BAB 4. Bia

1803 Kata
Aku terbangun dalam pelukan hangat Alden. Tidurnya terlihat nyenyak sekali sampai aku takut bergerak sekecil apapun. Ku lihat dari celah jendela matahari mulai terlihat sinarnya dan selain itu yang lebih penting lagi adalah aku ingin ke kamar mandi. Tapi apakah Alden akan merah jika aku bergerak melepaskan pelukannya? “A-aku harus ke kamar mandi.”cicitku berusaha membuatnya bangun tapi ternyata itu sia-sia karena laki-laki tampan ini tidak bergerak sedikitpun. Napasnya masih teratur dan matanya masih terpejam. Aku mendesah dan kembali memikirkan cara untuk keluar dari belitan miliknya ini, kemudian segera ke kamar mandi untuk menyelesaikan urusanku dengan saluran pencernaan. Pelan-pelan aku menarik tanganku perlahan dan aku hampir bersorak ketika aku berhasil melepaskan satu tanganku dari dekapannya. Aku hendak meraih tangannya di tubuhku dan memindahkannya perlahan dari tubuhku ketika mata itu tiba-tiba terbuka dan menatapku kesal membuatku benar-benar berteriak kaget sehingga aku mundur ke belakang dalam keadaan tidak siap sehingga aku jatuh ke lantai dan dia tertawa. Aku bangkit sambil cemberut dan saat itu aku tahu bahwa tawanya tampan sekali. Dia terus tertawa lepas mentertawakan kebodohanku sedangkan aku mulai menikmati lesung pipit yang tercipta di pipinya serta bentuk wajahnya yang ternyata jauh lebih menawan saat sedang tertawa. “Apa yang kamu lakukan Bia? Kenapa sampai jatuh huh?” Ucapnya masih sambil tertawa. Aku bangkit perlahan karena sudah tidak tahan lagi. Sehingga alih-alih menjawabnya aku berlari saja ke kamar mandi dan menutup pintunya dengan sedikit keras lalu mendesah lega ketika aku menyelesaikannya. Ketika aku keluar dari kamar mandi dengan senyuman lebar, ku lihat laki-laki itu masih duduk di atas ranjang dan tampak berpikir. Kemudian melambai ke arahku dan menepuk sisi ranjang di hadapannya untuk aku duduk. Jantungku sedikit berdebar karena otakku bertanya-tanya apakah aku akan di hukum karena membangunkannya? “Ayo kita mulai bicarakan dengan serius mengenai Dio. Saat itu kamu menjelaskannya sambil menangis.” Ucapnya membuatku kembali mendesah lega. Lalu aku menjelaskan segalanya padanya. Dari awal pertemuan kami hingga saat ibuku dan aku memergoki dia selingkuh. “Kemudian dia datang ke rumah untuk meminta maaf tapi ayahku marah dan mengatakan bahwa akan menjodohkan aku dengan laki-laki lain karena Dio sudah mengkhianati kepercayaan mereka padahal mereka sudah memberi kesempatan.” Lanjutku lagi. Kali ini bisa lebih jelas menjelaskan karena aku tidak dalam posisi takut dan menangis. “Di jodohkan?” Tanyanya. “Ya, malam ketika kami kecelakaan itu, bunda dan ayah mengajakku keluar untuk menginap di salah satu Vila milik teman ayah karena esok harinya beliau bilang akan mempertemukan aku dengan calon jodoh yang beliau pilihkan untukku.” Ucapku mengungkapkan segalanya. “Mungkinkah pembunuhan ini di picu karena Dio marah kamu akan di jodohkan dengan laki-laki lain sementara dia masih mengharapkanmu?” Tanya Alden dengan dahi berkerut. “Tapi dia jahat sekali jika benar.” Cicitku. “Tidak! Sepertinya Dio tidak mungkin membunuh dengan alasan sesederhana itu karena dia setahuku orang yang pintar.” Ujar Alden lagi. “Kamu mengenal Dio?” Tanyaku dan Alden mengangguk. “Kami satu kantor.” Jawabnya dan sekarang giliran dahiku yang berkerut. “Kamu juga bekerja di Starship.” Tanyaku bodoh dan entah kenapa dia tampak kesal aku tanyai pertanyaan ini. “Ini sudah jam delapan kamu tidak ke kantor? Dio biasanya akan berangkat pagi sekali karena dia bilang melamar pekerjaan di sana sulit dan dia ingin selalu mendapatkan kesan baik dari bosnya dengan berangkat tepat waktu.” Tambahku lagi dan wajah Alden semakin kesal. Sehingga aku meringis menyadari mungkin aku salah bicara. “Siapa nama belakangku Bia?” Tanyanya di luar dugaan. “Nama belakang?” ujarku balik bertanya dan ku lihat Alden mendesah kesal. “Ya nama belakangku kemarin aku menyebutkannya.” Desis Alden terlihat menahan amarah. Tapi aku sungguh lupa siapa nama belakangnya. Dia hanya menyebutkannya sekali dan saat itu pikiranku sedang kacau sehingga mana mungkin aku masih mengingatku. “A-aku lu-lupa.” Cicitku gugup sambil meringis ke arahnya. “Bo-doh.” Ujarnya penuh penekanan dan setelah itu bukannya memberitahu atau menjawab perkataanku, Alden malah segera bangkit mengambil baju di lemari dan masuk ke kamar mandi sambil membanting pintunya. Membuatku bertanya-tanya apakah melupakan nama belakangnya adalah sebuah kesalahan? Kenapa Alden tampak kesal? Daripada menunggu kemarahannya aku memilih bangkit dari tempatku duduk menuju dapur karena perutku mulai berbunyi. Aku biasa sarapan sebelum jam delapan pagi karena bunda sangat disiplin masalah makan. Dan selain itu obrolan menyenangkan di meja makan setelah makan setiap pagi adalah favoritku. Tapi kini aku tidak lagi bisa merasakan itu. Kenangan menyenangkan itu tentang tawa ayahku, tawa bundaku dan tawa kami membuat mataku kembali memanas dan sebutir air mataku jatuh. Kenapa di dunia ini ada orang yang tega merenggut kebahagiaan keluarga lain? Apakah sebuah kesalahan tidak bisa di bicarakan baik-baik jika memang kami ada salah? Aku terduduk di lantai dapur dan kembali terisak. Jika mengingat malam itu mereka tampak begitu bahagia, mengenakan baju yang bagus dan kami sepakat untuk mencari makanan enak di dekat Vila untuk makan malam rasanya luka ini seperti akan membunuhku. Tidak ada seorang anak yang akan baik-baik saja setelah kehilangan kedua orang tuanya dalam kecelakaan yang merupakan bagian dari percobaan pembunuhan. “Sedang apa di situ?” Suara Alden membuatku reflek bangun menghadapnya dan segera menghapus air mataku. “A-ku mau membuat sarapan boleh?” tanyaku pelan-pelan. Dengan suara yang aku tahu masih terdengar seperti habis menangis. Sementara Alden ku lihat sudah begitu tampan dengan baju casualnya. Apakah dia tidak ke kantor? Bukankah dia bilang kalau dia juga bekerja di Starship? Pertanyaan itu menggangguku tapi mengingat kekesalannya tadi aku tidak berani menanayakannya lagi. “Menyingkir dari sana dan mandi saja, biar aku yang melakukannya.” Desahnya membuatku tidak mengerti. “Hah?” “Menyingkir dari dapurku! Kamu mandi pakai bajuku dulu sementara silahkan bebas pilih di lemariku dan aku yang akan membuat sarapan.” Jawabnya dengan nada jengkel. “Ohh, kamu bisa memasak.” Gumamku sambil mengangguk. “Cepat mandi kalau ku suruh mandi Bia!” Ucap Alden mulai kesal dan aku segera melipir masuk ke kamar karena tidak mau dia marah. Membuka lemari laki-laki itu dan memilih sebuah kemeja kebesaran berwarna putih dengan celana bokser yang lebih pendek dari panjang kemejanya sehingga aku mungkin terlihat seperti memakai dress kebesaran nanti. Kemudian masuk ke kamar mandinya yang menguarkan wangi khas laki-laki. Ini pertama kalinya aku seperti di bawa masuk ke dunia laki-laki karena bisa di bilang gaya pacaranku dengan Dio tergolong sangat sehat. Kami keluar hanya untuk makan bersama atau nonton saja. Aku belum pernah di ajak Dio ke apartemennya. Aku pernah datang ke rumahnya itu saja karena di undang makan malam bersama orang tuaku. Sehingga aku tidak tahu leboh jauh tentang hal-hal pribadi seperti kamar mandi contohnya. Tapi penilaianku tentang Alden adalah dia laki-laki yang rapih. Selera wanginya juga lebih bagus dari Dio karena bau sabun dan samponya saja sangat memikatku sebagai wanita. Dan tadi sekilas aku juga bisa mencium wangi parfumnya yang tercium begitu laki-laki dan terasa mahal itu. Beberapa menit kemudian aku selesai mandi, sedikit menyisir rambutku sambil berkaca. Rambutku sudah panjang, biasanya bunda akan menemaniku ke salon untuk sekedar merapihkan poni atau merubah gaya rambutku. Tapi kali ini aku harus mulai mengurus diriku sendiri tanpa campur tangannya. Mataku kembali memanas, dan di hadapanku ada sebuah gunting. Aku meraihnya dan tanpa ragu sedikitpun memotong rambutku hingga seleher. Air mataku jatuh setelah aku berhasil memotong baris pertama dari rambut indahku. “Ayo marahi Bia bun, bia memotong rambut bia sendiri.” Gumamku seorang diri sambil terisak. Bianya ibuku akan marah jika aku memotong poni sendiri apalagi memotong rambut sendiri. Dia akan mengomeliku panjang sekali kemudian berujung aku akan di ajak ke salon langganannya untuk merapihak rambutku. Tapi sesak sekali di dadaku karena hingga semuanya terpangkas dan menyisakan rambut pendek se bahu, tidak ada lagi omelan panjangnya. Aku kembali terduduk di lantai dan terisak untuk beberapa saat sebelum aku memutuskan mengakhirinya karena mungkin akan dimarahi Alden jika menangis lagi. Merapihkan rambutku dengan cepat dan membersihkan bekas potongannya. Aku berkaca sekali lagi dan kemudian memaksakan diri untuk tersenyum melihat hasil potonganku yang cukup rapih. Keluar dari kamar mandi aku kemudian melihat Alden tampak memakai apron dan sedang menyajikan manakan di meja. Jujur saja dia terlihat sangat tampan. Pada dasarnya Alden memang sudah sangat tampan di tambah dia memasak dan ketampananya seperti naik dua ratus persen. Dahinya berkerut ketika matanya bertemu mataku dan mungkin dia melihat perubahan penampilanku. “Kau memotong rambutmu sendiri dengan bodoh Bia?” Tanyanya lagi-lagi tampak kesal. “A-aku rasa rambut pendek akan membuatku lebih mudah karena tidak perlu repot merawatnya dengan merepotkan.” Cicitku. “Apa mulutmu tidak bisa mengatakan padaku untuk membawamu ke salon? Bagaimana mungkin ada seorang wanita yang memotong rambutnya seperti itu huh? Kamu ini sebenarnya benar-benar perempuan atau bukan?” Omelnya dan aku malah menangis terisak karena omelannya mengingatkanku pada ibuku. “Sekarang apa lagi? Kenapa menangis?” Desisnya kesal. Tapi aku tidak bisa menghentikan tangisanku. “Aku tidak sedang memarahimu gadis bodoh, aku sedang memberitahumu bahwa dalam perjanjian ini aku akan memenuhi kebutuhanmu termasuk soal penampilan.” Ucap Alden lagi tapi aku terus menangis dan tidak bisa berhenti. Sampai akhirnya ku dengar Alden mendesah dan mendekatiku. Berjongkok di depanku yang sedang terduduk di lantai sambil menangis. Dan tidak ku sangka dia menghapus air mata di pipiku. “Oke aku salah, maaf.” Ucapnya tidak ku duga. Ku pikir seorang Alden tidak akan pernah mengucapkan maaf tapi ternyata dia melakukannya. Membuatku berpikir bahwa sekalipun dia sering marah-marah tapi sepertinya kepribadiannya tidak seburuk yang aku pikirkan. “Tidak kamu tidak salah, aku hanya mengingat ibuku. Dia akan mengomel sepertimu jika aku memotong rambutku sendiri.” Ucapku sambil terisak dan ku lihat Alden terdiam beberapa saat kemudian mengajakku berdiri dan menuntunku menuju meja makan. “Aku membuat nasi goreng, menurutku ini enak tapi aku tidak tahu bagaimana seleramu.” Ucapnya kemudian meletakkan sepiring nasi goreng di hadapanku lengkap dengan telur mata sapi kesukaanku. “Dan aku tidak suka ada yang menangis di meja makanku, mengerti!” Tambahnya lagi yang aku angguki sembali menghapus air mataku. Entah kenapa di perlakukan seperti ini oleh Alden malah lebih menenangkanku dibanding di kasihani. Mungkin aku terlihat menyedihkan karena aku menjadi yatim piatu dalam sekejap, tapi aku tidak ingin di kasihani dan entah kenapa Alden seperti memahami jalan pikiranku. “Apakah kamu melakukan kesalahan Al?” Aku memberanikan diri bertanya ketika kami selesai makan dan aku menawarkan diri untuk membereskan bekas makan kami. Pertanyaanku menarik perhatian Alden dari ipad kesayangannya yang sepertinya selalu menjadi pusat perhatiannya selama ini. “Maksudnya?” “Kenapa kamu ingin di bunuh?” Ujarku dan tanpa di duga, alden malah tersenyum lebar. “Kenapa Bia? Kamu takut?” Tanyanya. “Sedikit menakutkan.” Ucapku berbohong. Padahal sejujurnya itu sangat menakutkan. “Berada di dekatku. Kamu harus terbiasa menghadapi situasi seperti itu.” Ucapnya tanpa menjawab pertanyaanku. Membuatku semakin bertanya-tanya tentang siapa sebenarnya Alden ini? Kenapa dia terasa begitu misterius di mataku? Yang anehnya tidak membuatku ketakutan berada di dekatnya padahal mungkin berbahaya. ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN