Nightmare - 5

2324 Kata
BAB 5 Tidak mengerti dengan perasaan ini. Semoga saja tak menyakiti salah satu, atau salah dua di antara kita. ΔΔΔ "Arion ayo kita pulang. Sudah sore. Takut Nenek khawatir di rumah," pinta Kaila yang terus memohon pada laki-laki bernama Arion tersebut. Arion menoleh sekilas, kemudian kembali menikmati es krimnya. "Ayo dong, Arion. Aku sudah capek jalan-jalan daritadi pagi," keluhnya lagi. Dia benar-benar lelah mengikuti Arion yang membawanya ke mana-mana, dari ke kebun binatang, keliling pusat perbelanjaan, dan sekarang sedang berada di salah satu taman kota. Arion menghela napasnya. Kemudian menoleh ke arah Kaila. "Ini kita lagi duduk, Kai. Apanya yang bikin capek, sih?" kesalnya yang sedari tadi hanya diam mendengarkan ucapan Kaila. "Aku mau pulang. Gerah. Mau mandi, mau tidur." "Sebentar lagi. Makan es krim lo sebelum meleleh." Kaila memajukan bibirnya. Dia tak bernafsu dengan es krimnya. Lagipula dia tidak terlalu menyukai es krim, apalagi rasa strowberry seperti ini. Sedari tadi, laki-laki itu terus memaksanya ke sana ke mari untuk mengikutinya. Sampai pada membeli es krim saja, Arion memaksa untuk membelikannya, padahal Kaila sudah mengatakan kalau dirinya tak terlalu menyukai es krim. "Mau aku buang es krimnya. Aku gak terlalu suka." Kaila ingin beranjak dari tempat duduknya, namun Arion lebih dulu mencegahnya. Es krim miliknya sudah habis tak bersisa. Dia mengambil alih es krim yang ada di tangan Kaila, kemudian memakannya tanpa rasa jijik karena bekas Kaila. "Itu ... itu bekas aku. Kok kamu yang makan?" tanya Kaila sedikit terkejut dengan apa yang dilihatnya sekarang. "Gak apa-apa. Lo baru makan sedikit, masa mau dibuang? Orangtua gue susah nyari uang, bukannya gitu?" Kaila terdiam seketika. Ucapan laki-laki itu benar. "Lo mau apa, biar gue belikan yang lain?" tanya Arion menoleh ke arah Kaila yang duduk diam di sebelahnya. "Mau pulang." Arion memutar bola matanya jengah. Mengajak Kaila jalan-jalan tak jauh beda dengan mengajak anak kecil. Bawaannya pengin pulang. "Sebentar lagi. Gue masih mau di sini." Arion menyandarkan punggungnya di kepala kursi yang tengah didudukinya. "Terus kapan kita pulangnya? Aku takut di cariin Nenek, kita sudah setengah hari lebih jalannya. Nenek pasti ngekhawatirin aku, Arion." "Gue sudah izin sama Nenek. Bahkan tadi gue bilang mau ngajakin lo jalan sampai malam, dan Nenek lo setuju aja." Arion menoleh ke arah Kaila yang sedang melebarkan matanya. "Jadi, jangan merengek pengin pulang dengan alasan karena Nenek lo bakal khawatir. Lo aman sama gue, tenang aja." "Kenapa kamu semaunya, sih? Kenapa harus aku? Kamu bisa jalan-jalan sama cewek lain, kenapa harus aku?" tanya Kaila yang begitu bingung dengan sikap Arion belakangan ini. Dia tak meminta laki-laki itu mendekatinya. Kaila tak tahu kenapa sikap Arion tiba-tiba baik padanya, entah karena kasihan padanya karena tak memiliki teman atau karena hal lain. "Karena gue maunya elo. Apa jawaban gue cukup membuat lo mengerti?" "Kamu aneh, Arion. Kenapa baru belakangan ini kamu deketin aku? Apa karena kamu kasihan sama aku, karena selama ini aku gak punya temen?" Arion menaikkan sebelah bahunya. "Gue rasa lo punya teman. Raka. Bukannya dia temen lo?" Kaila mendesis. "Aku sama Raka ... gak bisa dibilang teman juga. Aku gak terlalu dekat sama dia." "Oh. Ya sudah." Kaila melebarkan matanya mendengar jawaban Arion. Kenapa laki-laki itu tak menjawab pertanyaannya dengan benar? Apa yang dia mau dari dirinya? "Kaila?" panggil Arion. "Ada apa?" "Dih, marah. Gue manggil baik-baik." Kaila menghela napasnya. "Bukannya kayak gitu, Arion. Aku cuman gak mau Nenek mikirin kita. Nenek pasti khawatir." "Lo senang gak gue aja jalan-jalan kayak gini?" Arion melirik, dia melihat kalau gadis itu tengah menatap datar ke arahnya. Seperti sedang menahan amarahnya. "Aku gak bisa bohong dengan bilang gak seneng. Buktinya selama jalan-jalan tadi aku ketawa," jawab Kaila jujur. Arion menggut-manggut. "Baguslah. Lain kali kalau gue ajak jalan-jalan lagi, mau?" Kaila lantas menolehkan kepalanya menatap Arion, tatapan mereka bertemu beberapa saat. "Kamu berniat mengajakku jalan-jalan lagi?" Arion hanya membalas dengan anggukan. "Aku gak bisa janji sekarang. Siapa tahu nanti aku gak bisa." "Tinggal jawab; iya atau enggak." Kaila mendesis. "Aku gak tahu, Arion. Kita lihat nanti aja. Aku gak bisa mutusin sekaranglah. Kalau aku bilang iya, mungkin aja nanti aku gak bisa. Kalau aku bilang engga pun, mungkin aja nanti aku bisa." "Apa semua cewek selalu sama kayak lo begini?" Kaila menautkan alisnya. "Kayak aku? Memangnya aku kayak gimana?" "Selalu berpikir keras terlebih dahulu sebelum menerima ajakan cowok, seperti gue misalnya." Kaila menggeleng. "Aku gak tahu. Tapi ini prinsipku. Aku gak mau dibilang cewek gampangan yang mau ikut ajakan cowok ke sana ke mari." Kaila diam beberapa saat, kemudian melanjutkan ucapannya; "Aku gak dibilang menjadi kunci inggris, yang bisa dipakai sama siapa aja." Airon terdiam beberapa saat, mencerna setiap kalimat Kaila. "Lo benar. Tetap jadi diri lo sendiri." Kaila menaikkan sebelah alisnya. "Kamu ini aneh, Arion. Kenapa tiba-tiba nanya kayak gitu?" Arion menggeleng. "Gak pa-pa, gue cuman mau tahu." "Mau tahu apa?" Arion tak menjawab pertanyaan Kaila. Dia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku, melihat siapa saja yang sedari tadi mengirimkan pesan padanya, hingga membuat ponselnya bergetar beberapa kali. Jemarinya dengan cepat mengetik keyboard pada ponselnya, untuk membalas beberapa pesan yang masuk. Perdebatannya dengan Kaila pun sudah tak terdengar lagi. Sepertinya gadis itu sudah lelah mengajaknya adu mulut. "Ayo pulang." Arion berdiri dari tempat duduknya. Kaila yang sedikit terkejut pun ikut berdiri di sampingnya. Arion melangkah lebih dulu meninggalkan Kaila. Arion harus segera ke rumah Naldo untuk membicarakan beberapa hal. Kedua temannya mengatakan kalau ada hal penting yang harus diketahui oleh dirinya. Dengan sangat terpaksa Arion mengakhiri pertemuannya dengan Kaila hari ini, padahal dia masih ingin mengajak gadis itu berkeliling sekali lagi. Entahlah, bersama gadis itu membuat Arion senang dan merasakan kalau gadis itu adalah bundanya. Gadis itu tak segan untuk memarahinya dan menegur kesalahannya di hari ini. Satu pertanyaan yang masih menjadi teka-tekinya; Mengapa sikap Kaila sama persis seperti sikap bundanya? "Lo mau ikut ke rumah teman gue gak?" tawar Arion. Sepertinya gak ada yang salah kalau Arion mengajak gadis ini kumpul dengan kedua temannya. Kaila menggeleng cepat. "Gak. Antar aku pulang dulu. Habis itu terserah kamu mau ke mana." Arion mengangguk saja. "Oke." **** Arion tak langsung menuju rumah Naldo. Sehabis mengantarkan Kaila, dia pulang ke rumahnya terlebih duhulu untuk membersihkan diri. Tubuhnya terasa lengket karena keringat. "Arion, mau ke mana lagi kamu?" tanya Anaya dari ruang keluarga. Wanita itu sedang duduk di atas sofa, dengan tangan yang dilipat di depan d**a. Anaya menatap selidik ke arah Arion, putra sudah terlihat rapi kembali. Arion mengusap dadanya. Dia baru saja menuruti anak tangga terakhirnya, tetapi sudah disuguhi dengan pemandakan yang luar biasa ini. "Mau ke rumah Naldo, Bun." Wanita itu beranjak dari tempat duduknya. Melangkah mendekati Arion. "Bukannya kamu sudah keluar dari tadi pagi? Kenapa sekarang mau keluar lagi? Sudah, kamu di rumah aja. Jangan terlalu sering keluyuran gak karuan, Arion!" "Arion gak keluyuran. Arion cuman mau ke rumah Naldo. Dekat dari sini, Bun. Gak sampe sepuluh menit sampai." "Gak boleh. Kamu diam di rumah aja!" tolak Anaya tetap pada pendiriannya. Sedari tadi dia sudah mengkhawatirkan putranya ini. Di telepon gak menjawab, dikirimkan pesan pun tak membalas. "Ayolah, Bun. Gak enak sama teman-teman, Arion. Mereka sudah nunggu Arion di sana. Janji deh pulangnya gak sampe malam. Cuman sebentar doang, Bun. Ya, boleh, ya?" paksa Arion dengan sedikit memohon dan menunjukkan ekspresi yang dibuat-buat agar Anaya mengizinkannya keluar. "Bunda bilang sama Ayah, kalau sekarang kamu sudah gak mau mendengarkan apa yang Bunda katakan." Arion melebarkan matanya. "Jangan dong, Bun. Masa tega ngaduin anaknya sendiri sama Ayah. Arion selalu nurut sama Bunda, mana pernah gak nurut." "Ini buktinya sekarang, kamu gak nurut sama Bunda." "Ini ada bisnis penting, Bun." "Bisnis? Jangan sok punya bisnis kamu, Arion! Kamu pikir, kamu bisa bohongi Bunda?" Anaya menajamkan tatapannya pada Arion, membuat laki-laki itu ciut seketika. "Tapi, kan, Bun ...." "Kalau kamu tetap mau kumpul sama teman-teman kamu, suruh mereka aja yang datang ke sini. Kalau kamu yang ke luar gak boleh!" "Yah, gak bisa gitu dong, Bunda. Arion ini laki-laki, masa iya di rumah terus. Kenapa gak sekalian di suruh nyuci, masak, ngepel, atau nyapu aja?" Arion ikut kesal dibuatnya. "Itu penawaran, Arion. Kalau kamu gak mau, ya sudah. Bunda gak maksa. Tapi ya itu, kamu gak bisa kumpul sama teman-teman kamu." Arion menghela napasnya. Dia melangkah melewati Anaya, duduk di salah satu sofa di ruang keluarganya. "Iya, iya, Bunda. Ini Arion suruh mereka aja yang ke sini. Apa Bunda senang sekarang?" "Iya, senang. Begitu dong, baru namanya anak Bunda." Arion memutar matanya jengah. Dengan sangat terpaksa dia mengirimkan pesan pada kedua temannya, untuk berkumpul di rumahnya saja. Pastilah nanti Arion akan ditertawakan oleh Naldo dan Kenan, karena terlalu menurut pada bundanya. Tak jarang kedua temannya mempertanyakan Arion itu laki-laki tulen atau cuman jadi-jadian. Sebab dari mereka bertiga, cuman Arion-lah yang paling menurut pada ibunya, dan memiliki sikap paling waras. Arion selalu menolak jika teman-temannya mengajaknya ke tempat yang tidak karuan seperti club malam, balapan, atau minum-minuman beralkohol yang akan membuat kesadarannya hilang, dan melakukan hal yang tak diinginkan. Arion juga tak pernah mempunyai seorang kekasih, hingga pada umurnya sekarang. Bukannya tidak normal atau tak pernah mempunyai rasa pada perempuan, hanya saja Arion sangat takut jika memulai sesuatu yang pada akhirnya saling menyakiti satu sama lain. Tak pernah terlintas di hatinya untuk menyakiti perempuan, tapi lihatlah sekarang. Arion bahkan menjadikan perempuan sebagai bahan taruhan bersama teman-temannya. Bukankah dengan begini, berarti sama saja kalau Arion melangkah sedikit demi sedikit untuk menjadi seorang laki-laki b******k? "Halo ... Bunda Anaya yang cantik," sapa Naldo dan Kenan bersamaan. Arion menyenggol bahu Kenan, kemudian berbisik; "Jangan ditegur, nyokap gue lagi PMS. Mau lo ditelen hidup-hidup?" "Arion, Bunda masih bisa mendengarnya!" geram Anaya. Arion menyengir. "Ya sudah, kita ke kamar Arion dulu, Bun." "Jangan marah-marah terus, Bun, nanti makin cantik. Naldo sama Kenan gak tanggung jawab," goda Naldo pada Anaya sebelum dia menaiki anak tangga menuju lantai dua. Anaya menggelengkan kepalanya heran. "Apa kamu gak laku untuk menggoda perempuan seumuran kamu, Naldo?" balas Anaya, membuat Naldo meringis. "Sudah, jangan sok-sokan mau berdebat sama nyokap gue. Lo bakal kalah." Arion melingkarkan tangannya di leher Naldo, membawa anak itu ke kamarnya dan menyudahi hobinya yang selalu menggoda bundanya. **** "Apa yang mau dibicatain?" tanya Arion kemudian. "Sabar, Yon. Baru aja gue duduk." Kenan menjawab. "Lo tahu sama Raka gak, Yon?" tanya Naldo to the point. Arion mengangguk mengiyakan. "Saingan lo berat, Yon." Kenan menggeleng-gelengkan kepalanya, seperti menunjukkan bahwa Arion akan kalah dalam permainan ini. Arion menyandarkan punggungnya. "Seberat apa?" Dia menaikkan sebelah alisnya. "Ganteng? Gue akuin. Kaya? Gue juga akuin." "Dia suka sama Kaila, Yon. Banyak yang bilang kayak gitu di kampus," ucap Naldo. "Gue lihat-lihat, mereka cocok, sih. Yang satu ganteng, yang satu cantik. Gue gak bisa bohong dengan mengatakan Kaila gak cantik." Naldo menaikkan sebelah bahunya. "Lo bilang kemarin Clara lebih segalanya!" sindir Kenan. "Memang. Tapi bukan berarti kan gue bilang dia jelek. Orang dia cantik begitu." "Kaila bukan cewek biasa. Dia gak bakal melihat laki-laki karena fisiknya." Kenan dan Naldo menghentikan adu mulut mereka, dan lantas menatap ke arah Arion. "Yakin lo? Perempuan gitu semua, Yon. Gak ada yang bener. Kalau gak melihat tampangnya, ya hartanya!" sahut Naldo, disetujui oleh Kenan. Arion terkekeh. "Gak semua." "Tapi, kebanyakannya begitu." "Kaila salah satunya." Kenan menaikkan sebelah alisnya. "Maksud lo, Kaila beda dari yang lain?" "Gue gak tahu pastinya. Tapi, dari yang gue lihat memang begitu. Gue yang ganteng dan punya harta banyak kayak begini aja, dia kayak gak doyan!" Arion mengangkat sebelah bahunya, seolah tak habis pikir dengan Kaila. "Masa?" tanya Kenan tak percaya. "Cewek emang gitu diawal, Yon. Sok kalem, sok polos, sok gak ini dan itu. Kayak gak tahu trik cewek aja lo!" "Jadi berita apa yang lo kata penting tadi? Cuman ngebahas Raka sama Kaila doang?" tanya Arion yang mulai sadar dengan rencana awal mereka berkumpul. Kenan ingin menjawab, namun seorang asisten rumah tangga Arion datang. Membawakan beberapa gelas minuman dan cemilan untuk mereka. "Begini, Do, tuan rumah yang pengertian. Makanan dan minuman datang, tanpa nunggu diminta!" cibir Kenan pada Naldo. "Ah, serah. Gue kagak peduli." "Jadi apa yang kalian bilang penting, huh?" tanya Arion lagi. "Ya, yang Raka tadi. Itu berita penting, biar lo gak kalah saing sama dia," jawab Naldo santai. "Gak takut gue. Liat aja nanti." "Jangan sombong lo! Raka anak baik-baik, pintar, kalem. Gak kayak lo, ngomong aja pedasnya minta ampun!" Kenan menggelengkan kepalanya, heran. "Ubah sedikit kelakuan lo, biar lebih kalem kayak Raka. Siapa tahu Kaila lebih suka sama cowok kalem kayak Raka," tambahnya. "Gak perlu jadi orang lain. Cukup jadi diri gue sendiri. Suka gak suka, dia bakal menerima kalau nanti gue nembak dia." "Sok iya nih, Bocah! Ditolak baru tahu rasa lo!" celetuk Naldo. "Nabung dari sekarang, Yon. Buat persiapan. Kalau kalah kan lo gak kaget lagi." Kenan terkekeh. "Gampang soal itu. Yang patut dikhawatirin itu si Naldo! Dia kan pelitnya minta ampun. Yakin kalau kalah nih anak mau patungan? Hati-hati aja lo, Nan." Naldo melempar bantal mengenak wajah Arion. Dia tampak tak terima dengan ucapan Arion, walaupun sedikit ada benarnya. "Lo gak berniat kabur pas kita kalah kan, Do?" tanya Kenan dengan nada memperingati laki-laki itu. "Ya enggak-lah!" kesal Naldo. Kenan menepuk-nepuk bahu Naldo. Mata anak itu melebar seketika, saat menatap ke layar ponselnya. "Kenapa?" tanya Naldo masih sedikit kesal. "Lo harus lihat ini, Yon! Si Raka lagi jalan sama Kaila!" Arion langsung beranjak dari tempatnya. Merebut paksa ponsel Kenan. Dia terdiam sejenak ketika melihat snap i********: dari laki-laki bernama Raka tersebut. "Gue baru ngefollow dia tadi pagi." Kenan menyengir kuda. "Di ajak ke toko perhiasan, Yon. Mungkin gak, sih, si Raka mau ngelamar Kaila?" tanya Kenan kemudian, mengeluarkan pendapatnya ketika melihat kebersamaan Raka dan Kaila tadi. Mereka berdua tampak sedang berada di salah satu toko perhiasan. Arion mengembalikan ponsel Kenan dengan kasar, kemudian kembali duduk di tempat duduknya tadi. "Gak mungkin!" jawab Arion yakin. "Yakin bener lo?" "Kaila gak mungkin mau menerima lamaran Raka." "Lo gak tahu isi hati orang, Yon." Arion tercenung. Apa benar Raka akan melamar Kaila? Apa Kaila akan menerima lamaran laki-laki itu? "Nasib, Yon. Lo emang harus belikan kita mobil." Naldo menepuk-nepuk bahu Arion. Seolah mengucapkan 'sabar'. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN