BAB 3. Alden

1449 Kata
  Aku tidak menyangka bahwa Bia ternyata lebih menarik dari yang aku duga. Ku pikir dia adalah gadis manja mengingat dia adalah seorang anak tunggal dari orang tua yang sangat menyayanginya, rupanya dia seorang gadis yang cukup tangguh, bisa melindungi dirinya sendiri dan orang lain, serta tidak secengeng yang aku kira. “Kemari!” Perintahku sambil menepuk sofa di sampingku. Matanya menatapku dan mengedip beberapa kali kemudian menghampiriku perlahan. Aku memegang bahunya kemudian dia tampak meringis, sepertinya bahunya terkilir ketika mendorongku menjauhi tembakan tadi. Sejak pertama kali masuk ke dalam rumah ini pun, Bia sudah terlihat terus memegangi bahunya. “Tunggu di sini dan jangan banyak bergerak!” Perintahku, lalu Bia mengangguk. Aku beranjak dari sana dan menelpon seorang dokter kenalanku untuk datang. Bagaimanapun sepertinya cedera bahunya cukup mengkhawatirkan dan sekalipun aku bukan orang yang peduli terhadap orang lain, tapi Bia menolongku dua kali, jadi aku seperti merasa memiliki hutang padanya. “Bagian mana lagi yang sakit?” Tanyaku padanya. “Hanya bahu saja.” Jawab Bia pelan. Jika di perhatikan sepertinya gadis ini sedikit takut padaku sehingga bicaranya terdengar singkat dan seperlunya saja. Tapi aku maklum, mengingat dia baru saja mengalami hal yang mungkin bisa di bilang paling buruk di hidupnya. Kehilangan orang tuanya dengan cara di bunuh di depan matanya, adalah sesuatu paling menakutkan di dunia ini. Karena aku mengalami hal yang sama sepuluh tahun lalu. Dan aku tidak bisa melakukan apapun saat itu, hanya bisa menyaksikan dengan begitu perih dan mengalami trauma mendalam, hingga detik ini pun luka itu masih ada. “Sebentar lagi dokter akan datang, jangan banayk bergerak dulu.” Ucapku lagi dan Bia lagi-lagi mengangguk saja. Aku melangkah menuju lemari pendingin dan mengambil dua botol air mineral dari sana, menyodorkannya pada Bia dan meminum yang satunya untukku sendiri. Setelah mengalami satu lagi hari menegangkan di hidupku, aku rasa tenggorokanku butuh air untuk mencerna semuanya dengan jernih kembali. Tapi tegukkanku berhenti karena ku lihat Bia tampak kesulitan membuka tutup botolnya, dan matanya melirikku meminta bantuan tapi tidak berani mengucapkan apapun. Sebenarnya apakah aku terlihat semenakutkan itu? “Kau tidak bisa bicara?” Tanyaku mulai sedikit kesal. “Tolong bukakan tutup botolnya.” Cicit Bia pelan. Aku mendengus kemudian menyambar botol minum di tangannya dan membukakan tutupnya. “Terimakasih.” Ucapnya lagi lalu meminumnya hingga tandas. Tidak lama kemudian dokter datang dan memeriksa bahunya, memberinya perban dan resep obat. Aku segera menyuruh seorang pegawai untuk menebusnya di apotik. Untuk pemulihan, Bia dilarang banyak berherak dan mengangkat beban berat sehingga aku menyuruhnya tidur. Tapi Bia justru terlihat kebingungan ketika aku menyuruhnya tidur. “Aku tidur dimana?” Tanyanya pelan. “Di kamarku.” Jawabku sambil menunjuk sebuah kamar. Tapi gadis itu terlihat masih bingung. “Ki-kita tidur bersama?” Tanyanya gugup. “Ya. Perjanjiannya kamu akan menjadi teman tidurku.” Jawabku tanpa menoleh. Fokusku kembali pada tablet di tanganku karena ada hal yang harus diurus. “Tapi aku belum pernah tidur dengan seorang pria sebelumnya, bolehkan aku tidur di sofa saja.” Ucap Bia membuatku menoleh. Belum pernah tidur? Itu artinya dia tidak sedekat yang aku bayangkan dengan Dio. Itu artinya ada hal lain yang berusaha di manfaatkan oleh Dio mengingat setahuku Dio ini laki-laki yang sedikit nakal dan suka menempeli wanita. Tapi apa yang bisa di manfaatkan dari gadis polos di hadapanku ini? “Kemarin kamu tidur denganku, itu artinya kamu sudah pernah tidur dengan seorang pria.” Jawabku membuatnya menampilkan ekspresi yang sejujurnya itu sedikit lucu. Bibirnya membentuk garis lurus, seperti berada di posisi dia ingin protes padaku tapi tidak berani dan itu membuat pipinya sedikit menggembung. “Ya sudah, kalau begitu aku tidur.” Jawabnya takut-takut kemudian beranjak menuju kamarku dengan pelan. Terlihat ragu ketika berada di depan pintu dan itu sukses menerbitkan senyumku yang jarang sekali muncul. “Nyalakan semua lampunya kalau takut.” Ucapku dan Bia menoleh kemudian mengangguk saja. Sepertinya seumur hidup, aku baru pernah bertemu seseorang sepenurut Bia. Dan itu sedikit menarik karena dia terlihat bodoh di depanku tapi mengejutkan karena si bodoh dan cantik ini ternyata bisa bela diri dan memegang pistol. Sungguh di luar dugaanku. Lalu semua pikiranku tentang Bia buyar ketika ponselku berdering. “Hallo pak Deryl, kemarin saya sudah menunggu hingga siang tapi orang yang bapak bilang teman papa dan mama mau ketemu saya nggak datang juga. Nomor ponsel yang bapak berikan juga tidak aktif ketika saya menghubunginya.” Ucapku kesal. Aku memang berada di kota kecil tempat aku bertemu Bia kemarin adalah untuk bertemu orang yang katanya kenalan orang tuaku mau membicarakan hal penting. Tapi hingga siang hari aku menunggu, tidak kunjung datang. Untung saja aku menemukan Bia sehingga tidak begitu kesal. Setidaknya aku mendapatkan solusi tidurku. Jika disana aku tidak mendapatkan apapun maka sudah bisa di pastikan aku akan mengamuk pada pengacara orang tuaku ini. “Saya minta maaf untuk masalah itu, karena kemarin saya menelponnya juga tidak aktif.” Ujar pak Deryl terdengar menyesal. Waktuku bisa di bilang sangat penting, aku menyingkirkan beberapa kesibukanku demi bertemu teman ayah dan bunda guna membicarakan hal yang katanya penting tapi ternyata semuanya sia-sia. Lalu kemudian aku kembali mengingat beberapa jebakan yang hampir membunuhku ketika pulang ke apartemen. Apakah semua ini adalah sebuah perangkap dan aku hampir masuk ke dalam perangkap sialan ini? “Lain kali kalau tidak jelas jangan percaya begitu saja.” Ucapku kesal. “Sebelumnya orang ini mengirimkan sebuah kalung yang merupakan milik ayah mas Alden. Di situ tertulis sebuah tanda persahabatan. Dan kebetulan kalung itu saya yang memesannya mas, dulu ayah mas bilang itu mau di berikan pada sahabatnya sebagai hadiah. Saya tidak mungkin mempercayai orang sembarangan.” Ucap pak Deryl membuatku mengernyit. Tapi tidak mau begitu memikirkannya karena sudah berlalu dan dia tidak datang itu artinya tidak akan pernah ada kesempatan lain. “Jika dia menghubungi lagi, katakan saya tidak mau menemuinya lagi.” Ucapku kemudian mematikan sambungan telpon kami dengan kesal. Setelah panggilan itu berakhir, sebuah panggilan kembali membuatku mendesah padahal pekerjaanku sedang banyak dan harus aku selesaikan malam ini. Ini baru pekerjaan di email saja, belum lagi berkas-berkas yang harus aku periksa. Ada nama Jeni di sana dan hal itu kembali membuatku mendesah. Sudah beberapa hari ini aku selalu berdebat dengan perempuan ini. Kmi memang sudah bertunangan dan seharusnya ketika memutuskan berhubungan dengaku dia sudah tahu jika aku tidak bisa setiap saat menemaninya, tapi dia terus merengek meminta aku temani kemanapun. Ini mulai menyebalkan sekali. Jika bukan karena hubungan kami sudah sampai tahap serius dan sudah saling tahu antar keluarga mungkin aku akan lebih memilih sendiri. Dan selain itu Jeni ini adalah sahabatku sejak lama jadi aku masih mempertimbangkan perasaanya. Tapi jika ditanya cinta, sejujurnya aku tidak merasakan apapun. Karena nyatanya di sampingnya sekalipun aku tetap tidak bisa tidur, itu artinya dia tidak bisa memberiku rasa nyaman dan aman bukan? Dan anehnya kenapa Bia yang baru aku temui malah bisa memberiku rasa itu. “Kenapa lagi? Aku lelah Jen, beberapa saat lalu beberapa pistol hampir menembus kepalaku dan kali ini tolong biarkan aku istirahat! Banyak yang harus aku kerjakan.” Desahku. “Kamu pasti selingkuh kan?” Ucapnya membuatku kembali mendesah. Jeni dan sifat penuh kecurigaanya yang menyebalkan. “Apa lagi sih? Selingkuh apa? Setiap hari aku hanya sibuk bekerja, mana sempat aku selingkuh.” Ucapku mulai kesal. Tapi memang hanya kepada Jeni aku tidak bisa bersikap keras, membentak kerasa apalagi sampai marah-marah hebat. Perdebatan kami tergolong masih wajar. Karena selain dia kekasih dan tunanganku, Jeni juga bukan orang yang kuat. Dia mudah masuk Rumah Sakit jika marah berlebihan, sehingga aku selalu beusaha keras menjaga perasaanya sekalipun kadang aku sendiri merasa tersiksa. “Kamu mulai mengabaikanku Alden! Kamu pasti punya wanita lain kan?” Tuduhnya lagi dan kali ini aku benar-benar lelah sekali. “Maafkan aku Jen, malam ini aku tidak ada waktu untuk membahas masalah melelahkan ini. Aku tutup sampai disini, selamat malam dan selamat tidur.” Ucapku kemudian mematikan panggilan. Mengatur ponselku dengan mode silent kemudian menutup ipadku dan melangkah menuju kamar. Ku lihat Bia tampak sudah tertidur pulas, dia pasti kelelahan baik secara fisik maupun batin. Aku mengambil baju yang ada di lemari dan masuk kamar mandi untuk berganti, lalu ikut masuk ke dalam selimut yang di gunakan Bia. Memperhatikan bulu mata panjangnya yang terlihat menarik ketika dia tidur. “Cari tahu siapa yang memerintahkan mereka1” Sebuah pesan yang kirimkan pada orang kepercayaanku setelahnya aku mencoba mematikan lampu dan memeluk Bia. Sebelumnya aku paling tidak bisa tidur dalam gelap. Aku benci kegelapan. Tapi anehnya di samping Bia, rasanya tidak begitu menakutkan dan akhirnya aku kembali terlelap dengan begitu nikmat hingga keesokan paginya aku terbangun karena merasakan tubuh Bia hangat. Gadis ini demam, mungkin karena luka-lukanya. Aku tersenyum menatapnya, setelah sepuluh tahun lebih aku tidak bisa tidur, akhirnya kini aku menemukannya. Obat tidur tanpa efek sampingku. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN