Beberapa hari belakangan ini Alana mengalami mual muntah pada saat pagi atau yang biasa disebut morning sick. Pas awal-awal masa kehamilan ia jarang bahkan tidak pernah mengalami hal semacam itu hanya saja nafau makannya sedikit meningkat.
Vania melihat Alana bolak balik toilet dari tadi merasa kasihan seharusnya saat hamil muda seperti ini butuh sosok suami yang menjaga dan merawatnya.
"Alana, kamu ngidam apa?" tanya Vania saat Alana duduk di sebelahnya.
Ia menggeleng.
"Memangnya kamu tidak ngidam apa-apa?"
Walau Alana ragu tapi ia tetap mengatakannya. "Sebenarnya Aku tidak ada ngidam sebelumnya, tante. Cuma beberapa hari belakangan ini aku mau kebab."
"Astaga kenapa kamu tidak bilang, bisa tante belikan, Na."
"Tapi Alana mau kebab yang dari Turki langsung."
Vania terkejut, memangnya siapa yang mau ke Turki hanya untuk beli Kebab, dikira Turki itu Bogor-Jakarta yang bisa ditempuh cuma mengendarai mobil.
"Tante ingin sekali memenuhi keinginan kamu tapi Turki jauh sayang," ucap Vania merasa bersalah tapi Alana tetap tersenyum sama sekali tidak keberatan dengan penolakan Vania.
"Iya aku ngerti, tante."
"Selain Kebab kamu mau apa?"
Alana terharu dengan sikap Vania yang begitu perhatian bahkan Lisa yang notabene ibu kandungnya tidak pernah seperhatian ini terhadapnya.
"Aku mau ikut tante ke butik, boleh?"
Vania menggeleng. "Kamu istirahat saja di rumah."
"Please, tante. Aku ingin bantu tante di sana."
Vania tidak sanggup menatap tatapan memohon Alana kemudian ia mengangguk. "15 menit lagi kita berangkat, sekarang kamu siap-siap," Alana langsung bergegas ke kamarnya dan tiba-tiba ponselnya berdering ternyata panggilan masuk dari Azkil.
"Halo."
"Kamu lagi apa?"
"Mau ikut tante ke butik."
"Oh, sudah makan?"
"Sudah, kamu tidak kuliah?"
"Ini lagi tunggu dosen. Nanti selesai kuliah aku ke butik ya."
"Siap bosku."
"Dosenku sudah datang. Aku tutup ya, bye."
"Bye."
***
"Saski, kita ke Amerika ya sayang," Jasmin tidak pernah lelah membujuk Saski agar mau berobat ke Amerika tapi ia selalu menolak karena khawatir dengan Alana yang sampai sekarang belum ditemukan. Padahal sudah dua hari ia menghilang.
Kondisi Saski semakin drop karena terlalu stress memikirkan Alana padahal dokter sudah menyarankan agar Saski jangan stress apalagi sampai membuatnya tidak bisa tidur.
"Memangnya mama bisa menjamin kalau berobat ke Amerika bisa bikin aku sembuh total?"
Saski berucap seperti itu seakan ia sudah tidak mempunyai semangat hidup, seakan ia tidak ingin berjuang untuk kesembuhannya.
"Ma, dengan atau tanpa aku berobat ke Amerika aku pasti akan meninggal."
Jasmin menatap sendu wajah Saski yang semakin pucat, badannya yang semakin kurus dan suaranya yang semakin melemah. Ia belum sanggup kehilangan Saski, sangat tidak sanggup.
Tuhan, kumohon biarkan Saski hidup lebih lama lagi.
"Setidaknya kamu berusaha dulu sayang, kita tidak akan tahu hasilnya kalau kita tidak mencoba sayang."
Saski menggeleng. "Keinginan terakhir aku hanya ingin melihat Alana menikah dengan kakak dan mama, papa, kakak, atau semua orang yang kusayang jangan menangis atas kepergianku."
"Kamu pasti sembuh sayang, mama akan berusaha. Jangan patah semangat sayang."
Dari kecil Saski benci sakit, benci rumah sakit, benci obat-obatan, benci jarum suntik tapi sekarang dia yang harus terbaring lemah di sini dengan penyakit yang sewaktu waktu bisa mengantarnya kepada kematian.
Beberapa hari yang lalu Saski disarankan oleh dokter untuk melakukan kemoterapi tapi ia menolak.
"Saski, berjuang sayang. Mama mohon lakukan itu demi mama, demi seorang ibu yang rela mengandungmu selama 9 bulan dan mempertaruhkan nyawanya saat melahirkanmu."
Jasmin ingin Saski tidak menyerah, ia harus kuat melawan penyakitnya.
"Saski janji akan mau berobat ke Amerika asalkan Alana ada di sini dan aku bisa menyaksikan sendiri Alana menikah dengan kakak."
***
"Bagaimana, ada perkembangan?" tanya Satria saat Gavril memasuki ruangannya.
Gavril sudah berkeliling setengah hari mencari Alana tapi hasilnya nihil, ia belum juga menemukan Alana. Ia sudah lelah mengitari kota Jakarta tapi apa yang dicari tidak juga ditemukan membuat ia lelah dan rasanya ingin berhenti.
"Nihil, pa!" Gavril mendaratkan bokongnya ke sofa.
"Apa kita lapor polis saja?" usul Satria.
"Tapi Alana bukan diculik atau semacamnya, ia kabur!"
Satria memijat pelipisinya. "Kenapa semua begitu rumit? Kalau saja Alana tidak pakai acara kabur-kaburan pasti semua akan baik-baik saja."
Gavril juga pusing, ia sudah lelah dipermainkan oleh takdir. "Entahlah, pa. Lebih baik aku ke tempat Airyn sekarang siapa tahu dia sudah dapat info tentang Alana."
Gavril langsung menuju Universitas Indonesia tempat Airyn melanjutkan spesialis kedokterannya.
Gavril mengirimkan sebuah pesan untuk Airyn.
Gavril : Sayang, aku tunggu kamu di depan kampus.
Beberapa menit kemudian balasan masuk.
Airyn : Siap sayang, 15 menit lagi aku selesai.
Tanpa sengaja Gavril melihat pria yang tak asing keluar dari gerbang mengendarai motor ninja merah, kaca helm full facenya tidak ditutup makanya dengan mudah ia bisa mengenali wajah itu.
Gavril langsung mengikuti motor itu dengan kecepatan dilatas rata-rata karena jalanan tidak macet, kemudian ia langsung menyalip motor itu membuat si empunya rem mendadak, untung ia bisa jaga keseimbangan jadi motornya tidak sampai jatuh.
Gavril menghampirinya.
"Kak Gavril," Azkil cukup kaget ternyata pria yang menyalipnya adalah Gavril.
"Hai, Azkil. Long time no see. Bisa kita bicara sebentar?"
***
Mereka saat ini sedang berada di sebuah kafe ditemani lemon tea.
"Kamu sahabatnya Alana 'kan?"
Azkil cukup terkejut mendengar pertanyaan itu ternyata Gavril bukan hanya mengenalnya sebagai mantan Saski juga sahabat Alana.
"Tahu dari mana?"
"Waktu itu Saski pernah cerita kalau kamu sahabat Alana bahkan jauh sebelum Saski bersahabat dengannya."
Azkil cukup penasaran apalagi yang Saski ceritakan tentang dirinya ke Gavril tapi lupakan tentang itu yang lebih buat penasaran lagi apa tujuan Gavril ingin berbicara dengannya. "To the point saja, kak. Tujuan kakak mau bicara sama aku apa?"
Ia sudah cukup sabar menahan tangannya agar tidak menonjok Gavril sekarang juga.
"Alana menghilang!"
"Lalu?"
Gavril menatap Azkil curiga. "Lalu? Hanya itu respon kamu? Kenapa kamu tidak khawatir?"
"Oh apa aku harus nangis sambil jungkir balik di sini karena Alana menghilang?"
Gavril menghela napas kasar. "Kamu adalah sahabat baik Alana, sudah pasti kamu tahu di mana Alana. Apalagi terlihat sekali reaksi kamu biasa saja. Tebakanku benar 'kan?"
Azkil mengendikkan bahunya. "Tidak tahu, lagipula aku bukan ayahnya yang harus selalu tahu kemana dia pergi."
"Azkil, tolong aku sudah lelah mencarinya karena Saski----"
Azkil beranjak dari tempat duduknya. "Aku tidak tahu dimana Alana. Permisi."
Bahkan Azkil pergi sebelum Gavril selesai berbicara membuat Gavril benar-benar kesal.
***