bareng sama Papa sama Mamaku? Mau, ‘kan?”
“Kamu banyak banget maunya, Sha.” Ghazfan membalas sambil tertawa. “Pengen banget tinggal sama aku, bukannya selama ini kamu selalu marah-marah kalo aku larang-larang. Nah, karena udah gak tinggal sama aku, kamu bisa bebas dari larangan-laranganku.”
“Aku lebih suka dilarang-larang dan diomelin kamu, asal bisa tinggal bareng sama kamu.”
“Orisha segitu sukanya sama Kakak Ghazfan?” tanya Bu Octavia sambil membereskan barang-barang untuk ia bawa pulang.
Orisha yang saat itu bergelayut manja di lengan Ghazfan langsung mengangguk.
“Ga, kamu suka gak tinggal sama aku?”
“Gak. Kamu nyebelin, Sha.”
“Dasar Om Gas nyebelin. Aku gak jadi ngajakin kamu tinggal di rumahku. Aku marah sama kamu.”
Lihatlah, gadis itu mengambek lagi pada Ghazfan. Tapi, saat Ghazfan mengantarnya pulang. Ia malah merengek untuk diantar ke apartemen pria itu. Beralasan jika barang-barangnya masih ada di sana.
“Nanti aku bawain barang-barang kamu, Sha. Sekarang kamu istirahat aja.”
“Gak, jangan bawa barang-barang aku.”
“Loh, katanya kamu butuh barang-barang kamu.”
“Kalo barang-barang aku dibawa ke sini semua, nanti aku gak punya alasan buat ke apartemen kamu lagi,” ujarnya dengan sedih. “Ga …,” panggilnya dengan lirih. “Barang-barangku … kalau pun aku udah gak ada jangan langsung dibuang, biar kamu gak cepet lupain aku.”
Ghazfan langsung membuang muka, sudah tahu akan ke arah mana lagi pembicaraan menjengkelkan ini.
“Ga, nanti … kalo aku udah gak ada lagi. Barang-barangku yang masih bagus disumbangin aja. Tapi, jangan semuanya. Kamu harus tetep simpan sebagian, biar kamu bisa tetep inget sama aku terus.”
“Buat apa?” balas Ghazfan dengan kesal. “Barang-barang kamu toh gak bisa aku pake juga. Mending disumbangin semua.”
“Kamu gak mau nyimpen satu aja? Buat kenang-kenangan, Ga …?”
“Gak perlu.”
“Aku segitu gak berharganya buat kamu? Kamu gak mau nyimpen barang-barangku?”
“Gak,” jawab Ghazfan. “Penuh-penuhin apartemen aku aja.”
“Ga, kenapa sih kamu gak pernah mau bohongin aku aja? Aku gak minta kamu jujur kok, toh aku tau kalo aku gak bakalan hidup buat melihat kejujuran dari ucapan kamu. Kamu cuma perlu bohong biar aku seneng.”
“Aku mau pulang, Sha.” Ghazfan memilih tidak menjawab pertanyaan gadis itu. Ia lebih memilih bangkit dari tepian tempat tidur Orisha. “Istirahat yang banyak,” lanjutnya lalu keluar. Meninggalkan gadis itu sendirian di kamar tanpa menyenangkan Orisha dengan sebuah kebohongan.
Orisha hanya menatap punggung Ghazfan dengan sedih sebelum akhirnya pintu kamarnya tertutup.
“Ga, kamu mungkin bakalan nyesel kalo aku udah mati.”
Kenapa ia ingin sekali mendengar sebuah kebohongan? Karena ia tak cukup percaya diri bahwa ia memiliki waktu untuk menunggu hingga Ghazfan berkata dengan jujur atau bahkan sampai mewujudkan apa yang ia impikan itu. Makanya, cukuplah sebuah kebohongan dan kata-kata manis untuk ia dengar.
Walau hanya kepalsuan. Bahkan kepalsuan pun akan sangat berharga bagi orang-orang sepertinya. Orang-orang yang berlomba dengan waktu.
“Sha,” panggil Bu Octavia ketika wanita itu masuk ke kamar Orisha. Ditemukannya sang anak sedang termenung dengan wajah sedih.
“Mama.”
“Orisha sedih tinggal di sini? Orisha lebih seneng kalo tinggal sama Kakak Ghazfan?”
“Ma, Orisha itu kalo tinggal sama Kakak Ghazfan jadi beban yah buat Kakak Ghazfan?”
“Kok ngomong gitu?”
“Iya, soalnya akhir-akhir ini Kakak Ghazfan sering keliatan frustasi.”
“Lagi ada masalah sama kerjaannya kali, Sha.”
“Gak, Ma. Waktu itu Kakak Ghazfan keliatan frustasi kalo sama Orisha, waktu nganterin Orisha ke rumah sakit.”
“Mungkin Kakak Ghazfan cuman kecapean aja, Sha. Orisha gak usah mikir macem-macem. Kakak Ghazfan sama semua keluarganya tuh sayang sama Orisha. Mereka udah ngerawat Orisha dari kecil.”
“Ma, tapi Kakak Ghazfan sayang gak sama Orisha, kayak Orisha sayang sama Kakak Ghazfan?”
“Pasti, kan Kakak Ghazfan udah nemenin Orisha berobat selama bertahun-tahun. Kakak Ghazfan kan juga selalu jagain Orisha. Artinya Kakak Ghazfan sayang banget sama Orisha.”
“Tapi, Kakak Gahzfan gak pernah bilang sayang sama Orisha. Kakak Ghazfan juga gak sedih kalo Orisha bilang suatu hari nanti Orisha bakalan meninggal.”
“Sha, sayang itu gak cuma diucapin dari mulut, tapi bisa juga langsung ditunjukkan dengan perbuatan. Apa yang Kakak Ghazfan lakuin buat Orisha selama ini lebih dari sekadar bilang sayang atau bilang cinta.”
“Jadi menurut Mama, Kakak Ghazfan sayang sama Orisha?”
“Iya, Sha. Sayang banget.”
Gadis itu kini menyengir. “Orisha juga sayang banget sama Kakak Ghazfan.”
“Kalo sama Mama sayang gak?”
“Sama Mama gak, jawabnya sembari melipat tangan di depan dadanya.”
“Mama sedih nih.”
“Sama Mama emang gak sayang, tapi sayaaaanngggg banget,” ujarnya dan segera menghambur ke pelukan wanita itu.
“Ni anak yah, hampir aja Mama sedih. Sha, maafin Mama sama Papa yah karena selama ini bukan Mama sama Papa yang jagain Orisha.”
Orisha mengangkat wajahnya yang tenggelam di pelukan mamanya, ia tatap mata sang mama. “Orisha gak menyalahkan Mama sama Papa kok. Orisha tau kalo Mama sama Papa lagi berjuang buat Orisha, Mama sama Papa berjuang buat cari biaya berobatnya Orisha yang banyak banget.”
“Makanya Orisha harus sembuh ya, Nak. Jangan ngomong-ngomong yang aneh lagi. Pokoknya Orisha gak bakalan kenapa-napa. Kita semua sayang Orisha dan bakalan mengusahakan kesembuhan Orisha.”
Ia mengangguk. Yah … mengangguk, agar sang Mama tak sedih. Tapi, jauh di sudut paling dalam hatinya, ia tetap ragu.
Aku ingin berharap, tapi rasa sakit ini mengomporiku untuk menyerah.