BAB 5. Alden

1880 Kata
Aku sangat tahu bagaimana perasaan Bia karena aku pernah merasakan berada di posisinya. Beberapa hari setelah kejadian aku bahkan belum sanggup bertemu orang lain tapi Bia kuakui hebat. Dia bisa bertahan, tidak menangis sepanjang waktu dan tidak menyalahkan dirinya seperti caraku melakukannya dulu. “Nanti ke salon benerin rambut kamu.” Ucapku membuatnya menoleh dengan matanya yang kembali memerah. “Bukankah ini rapi.” Ucapnya bodoh. “Kau terlihat seperti gadis gila dengan rambut berantakan.” Ujarku yang malah membuatnya tersenyum. “Jika tidak bertemu denganmu, aku yakin sudah gila.” Gumamnya sambil melanjutkan mencuci piring. Sejujurnya melihat Bia sekarang, aku seperti melihat diriku sendiri sepuluh tahun lalu. Aku tahu semuanya tidak mudah setelah kehilangan hebat dengan cara yang tragis, itu juga menjadi salah satu alasan aku memutuskan membantu Bia selain karena di pelukannya aku bisa tidur. Mungkinkah karena aku merasa kami satu nasib sehingga hal itu memberiku kenyamanan? Kadang aku bertanya-tanya mengenai alasan kenapa aku bisa tidur di samping Bia yang baru aku temui sementara di samping Jeni yang sudah menemaniku sejak lama aku tidak bisa melakukannya. “Kamu belajar beladiri dimana?” Tanyaku tiba-tiba penasaran. Mengingat menurutku Bia sangat pandai melakukannya saat itu. “Waktu kecil aku dan temanku pernah mengalami penculikan, karena itu ketika aku mulai sekolah dasar ayah mendaftarkan aku untuk les bela diri. Seumur hidup baru kemarin hal itu berguna karena sebelumnya kehidupanku biasa saja.” Jawabnya membuatku mengernyit. “Penculikan?” Tanyaku. “Yah, waktu itu penculiknya meminta tebusan uang yang besar kata ayah. Aku sendiri tidak begitu ingat.” Jawabnya lagi. “Lalu apa pekerjaanmu selama ini?” Tanyaku lagi. Entah kenapa ingin tahu lebih banyak. “Aku baru lulus kuliah belum lama. Dan sepertinya aku harus mengubur mimpiku bekerja di tempat impianku untuk sementara.” Jawab Bia lagi. “Jurusan apa?” “Psikologi.” Kekehnya seolah pembicaraan kami lucu. “Aku berharap bisa meringankan beban orang lain tapi sekarang ternyata bebanku malah lebih berat dari yang aku duga. Aku rasa aku harus bisa menangani diriku sendiri dulu baru aku bisa menolong orang lain.” Tambahnya lagi sambil terkekeh. Membuatku mengerti kenapa dia lebih kuat dariku dulu, mungkin karena Bia belajar psikologi dan dia lebih memahami tentang bagaiamana caranya menjadi kuat sekalipun di hancurkan dengan begitu parah. “Kamu lebih kuat dari aku dulu.” Ucapku tiba-tiba. Entah kenapa aku ingin menenangkannya. Padahal biasanya aku cenderung tidak peduli pada orang lain yang bukan dalam ranah kepentinganku. “Dari kamu?” tanyanya tertarik. Kemudian mencuci tangannya setelah menyelesaikan cuci piring dan mengampiriku. “Orang tuaku juga di bunuh di depan mataku dan aku tidak bisa melakukan apapun.” Ungkapku dan mulut Bia menganga. Matnya tampak memerah tapi aku sudah bisa tersenyum sekarang. Dulu membahas mereka maka aku akan langsung marah-marah pada diriku sendiri dan kesal. Sekalipun banyak yang sulit berubah salah satunya kesulitan tidurku sebelum bertemu Bia, tapi lukaku perlahan bisa aku kendalikan. “Apakah orang-orang yang kemarin itu orang yang sama yang—” “Tidak Bia, mereka berbeda. Mereka adalah saingan bisnisku yang karena keputusanku bisnis mereka jadi hancur. Tapi bukan kesalahanku, mereka melakukan bisnis yang curang dan merugikan banyak orang tapi giliran mereka ku buat rugi mereka marah dan ingin membunuhku.” Ungkapku membuat ekspresi Bia terlihat prihatin. “Kehidupanmu lebih rumit dari yang aku bayangkan.” Ucapnya yang sekarang mulai bisa santai terhadapku. Sebelumnya dia terlihat masih takut. “Iya, itu hanya sebagian kecilnya saja Bia, kamu akan tahu nanti.” Kekehku. Dan obrolan kami terhenti karena ponselku berdering. Ada nama Jeni di sana. Bisa ku tebak dia pasti ingin memintaku menemaninya ke suatu tempat karena dia kemungkinan sudah mencari tahu bahwa aku libur kerja sekarang. “Hallo.” Jawabku datar. Kadang aku merasa Jeni tidak mau mengerti keadaanku sedikitpun dan itu menyebalkan. “Kamu libur kerja kan? Kenapa tidak bilang aku sih Al? kan aku bisa ke tempat kamu dan kita bisa merencanakan sesuatu.” Ucapnya membuatku mendesah. “Aku libur karena ingin istirahat Jen, aku baru saja mengalami hal buruk kemarin.” Balasku. “Hal buruk? Kamu kenapa? Ada yang jahat? Atau kamu kecelakaan? Jatuh? Atau—” “Sebuah percobaan pembunuhan.” Potongku. “Tapi kamu nggak papa kan Al? aku ke tempat kamu sekarang yah? Kamu dimana sekarang?” Ujarnya panik. “Aku tidak papa dan tidak usah datang karena aku di rumah singgah dan kamu tidak bisa ke sini. Lagipula aku hanya ingin istirahat saja.” Jawabku lagi. Sejujurnya memang Bia adalah orang pertama yang aku ijinkan masuk ke rumah ini. Rumah kecil ini adalah area paling amanku dan sekaligus peninggalan orang tuaku yang paling di sayang oleh mereka karena dulu saat aku kecil aku tinggal di sini. Aku tidak pernah mengijinkan siapapun datang ke sini termasuk Jeni, dan karena itulah aku memasang sistem keamanan ketat di sini dan mengerahkan banyak anak buah untuk berjaga. “Ya sudah kalau begitu kamu istirahat aja, kalau butuh sesuatu kamu bisa hubungi aku yah Al.” Ucap Jeni yang aku jawab dengan baik sebelum kemudian menutup panggilan kami. “Ayo kita ke salon dan membeli beberapa barang yang kamu butuhkan.” Ucapku pada Bia sambil beranjak dari dudukku. “Kamu bukannya mau istirahat?” Tanyanya bodoh. “Bangun atau aku paksa berdiri!” jawabku kesal karena kebodohannya dan dia reflek langsung berdiri dengan wajah yang lucu karena takut. Aku berbalik dan berjalan keluar diikuti olehnya sambil mengulum senyum geli diam-diam. Entah kenapa wajah tegangnya saat menghadapi kemarahanku terlihat sangat lucu. “Pakai maskernya Bia! Dan pakai dengan benar jaketku!” Perintahku lagi sebelum kami keluar dari mobil. Bia menurutiku tanpa banyak bertanya dan kami menuju sebuah toko penjual baju yang dulu langganan ibuku, dan meminta baju yang cocok untuk Bia. Gadis itu terlihat melihat-lihat sambil melongo ketika melihat bandrol harga yang tertera. Kemudian melotot ke arahku dengan lucu, berlari kecil ke arahku sambil menunjukkan harga yang tertera itu. “Alden ini mahal banget, kita cari yang murah saja yuk!” bisiknya lucu. Aku sekuat tenaga menahan senyuman geliku. Sebuah kebiasaan agar aku tidak terlihat lemah dengan banyak tersenyum di hadapan orang lain. “Aku bisa membayarnya.” Jawabku datar. “Tapi kan uangnya sayang Al, kamu bisa gunakan untuk yang lebih penting dibanding hanya sebuah baju untukku.” Bisiknya lagi dan aku terkesan dengan cara pandangnya terhadap uang dan barang mewah. Sepertinya Bia di didik dengan baik oleh orang tuanya dengan gaya hidup sederhana. Padahal jika ku lihat informasi tentang orang tuanya, mereka bukan orang miskin. Dan sangat sanggup memanjakan putri semata wayang mereka dengan barang-barang mahal. “Tuan muda Jenkins, ini yang tuan minta. Silahkan di cek kembali.” Ucap pelayan di sana yang sudah sangat hapal padaku. “Terimakasih.” Jawabku sopan kemudian memberi isyarat pada Bia untuk memilih sederet baju yang ditawarkan. Bia terlihat melongo dan bingung hingga matanya kemudian melotot dengan besar dan mulutnya menganga lebar. “Jenkins? Kamu Jenkins?” Ucapnya hampir berteriak. Aku menaikkan sevelah alisku melihat reaksinya. Rupanya otak bodohnya baru bisa mencerna informasi ini sekarang. “Aku sudah mengatakannya sejak awal namaku Alden Jenkins dan kamu baru memprosesnya sekarang di kepala bodohmu itu? Bisa-bisanya kamu melupakan namaku sementara orang lain tidak ada yang berani melakukannya.” Desisku dengan nada kesal. Dan Bia mengulum bibirnya seperti merasa bersalah dan anehnya aku senang karena bukan ekspresi takut yang dia berikan. “Maaf Al, malam itu kepalaku penuh sekali dengan kejadian itu.” Cicitnya sambil menunduk dan melirikku lucu. “Pantas saja kamu tidak berangkat bekerja, kamu bossnya.” Tambahnya lagi. “Ahhh kalau gitu kamu—” Teriaknya mengagetkanku. “Jaga sikapmu Bia jangan membuatku malu!” Desisku dan Bia kembali mengangguk sambil mendekatiku. “Berarti kamu bossnya Dio kan? Bisa tidak kamu pecat dia saja biar tau rasa?” Ucapnya kali ini dengan bisikkan. “Mulai cerewet dan banyak minta.” Ujarku dengan mata menyipit. “Siapa?” Tanyanya. “Kamu, bodoh!” desisku dan bisa-bisanya dia cemberut sambil menatapku kesal. Apa nama belakangku tidak membuatnya takut sedikitpun? Sekarang dia malah meninggalakanku dan mulai memilih baju dengan gembira. Membuatku sedikit kesal padahal aku sudah memujinya hidup sederhana tadi tapi sekarang dia terlihat tidak peduli lagi tentang masalah uang setelah mengetahui siapa aku. “Sudah Al, aku suka ini semua.” Ucapnya sambil tersenyum lebar. Aku mendekat ke arahnya dengan kesal. “Kemana gadis yang mengatakan uangku bisa untuk hal lebih penting lainnya huh!” Sindirku dengan bisikkan. “Uangmu banyak Al, ini tidak akan membuatmu miskin.” Ringisnya menyebalkan. Dan setelah aku membayar semuanya dia tampak senang sekali. Lalu kami melanjutkan pergi ke salon. Tidak lama karena aku hanya meminta di rapihkan saja. “Al boleh beli itu?” Ucapnya menunjuk kedai es krim di pinggir jalan. “Banyak maunya!” kesalku. “Ini yang terakhir Al yah? Cuma es krim kamu nggak akan miskin.” Ucapnya lagi menggunakan kalimat menyebalkan yang sama. Dan aku baru tahu kalau ternyata Bia memiliki sisi menyebalkan ini. Kemudian dia bersorak ketika aku memarkirkan mobilku di depan kedai itu. Dan dahiku mengkerut setelah melihanya menyodorkan tangannya. “Apa?” Tanyaku. “Uang Al buat beli es krim. Kamu tunggu sini aja aku sebentar doang.” Jawabnya lagi semakin menyebalkan. Senyumnya kembali melebar setelah aku mengeluarkan lembaran berwana merah. “Aku tahu kamu orang baik yang tidak pelit dan aku doakan kamu selalu bahagia.” Teriaknya girang sambil buru-buru turun dari mobilku. Sebuah kalimat bahagia yang membuatku terdiam bebarapa saat karena mengingatkanku dengan ucapan ibuku. Itu adalah kalimat andalan ibuku yang selalu aku dapatkan setiap kali aku baru saja melakukan hal baik. Bagaimana Bia bisa mengatakan kalimat yang sama? Aku terus memperhatikannya yang lama kelamaan menghilang di pintu kedai es krim. Lalu keluar dari sana beberapa menit kemudian sambil membawa satu kantong plastik es krim dan yang tidak aku duga sedikitpun, dia memberikan es krim berharga miliknya dengan bahagia pada dua anak pengemis yang sedang menangis di depan kedai. Mungkinkah dia merengek minta es krim karena melihat anak kecil itu menangis sejak mulai mendekati jalan ini tadi? Raut bahagia yang dia tampilkan setelah melakuakan hal baik itu, untuk beberapa detik membuatku takjub. Yang lagi-lagi membuatku menyadari bahwa orang tua Bia berhasil mendidiknya dengan baik. Tanpa sadar bibirku tersenyum melihat itu. Menyenangkan sekali melihat kebaikan. Mengingatkanku pada masa-masa dulu ketika aku sering diajak orang tuaku mendatangi panti asuhan dan melihat mereka memberikan kebahagiaan pada anak-anak yatim disana. Bia seperti menghidupkan kembali semua kenangan itu. “Sudah yuk jalan, ini bagian es krim untuk orang baik.” Ujarnya ceria sambil menyodorkan semangkuk es krim kepadaku. Untuk beberapa detik aku kembali terdiam karena lagi-lagi kalimat itu mirip seperti yang sering di ucapkan ibuku setelah aku melakukan hal baik dan beliau memberiku hadiah. Apa karena dia mirip ibuku sehingga aku merasa nyaman dan bisa tidur di pelukannya? Wajahnya tidak mirip sama sekali tapi caranya memperlakukan orang lain mirip sekali dengan ibuku. “Al haloooo! Kok kamu ngelamun?” Tanyanya sambil melambaikan tangannya di depan wajahku. Aku mengambil es krim yang diberikan olehnya kemudian memakannya di sana dalam diam. Duduk berdua bersama Bia sambil mengenang kedua orang tuaku di temani es krim yang rasanya tidak seburuk yang aku bayangkan ini ternyata lumayan juga. Biasanya semua kenangan yang aku ingat tentang orangtuaku hanya berakibat kemarahan pada diri sendiri. Tapi kali ini rasanya berbeda, kali ini rasanya aku mulai bisa sedikit senang dengan kenangan-kenangan indah yang aku miliki bersama mereka dulu.  ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN