BAB 5

1430 Kata
BAB 5     Aku memeluk kedua lututku saat merasakan udara dingin berembus. Di depanku kini, terhampar sebuah danau yang lumayan luas dengan warna biru kehijauan, tampak berkilau karena memantulkan cahaya matahari yang sedang mencoba mengintip dibalik awan hitam. Sedang di sekelilingnya terdapat banyak sekali pepohonan tinggi menjulang. Indah sekali. Sepertinya aku betah jika disuruh berlama-lama di sini. Tanpa Kaivan, tentu saja. Entah sudah berapa lama aku tidak merasakan kedamaian seperti ini? Angin sejuk yang berembus pelan terasa nyaman, aroma pinus dan rerumputan menguar lembut membelai hidung. Rasanya~ seperti seekor burung yang terbebas dari sangkar. Tidak, bukan karena ibuku adalah seseorang yang suka mengekang anaknya. Hanya saja, beberapa tahun semenjak lulus kuliah, aku tidak benar-benar bisa menikmati keindahan seperti ini sendirian. Dan semenjak berpacaran dengan Akash pun, aku tidak pernah mau jika di ajak lelaki itu untuk ke puncak gunung. Aku juga tidak tahu kenapa, mungkin karena malas mendaki gunung? Lamunanku buyar saat mersakan ponsel di saku celanaku bergetar. Nama Kaivan terpampang jelas di sana. Aku berdecak. Baru saja aku ingin membuangnya dari pikiranku, kenapa dia malah muncul? Setengah malas aku menggeser icon hijau di ponselku. “Ada apa?” ujarku langsung, menghiraukan saapaannya. 'Kamu di mana Dean?' “Aku di danau.” 'Aku jemput ya? Kebetulan aku sudah selesai dengan peternakan.' “Gak usah. Kamu di sana aja. Aku bisa balik sendiri kok,” ujarku cepat. Kemudian mematikan sambungan tanpa menunggu ucapan Kaivan selanjutnya. Aku bukan anak kecil yang harus selalu diperhatikan kemana arah kakiku berjalan. Kekhawatiran Kaivan sudah terlalu berlebihan. Aku baru satu jam berada di sini dan dia sudah seperti induk ayam yang kehilangan anaknya? Menyebalkan. Lagipula jarak danau ini dengan peternakan Kaivan hanya sekitar 400meter. Dan aku tidak mungkin tersesat jika itu yang dia khawatirkan. Kaivan itu~ kenapa selalu sok peduli? **** Aku meringis, setengah terpaksa mengangkat sudut bibirku untuk mengulas senyum. Tepat di depanku, tante Rita merentangkan tangan sambil menatapku ceria, menunggu tubuhku untuk menghambur ke pelukannya. Selepas aku mematikan sambungan telpon Kaivan, 10 menit kemudian Ditha datang menjemputku, berkata jika aku sudah ditunggu tante Rita di villa. Aku benar-benar merasa dibohongi. Aku pikir Kaivan mengajakku ke sini untuk bersenang-senang, mengajakku ke peternakan seperti ucapannya kemarin. Tapi nyatanya~ tante Rita malah berada di sini dan Ivan sama sekali tidak memberitahuku. Kalau begini caranya, boleh tidak jika kuku-kuku panjangku ini aku tancapkan ke wajah si bodoh? Pasti akan sangat menyenangkan sekali saat melihat wajah manisnya berlumuran darah. Dan juga, yang membuatku semakin kesal pada Kaivan adalah, kenapa bukannya datang menjemputku sendiri, dirinya malah meminta bantuan Ditha? Oke, sebelumnya aku memang bilang jika ingin kembali ke villa sendiri, tapi kan... ah. Sudahlah. “Apa kabar, Tante?” tanyaku basa-basi setelah berhasil keluar dari pelukannya yang sanggup membuatku kesulitan bernapas untuk beberapa detik. “Baik, Sayang,” balasnya, tersenyum sambil mengusap puncak kepalaku pelan. Aku seolah menjelma jadi kerbau di cucuk hidungnya sekarang. Yang