BAB 4
Aku menghela napas, merebahkan tubuh lelahku ke atas ranjang. Ku tatap langit-langit kamarku dengan pandangan menerawang. Tanpa sadar otakku memutar kembali ucapan Akash tadi pagi. Aku menyentuh d**a kiriku, rasanya sedikit perih, ada sesuatu yang tidak ku mengerti di dalam sana. Aku tidak munafik, sebagian hatiku masih menginginkannya, apalagi mendengar kenyataan bahwa dia masih mencintaiku.
Aku memejamkan mata. Menghilangkan bayangan Akash dari pikiranku. Walau bagaimana pun juga, lelaki itu sudah mengambil keputusan dengan tidak memilihku, dan aku harus segera memusnahkannya dari hatiku secepat mungkin. Lagipula~ sebentar lagi aku akan menikah dengan Kaivan kan?
Benarkah? Apa kau siap menikah dengan laki-laki bodoh itu Dean? Aku menggeleng. Tentu saja tidak. Aku akan mencari cara lain untuk membuat Kaivan membenciku dan membatalkan pernikahan konyol ini. Masalah ini bisa kupikirkan nanti saja, masih ada banyak waktu. Dan tanggal pernikahan juga masih belum ditentukan bukan? Ya, aku masih bisa tenang sekarang.
Dan... mengenai ucapan Kaivan tadi mau tak mau membuatku kesal. Sialnya aku sudah terlanjur mengiyakan perkataannya demi menebus rasa bersalahku.
Tapi~ membayangkan akan bertemu makhluk besar pemakan rumput itu membuatku tanpa sadar bergidik ngeri. Bagaimana jika tiba-tiba saja sapi itu menyerudukku hingga terhempas? Atau menemani si bodoh itu membersihkan kotoran sapi? Aku menggeleng cepat. Hal itu tidak boleh sampai terjadi. Harus ada satu orang yang dikorbankan untuk menemani Kaivan ke kandang sapi.
Aku mengambil ponsel, menghubungi Ghea. Yah, siapa tahu Ghea bisa menggantikan peranku menjadi ibu tiri sapi? Aku terkikik geli. Sahabat baikku itu sangat terobsesi dengan sapi, bahkan di kamarnya saja aku bisa menemukan berbagai jenis boneka sapi berbagai ukuran. Sudah seperti toko boneka sapi saja.
Dan mengajaknya untuk acara besok pagi sepertinya menyenangkan~
***
“Kita mau ke mana?”
Kaivan menoleh sekilas ke belakang—ke arahku, mengulas senyum tipis. “Lembang,” ujarnya manis. Lalu kembali fokus pada kemudi.
“Apa?” ujarku panik, langsung melihat pakaian yang ku kenakan. Dress hijau tosca selutut tanpa lengan. Dan dia membiarkanku memakai pakaian tipis ke Lembang? Saat musim hujan seperti ini? Laki-laki bodoh ini tidak sedang membual kan?
“Kamu ingin membuatku jadi patung es? Aku tidak bawa jaket, Kaivan. Kenapa tidak bilang dari tadi?” aku berucap frustrasi, melayangkan tatapan tajam pada Ghea di sampingku yang kini terkekeh geli. Sialan.
“Kamu tidak bertanya,” Kaivan membalas polos. Fokus pada kemudi. Ghea semakin terkikik keras.
Aku mendengus sambil melipat tangan. Dasar lelaki bodoh tidak peka!
“Sabar De, ini ujian.” Ghea menepuk pundakku sambil tertawa biadap. Aku menyentak tangannya kesal, mendelik padanya sinis. Beruntung sekali dia memakai celana jeans dan jaket kulit. Apa jangan-jangan Kaivan sudah memberitahu Ghea lebih dulu? Hah, pikiran macam apa itu? Memang Kaivannya saja yang bodoh. Dia yang patut disalahkan atas apa yang menimpaku hari ini.
“Kamu harus tanggung jawab, Kaivan. Belikan aku pakaian hangat.”
“Eh,” Kaivan melirikku lewat kaca gantung, tampak salah tingkah. “Kalau kamu tidak keberatan, kamu bisa memakai sweaterku dulu, Dean. Kamu bisa mengambilnya di jok belakang. Nanti kalau sudah sampai, kupinjamkan baju milik sepupuku di sana,” lanjutnya lagi, kali ini diselingi dengan senyum tipis.
“Aku bisa membeli sendiri jika kamu tidak mau membelikanku!” ujarku sinis, bilang saja kau tidak ingin menghabiskan uangmu, ya kan? Tambahku dalam hati.
“Jika tidak, turunkan aku di sini saja dan aku bisa pulang sendiri sekarang!” titahku mengancam. Ia terlihat panik, mengerem mendadak hingga membuatku dan Ghea terdorong ke depan. Aku mengaduh, kepalaku hampir menyentuh kursi depan. Untung saja gerak refleks tanganku cepat.
Aku berdecak kesal, Ghea meringis sambil memegangi jidatnya. Sedetik kemudian, puluhan klakson mobil terdengar nyaring. Kaivan kembali melanjutkan mobil.
“Tapi aku tidak tahu butik di sekitar sini, Dean. Lagipula kita sedang berada di jalan tol sekarang,” Kaivan berujar cepat—sedikit panik. Jeda sejenak, lelaki itu menambah kecepatan mobil.
“Kita harus membeli pakaian ke mana? Aku benar-benar tidak tahu.” nada suara Kaivan seperti mengatakan bahwa aku akan mati kedinginan jika tidak segera membeli baju hangat. Responnya terlalu berlebihan sekali.
“Lo bikin Kaivan panik De! Ntar kalau kita nabrak gimana?” Ghea menggoyangkan pundakku cepat. Aku balas melototinya tajam, ia meringis dan kembali duduk bersandar. Aku menatap Kaivan yang masih memasang wajah gelisah.
“Pelankan mobilmu Kaivan. Tidak usah panik. Aku bisa membelinya saat sudah sampai.” ujarku tenang, mengulurkan tanganku untuk mengusap pundaknya yang terlihat tegang. Ia mulai mengurangi kecepatan, menatapku lewat kaca dengan pandangan bersalah,
“Apa tidak apa-apa? Bagaimana jika kamu kedinginan dan membeku seperti es? Aku tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk padamu, Dean.” Kaivan berujar dengan nada rendah, terselip nada khawatir yang sangat mudah k****a.
“Aku tidak apa-apa,” balasku cepat. “Sekarang kemudikan saja mobilmu dengan tenang,” lanjutku lagi. Dan ia menurut.
“Calon laki lo perhatian banget sih De,” Ghea merapatkan jarak duduknya dan berbisik di telingaku, “tapi agak over yang cenderung ke arah aneh. Kayaknya dia punya kelainan deh,” lanjut Ghea lagi, kali ini disertai kekehan keras di ujung perkataanya.
Aku mengetuk kening Ghea keras. “Sialan lo.”
***
Udara sejuk khas Lembang menyambutku pertama kali. Aku memeluk kedua tangan dan mengusapnya perlahan, menghalau udara dingin. Perjalanan tadi cukup jauh dan melelahkan. Yang aku tahu sepertinya ini berada di daerah puncak, terbukti dengan perbukitan hijau yang terhampar di sekelilingku.
“Ku mohon, terima ini Dean. Setidaknya untuk sementara waktu agar kamu tidak kedinginan.” Kaivan datang sambil meletakkan sweater biru gelap ke tanganku. Aku menaikkan alis, mengibaskan sweater itu dan mencocokkannya dengan tubuhku. Besar sekali.
Ya sudahlah. Dari pada aku menggigil kedinginan, lebih baik aku mengendorkan ego dan memakai ini.
“Ayo. Ku kenalkan pada sepupuku,” Kaivan tersenyum manis, mempersilahkanku menuju sebuah villa yang cukup asri di depan kami. Jangan tanyakan keberadaan Ghea, gadis itu sudah berlari ke belakang rumah setelah tahu bahwa di sana terdapat kandang sapi. Dasar anak aneh.
Dan~ mengenai baju, aku tidak jadi beli karena tidak menemukan toko baju apa pun di perjalanan. Hah, menyebalkan sekali.
Baru saja kami hendak memasuki villa, seorang perempuan cantik keluar dari balik pintu, mengenakan sweater biru muda cerah dan celana jeans navy. Rambutnya berwarna kecokelatan, bergelombang di bagian bawah. Dan senyumnya~ manis sekali.
“Hai Kai!” dia menyapa ramah, langsung menghambur pada Kaivan yang tidak siap hingga membuatnya hampir terhuyung.
“Aku merindukanmu...” ujarnya manja. Semakin mengeratkan pelukannya pada si bodoh.
“Bukannya kemarin aku baru saja ke sini?” Kaivan melepaskan pelukannya sambil mengerutkan kening. Gadis itu tertawa. Hah, tingkah mereka sudah seperti sepasang kekasih saja!
“Eh, aku ingin mengenalkanmu pada seseorang.” Kaivan melirikku dan menggandeng tangan gadis itu mendekat.
“Aku Anditha, sepupunya Kaivan.” katanya ramah. Tersenyum kecil dan mengulurkan tangannya padaku.
“Deandra,” balasku sambil menerima uluran tangannya. Ia terlihat sedikit terkejut, menatap Kaivan aneh hingga kemudian tawanya pecah.
“Jadi ini?” ia bertanya pada Kaivan dengan nada mengejek. Apa yang salah denganku?
Ia lalu mengalihkan pandangannya padaku saat tawanya terhenti. Bibirnya mengulas senyum geli.
“Kamu tahu Deandra? Sepupu bodohku ini bahkan merubah penampilannya hanya karenamu,” ia melirik Kaivan yang kini memasang wajah kesal, lalu kembali menatapku. “Tapi dia malah terlihat semakin aneh dari sebelumnya. “Dasar bodoh,” ejeknya sambil merangkul bahuku. Aku lalu digiringnya memasuki rumah.
Hah, sepupu dekat Kaivan saja mengatakan jika pria itu bodoh. Dan~ pantas saja aku melihat sedikit perubahan pada penampilan Kaivan, seperti ada yang berbeda. Ternyata kali ini pria itu mengenakan jaket hitam kebesaran dan celana jeans hitam. Tidak seperti biasanya yang menggunakan sweater atau kemeja dan celana bahan.
Hey, kenapa aku terlihat hafal sekali dengan penampilan Kaivan?
****
Bayangan mengerikanku tentang kandang sapi yang kumuh, kotor dan bau lenyap sudah. Ini sangat berbanding terbalik dengan itu semua. Tidak ku sangka jika di balik villa ini terdapat padang rumput yang sangat luas. Di kelilingi oleh pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi. Tepat di depanku, terdapat sebuah peternakan sapi yang lumayan besar dan bersih.
“Kaivan!”
Aku menoleh. Entah sejak kapan di sampingku sudah berdiri seorang Kaivan? Dari dalam kandang sapi aku bisa melihat Ghea berlari ke sini sambil melambai ke arah Kaivan. Aku mendengus, pasti jiwa keponya itu sudah naik ke ubun-ubun.
“Sapi-sapimu indah sekali.” manik kelam Ghea berbinar cerah, tampak seperti seseorang yang baru saja memenangkan lotre. “Aku suka sekali dengan mereka. Apa aku bisa sedikit bertanya tentang peternakanmu?” ujarnya lagi, sembari mengulas senyum lebar.
Inilah sifat asli Ghea. Lupa segalanya jika sudah berhadapan dengan sapi. Bahkan dia seolah tak menganggap keberadaanku di sini. Sialan. Seharusnya aku tidak usah mengajaknya saja ke sini. Ah, tapi melihat tingkahnya itu, aku bisa memastikan bahwa setelah ini aku bisa bebas dari Kaivan dan menikmati keindahan alam ini sendirian. Yeah.
Ivan menggaruk kepala belakangnya. “Sebenarnya ini milik pamanku,” ujarnya pelan, Ghea mendesah kecewa. “Tapi mungkin aku bisa sedikit membantu,” lanjutnya kemudian, dengan senyum khasnya yang polos.
“Kalau begitu ayo!” Ghea menarik tangan Ivan antusias, aku yang melihat itu melotot. Mereka mau meninggalkanku di sini sendirian? Yang benar saja! Aku hendak menyarakan protes, tapi suara Ivan mendahuluiku.
“Tapi aku harus bicara dengan Dean sebentar,” Kaivan berujar dengan nada bersalah, melepaskan tangan Ghea dari jemari kokohnya. Ghea terdiam, dan aku ingin tertawa saat melihat raut wajahnya yang berubah konyol. Ditolak si bodoh, hm?
“Kamu kesana saja dulu. Nanti aku menyusul,” ujar Kaivan kemudian, tersenyum kecil saat Ghea berbalik dan melambaikan tangan.
“Dean,” Ivan berjalan mendekatiku, manik birunya menatapku lekat. Dari balik kacamatanya aku bisa melihat sorot sendu yang kentara. Kenapa lagi pria ini?
Dia menunduk, menautkan jari-jarinya. “Aku minta maaf, Dean,” ujarnya lirih. Aku mengerutkan kening tidak mengerti.
“Kenapa minta maaf?” ia kembali menatapku.
“Maaf karena tidak memberitahumu sebelumnya jika kita akan pergi ke sini,” balasnya pelan, ia melirik pakaian milik Ditha yang melekat di tubuhku. “Karenaku, kamu jadi harus memakai pakaian milik Ditha. Kumohon jangan membenciku Dean...”
Hatiku terasa dicubit, kehabisan kata-kata. Kenapa dia masih memikirkan hal itu? Ya Tuhan, manusia macam apa sebenarnya Kaivan ini? Aku bahkan belum minta maaf soal kejahilanku kemarin malam.
Aku menghela napas, merapatkan jaket ke tubuhku. Sebenarnya aku ingin menggunakan kesempatan ini untuk menyalahkannya dan memintanya untuk membatalkan rencana pernikahan kami. Tapi melihat ketulusan dan raut wajahnya yang penuh penyesalan nan polos membuatku tidak tega...
“Aku maafkan. Tidak usah dipikirkan lagi,” ujarku menepuk bahunya sekilas. Ia tersenyum lega, manik birunya yang semula redup kini kembali berbinar hangat.
“Terimakasih,” Kaivan menangkup kedua jemariku dengan tangan besarnya yang terasa hangat.
“Terimakasih Dean...”
****