BAB 6
“Dean, kenapa bibirmu terasa seperti apel?”
Lagi-lagi, pertanyaan aneh itu yang Kaivan lontarkan semenjak insiden laknat itu hingga aku telah berganti pakaian. Apa dia tidak punya kosakata lain? Dan lagipula... mana ada pria normal yang mengatakan hal konyol seperti itu? Ditambah lagi dengan raut wajah polos tak berdosa?
Dia seperti balita yang terperangkap dalam tubuh laki-laki dewasa. Rasa ingin tahunya setara dengan anak kecil berusia tiga tahun. Dan harus dengan apa aku harus menghadapi tingkah konyolnya?
Aku masih terus berjalan menuju mobil. Menghiraukan Kaivan yang mengikuti di sampingku dengan tatapan ingin tahunya yang terlihat bodoh.
“Buka,” ujarku saat sampai di depan pintu mobil, menunggu Kaivan membukakannya untukku.
Beritahu aku dulu, Dean. Aku suka sekali apel, apa bibirku bisa terasa seperti apel juga?” Kaivan berujar polos, mata birunya berbinar layaknya anak kecil. Aku menggigit bibir bawahku menahan tawa. Kenapa Kaivan bisa sepolos itu sih? Ya Tuhan, kuatkanlah aku saat berada di samping pria ini!
Lalu, saat tahu bahwa Ghea sudah lebih dulu memasuki mobil, sebuah ide terlintas di otak cerdasku. Dengan sigap aku menghentikan pergerakannya yang hampir membuka pintu. Ia menatapku dengan dahi berkerut, “Ada apa?”
“Tunggu sebentar.” aku merogoh tas di sampiran bahuku, mengambil sesuatu di sana, sesuatu yang mungkin bisa menghilangkan rasa penasaran si bodoh. Sebuah senyum licik tersungging di bibirku saat menemukan benda yang aku cari.
Kerutan di dahi Kaivan semakin dalam saat aku menunjukkan benda mungil yang baru saja aku ambil dari dalam tas; sebuah lipgloss rasa apel.
“Kalau kamu menggunakan ini, aku bisa menjamin jika rasa bibirmu akan seperti apel.” aku tersenyum membujuk, meletakkan lipgloss milikku pada tangan besarnya.
Membayangkan jika Kaivan memakai lipgloss itu... ah, sepertinya aku tidak yakin jika Kaivan mengerti kegunaan benda itu melihat ekspresi wajahnya sekarang.
Kaivan melihat benda itu sejenak, kemudian mengalihkan tatapannya pada bibirku. Sedetik kemudian, ia menggeleng pelan, persis seperti keponakanku yang menolak diberi permen.
“Tidak, Dean. Sepertinya... aku lebih suka menikmati rasa apel itu dari bibirmu.” senyum pria itu terkembang, bukan jenis senyuman menggoda ataupun m***m, melainkan sebuah senyum yang menyuarakan keinginannya untuk mencicipi bibirku lagi. Begitu polos, tanpa dosa, alami.
Sialan.
Di dorong oleh perasaan marah, kesal, bercampur malu, segera aku menyambar benda itu dari tangan Kaivan. Jika bukan pria bodoh semacam Kaivan yang mengucapkan hal semacam itu, aku pasti sudah melayangkan tamparan terkejamku. Enak saja mau main cium bibir sembarangan.
Tapi ini... Kaivan. Seorang pria yang bahkan aku tidak yakin dirinya mengerti kata apa yang baru saja ia ucapkan.
“Lupakan saja, Kaivan. Dan jangan harap kau bisa menyentuh bibirku lagi!” ujarku kesal. Buru-buru aku membuka pintu mobil dan menutupnya kencang. Aku bisa mendengar Kaivan memanggil namaku panik sebelum membuka pintu bagian kemudi.
“Deandra, apa perkataanku tadi menyinggungmu?” Kaivan langsung bertanya sesaat setelah pantatnya mendarat di kursi kemudi. Ia menolehkan kepala ke belakang, menatapku dengan pandangan... bersalah?
Aku menyandarkan punggung, bersedekap, kemudian menggeleng.”Tidak.”
Pria aneh itu menggigit bibir, merasa ragu. “Benarkah?”
Aku hanya bergumam, merasa malas untuk menanggapi ucapaannya. Dua detik setelahnya, aku merasakan jika mobil yang aku tumpangi sudah mulai bergerak.
“De, lo kenapa?” suara khas Ghea merayapi pendengaranku. Aku membuka mata dan menatap Ghea tajam, pertanda kalau dia harus diam jika tidak ingin aku sembur dengan banyak makian.
Ghea berdecak, memutar bola mata malas sebelum pandangannya kembali terarah ke depan. “Gak asik lo. Gue mau ngajak Kaivan ngomong aja deh.”
Aku mrnatapnya sinis, bersedekap.”Terserah.”
“Eh, Ivan. Gue suka banget sama sapi-sapi lo. Kapan-kapan gue main ke sana lagi boleh gak?” kulihat Ghea sedikit mencondongkan tubuh ke depan, nadanya kembali ceria dengan manik penuh binar. Lama-lama aku bisa muntah jika dia terus membahas sapi. Kenapa tidak dia bawa pulang saja sapi-sapi itu bersama kotorannya?
Kaivan mengangguk singkat. “Tentu saja. Kamu bisa datang kapanpun. Lagipula, Adam sudah mengenalmu kan? Nanti jika aku sedang tidak ada, kamu bisa bertanya padanya.”
Tawa girang keluar dari bibir Ghea. Aku memutar bola mata malas. Rasa kantukku perlahan mulai menghilang, tergantikan perasaan jengkel karena suara cempreng Ghea yang tidak berhenti mengoceh.
“Waah, siap! Kalau gue dateng sendiri gak apa-apa kan? Kadang Dean suka males kalau diajak hangout.” Ghea melirikku sambil memeletkan lidah sebelum kembali menatap Kaivan.
“Peternakan itu selalu terbuka untukmu, Ghea.” Kaivan membalas ramah. Sekelibat aku melihat kedipan mata Kaivan dari kaca gantung. Sialan. Laki-laki semacam Kaivan bisa genit juga ternyata?
Merasa gerah, aku meneguk air mineral yang selalu aku bawa di dalam tas. Manikku mengawasi mereka awas, sedikit merasa terganggu karena aku seperti diabaikan sekarang.
“Lo baik banget sih Van! Jadi pacar gue aja mau gak?”
'Uhukk.'
Aku terbatuk sambil menutup mulutku dengan kedua tangan. Rasa perih seperti tercekik mulai merambati tenggorokanku. Sialan. Terkadang perkataan ceplas ceplos Ghea membuatku ingin menjedotkan kepalanya ke tembok!
“Dean, kamu tidak apa-apa?” Kaivan menoleh panik. Aku menggeleng sambil memegangi leher, sudut mataku sampai berair saking sakitnya. Sedangkan Ghea melirikku sambil terbahak. Cewek tengil ini memang sengaja mengerjaiku ya?
***
“Gue pulang duluan ya. Kalian berdua ati-ati. Awas ada setan terus kebablasan.” Ghea nyengir kuda sambil melambai seperti orang bodoh. Kemudian keluar dari pintu mobil. Aku hanya menatapnya sinis, membuang muka.
Kaivan memutuskan untuk mrngantar Ghea lebih dulu sebelum mengantarku pulang karena jaraknya yang lebih dekat. Jujur, sebenarnya aku sedikit jengkel karena Kaivan mengambil keputusan sendiri tanpa meminta pendapatku. Apalagi dengan segala sifatnya yang kelewat ramah pada Ghea.
Kupikir dia hanya berikap ramah padaku! Nyatanya semua pria itu sama saja, jika disodorkan wanita cantik pasti akan dengan senang hati memakan umpan.
Dan hey, kenapa aku merasa seperti seorang kekasih yang cemburu? Aku mendengus kasar. Sialan.
“Ghea orangnya rame ya.” aku menaikkan alis, kini aku bisa melihatnya melirikku sambil tersenyum lewat kaca gantung diatasnya.
Aku hanya bergumam menanggapinya, kemudian mengarahkan pandanganku ke jendela.
“Kamu marah?”
Kaivan berujar lagi, kini aku bisa mendengar nada takut dalam suaranya. Kaivan itu... kenapa sensitif sekali dan banyak tanya? Bukankah aku sudah menjawab pertanyaan serupa tadi?
“Tidak, Kaivan. Fokus saja pada kemudi karena aku sudah ingin pulang sekarang,” ujarku ketus.
“Baiklah.”
Kaivan benar-benar fokus pada kemudi sekarang. Aku menatap gugusan pepohonan di sepanjang jalan, sedikit merasa terhibur karena warna hijaunya yang menyegarkan mata.
Pikiranku mengelana jauh. Akan jadi seperti apa hubunganku dengan Kaivan setelah ini? Sepertinya aku harus cepat-cepat bicara pada Kaivan untuk mengakhiri semuanya sebelum aku terjebak dalam pesona kepolosan Kaivan lebih dalam lagi.
Jujur, aku merasa takut jika kebaikan dan sikap polos Kaivan lambat laun akan membuatku bertekuk lutut dan tidak bisa menjauh darinya lagi. Semua ini... begitu menakutkan untukku.
“Kita sudah sampai.”
Aku terkesiap saat melihat Kaivan sudah berdiri di sampingku dengan tangan yang sudah membuka pintu mobil. Senyum menawan menghiasi bibirnya dengan manik menyorot polos.
Aku segera bangkit dan keluar dari dalam mobil. “Terimaka... “
“DEAN AWAS!”
Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, Kaivan tiba-tiba berteriak sambil mendorongku lagi ke dalam mobil.
Suara tembakan terdengar.
Aku yang tidak siap dengan apa yang terjadi tersungkur mundur. Punggungku menatap jok mobil keras hingga menimbulkan suara berderit. Aku meringis sakit, punggungku terasa remuk. Sedetik kemudian, tubuh besar Kaivan menimpaku dari atas. Tidak terlalu menempel, karena Kaivan dengan sigap menyangga tubuhnya dengan kedua tangan di sisiku.
“Dean,” aku menatap kelereng biru Kaivan yang menunduk di atasku. Wajahnya terlihat menahan kesakitan yang terlihat nyata. Bahkan kini, aku melihat maniknya menyorot sayu—hampir terpejam.
Aku mulai panik, jantungku berdegup gila saat merasakan sesuatu yang basah merembes hingga ke kulit perutku. Aku menunduk dan melihat cairan merah yang berasal dari pinggang Kaivan menetes ke lapisan teratas bajuku.
Lidahku kelu, pikiran-pikiran negatif langsung bergelantungan di otakku. Ada apa sebenarnya? Kenapa Kaivan berdarah?
“Aku senang kamu selamat,” Kaivan berujar lirih, ia tersenyum tipis sebelum kemudian matanya tertutup dan tubuh besarnya ambruk di pelukanku.
“Kaivan!”
***