bisa kulakukan hanya mengikuti langkah kaki tante Rita sambil mendengar ocehannya yang terdengar seperti kaleng rombeng di telingaku. Tanpa sadar, kami sudah sampai di depan sebuah pintu besar dengan ukiran-ukiran rumit, berwarna cokelat mengkilat—seperti pintu kuno di jaman-jaman penjajahan dulu. Tanpa sadar, aku bergidik. Di sini~ tidak berhantu kan? “Ini kamar pribadi Kai saat berada di Villa.” Tante Rita menatapku hangat, sedang tangannya mulai mendorong  pintu itu dan membukanya. “Kaivan itu anaknya pemalu sekali sejak kecil. Untung saja saat bertemu denganmu, dia menjadi lebih manusiawi.” tante Rita menggedikkan bahu sambil terkekeh kecil, menghelaku masuk ke dalam kamar dengan nuansa cokelat tua dan kayu-kayuan. Menjadi lebih manusiawi? Sekuat tenaga aku menahan tawaku agar tidak keluar. Jadi menurut ibunya, selama ini Kaivan itu serupa patung hidup yang tidak bernyawa? Nyatanya~ bukan aku saja kan, yang menganggap Kaivan itu... aneh? Aroma khas Kaivan menyambut penciumanku pertama kali. Perpaduan citrus dan lemon segar mendominasi, samar-samar aku juga menghirup aroma pinus. Aku mengedarkan pandangan, sebuah ranjang besar berada di tengah-tengah ruangan, berwarna cokelat muda mendekati krem, dengan pilar-pilar penyangga di setiap sisinya. Di sebelah kanan, sebuah rak besar dengan deretan buku yang tertata rapih. Tapi bukan itu yang membuatku tertarik. Melainkan~ sebuah manekin berbalut gaun pengantin indah yang berdiri tepat di depan rak itu. “Itu baju pengantin untukmu Dean.” suara rendah milik tante Rita membuatku menoleh. Kulihat beliau sedang mengamati gaun itu dengan sorot penuh binar, seolah-olah gaun itu adalah sebuah harta karun yang paling berharga. “Tante yang membuatnya sendiri, sejak Kaivan baru berusia 20 tahun.” tawa kecil lolos dari bibirnya. Beliau mengalihkan tatapannya padaku, tersenyum. “Akhirnya, setelah 7 tahun menunggu, gaun itu akan dipakai oleh pengantin Kaivan juga.” Aku mengerutkan kening. Kalau tante Rita sudah menyiapkan gaun pengantinnya, kenapa kemarin Ivan bertanya padaku soal gaun pengantin?   “Tante sengaja meminta Kaivan bertanya padamu, Dean,” seolah mengerti jalan pikiranku, tante Rita berujar. “Tante tidak mau egois dengan menyuruhmu memakai gaun ini. Tapi karena kemarin Kai bilang jika kamu menyerahkan urusan gaun pada tante, jadi tante perlihatkan gaun ini padamu. Tante harap, kamu mau memakainya di hari pernikahan kalian nanti.” Aku tertegun, sekaligus merasa bersalah. Bukan aku yang seharusnya memakai gaun itu. Tidak, tante Rita sudah susah payah membuat gaun ini untuk calon pengantin Kaivan yang sesungguhnya. Dan aku~ tidak mau pernikahan ini terlaksana. Aku harus memberitahu tante Rita jika aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. “Tan... “ ucapanku terhenti saat tante Rita menaruh gaun itu pada tanganku. Aku menggerjab, sejak kapan beliau mengambilnya? “Kamu coba dulu ya, nanti kalau terlalu besar atau kekecilan, tante perbaiki lagi.” “Tapi Tante...” lagi-lagi, ucapanku terhenti saat tante Rita mendorongku ke arah pintu bercat putih yang ternyata adalah kamar mandi. “Tante tunggu 15 menit ya.” Dan aku tidak bisa berkutik lagi. *** Aku menatap penampilaku sendiri di depan cermin besar di hadapanku. Akhirnya setelah perdebatan panjang diotakku, aku memilih untuk memakai gaun ini. Karena saat melihatnya pertama kali~ aku merasa... jatuh cinta. Tidak apa-apa kan? Aku hanya ingin mencobanya... Gaun ini terlihat begitu indah, berwarna putih gading, menjuntai hingga menyentuh lantai. Manik-manik di bagian d**a hingga pinggul terlihat menawan dan tampak rumit. Sedang di bagian belakangnya, ada ekor yang panjang hingga menyeret lantai. Dan kenapa gaun ini terasa sangat pas ditubuhku?  