BAB 4
Aku tidak menjanjikan sebuah kebahagiaan. Aku hanya berusaha untuk memberikan perlindungan jika sedang bersamaku.
ΔΔΔ
Arion melirik jam tangannya, lima menit lagi tepat jam tujuh pagi. Dia menunggu beberapa saat, kemudian barulah turun dari mobilnya. Melangkahkan kakinya memuju sebuah rumah, ini yang kedua kalinya Arion ke tempat itu.
Beberapa kali mengetuk, akhirnya pintu putih di hadapannya tersebut terbuka, menampilkan seorang wanita lanjut usia yang sedang tersenyum ramah ke arahnya.
Arion balas tersenyum. Dengan sopan dia berkata, "Selamat pagi, Nenek. Kailanya ada?"
Nenek Mina menaikkan kedua alisnya mendengar kalimat Arion yang begitu bersemangat di pagi ini. "Dengan siapa, ya?"
"Dengan Arion yang ganteng dan tampannya melebihi Shawn Mendes, Nek. Temannya Kaila."
Pagi ini, nenek Mina dibuat tertawa oleh Arion. Kalimat yang menurut wanita lanjut usia tersebut sangatlah lucu. "Owh, temannya Kaila. Ayo, silakan masuk, Nak." Mempersilakan Arion untuk masuk ke dalam rumahnya.
"Silakan duduk, Nak. Biar Nenek bikinkan minuman dulu." Arion mengangguk sopan.
"Gak usah repot-repot, Nek. Sekalian numpang sarapan, ya, Nek. Lupa sarapan tadi di rumah," ucap Arion diakhiri dengan tawanya. Nenek Mina hanya menggelengkan kepalanya, sambil ikut tertawa.
Arion mengedarkan pandangannya, dia menyunggingkan senyumnya ketika pandangannya menangkap sebuah bingkai foto anak perempuan berumur sekitar sepuluh tahun yang tertempel di dinding. Dengan rambut yang di kepang samping. Terlihat sangat lucu dan menggemaskan.
"Ini minumannya, Nak Arion. Silakan diminum." Arion kembali mengangguk. "Nenek ke atas dulu. Biasanya jam segini Kaila sudah bangun, tapi kok masih gak kelihatan."
Seperginya nenek Mina ke lantai atas, dengan gerakan cepat Arion mengeluarkan ponselnya dari saku celananya. Membuka aplikasi kamera, dan mengabadikan foto anak kecil yang dilihatnya tadi. Arion tersenyum puas ketika mendapatkan gambar itu.
Tatapannya beralih pada sebuah bingkai di sampingnya, menampilkan tiga orang yang sedang tersenyum bahagia di sana. Seorang anak perempuan yang Arion kenali--Kaila, nenek Mina, dan pria dewasa yang Arion tebak itu pasti ayahnya Kaila. Keningnya berkerut, bingung. Kenapa hanya ada potret mereka bertiga? Ke mana ibunya, Kaila? Apa Kaila tak memiliki seorang ibu?
Suara Kaila dan nenek Mina menyadarkan Arion dari lamunannya, dengan cepat dia kembali ke tempat duduknya. Arion menghela napasnya, agar tak merasa gugup.
Tatapan mereka bertemu beberapa saat. Arion dapat melihat, kalau gadis itu habis menangis. Matanya sedikit bengkak. "Habis nangis lo?" tanya dengan sedikit mengejek.
Kaila melebarkan matanya, dia mencoba mengabaikan pertanyaan Arion. Syukurlah, sang nenek tak mendengar pertanyaan dari Arion tadi. "Mau apa kamu ke sini, Arion? Bukannya hari ini gak ada kelas?"
"Siapa yang bilang hari ini ada kelas? Gak ada," jawabnya santai sambil mengangkat kedua bahunya. Sama seperti hari sebelumnya, Arion begitu menyebalkan bagi Kaila.
Kaila menghela napasnya. "Terus, ada perlu apa kamu ke sini?" Gadis itu melihat kedua tangannya di depan d**a.
"Memangnya gak boleh gue ke sini?" tanya balik Arion. "Duduk dulu, Kai. Anggap aja rumah sendiri." Kemudian tertawa hambar.
"Kalau gak ada yang penting, sebaiknya kamu pulang aja deh, Arion." Kaila melirik ke arah dapur, sang nenek sesekali mencuri pandang ke arah mereka. Kaila tak enak pada neneknya, sebab Arion adalah orang pertama yang datang ke rumahnya dan menyebutkan dirinya sebagai seorang teman.
Tak dapat disembunyikan keterkejutan Kaila ketika sang nenek tiba-tiba membangunkannya, dan mengatakan ada seorang temannya yang datang. Yang tadinya begitu mengantuk, dan malas sekali membuka kelopak matanya, langsung terbuka lebar.
"Yang gue lakukan semuanya penting. Asal lo tahu." Arion menyandarkan punggungnya pada kepala sofa. Dia menatap Kaila beberapa saat, sampai akhirnya gadis itu lebih dulu mengalihkan pandangannya.
"Apa yang penting, Arion? Kalau masalah tugas, kamu salah orang. Kita gak satu kelompok, mana bisa kamu nanyain mengenai tugas sama aku. Tanya aja sama teman sekelompok kamu sana!"
"Lo gak berniat mengusir gue dari sini kan, Kai?" Arion menaikkan sebelah alisnya.
"Memang niat kayak gitu. Kamu pulang aja. Lakuin pekerjaan yang lebih penting daripada mengganggu hari libur orang lain!" kesal Kaila. Dia tak bisa berlama-lama membiarkan Arion berada di rumahnya. Dia tak akan bisa memberikan jawaban atas pertanyaan neneknya nanti.
"Gue mau numpang sarapan di sini. Apa salah?"
Kaila melebarkan matanya. Arion begitu pintar menjawab setiap pertanyaannya. "Kenapa gak sekalian numpang buang air aja, Arion? Memangnya di rumah kamu gak ada makanan sampai numpang makan ke sini?"
"Gak usah nge-gas gitu, Kai." Arion memutar matanya malas. "Mandi sana, gak tahan gue nyium bau surga dari mulut lo." Laki-laki itu bergidik.
Ingin sekali Kaila mencakar wajah Arion. "Hidung kamu tuh yang kedeketan sama mulut. Udah, ih, sana pulang!" paksa Kaila. Arion menggeleng dengan menunjukkan ekspresi tak bersalahnya.
"Lho, Kaila. Kok temannya diusir? Gak boleh begitu, Nak. Gak sopan namanya," tegur nenek Mina yang kebetulan mendengar ucapan sang cucu. "Maafin Kaila, Nak Arion. Sebenarnya dia anak yang baik." Nenek Mina menaruh cemilan yang dia bawa ke atas meja, dan membukakan tutupannya.
Arion mengangguk. "Gak pa-pa, Nek. Sudah terbiasa dimarahi sama dia, omongannya pedas banget, Nek. Dia---"
Arion melirik sekilas ke arah Kaila, gadis itu sedang menatap tajam padanya.
"Jangan percaya, Nek!" potong Kaila dengan cepat. "Arion kamu jangan bohong sama Nenek, yang ada itu omongan kamu yang pedas!"
"Liat, Nek, dia nge-gas terus dari tadi." Arion kembali mengadu, berasa dialah cucu nenek Mina.
"Aduh-aduh kalian berdua ini. Sudahlah, nenek mau ke dapur dulu. Nak Arion jadi ikut sarapan di sini kan?" tanya nenek Mina sebelum dia kembali ke dapur.
"Jadi dong, Nek."
Kaila melempar bantal mengenai wajah Arion, kemudian beranjak dari tempatnya menuju kamarnya. Dia harus segera mandi air dingin, agar setan-setan yang membuatnya emosi ini menghilang dari tubuhnya.
****
Flashback on.
"Yah, boleh nanya kagak?" tanya Arion, dia sudah mengambil tempat di samping Andre.
"Pertanyaannya benar apa gak?"
"Bener dong, Yah. Kali ini aku serius."
Andre menatap putranya tersebut sejenak, mencari kebohongan di sana. Namun, nihil. Anak itu memang tak sedang berbohong. "Nanya apa?"
"Ayah pernah ngajak Bunda jalan, kan?" Arion memulai pertanyaannya.
"Konyol. Ya, nyata pernah-lah, Arion. Bagaimana kamu ini!"
"Gak usah nge-gas juga, Yah. Ngajak Bunda jalan ke mana?"
"Memangnya kenapa, Arion? Kamu mau ngajak Bunda jalan-jalan? Ulang tahun Bunda masih lama." Andre mengeraskan volume televisinya.
Arion mendesis, lantas merebut romote televisi dari tangan sang ayah, kemudian mematikannya. "Ayah serius dong, Arion lagi gak bercanda," keluhnya.
"Siapa yang ngatain kamu sedang bercanda? Gak ada."
"Jawab aja, Ayah. Gak usah belok ke sana ke mari. Sebelum Bunda sama Mbak Yaya datang!" Arion menekankan kalimatnya. Kesempatannya terbatas, Anaya dan Shafiya hanya pergi ke mini market depan.
"Memangnya mau apa kamu?" Andre menaikkan sebelah alisnya, bingung dengan maksud putranya.
"Mau ngajak temen jalan. Ayah ini kayak gak pernah muda aja!" kesal Arion.
"Ya sudah, kamu juga jangan nge-gas gitu dong!" Andre menyengir. "Dulu, pertama kali Ayah ngajak Bunda jalan-jalan ... hm, ke kebun binatang kalau gak salah."
Mata Arion berbinar. "Oya? Terus gimana perasaan Bunda pas waktu itu, Yah? Senang gak Bundanya diajakin ke sana?"
Andre mengingat kejadian puluhan tahun yang lalu. Dia tersenyum geli mengingat ekspresi takut Anaya ketika memberikan makanan pada beberapa hewan di sana.
"Bunda kamu penakut dulu, Yon. Seru, sih, dia sampai gak berenti ketawa." Andre terkekeh.
Arion menggut-manggut, seperti baru saja menemukan sebuah ide cemerlang. "Ke mana lagi, Yah? Selain ke kebun binatang?"
"Ke rumah pohon mungkin. Tempat Ayah sama Uncle Alex dulu nongkrong waktu masih sekolah."
"Rumah pohon? Rasanya Ayah sudah pernah nyeritain ini sebelumnya, yang di dekat danau itu bukan, sih, Yah?"
Andre mengangguk. "Coba kamu tanya Uncle Alex, dia lebih tahu masalah beginian. Kalau Ayah gak terlalu berpengalaman."
"Ya sudah kalau begitu. Makasih, ya, Yah." Arion beranjak, meninggalkan Andre yang masih bertanya-tanya di tempatnya.
Flashback off.
"Kita mau ke mana, Arion?" tanya Kaila, entah sudah yang keberapa kalinya.
"Berisik lo! Lo diam aja, nanti kalau sudah sampai lo bakal tahu sendiri!" kesal Arion. Dia sudah sedari tadi menahan emosinya untuk tidak memarahi dan mengeluarkan kalimat pedasnya. Gadis itu selalu menyulut emosinya.
"Tapi kenapa harus aku, Arion? Kamu bisa ngajak kedua temen kamu, Naldo sama Kenan. Aku mau pulang aja, anterin aku sekarang!" Kaila menatap Arion yang sedang fokus pada jalanan, mengemudikan mobilnya.
"Diam, Kaila! Sebentar aja jangan membuat gue marah sama lo!" Arion menekankan, dengan rahang yang sudah mengeras menahan amarahnya. Entah kenapa, Arion selalu tak bisa mengontrol diri kalau berada di samping gadis itu. Bawaannya selalu ingin marah, dan memakinya.
"Gak bisa, Arion. Kamu itu aneh. Kenapa coba tiba-tiba ngajakin jalan-jalan? Kenapa beberapa hari ini kamu kayak berusaha deket sama aku. Kamu gak berniat melakukan hal buruk sama aku, kan, Arion?" Kaila menatap Arion dengan memicing. Dia tak pernah dekat laki-laki seperti ini, wajar saja kalau dia memiliki rasa takut yang berlebih.
"Ada yang salah kalau kita berteman?" tanya balik Arion. Kaila lantas mengantup bibirnya. Kalah berdebat sudah dirinya.
Dasar Arion, menyebalkan! batin Kaila.
Setelah sekian lama berada dalam satu mobil bersama dengan Arion, ditambah dengan berdebatan yang tak berujung. Akhirnya mereka sampai ke tempat tujuan yang di maksud oleh Arion.
Kaila berdiri di samping mobil Arion, dia tampak takjub dengan tempat ini. Tempat yang selama ini menjadi salah satu tempat impiannya, tempat yang ingin sekali dia kunjungi.
"Heh, gadis aneh! Mau sampai kapan lo berdiri di sana, huh?" tanya Arion dengan nada yang tak ada lemah-lembutnya.
Kaila menatap datar ke arah laki-laki itu. Kenapa Arion selalu saja memarahinya?
Dengan ekspresi yang tak mengenakkan, Kaila mengikuti Arion--dia berjalan di belakang.
"Sini dong, Kai, jalannya di samping gue. Lo kayak pembantu gue jalan di belakang gitu!" Arion menghela napasnya. "Muka lo jangan didatarin gitu, sudah jelek makin jelek kelihatannya. Senyum sedikit, gue mau ngajak lo bersenang-senang hari ini, bukan malah bersedih-sedih. Jangan banyak nge-drama kayak nyokap gue!"
Kaila memutar matanya jengah. Dia tak habis pikir dengan laki-laki itu. Apa marah itu adalah salah stu hobinya?
"Iya. Kamu itu laki-laki, tapi kok marah-marah mulu daritadi. Ngalahin perempuan bawelnya!" Kaila mengecilkan suaranya ketika mengucapkan kalimat terakhirnya. Takut-takut kalau Arion mendengarnya.
Arion menarik tangan Kaila. Setelah membayar biaya masuk, dia membawa gadis itu ke arah penyewaan kereta. Menyewa kereta itu untuk mereka berkeliling.
"Arion, ngapain kamu ngajakin aku ke kebun binatang? Kamu gak berniat nyeburin aku di kolam buaya kan nantinya?" bisik Kaila karena tak enak pada beberapa orang di depannya--penjaga beberapa kereta di sana. Dari yang Kaila tahu, buaya di kebun binatang ini adalah buaya yang paling besar daripada kebun binatang lainnya di daerah sini.
"Pak, saya ingin memesan keretanya untuk berkeliling sini." Arion mengeluarkan beberapa uang limapuluh ribuan dari dalam dompetnya.
"Maaf, Mas, Mbak. Kereta untuk dua orang penumpang sudah habis. Hanya ada kereta untuk empat orang dan enam orang penumpang. Kalau ingin menaiki kereta untuk dua orang, kalian bisa menunggunya sekitar empatpuluh lima menit lagi."
"Oh, iya, Pak. Kami akan menunggunya saja," jawab Kaila tanpa persetuan Arion.
"Kelamaan, Kaila!" ucap Arion sedikit membentaknya. "Apa kami bisa menyewa kereta yang lain, Pak, yang untuk empat orang itu aja."
"Bisa saja. Tapi, kalian harus membayarnya dua kali lipat, atau bisa mencari dua orang teman lagi."
Kaila menggeleng cepat. "Gak usah, Pak. Kita bisa menunggunya." Dia menggoyangkan lengan Arion, meminta untuk menunggu saja.
Namun, Arion tetaplah Arion. Dia takkan mendengarkan perkataan Kaila. Dia memberikan dua lembar uang limapuluh ribuannya tadi kepada bapak itu, sebagai bayar sewa kereta untuk satu jam ke depan.
"Keretanya kemahalan, Arion. Kita bisa membayarnya limapuluh ribu aja kalau kamu mau menunggu sebentar. Lumayan uangnya buat kamu nabung," ucap Kaila sedikit menyesali apa yang Arion lakukan tadi. Menyewa kereta untuk empat orang seharga seratus ribu. Terlalu mahal menurut Kaila.
"Gak usah dipikirin. Santai aja," jawab Arion santai.
"Kamu bisa ngomong begitu karena kamu gak tahu gimana susahnya mencari uang, Arion. Pikirkan kedua orangtua kamu yang susah payah mengumpulkan uang buah memenuhi kebutuhan kamu."
Arion menoleh ke arah Kaila. Ucapan gadis itu benar-benar berbeda. Di luar sana, banyak sekali perempuan yang lebih memilih menggunakan uang mereka untuk berfoya-foya, menyenangkan hati. Kini Arion tahu, Kaila mempunyai pemikiran yang berbeda dari perempuan lain. Dia bahkan mempunyai pemikiran yang lebih dewasa daripada dirinya.
"Hm ... sekali-kali gak pa-pa, Kai. Lo santai aja, gue gak bakal minta uang ganti rugi setelah pulang dari tempat ini." Arion terkekeh.
Obrolan mereka terpotong ketika Kaila berdiri dari tempat duduknya. Dia mendekat ke arah beberapa gajah, kemudian memberikan satu wortel miliknya.
"Lo gak takut, Kai?" tanya Arion menatap heran ke arah Kaila. Tubuh gajah itu berkali-kali lipat lebih besar daripada Kaila. Apa dia tak merasa takut sedikitpun?
Kaila menggeleng, kemudian memberikan wortelnya lagi pada gajah yang lain. "Buat apa takut, mereka sudah jinak. Gak akan berbahaya. Atau jangan-jangan ...." Kaila menggantungkan ucapannya sambil menatap selidik ke arah Arion. "Kamu yang takut sama mereka?" Dia mengulum senyumnya. Tak terbayang kalau sampai Arion takut pada gajah-gajah itu.
"Gak-lah, siapa bilang gue takut? Gue pemberani! Jangankan gajah, sama yang lebih besar dari gajah aja gue berani!" balas Arion dengan mengangkat dagunya, menandakan kesombongannya.
"Hm berani ...." Kaila manggut-manggut. "Kalau gitu, kasih dia makan pakai sayuran kamu dong!" tantang Kaila.
Arion menaikkan sebelah alisnya. Kaila meremehkan orang yang salah, Arion suka dengan tantangan. Dia bangkit dari tempat duduknya, berdiri di samping Kaila. Kemudian dengan mudahnya, dia memberi makan gajah-gajah di depannya.
"Gue sudah bilang, gue gak takut." Arion menunjukkan senyumnya pada Kaila, senyum yang terlihat seperti meremehkan.
Dasar, Arion! kesal Kaila dalam hati.
Kereta mereka kembali berjalan. Kereta ini akan berhenti selama sepuluh menit. Setiap kereta pasti ada pengarahnya dari pihak kebun binatang itu sendiri, agar tak menyalahi aturan. Kereta akan berhenti pada setiap perkumpulan binatang yang di biarkan terlepas--tanpa penjagaan yang ketat, seperti gajah, jerapah, badak, dan hewan lain yang tak memiliki bahaya besar.
"Uwow ... jerapahnya besar banget, Arion. Aku baru sekali melihat secara langsung. Bahkan, badanku kalah besar sama jerapah yang paling kecil itu," ucap Kaila dengan tertawa, dia menunjuk ke arah jerapah yang paling kecil.
Arion mengangguk. Gadis itu terlihat lebih manis ketika tersenyum dan ketawa. Ini yang pertama kalinya melihat Kaila tertawa lepas seperti ini, karena biasanya gadis itu selalu menunjukkan wajah datarnya.
Kaila memberi makan beberapa jerapah dengan sayurannya. Dia merasa geli ketika lidah jerapah itu mengenai telapak tangannya.
"Arion, coba kamu dekatkan wajah kamu sama jerapahnya. Dia pasti mencium pipi kamu."
Arion menggeleng cepat. "Jangan konyol. Gue gak mau!"
Kaila memajukan bibirnya. "Coba dulu, Arion. Katanya gak takut."
Arion menghela napasnya. Dengan sangat-sangat terpaksa, dia mendekatkan wajahnya ke arah salag satu jerapah itu. Dan benar saja, jerapah itu menciumnya. Arion bergidik ngeri. Jerapah ini akan masuk dalam daftar perempuan keempat yang pernah menciumnya. Anaya, kedua neneknya, dan jerapah betina. Miris sekali!
Kaila duduk di tempat duduknya, kemudian menyandarkan kepalanya. Satu jam tak terasa tinggal lima belas menit lagi. Kenapa waktu terasa begitu cepat berlalu? Bahkan, rasanya dia belum puas mengelilingi kebun binatang ini. Arion benar-benar tahu tempat yang akan membuat hari liburnya begitu menyenangkan, dan menjadi pengalaman terindahnya.
Sayurannya dan milik Arion tinggal sedikit. Karena kereta ini akan berhenti pada hewan yang terakhir.
"Arion, kamu gak bercandakan. Kenapa ngarahin keretanya ke kolam buaya?" Kaila melebarkan matanya, tak percaya.
"Santai. Lagian kereta ini akan berhenti di luar kandangnya, gak masuk ke dalam sana. Kita hanya melihatnya dari sini."
Kaila menggeleng cepat. "Jangan bercanda kamu, Arion. Kamu gak berniat menyeburkanku ke dalam sana kan?" tanyanya dengan menatap tajam ke arah Arion.
"Ck! Lo pikir aja, melenyapkan orang gak semudah yang lo bayangkan. Berat hukumannya. Gue gak mau menghabiskan hidup di dalam teruji besi." Arion menggelengkan kepalanya.
"Ya, kan siapa tahu aja. Kalau kamu mikirnya gitu, baguslah. Berarti masih berjalan akal sehat kamu." Kaila memalingkan wajahnya dari Arion.
"Sana beri makan buaya-nya." Arion menunjuk ke arah buaya dengan dagunya.
"Gak! Kalau kamu mau, kamu aja sana. Aku takut kepeleset, terus kecebur dalam sana." Membayangkannya saja, Kaila sudah bergidik ngeri.
"Ck! Begituan aja takut. Tadi aja sok berani!" cibir Arion. Dia berdiri, kemudian melempar sayurannya ke dalam kolam buaya.
"Kamu salah, seharusnya memberi makan buaya itu dengan daging, bukan sayuran."
"Lo aja gue lempar ke sana, mau?" tawar Arion dengan senyuman liciknya.
Kaila menggeleng cepat. Dia mengeratkan pegangannya pada besi yang ada di kereta itu. Takut-takut kalau Arion tiba-tiba menarik dan melemparnya ke dalam sana.
Tawa Arion pecah. Ekspresi Kaila benar-benar menggelikan menurut Arion. Apa sebegitu takutnya dia mati?
*****