BAB 6
Jangan mampir, kalau tak berniat untuk tinggal. Jangan menciptakan sebuah perhatian, kalau akhirnya mencampakkan.
ΔΔΔ
Kaila memijat pelipisnya, sedari tadi dia tampak tak fokus pada mata kuliahnya. Apa saja yang disampaikan oleh sang dosen bagaikan angin lalu. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Kaila tak dapat menangkap satupun materi yang telah disampaikan. Tak biasanya dia seperti ini, entah apa yang sedang mengganggu pikirannya.
Kelasnya telah berakhir. Kaila melangkahkan kakinya keluar kelas. Dia berniat pulang saja. Ingin berbaring, dan tidur dalam waktu yang cukup panjang sampai pikirannya mulai tenang.
Ucapan Arion tadi malam benar-benar menganggu konsentrasinya. Dia seperti seseorang yang kehilangan akal. Kantung matanya menghitam, sebab tadi malam dia tak bisa tidur walau sekejap. Kaila tak bisa tenang. Ancaman Arion tadi malam tidak terdengar sedang bergurau. Laki-laki itu sudah berhasil mengendalikan dirinya.
"Sialan!" umpat Kaila yang tengah melangkah melewati koridor kampusnya.
Flashback on.
Kaila yang sedang menyelesaikan beberapa laporannya, menyebabkan gadis itu tak tidur walaupun waktu sudah menunjukkan angka ke sepuluh. Tangannya terulur untuk mengusap matanya yang sudah berair menahan kantuk. Sesekali juga menyusap lehernya yang entah mengapa terasa pegal sekali.
Jemari lentiknya dengan lihai bergerak diatas keyboard laptopnya. Seperti seseorang yang begitu mahir dalam melakukan hal tersebut. Tinggal beberapa kertas lagi, laporannya akan selesai.
Ketukan pada pintu beranda kamarnya, mengagetkan Kaila. Jemarinya seketika berhenti bergerak, sorot matanya menajam. Rasa gugup mendominasi dirinya. Tangannya terulur untuk menggapai sesuatu yang bisa digunakan untuk memukul. Maling. Itulah yang berada dalam benaknya.
Ketukan terdengar kembali. Tetapi, kali ini tidak hanya ketukan. Seseorang di luar sana sesekali menyebutkan namanya, walaupun dengan nada yang sangat kecil, Kaila masih dapat mendengarnya dengan jelas.
Gadis itu bergeming di tempatnya. Keringat sudah mulai membasahi daerah pelipisnya. Dia takut, tentu saja.
"Kai, ini gue Arion."
Mata Kaila melebar seketika, lantas menutup telinganya dengan kedua tangannya.
"Kai, bukain pintunya dong! Gue dimakan nyamuk di sini."
Kaila memindahkan laptopnya ke samping. Perlahan, dia menurunkan kakinya. Berjalan mendekati pintu yang memisahkannya dengan beranda kamarnya. Kaila bersandar di tembok, dekat gorden pintu berandanya. Sedikit menyintip untuk memastikan seseorang di luar sana memang benar Arion atau maling yang tengah mengaku-ngaku.
Kaila terbebalak. Di sana memang benar ada laki-laki itu, Arion. Terlihat dia sedang mengusap-usap lengan dan lehernya karena gigitan nyamuk. Kaila merasakan debaran yang tak biasa, lebih cepat dari biasanya. Ada apa dengan perasaannya?
Rasa tak tega membuat Kaila meringis. Dengan cepat dia membuka gorden, memperlihatkan Arion yang kini tengah berdiri tegap di depan sana.
"Lama bener buka pintunya!" omel Arion yang langsung masuk ketika pintu beranda tersebut terbuka.
Kaila memajukan bibirnya. Dia tetap berdiri tegap di tempat. "Mau ngapain kamu ke sini, Arion? Pulang sana!" Kaila berkacang pinggang. Gila! Laki-laki itu benar-benar tidak waras.
Arion menatap Kaila dengan memicing. Kemudian, pandangannya beralih pada setiap jemari gadis itu. Tidak menemuka benda yang melingkar di salah satu jarinya.
"Ngapain ke toko perhiasan sama Raka tadi?" tanya Arion langsung ke intinya.
Kaila mengernyit, bingung. "Apa itu yang mau kamu tanyain, Arion? Gak penting banget!" kesalnya.
"Itu penting. Jawab aja. Ngapain lo ke sana?"
"Gak ada apa-apa. Sana gih pulang! Nenek bisa tahu kalau kamu datang. Ini masih jam sepuluh. Kamu gila atau gimana, Arion? Kalau mau bunuh aku jangan begini caranya!" omel Kaila saking kesalnya. Dia tak habis pikir dengan kelakuan konyol laki-laki itu.
"Kai, lo gak dilamar sama dia kan?"
Kaila terbelalak. "Dilamar apa? Sama siapa? Kamu ini lagi mabuk atau kerasukan, sih?" tanya Kaila balik dengan sengit.
"Jawab aja. Lo dilamar apa enggak sama si Raka?" tanya Arion ngotot. Nada bicaranya terdengar ada pemaksaan.
"Kamu benar-benar gak sehat, Arion." Kaila menggeleng-gelengkan kepalanya. "Pulang sekarang!" usir Kaila dengan menekankan ucapannya pada laki-laki itu.
"Gak mau!" tolak Arion dengan tampang yang sangat menyebalkan. Dia melipat kedua tangannya di depan d**a.
"Kamu!--"
"Kaila ...," panggil nenek Mina sambil mengetuk pintu kamar Kaila. "Kamu sedang bicara sama siapa, Nak? Kok Nenek dengar ada ribut-ribut dari kamar kamu?" tanyanya kemudian.
Kaila melebarkan matanya. Dia bergerak cepat untuk membekap mulut Arion yang sepertinya berniat menjawab pertanyaan dari sang nenek. Kaila memberikan kode untuk Arion diam. Ketika laki-laki itu mengangguk mengerti, Kaila menarik tangannya secara paksa kemudian menyuruhnya masuk ke dalam lemari pakaiannya.
"Kamu diam di sini! Jangan coba-coba keluar. Kita bisa mati kalau sampai Nenek tahu!" ancam Kaila, begitu memperingati.
Arion mengangguk paham.
Kaila merapikan penampilannya, kemudian menetralkan deru napasnya. Dia segera melangkah, membuka pintu kamarnya.
"Nenek?" tanya Kaila berpura-pura terkejut dengan kedatangan wanita itu.
"Kamu sedang apa, Nak? Kok Nenek dengar seperti ada keributan dari dalam?" Terlihat kerutan di kening wanita lanjut usia tersebut, bingung.
"Ah, itu, Nek. Gak ada apa-apa. Kaila lagi latihan penguatan dialog di cerita yang Kaila bikin untuk perlombaan di kampus nanti," bohong Kaila. Gadis itu berjanji akan mengutuk dirinya sendiri karena sudah berani membohongi sang nenek yang begitu dia cintai.
Nenek Mina masih menatap aneh ke arah Kaila. Tatapan tersebut terlihat seperti mencurigainya. "Beneran?" tanyanya lagi untuk memastikan. "Kamu lagi gak bohong sama Nenek kan?"
Kaila menggeleng cepat. "Enggak, kok, Nek. Kaila gak bohong. Kaila lagi latihan."
Nenek Mina mengangguk saja. Dia mengusap puncak kepala sang cucu, kemudian mengecup keningnya sebelum dia berlalu meninggalkan kamar Kaila.
Seperginya nenek Mina, dengan cepat Kaila mengunci kembali pintu kamarnya. Dia menghela napas, lega.