Seolah-olah gaun ini memang dipesan khusus untukku. Atau, tante Rita punya bakat cenanyang sehingga bisa memperkirakan ukuran gaun calon menantunya? Hah. Pikiran konyol macam apa itu. Suara pintu yang terbuka mengalihkan atensiku. Di ambang pintu, tante Rita sudah berdiri dengan mata melebar, menatap ke arahku penuh kekaguman. “Kamu cantik sekali, Deandra. Feeling tante memang tidak pernah salah. Ayo, biar Kai melihat penampilanmu.” belum sempat aku menolak, tante Rita sudah lebih dulu menyeretku keluar. Aku agak kesusahan mengikuti gerakan tante Rita karena gaun ini sedikit berat, apalagi dengan ekornya yang kutaksir panjangnya sekitar dua meter. “Deandra...” suara berat nan serak khas seorang Kaivan menyapaku pertama kali. Kulihat dirinya sudah berdiri di depan ranjang, dengan setelan tuksedo yang membalut tubuhnya, begitu pas dan rapih, senada dengan gaun yang tengah ku kenakan. Kaivan berjalan mendekatiku dengan langkah pelan. Setelah jaraknya tinggal satu langkah dariku, tante Rita langsung mengangsurkan jemariku ke tangan besar milik Kaivan. Hangat. Dan seperti yang aku duga, jemari kami terasa begitu pas, saling mengisi. Sedetik, aku seolah terpaku. Manik biru gelap itu menyorot penuh binar, sangat jelas terlihat karena Kaivan sudah menanggalkan kacamata kunonya.  Dan, entah kenapa, wajah Kaivan terlihat berkali-kali lipat lebih tampan di mataku. Dan~ kemana perginya hasrat bar-barku yang ingin segera menancapkan kuku-kuku panjangku wajahnya? Kaivan memiringkan kepala. Seutas senyum polos tiba-tiba terbit di bibirnya. “Kamu~ cantik sekali.” Aku menggerjab, terkejut. Sedetik kemudian, rasa panas mulai menjalari pipiku, merambat hingga keleher. Dan perutku, astaga. Seperti ada jutaan kupu-kupu yang beterbangan di dalam sana. Kenapa laki-laki bodoh ini bisa membuatku merona dan... berdebar? Sialan. Ini~ mulai tidak benar. Pasti ada yang salah dengan diriku. Belum sempat aku sadar dari euforia yang sedang kurasakan, tiba-tiba saja sebuah benda kenyal nan hangat menyentuh bibirku, hanya sekilas tapi mampu membuat seluruh tubuhku seperti tersengat listrik. Dan saat kesadaranku kembali, aku bisa melihat wajah Kaivan yang memerah, tampak malu. Sedang sebelah tangannya mengusap tengkuk salah tingkah. Dan tepat di belakang Kaivan, aku bisa melihat tante Rita tertawa puas. “Maafkan aku, Dean.” Kaivan mengalihkan wajahnya dariku, “mama tidak sengaja mendorong kepalaku tadi, dan...” ucapan Ivan menggantung, ia menjilat bibir bawahnya dan tertegun, sejenak, lalu kembali menatapku penuh binar polos, seolah menemukan mainan baru. “Deandra, kenapa bibirmu terasa seperti apel?” Dan, setelah Kaivan menyelesaikan ucapannya, aku baru sadar jika benda kenyal nan hangat yang baru saja menempel di bibirku adalah bibir milik Kaivan! Ya Tuhan... ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN