Hari ini pikiran Gavril benar-benar kacau bahkan ia tak fokus dengan setumpukan kertas yang ada di hadapannya, perkataan Alana semalam sungguh merusak moodnya. Ia merasa menjadi pria yang paling kejam karena sama sekali tidak peduli dengan ceritanya semalam dan ketidakpeduliannya justru mengganggu pikirannya.
Pikiran Gavril terbang ke masa lalu, lebih tepatnya 3 tahun yang lalu saat dirinya pertama kali bertemu dengan Alana.
Saat itu Gavril menemani adiknya menerima surat kelulusan di SMP Nusa Bangsa karena orang tuanya sedang ada urusan di luar kota jadilah Gavril yang menemani.
Saski memperkenalkannya dengan gadis bermata biru sekilas mirip bule, hanya sekilas. Gavril pertama kali melihat gadis itu kagum, mungkin karena kecantikannya atau karena senyumannya yang sangat manis.
"Kak Gavril, perkenalkan ini sahabat aku namanya Alana."
"Alana, ini kakak aku namanya kak Gavril."
Tidak ada yang spesial saat pertemuan pertama mereka.
Setelah masuk SMA mereka bersekolah di tempat yang sama dan Alana sering main ke rumah, Saski bilang karena Alana menyukainya tapi Gavril tidak menganggap serius, memangnya siapa yang percaya gadis 15 tahun menyukai bahkan mencintai pria 24 tahun. Kalaupun ada itu hanya sebatas rasa kagum.
Gavril lumayan dekat dengan Alana saat itu. Gavril, Alana dan Saski sering jalan, entah itu ke mall, ke kafe atau ke pantai.
Saat Alana naik kelas 12 ia sudah tidak sedekat dulu dengannya karena Gavril sudah punya kekasih dan siapa sangka kekasihnya Gavril adalah kakaknya Alana.
Pertemuan pertamanya dengan Airyn adalah di tempat reuni dan Airyn hanya menemani sahabatnya ke acara reuni tersebut, saat itu Gavril langsung jatuh hati dengan Airyn mereka bertukar nomor ponsel kemudian mereka dekat, sering jalan bareng dan akhirnya memutuskan menjadi sepasang kekasih.
Gavril pikir Airyn adalah jodohnya tapi ternyata ia menikah dengan Alana.
Lamunannya terhenti karena getaran ponsel yang ada di atas meja. Ia membuka chat tersebut ternyata dari Alana.
Alana : Kak, maaf ganggu kerjanya. Aku cuma mau titip beli seblak depan SMA-ku dulu. Aku ngidam itu.
"Aduh nak, kalau ngidam itu yang elite dikit."
***
Setelah pulang dari kampus Airyn langsung mengunci dirinya di kamar, Sejak hari pernikahan Alana dan Gavril sikap Airyn jadi seperti ini. Keluar kamar jika kuliah. Untuk makan pun jarang, bahkan sehari ia hanya makan sekali.
Lisa dan Winata khawatir dengan perubahan sikap Airyn yang kehilangan semangat hidup. Tapi mereka bersyukur Airyn tidak melakukan hal-hal buruk seperti clubing atau yang lebih parah bunuh diri.
Kalau Airyn sampai bunuh diri tidak lucu masuk koran. 'Seorang mahasiswi yang kini melanjutkan spesial kedokteran di Universitas Indonesia bunuh diri karena sang kekasih menikah dengan adiknya sendiri'
"Makanya kalau punya anak itu jangan terlalu dimanja, begini akhirnya kalau keinginannya tidak tercapai jadi uring-uringan begini!" omel Lisa ke suaminya yang baru saja pulang mengajar dari Universitas swasta di Jakarta.
Sedari kecil Winata memang selalu memanjakan Airyn, gajinya selalu ia sisihkan untuk memenuhi semua keinginan anak sulungnya itu tanpa terkecuali. Apapun permintaan Airyn selalu terpenuhi.
Bahkan saat Airyn ingin kuliah kedokteran yang biaya tidak sedikit Winata tetap menyanggupi, padahal Winata hanya seorang dosen biasa yang gajinya tidak sampai belasan juta perbulan. Tapi untuk uang pendaftaran Airyn saat itu ia rela menjual mobil BMW-nya dan hanya motor vario yang tersisa.
Untuk uang semester, biaya-biaya lain pakai gajinya dan uang simpanan di bank setelah selesai S1, koas dan segala macam, ia ingin melanjutkan spesialis kemudian Alana harus mengalah tidak kuliah karena Winata tidak sanggup jika membiayai dua orang.
"Kamu juga ibunya jangan cuma bisa menyalahkanku!" balas Winata tak kalah emosi.
"Tapi ayah yang memanjakan dia!"
Winata tidak lagi menanggapi ucapan Lisa, ia mengambil ponselnya lalu menghubungi Gavril.
"Halo Gavril. Tolong datang ke sini sekarang juga kasihan Airyn sangat kacau dia sekarang. Hanya kamu yang bisa mengobati lukanya."
Winata mematikan sambungannya dan menatap Lisa yang sedang menatapnya tajam.
Lisa semakin emosi melihat suaminya menghubungi Gavril, bagaimanapun Gavril telah memiliki istri, tidak seharusnya ia menemui perempuan lain. "Ayah benar-benar kejam! Selama ini aku hanya diam ayah berbuat seenaknya sama Alana, tolong jangan berusaha rusak rumah tangga Alana, sudahi penderitaan dia!"
"Siapa yang mau rusak rumah tangga dia?"
"Dengan ayah minta Gavril ke sini itu sama saja ayah buka peluang untuk mereka bersama lagi padahal 'kan ayah tahu sendiri mereka sudah berakhir!"
"Kebahagiaan Airyn lebih penting dari apapun, termasuk kebahagiaan Alana!" Winata berdiri dari duduknya. "Persetan dengan kebahagiaan anakmu!"
Winata melenggang pergi ke lantai dua meninggalkan Lisa yang sedang berusaha menahan air matanya, ia benci menangis karena menurutnya air mata hanya akan membuatnya tampak lemah. Dari dulu hingga sekarang Lisa tidak suka mengeluarkan air mata.
Terkadang ia kesal terhadap Alana yang mudah menangis karena ia tidak ingin anaknya itu tampak lemah di mata orang, ia ingin Alana kuat sepertinya.
***
Gavril kini sudah berada di kamar Airyn, ia memandang wajah perempuan yang ia cintai itu amat kacau. Kantung mata hitam dan mata sembab khas habis menangis, ia menghapus sisa air mata di pipi Airyn dengan lembut. Melihat keadaan Airyn seperti ini membuat hatinya sakit.
"Don't leave me, please!" Airyn menatap mata Gavril berharap permintaanya akan dituruti, ia rasa sebentar lagi akan gila kalau Gavril tidak menurutinya.
"Lebih baik aku mati, Gav. Kalau aku kehilangan kamu untuk selamanya!"
Gavril langsung membawa Airyn ke dalam pelukannya dan membelai lembut rambutnya. "Kamu tahu seminggu tanpa kamu aku merasa kehilangan, aku berusaha melupakanmu tapi aku tidak bisa. Mencoba mengganti namamu dengan nama Alana di hatiku tetap gagal."
Gavril merenggangkan pelukannya dan menatap manik mata Airyn. "Itu karena aku sangat mencintaimu."
Airyn tersenyum bahagia ternyata Gavril masih sangat mencintainya. "Jadi tidak ada alasan untuk kamu meneruskan pernikahanmu dengan Alana 'kan?"
Gavril menghela napas pasrah. "Aku tidak bisa menjanjikan apapun sekarang, Ryn. Kita jalani saja sekarang tanpa ada ikatan atau mungkin kita bisa menjadi teman."
"Gav...,"
"Kita masih bisa saling berkomunikasi tapi status kita bukan sebagai sepasang kekasih karena sekarang status aku adalah suami orang."
"Gav...,"
"Kalau nanti pada akhirnya aku sama Alana memang berakhir berarti kita memang berjodoh."
"Gav...,"
"Tapi kalau nanti aku sama Alana memang ditakdirkan terus bersama berarti kita punya jalan hidup masing-masing."
Banyak pikiran yang berkecamuk di otak Airyn, ia takut kalau dirinya memang tidak berjodoh dengan Gavril padahal pangeran yang ia harapkan menjadi teman hidupnya adalah Gavril.
Bagaimana kalau memang benar ia bukan jodoh Gavril tapi ia tetap tidak bisa melupakannya sampai kapanpun lalu hatinya akan tetap terluka dan tidak ada obatnya.
Tapi kemungkinan mereka berjodoh masih ada, bisa saja Gavril tidak bisa mencintai Alana dan tidak mungkin ia sanggup hidup selamanya sama perempuan lain sementara hatinya ada di Airyn.
Okay Airyn, yakinlah kalau Gavril memang jodohmu.
"Oke, aku akan tunggu kamu. Aku yakin kalau kita berjodoh sayang. Tidak mungkin Tuhan tega memisahkan dua orang yang saling mencintai."
Gavril hanya bisa berharap bahwa ucapan Airyn memang benar semoga Tuhan membiarkan mereka bersama suatu saat nanti.
"Sayang, bau kamu kecut," ucap Gavril, itu bukan candaan tapi memang fakta karena Airyn belum mandi dari kemarin, semenjak hubungannya dengan Gavril berakhir ia jadi jarang mandi. Mandi kalau badannya benar-benar lengket dan ia tidak peduli kuliah tidak mandi.
Airyn langsung turun dari kasurnya. "Kamu keluar dulu, aku mau mandi!" Airyn mengerucutkan bibirnya membuat Gavril terkekeh geli.
Ia menemui Lisa yang sedang duduk di ruang tv, ia duduk di sebelah Lisa tapi Lisa mengabaikannya, Lisa kecewa kepada Gavril yang langsung datang hanya karena permintaan Winata tanpa memikirkan bagaimana perasaan Alana kalau tahu suaminya menemui perempuan lain.
"Seharusnya kamu tidak perlu datang Gavril, anak itu sekali-kali harus diberi pelajaran kalau tidak semua keinginannya bisa terpenuhi termasuk mendapatkan kamu kembali."
Gavril bergeming mendengarkan dengan baik ucapan Lisa.
"Apalagi kamu sudah memiliki istri tidak seharusnya kamu menemui perempuan lain."
Winata yang baru saja muncul mendengar perkataan Lisa membuatnya naik pitam. "Apa yang Gavril lakukan itu benar, ia hanya tidak ingin perempuan yang dicintainya semakin tersakiti, kamu bayangkan saja kalau Gavril tidak datang bisa-bisa dia akan melakukan hal yang nekat!"
Lisa membalas tatapan tajam suaminya itu. "Lalu untuk apa dia sekolah tinggi-tinggi kalau pada akhirnya ia bodoh hanya karena cinta?"
Gavril diam ia menjadi penyimak yang baik.
"Sudahlah jangan terlalu membesar-besarkan masalah lagipula Alana tidak akan marah kalau seandainya mereka bersama lagi dari awal 'kan dia tahu kalau Gavril dan Airyn memang saling mencintai!"
"Ayah!"
"Apa yang bisa dibanggakan menikah karena kecelakaan? Married by accident!"
Bukan hanya Lisa yang terkejut dengan ucapan Winata tapi juga Gavril ia tidak akan menyangka Winata berbicara seperti itu.
Winata menatap Gavril. "Kamu bisa kembali dengan Airyn setelah Alana melahirkan."
Gavril tersenyum tipis. "Saya tidak bisa mengingkari janji saya ke Saski. Ia segalanya bagi saya."
"Saya yakin Saski pasti sembuh dan tidak ada yang kamu takutkan jika kamu bercerai dengan Alana. Saski akan baik-baik saja dan itu bukan lagi permintaan terakhir adik kamu," Winata hanya ingin Airyn mendapatkan cintanya.
"Kemungkinan kecil seorang penderita leukimia untuk sembuh. Adik saya sedang berjuang di sana dan saya tidak akan menambahi penderitaannya jika tahu saya menceraikan sahabatnya setelah melahirkan nanti."
Saski terlalu berarti untuk Gavril. Hanya ada dua perempuan yang benar-benar Gavril cintai di dunia ini yaitu mamanya dan adiknya. Secinta-cintanya ia kepada Airyn lebih besar rasa cintanya kepada mama dan adikanya itu.
Lisa bersyukur atas jawaban Gavril, setidaknya ia tidak berniat menceraikan Alana walau hanya karena permintaan Saski.
"Bun, Yah, Gav."
Panggil Airyn yang baru selesai mandi menghampiri mereka.
***
5 menit yang lalu Alana sudah selesai menyiapkan makan malam untuk dirinya dan Gavril tapi tanda-tanda kepulangan Gavril belum ada padahal ini sudah waktunya ia pulang kerja.
Gavril belum juga pulang akhirnya ia memutuskan untuk membeli seblak sendiri saja.
"Bi, nanti kalau kak Gavril pulang suruh makan ya, sudah aku siapkan di meja."
"Memangnya mbak Alana mau ke mana?"
"Saya mau beli seblak depan SMA saya dulu."
"Tapi ini sudah malam mbak, tunggu mas Gavril saja."
"Mungkin kak Gavril lagi banyak kerjaan, saya pergi dulu."
Alana melenggang pergi kalau bukan karena bayinya yang ingin ia tidak akan mau ke sekolahnya yang jaraknya 30 menit itu hanya untuk makan seblak apalagi malam-malam begini.
Ia menyetop sebuah taksi. "Pak, SMA Nasional," pak supir mengangguk kemudian menjalankan taksinya ke tempat tujuan.
Setelah sampai, ia bayar kemudian turun langsung memesan seblak yang sedari tadi ia idamkan. "Bu Tin, seblaknya satu ya makan sini."
Penjual seblak menoleh dan terkejut dengan kehadiran Alana, "Neng Alana kemana saja baru kelihatan?" mereka cukup akrab karena Alana memang sering beli seblak ini. Bisa dibilang langganan saat SMA.
"Iya bu, jadi kangen seblaknya ibu."
"Duduk, neng."
Alana duduk di bangku panjang yang tersedia di samping gerobak seblak tersebut.
"Mas Azkil masih sering ke sini," tanpa bertanya ibu Tin langsung bercerita. Azkil memang terkenal penggila seblak, apalagi seblak buatan ibu Tin yang terkenal enak.
"Tapi beberapa hari ini mas Azkil tidak pernah ke sini lagi," Alana tetap menjadi pendengar yang baik.
Jujur ia rindu Azkil, memang waktu itu Alana sempat marah dan kecewa ke Azkil tapi beberapa hari kemudian ia sudah melupakannya, tapi sekarang Azkil benar-benar mengabaikannya bahkan chat Alana semalam saja tidak di balas.
Azkil orang yang menemaninya dalam keadaan suka maupun duka sejak umurnya 9 tahun.
"Neng, ini seblaknya."
Alana menikmati seblak buatan ibu Tin dengan lahap. Seharusnya ia dari tadi sudah beli sendiri tidak perlu menunggu Gavril.
"Bu, seblak satu ya makan sini."
Alana menghentikan aktivitas makannya karena mendengar suara yang begitu ia kenal, ia menoleh dan betapa terkejutnya melihat orang yang begitu ia rindukan selama beberapa hari belakangan ini.
"Azkil...,"
Alana langsung menghampiri Azkil dan memeluknya begitu erat. "I miss you so bad. Don't leave me again."
Tanpa disadari ada seseorang yang memperhatikan mereka dari dalam mobil, ada rasa yang tak biasa yang ia rasakan saat melihat dua insan itu.
***