"Kamu benar-benar, ya, Arion!" peringat Kaila ketika dia membuka lemarinya. "Jangan lagi ngelakuin hal gila kayak gini!"
Arion hanya bergeming.
"Kamu dengar aku ngomong kan, Arion?" kesalnya. "Jangan lagi naik ke beranda kamarku, menyelinap kayak maling begini!"
"Lo yang memaksa gue melakukan ini." Arion menjawab santai.
"Aku? Kenapa jadi aku? Aku gak pernah minta kamu ngelakuin hal konyol kayak gini! Aneh-aneh aja sih kelakuan kamu!" balas Kaila tak terima.
Arion menarik paksa tangan Kaila, hingga gadis itu duduk di pahanya--memangku. "Lo kelihatan lebih menggemaskan kalau marah begini."
Kaila terbelalak, dengan refleks dia memukul kepala laki-laki itu.
"Lo ganas banget, Kai. Lemah lembut sedikit kek sama gue."
Kaila ingin bangkit dari paha Arion, namun ditahan olehnya. Dia semakin mempererat lingkaran tangannya di pinggang Kaila.
"Arion lepas gak?!" ancam Kaila. "Kalau ada yang melihat kita gimana? Kamu jangan lupakan kalau di perumahan ini masih ada CCTV-nya!"
Arion mengangkat sebelah bahunya, acuh. "Gue gak peduli. Bukannya itu lebih baik?"
Kaila menaikkan alisnya.
"Gue bisa nikahin lo segera."
Kaila mendorong keras Arion, hingga laki-laki itu terjungkal ke belakang. "Jangan asal ngomong kamu! Sana pulang!" Kaila menarik paksa tangan Arion, menyuruhnya untuk segera keluar dari dalam kamarnya.
Flashback off.
Cekalan seseorang menghentikan pergerakan Kaila. Dengan cepat Kaila menepis tangan itu.
"Maafin gue soal yang tadi malam. Gue gak bermaksud apa-apa," ucap Arion dengan perasaan bersalah.
"Jangan terlalu keras ngomongnya, Arion. Kamu ini ya bener-bener ...!" geram Kaila. "Aku sudah maafin kamu. Sudah puas sekarang? Aish, bisa gila aku dekat-dekat sama kamu, Arion!"
Arion kembali meraih tangan Kaila ketika gadis itu ingin pergi meninggalkannya. "Lo mau ke mana?" tanyanya.
"Mau ke mana aku pergi bukan urusan kamu!" peringat Kaila.
"Aku antar."
"Gak mau. Kamu kumpul aja sama teman-teman kamu. Tuh mereka sudah nungguin kamu." Kaila menunjuk ke arah teman-teman Arion yang memang sedang memperhatikan mereka berdua.
Arion kembali menahan gerakan Kaila. "Gue anterin. Sebagai pertanda minta maaf gue," mohon Arion.
"Aku bawa motor sendiri, Arion. Jadi, gak perlu kamu antar aku."
Arion mendesis kesal ketika Kaila berhasil meninggalkannya. Dia menoleh ke belakang, terlihat kedua temannya yang sedang menertawakannya. Benar-benar teman tak tahu diuntung, teman lagi sekarat macam ini masih sempat berpikir untuk menertawakannya!
"Kampret lo berdua!" umpat Arion dengan melempar kaleng bekas minumannya. "Gue balik duluan!" pamitnya kemudian melenggang pergi meninggalkan area parkiran kampusnya.
"Woy, Arion! Mau ke mana lo, Bocah?" teriak Naldo, yang tak didengar oleh Arion.
"Sudah, Do. Lo harus paham dengan keadaan. Dia lagi memperjuangkan cintanya. Lo kayak gak pernah jatuh cinta aja!" sindir Kenan dengan menggelengakan kepalanya heran.
"Jatuh cinta apanya? Tuh bocah ngejar Kaila cuman gak mau kalah sama taruhan kita. Lo kayak gak tahu dia aja. Mana mungkin seorang Arion dengan mudah luluh dengan perempuan biasa seperti Kaila. Cantik, sih, tapi gak ada seksi-seksinya sama sekali."
Kenan memukul kepala laki-laki di sampingnya tersebut dengan keras. Membuatnya meringis kesakitan.
****
"Bunda ...," teriak Arion ketika dia melangkah masuk ke dalam rumahnya.
"Ada apa, Arion? Kenapa teriak-teriak kayak gitu? Kamu pikir ini hutan atau apa?" omel Anaya yang tak senang dengan kelakuan putranya tersebut.
Arion menyengir. "Bun ... Arion boleh minta tolong gak?" tanya Arion dengan menaik-turunkan alisnya.
"Minta tolong yang seperti apa dulu?"
Arion menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali. Dia sedikit malu mengatakannya. "Arion kan lagi deketin cewek. Nah ...." Arion sengaja menggantungkan ucapannya, agar Anaya penasaran.
"Nah apa, Arion?" tanya Anaya yang mulai jengah dengan kelakuannya.
"Bantuin Arion deketin dia dong, Bunda." Arion terkekeh.
"Kamu sudah dewasa. Masa iya cuman deketin cewek harus minta bantuan Bunda dulu. Kamu mikir sendiri dong!"
"Itu dia, Bunda. Orangnya susah banget di deketin. Aneh, tapi bikin penasaran. Ayolah, Bun, bantu putra-mu ini!" pinta Arion dengan menangkup dua belah tangannya.
Anaya menghela napasnya. "Mau bantuan yang seperti apa?" tanyanya akhirnya.
"Suruh dia ke sini, Bun. Ajakin masak bareng Bunda, kek, gitu. Sore ini."
"Bunda mana kenal sama dia. Kamu dong yang harusnya minta dia ke sini."
"Itu dia, Bunda, masalahnya Kaila ini susah diajakin ke mana-mana. Yakin deh, nanti kalau Arion ajak jalan ke sini dia bakal nolak. Gak Kaila namanya kalau dia gak nolak permintaan Arion."
Anaya diam, berpikir sejenak. "Coba kamu telepon dia. Biar nanti Bunda yang ngomong."
"Nah itu juga, Bun, masalahnya Arion gak punya nomornya. Gimana dong?"
Anaya memutar matanya malas. "Kalau begitu nasib kamu aja yang kurang beruntung. Gimana mau dibantuin, orang gak ada modalnya sama sekali," cibir Anaya.
"Aish! Pakai cara lain dong, Bunda. Mas iya Bunda yang lebih berpengalaman begini gak ada cara yang lebih ampuh gitu?"
"Gak ada. Sudah, ah, Bunda mau istirahat. Kamu cepat makan, habis itu istirahat. Jangan keluar lagi. Bunda potong kaki kamu nanti baru tahu rasa, jalan terus kerjaannya."
"Yah, terus kalau kaki gak buat jalan memangnya buat apa, Bun? Buat makan? Yha, jangan bercanda, Bunda."
"Bunda lagi gak mau bercanda sama kamu."
"Bunda, ya, pikirin lagi caranya biar Arion bisa deket sama Kaila," teriak Arion pada Anay yang sudah berada di depan pintu kamarnya.
Anaya hanya mengacungkan jempolnya, sebagai tanda menyetujui permintaan Arion tadi.
Segera Arion melangkahkan kakinya menuju lantai dua, kamarnya. Mengganti pakaiannya menjadi lebih santai dan nyaman. Celana hitam selutut dan kaos putih polosnya. Dia menuruni anak tangga, berjalan menuju meja makan. Di sana ada asisten rumah tangganya, yang akan menyiapkan makan siangnya.
"Bi, Arion boleh nanya gak?" tanya Arion pada asisten rumah tangga yang dipanggilnya dengan sebutan bibi tersebut.
Bibi mengangguk. "Nanya apa, Den?"
"Bibi pernah jatuh cinta gak?"
Pertanyaan Arion membuat bibi tersebut tersedak salivanya sendiri.
"Atau anak Bibi yang sedang jatuh cinta?" tanyanya lagi.
Bibi menggeleng. "Waktu jaman Bibi dahulu, gak ada yang namanya jatuh cinta, Den. Bibi sama suami bersatu karena perjodohan orang tua. Cinta tumbuh setelah kami menjalani dan saling melengkapi selama berumah tangga. Dan untuk anak Bibi, maaf Den, Bibi kurang tahu. Anak Bibi laki-laki, tetapi dia gak pernah sekalipun bercerita mengenai dirinya yang tengah jatuh cinta. Tahu-tahu ingin menikah saja." Bibi mengakhiri ceritanya dengan kekehan kecil.
Arion manggut-manggut. "Arion lagi deketin cewek, Bi. Baiknya gimana, ya, Bi? Orangnya ganas, gak mudah luluh sama kata-kata manis cowok, Bi." Arion menceritakan mengenai Kaila pada bibi, yang memang sering menjadi tempatnya bercerita selain bundanya. Arion tertawa dalam hati ketika mengucapkan 'kata-kata manis'. Memangnya dia pernah berkata manis kepada Kaila?
"Bagus dong, Den. Berarti cewek yang Aden sukai orangnya gak sembarangan memilih cowok menjadi pendampingnya kelak."
"Begitu, ya, Bi? Tapi, Arion belum ada niat buat jadiin dia pendamping hidup. Arion penasaran sama dia. Kayak ada sesuatu yang membuat Arion tertarik sama dia, entah dari segi mananya." Arion menaikkan bahunya, tanpa tak tahu.
"Biasanya cewek yang sulit didapetin atau mendekatkan diri sama cowok mempunyai masa lalu yang kelam, hingga dia agak sulit untuk membuka hati."
Arion menghentikan kunyahannya. "Maksudnya, Bi?"
"Dari pengalaman Bibi sendiri, dulu Adik Bibi mengalami trauma pada sang kekasih yang lebih dulu meninggalkannya karena kecelakaan dan merengkut nyawa. Dia sulit sekali membuka hati setelah kejadian itu. Ada beberapa laki-laki yang berniat melamar untuk menikahinya, tetapi dia menolak."
"Lalu, apa Adik Bibi itu menikah sekarang?"
Bibi mengangguk. "Sudah, Den. Bahkan sudah memiliki dua orang anak. Hidupnya begitu bahagia bersama keluarga kecilnya."
Arion menyunggingkan senyumannya. "Syukurlah kalau begitu, Bi. Arion jadi yakin kalau Kaila juga memiliki masa lalu yang kelam. Mungkin gak, sih, Bi?"
"Bibi gak tahu pasti, Den. Gak semua orang memiliki masa lalu yang kelam juga, bisa saja dia hanya gak mau salah dalam memilih pasangan hidup. Sebab perempuan seperti itu biasanya lebih sensitif dengan perasaan."
Arion kembali mengangguk mengerti. "Nanti Arion ajakin dia ke sini kapan-kapan. Biar Bibi bisa kenalan sama dia. Dengan begitu Bibi bisa melihat dia cewek yang seperti apa. Yang Arion tahu, ya itu, dia ganas dan susah dideketin. Ngeselin kan, Bi?"
Bibi tertawa menanggapi ucapan Arion, sesekali menggelengkan kepalanya heran.
Arion larut dalam makan siangnya, pikirannya terbang ke mana-mana. Memikirkan kenapa perempuan seperti Kaila sangat sulit didekati? Apa salah kalau dia meragukan kenormalan perempuan itu?
Ah, sudahlah. Arion bisa gila kalau terus memikirkan perempuan semenyebalkan Kaila. Benar-benar membuatnya penasaran.
****