BAB 3

2915 Kata
BAB 3   Kulirik jam dinding di sudut ruangan, pukul 7.30 malam. Sudah selama itu ya? Aku mengurut kening lelah sambil melihat lagi desain baju yang harus aku selesaikan hari ini, masih sisa separuhnya. Sialan. Jika bukan karena investor bodoh itu menolak sebagian desain yang sudah ku ajukan tadi siang, pasti sekarang aku bisa bersantai sambil nonton drama korea favoritku. Tapi nyatanya, aku masih harus terjebak dengan kertas-kertas sialan ini. Dan membawa pekerjaanku ke rumah sama saja dengan membawa undangan untuk bergadang hingga pagi. Bunyi ketukan pintu membuatku berhenti menggoreskan pensil, aku menyandarkan punggung, memejamkan mata sejenak dan menyuruh seseorang itu agar segera masuk. Deandra...” Aku membuka mata saat menyadari suara serak khas pria bodoh itu. Dan benar saja, Kaivan sudah berdiri di depanku dengan senyum konyolnya. Kali ini ia memakai sweater abu-abu gelap yang lagi-lagi tampak kebesaran di tubuhnya. Bisa tidak dia sekali saja tidak terlihat bodoh? Aku mendesah lelah. “Ngapain ke sini?” “Mama nyuruh jemput kamu, Dean. Beliau khawatir karena kamu belum pulang,” jawabnya tenang. Aku menaikkan alis, menatapnya dengan pandangan mencela. “Kamu lupa kalau aku bawa mobil hari ini?” Cepat-cepat ia menggeleng polos. “Aku naik taksi ke sini,” ia mengerutkan kening, tampak berfikir. “Jadi kita bisa naik mobilmu,” lanjutnya dengan sebuah senyuman di akhir kalimat. Aku melotot, menatapnya tak percaya. “Lalu apa? Aku yang harus menyetir dan mengantarmu pulang?” Laki-laki dihadapanku ini bisa menggunakan otaknya untuk berfikir atau tidak sih? Aku sudah sangat lelah hari ini dan jangan harap aku sudi mengantarnya pulang! “Aku tidak setega itu, Dean. Aku yang akan menyetir dan mengantarmu pulang, setelah itu aku bisa naik taksi ke rumahku.” Aku memejamkan mata sekali lagi saat merasakan kepalaku berdenyut. Lalu sebuah ide menakjubkan muncul di otakku. Ya, mungkin setelah aku melakukan ide ini, Kaivan akan menyerah dan membatalkan pernikahan bodohnya denganku. Aku membuka mata dan memasang senyum tipis. “Oke,” Aku segera merapikan kertas-kertas yang berserakan di meja dan memasukkannya ke dalam tasku. “Ayo,”  ujarku sambil berjalan mendahuluinya dan membuka pintu. Butik sudah benar-benar sepi saat aku keluar ruangan. Memang tinggal aku saja yang berada di sini karena jadwal tutup butikku pukul lima sore tadi. “Kaivan, tangkap!” aku melemparkan kunci mobilku ke arah Ivan yang tidak siap di belakangku, dan terkekeh puas saat melihatnya membungkuk untuk mengambil kunciku yang terjatuh. Ia berjalan melewatiku dan membuka pintu penumpang sambil tersenyum tipis, sama sekali tidak terganggu dengan tingkahku yang seenaknya. Hei, terbuat dari apa sebenarnya hati lelaki itu? Dia itu terlalu baik atau memang bodoh sih? Aku hanya memutar bola mata dan masuk mobil dalam diam. Dua detik kemudian, ia sudah duduk di sampingku dan menyalakan mobil. “Nanti mampir ke tempat makan dulu ya. Aku lapar.” Kaivan hanya mengangguk dan mulai melajukan mobilku menjauhi butik. Dalam hati aku berdo'a, semoga saja, dengan rencanaku kali ini, Ivan akan membatalkan pernikahan kami dan membenciku. Hah, rasanya sudah tidak sabar sekali! *** Aku menatap berbagai hidangan di hadapanku dengan penuh minat, kemudian mendorong sepiring chicken steak lada hitam ke hadapan Kaivan dan mengambil ayam bakar untukku. Sisanya, ada kentang goreng dan jamur krispy yang akan kumakan belakangan. “Makan, Ivan,” tawarku saat melihatnya hanya diam dan menatapku dengan pandangan aneh. “Ya,” ujarnya sambil melempar senyum. Aku hanya mengangguk dan mulai melahap makananku dalam diam. “Ah, Dean, mengenai rencana pernikahan kita, bagaimana? Ibuku ingin mengajakmu untuk mencari baju pengantin.” Aku tersedak saat mendengar ucapan Kaivan. Buru-buru meminum jus wortelku hingga tinggal setengah. Kenapa dia membicarakan hal ini saat makan sih? Apa tidak ada momen lain? Dan ya, selera makanku tiba-tiba hancur karenanya. “Ekhm. Nanti saja ya, aku benar-benar sibuk untuk beberapa hari ke depan,” kataku memberi alasan. Dan lagipula~ aku belum siap bertemu tante Rita untuk waktu yang sangat-sangat lama. Tidak sanggup membayangkan bagaimana jadinya aku nanti. Karena kata mama, tante Rita itu orangnya cerewet dan melankolis. Dan aku sangat benci dengan tipe orang seperti itu. Kaivan mengangguk, mengulum senyum.  “Nanti aku akan bicara dengan ibu.” Dia memainkan sendok di tangannya sebelum kembali berujar lagi, “Kamu tidak ingin membuat gaun pengantinmu sendiri?” Oh. Terima kasih. Aku tidak mau membuang waktu berhargaku hanya untuk membuat gaun yang mungkin tidak pernah aku pakai. Karena aku yakin, besok Kaivan akan datang ke rumahku dan membatalkan semuanya. “Aku tidak bisa membuat gaun pengantin,” jawabku sambil lalu. Kemudian menghabiskan suapan terakhir makanan dan menandaskan minumanku. “Kaivan, aku ke toilet dulu ya.” dia mengangguk, segera aku bangkit sambil membawa tasku, kemudian berjalan meninggalkannya ke toilet. Aku tertawa jahat dalam hati. Baik-baik di sana ya Ivan, karena setelah ini, aku akan lewat pintu belakang dan pulang ke rumah dengan mobilku. Sendirian. Dan meninggalkanmu di sini—yang mungkin saja dengan bodohnya  akan menungguku sampai pagi. *** Pagi ini entah kenapa perasaanku  tidak tenang, seperti ada sesuatu yang mengganggu, tapi tidak tahu apa. Mungkin sedikit khawatir dengan Kaivan yang kutinggal sendirian di kafe? Tapi, Kaivan sudah dewasa kan? Dia tidak mungkin terlalu bodoh dengan menungguku sampai pagi. Dan, pemikiranku terbukti karena saat melangkah menuruni anak tangga, aku bisa mendengar suara khas Kaivan di dapur. Seperti kemarin, kulihat ia bercakap-cakap dengan mama yang masih sibuk dengan peralatan dapur. Aku melangkah pelan mendekatinya. Ya Tuhan, semoga saja dia tidak cerita ke mama tentang kejadian tadi malam, doaku dalam hati. Karena jika sampai mama tahu, aku tidak bisa membayangkan satu harian ini ku habiskan dengan ocehan mama. “Syukurlah.” Kaivan tersenyum lega saat maniknya bertemu pandang denganku. Aku hanya menaikkan alis dan duduk di depannya. “Kenapa?” tanyaku sambil mengamati penampilannya. Hari ini ia memakai kemeja putih besar dan celana bahan berwarna hitam. Tak ketinggalan dengan kacamata kuno yang membingkai wajahnya. Kupikir, setelah perbuatanku tadi malam, Kaivan akan marah dan membenciku. Tapi nyatanya, tidak sama sekali. Ia malah berada di sini dengan senyum polos yang selalu setia bertengger di bibirnya. Dan, sudah dapat dipastikan jika rencanaku gagal total. Ternyata Kaivan tidak semudah itu untuk menyerah. Kulihat ia memainkan jari-jarinya dan menunduk. “Aku mengkhawatirkanmu, Dean. Kupikir kamu di culik semalam, aku mencarimu ke seluruh restoran, ingin menghubungimu tapi aku lupa membawa ponsel,” Kaivan tersenyum kecut, kemudian mendongakkan wajah, menatapku dengan manik biru yang terluka. “Aku menunggumu sampai restoran tutup pukul sebelas malam. Dan saat aku ke parkiran, aku baru sadar jika mobilmu sudah tidak ada dan kamu meninggalkanku.” Aku merasakan setitik rasa bersalah yang menelusup masuk ke hatiku. Kenapa dia bisa betingkah sekonyol itu sih? Dan kenapa pula dia masih bisa bertingkah seolah masih baik-baik saja? Harusnya dia marah karena aku membohonginya! “Bodoh. Kenapa kamu bodoh sekali Kaivan? Harusnya kamu langsung pulang saja saat aku meninggalkanmu.” aku berujar tajam, menghujaninya dengan tatapan menyalahkan sekaligus kasihan. Satu sifat lagi yang kuketahui dari seorang Kaivan. Laki-laki ini tidak punya prasangka buruk sama sekali terhadapku. Terlalu baik dan gampang untuk dibodohi. Apa memang ada manusia semacam Kaivan di dunia ini? “Apa salah jika aku mengkhawatirkan keadaan calon istriku?” ujarnya dengan nada rendah dan raut wajah polos. Aku tertegun, kehabisan kata-kata. Apa tingkahku semalam sudah keterlaluan? Aku menunduk dalam diam, memikirkan semuanya. Dan saat itulah, mama datang dan mencairkan suasana aneh yang melingkupi kami. *** “Sudah sampai.” Kaivan berucap manis dengan mata berbinar layaknya anak kecil, hendak membuka pintu mobil sebelum tanganku mencegah pergerakannya. “Gak usah ikut keluar, aku bisa ke dalem sendiri kok,” kataku sambil mengulas senyum aneh. Ia menatapku lekat, lalu mengangguk. Syukurlah. Aku hanya tidak ingin dia terlihat di butikku dengan penampilan kunonya, apalagi dengan posisinya sebagai calon suamiku. Tadi, setelah sarapan, aku memutuskan untuk menerima tawarannya untuk mengantarku pagi ini. Sebagai bentuk rasa bersalahku padanya karena kejadian semalam. Tapi setelah ini jangan harap, aku tidak akan sudi lagi diantar olehnya. “Eh, tapi kenapa? Aku ingin memastikanmu sampai ke dalam butik dengan selamat, Dean.” Dia mengerutkan kening seperti sedang berfikir keras, netra biru gelapnya menatapku dalam. Aku memutar bola mata malas, sifat bodohnya mulai naik kepermukaan. Aku menyenderkan punggung dan bersedekap. “Coba lihat ke depan.” Dia memiringkan kepala sejenak, menatapku polos sebelum mengalihkan pandangannya ke depan. Aku melanjutkan ucapanku, “Dari sini kamu bisa lihat butikku dengan jelas kan? Jadi singkirkan pikiran konyolmu untuk mengantarku ke sana,” lanjutku sambil menahan keinginan untuk menjedotkan kepalanya ke kaca mobil. Apa dia tidak punya alasan yang lebih masuk akal? Aku tidak mungkin membawanya masuk ke dalam. Karena tidak seperti kemarin, hari ini aku berangkat pukul delapan pagi dan para pegawaiku pasti sudah siap di bagiannya masing-masing. Mana mungkin aku membiarkan dirinya masuk dan membuatku malu? Dia berkedip lucu, lalu mengukir senyum polos nan lebar, “Nanti aku jemput ya? Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.” Aku menaikkan alis, lalu menggeleng tegas. “Aku banyak kerjaan.” “Tapi...” Kaivan memainkan jari-jari kokohnya di pangkuan, menunduk,”besok pagi hari minggu kan? Kenapa kamu masih bekerja?” lanjutnya sambil mengangkat wajah, memberanikan diri menatapku. Ya Tuhan, kenapa pria ini tidak menyerah saja dan menuruti perkataanku tanpa banyak bicara? Aku ingin tidur sepulang kerja,  mengistirahatkan otakku yang mungkin akan berasap setelah bertemu kakek tua tambun ber uang banyak itu. “Tidak bisa, Ivan, masih banyak yang harus aku kerjakan,” ujarku cepat. Dan aku bisa melihat kilat kecewa di maniknya. Ia menghela napas, lalu tersenyum ceria seolah apa yang baru saja aku katakan tidak berarti apa-apa baginya. Eh, kenapa dia cepat sekali mengubah ekspresi wajahnya? “Baiklah,” Ia mengangguk singkat, “mungkin minggu paginya?” lanjut Kaivan dengan binar penuh harap yang tampak jelas di matanya. Begitu polos dan tampak alami. Sial. Kenapa aku merasa tidak tega menolaknya? Kaivan itu... seperti punya daya tarik yang bisa membuat semua orang menurutinya, tak terkecuali aku. Dan aku sangat tidak suka dengan kenyataan ini. Benar-benar tidak suka. “Ya,” putusku final, tidak mau membuang waktuku yang berharga hanya untuk meladeni ucapan si bodoh lebih lama lagi. Senyum nan lebar langsung terbit di bibir Kaivan sedetik setelah aku menyetujui ajakannya, pun dengan netranya yang menyorot penuh suka cita. “Terimakasih Dean,” ujarnya manis. Aku mengangguk singkat. Saat hendak membuka pintu mobil, gerakanku terhenti saat dirinya kembali berucap, “Dean, tunggu,” aku memejamkan mata menahan kesal, lalu membalikkan tubuh menghadapnya. Kulihat ia menggaruk kepala belakangnya, menunduk, ragu-ragu menatapku. “Eh, soal baju milik Petra kemarin, aku kembalikan besok ya?” Aku memutar bola mata. Kupikir dia akan bertanya sesuatu yang penting, tapi nyatanya tidak sama sekali, membuat waktuku semakin berkurang saja. “Santai, Kaivan. Lagian bajunya Petra banyak, ilang satu gak bakal buat dia telanjang,” ujarku sarkastik. Tanpa menunggu balasannya, aku segera membuka pintu dan bergerak keluar, meninggalkannya yang mungkin saja masih bertanya-tanya tentang siapa itu Petra. *** “Mbak De udah ditunggu Mas Akash.” Kalimat itu terlontar dari mulut Ita saat aku baru saja menapakkan kakiku ke dalam butik. Aku mendengus, mood kerjaku semakin bertambah buruk dengan kehadiran makhluk gunung tak diundang itu. Sialan. “Lain laki kalau Akash kesini lagi usir aja Ta, saya males ketemu dia,” ujarku dengan nada kesal yang tidak kututup-tutupi. Mau apa lagi lelaki aneh itu kemari? Mengajakku berburu cacing di pedalaman hutan Kalimantan? Ita menatapku ragu, “Tapi Mbak, kalau Mas Akash maksa gimana?” Pantas Ita khawatir, karena menghadapi seorang Akash lebih sulit daripada menenangkan bayi yang sedang menangis. “Panggil Mang ujang, suruh usir dia,” putusku final. Jika Akash tidak bisa diberitahu baik-baik, maka jalan yang paling ampuh adalah menyuruh mang Ujang; satpam paling galak di sini untuk mengusirnya. Ita mengangguk. “Baik Mbak.” Aku tersenyum tipis tanda terimakasih, “Saya ke sana dulu.” Setelah mengatakan itu, aku segera beranjak untuk menemui sang siput gunung  di ruangan khusus tamu di butikku, sesekali mengumbar senyum saat tak sengaja bertemu dengan para pegawaiku yang sedang mengerjakan tugasnya. Aku harap lelaki itu tidak berbuat hal aneh hari ini, seperti mengajakku balikan, mungkin? “Deandra.” Akash langsung berdiri dari duduknya saat melihatku mendekat. Aku menaikkan sebelah alis, menatapnya mencela. “Ngapain ke sini?” tanyaku langsung tanpa basa-basi. Aku bisa melihat ia menghela napas dan mengurut ujung hidungnya frustrasi; salah satu kebiasaan Akash jika sedang lelah dengan sikapku. “Duduk, Dean. Dan biarkan aku menjelaskan sesuatu padamu,” pintanya kemudian, melirik sofa di sebelahnya dan duduk dengan tenang. “Aku sibuk hari ini. Lebih baik kamu pulang saja,” usirku kejam. Aku melemparkan tatapan kesal padanya sebelum berbalik. Ah, apa tingkahku sudah mirip dengan seorang kekasih yang sedang merajuk? “Deandra...” suaranya terdengar rendah dan serak. Aku paham sekali jika Akash sudah memanggilku dengan nada itu, artinya ia sudah tidak mau berbasa basi dan menyuruhku mendengarkannya. Oh, tapi maaf saja siput gunung, aku tidak akan menurutimu kali ini. Aku hendak melangkah pergi sebelum merasakan lenganku di cekal. Berbalik, aku mendapati Akash dengan tatapannya yang berubah sendu. Sialan. Terakhir kali aku melihatnya dengan tatapan itu adalah dua tahun lalu, ketika ia kehilangan sang ibu untuk selamanya. Dan kini, kenapa ia menunjukkan wajah itu lagi padaku? “Aku minta maaf karena tidak mengejarmu waktu itu.” netra sehitam malamnya menghujaniku dengan sorot penyesalan. Aku meneguhkan hati, sebisa mungkin tidak masuk ke dalam rayuannya. “Lalu apa? Kita sudah berakhir, Akash. Tidak ada lagi yang harus dimaafkan,” ujarku pelan, melepaskan cekalan tangannya pada lenganku.Aku hendak berbalik, namun lagi-lagi ia menahanku. “Tapi aku masih sangat mencintaimu, “ ujarnya lirih, terdengar lembut mengalun ditelingaku, menimbulkan getaran sama seperti dua bulan lalu, ketika kita masih bersama. Aku memejamkan mata, menahan keinginan untuk merengkuh tubuh tegapnya dalam pelukanku. Jika boleh jujur, perasaanku tetap sama. Aku masih mencintainya. Tapi, mengingat penolakannya dua bulan lalu menahanku untuk luluh. “Jika aku memberikanmu pilihan antara aku atau project penelitianmu, kamu pilih mana?” Kulihat ia mengerang, menatapku penuh rasa bersalah. Dan saat itulah aku tahu bahwa jawabannya masih tetap sama; memilih untuk meninggalkanku dan melanjutkan penelitiannya. Menahan air mata yang hendak luruh, aku menepis tangannya. Aku memberanikan diri balik menatap maniknya, “Kamu ingat Kaivan?” ujarku serak, ia mengangguk dengan raut wajah tidak suka. “Aku akan menikah dengannya, Akash. Pria sempurna yang tidak akan menyuruhku menunggu begitu lama.” Setelah mengucapkan itu, aku berbalik, tidak ingin mendengar balasannya. Dan saat itulah malaikat penolongku hadir, berwujud laki-laki paruh baya dengan tubuhnya yang tambun. Mr Kusuma. Ah, aku tidak pernah sebahagia ini saat bertemu dengan beliau. Yah, setidaknya aku bisa menghindari Akash, tidak terpengaruh dengan segala bujukannya. Walaupun setelah ini aku bisa menjamin jika otakku akan mengepulkan asap, tapi itu lebih baik untuk saat ini. “Mr Kusuma,” sapaku ramah, membungkuk singkat untuk formalitas. “Mari ke ruangan saya,” lanjutku lagi. Mr Kusuma menaikkan alis, menatap seseorang di belakangku dengan penasaran. Tapi setelah lama tidak mendapat respon dariku, ia memilih berjalan lebih dulu ke ruanganku. Aku menghela napas lega dan berjalan mengikutinya. “Aku tahu jika kamu masih mencintaiku, Dean. Kamu tidak mencintai laki-laki itu kan? Dan aku tidak akan menyerah. Masih ada waktu bukan?” Samar aku bisa mendengar suara Akash seiring dengan langkahku yang semakin jauh. Masih ada waktu katanya? Apa dia tidak ingat jika ia akan berangkat seminggu lagi dan menetap dua tahun di sana? Dasar laki-laki sialan. Ku harap aku bisa segera melupakannya. Ya, semoga. *** Aku membereskan meja kerjaku dan memindahkan kertas-kertas penting ke dalam tas. Sesekali mendesah lelah saat mengingat diskusi yang berlangsung alot tadi pagi bersama Mr. Kusuma. Dan benar saja, aku bisa merasakan otakku mengeluarkan asap sore ini. Sialan. Dan untungnya Kaivan datang tepat waktu untuk menjemputku hari ini. Ita yang memberitahuku barusan. Yah, setidaknya hanya Ita yang tahu mengenai status Kaivan dan penampilan konyolnya. Setelah selesai, aku segera mematikan saklar lampu dan berjalan keluar, menuju Kaivan yang sudah menungguku di pintu masuk butik. “Hai Dean,” kulihat Kaivan sedang bercakap-cakap dengan Ita, lalu menyapaku dengan senyum lebar saat melihatku mendekat. “Saya pamit pulang dulu Mbak De, Mas Kaivan.” Ita pamit sambil menatapku dan Kaivan bergantian. “Pulang sama kami saja,” Kaivan menawarkan dengan nada ramah, mengulas senyum tipis ke arah Ita. Aku mendengus, si bodoh ini memang selalu ramah dan mengumbar senyum pada semua orang ya? “Terimakasih tawarannya Mas, tapi saya bawa motor sendiri,” Ita balas tersenyum, lalu berjalan melewatiku. “Mari bu,” pamitnya lagi sebelum benar-benar meninggalkanku berdua saja dengan Kaivan. “Ayo,” ajakku , mendahuluinya memasuki mobil. Lima detik setelah aku duduk di kursi penumpang, Kaivan sudah masuk dan menyusulku, memberi seutas senyum manis padaku sebelum melajukan mobilnya. Aku menyenderkan punggung dan memejamkan mata. Hari ini benar-benar melelahkan, dan sialnya lagi perkataan Akash masih terngiang dibenakku, berputar-putar bagai kaset film yang sudah rusak. “Kamu tahu Dean, aku senang sekali hari ini,” aku hanya bergumam menanggapi ucapan Kaivan yang kelewat ceria, seperti seorang anak yang baru saja dibelikan balon ayahnya. “Kau tahu jika aku punya beberapa sapi ternak kan? Siang tadi sapi kesayanganku baru saja melahirkan, anak sapi laki-laki yang kuberi nama Rama,” lanjutnya lagi. Aku tidak tahu apa yang sedang ia lakukan atau bagiamana ekspresinya karena aku masih memejamkan mata. Dan lagipula~ ucapannya tidak penting sekali. Peduli apa aku pada sapi-sapinya? “Besok aku akan mengajakmu ke sana, bertemu Rama sekaligus mengenalkanmu dengan sapi-sapiku yang lain.” Ucapan terakhir Kaivan membuatku berjingkat dan membuka mata panik. Apa? Yang benar saja? Dia akan mengajakku, seorang Deandra Lavenia Devi ke kandang sapi? Dan apa tadi? Mengenalkanku dengan sapi-sapinya? Hah, seolah aku ini ibu tiri sapi-sapi itu saja! Pria aneh ini pasti sedang bercanda kan? Ya Tuhan, bunuh saja aku! ***    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN