Aku benar-benar terkejut setelah mengetahui siapa sebenarnya Alden. Laki-laki tampan yang menolongku ini ternyata bukan orang sembarangan. Dia adalah pewaris keluarga Jenkins yang terkenal kaya dan kejam itu. Tapi anehnya aku tidak takut padanya karena entah kenapa aku yakin Alden memiliki hati yang baik di balik sikapnya yang seenaknya dan kadang menakutkan.
Keluarganya sangat terkenal terutama karena mereka memiliki Alden yang katanya sangat tampan, tapi sekaligus sangat kejam dan dingin. Untuk urusan tampan seperti yang di bicarakan teman-teman kuliahku dulu ku akui kebenarannya. Tapi tentang kejam dan dingin sepertinya aku tidak sependapat. Karena sejauh ini sikapnya padaku baik sekalipun sedikit tidak ramah. Dan mengingat dia adalah seorang Jenkins, aku juga jadi mengerti kenapa dia mendapatkan serangan mengerikan seperti di parkiran apartemen waktu itu. Dan sebuah fakta lagi juga aku ketahui, karena bukan rahasia umum lagi seorang Alden memiliki seorang kekasih yang sangat cantik bernama Jeni.
“Apa kamu sering mendapatkan serangan seperti yang terjadi di parkiran saat itu?” Tanyaku tiba-tiba. Saat ini kami sedang berada di mobil menuju jalan pulang.
“Lumayan.” Jawabnya singkat seperti biasanya. Tapi itu menjawab rasa penasaranku tentang sikapnya yang terlihat begitu tenang padahal ada pistol di kepalanya.
“Apakah bisnis semenyeramkan itu sampai bunuh-bunuhan?” cicitku lagi.
“Bukan bisnisnya yang menyeramkan, tapi hati manusia. Karena kita tidak pernah bisa benar-benar tahu apa isinya bukan? Untuk jenis orang yang menganggap semua orang baik sepertimu, tidak akan mengerti.” Jawabnya tanpa menoleh ke arahku. Membuatku berpikir lebih dalam mengenai sikap manusia. Sejujurnya perkataanya adalah benar sebelum aku mengalami sendiri seberapa jahat manusia.
“Kamu benar, kita tidak perlu memiliki alasan untuk dibenci.” Ucapku pelan dan tepat saat itu mataku menyipit karena melihat dua orang yang sangat aku kenal tampak tertawa dengan begitu bahagia sampai membuat mulutku menganga.
“Itu...” Ucapku lagi sembari menunjuk ke arah parkiran sebuah kafe. Dan Alden mengikuti arah pandangku.
“Dio dan kekasihnya yang aku tahu. Perempuannya juga bekerja di kantorku tapi beda divisi.” Jawaban Alden membuatku menganga dengan mata mulai memanas.
“Sudah berapa lama mereka menjadi sepasang kekasih?” Tanyaku dengan air mata membendung yang tidak bisa aku tampung lagi. Lalu Alden memarkirkan mobilnya di sisi jalan karena melihatku menangis.
“Dia sudah mengkhianatimu itu sudah menjadi alasan kuat untukmu tidak lagi mengingatnya Bia, sampah tidak pantas kamu tangisi dia kotor dan bau.” Ujar Alden memperingatkan.
“Aku menangis bukan karena Dio, tapi perempuan itu sahabatku. Kami sangat dekat sudah seperti saudara. Bahkan aku sudah berniat hendak menghubunginya dalam waktu dekat untuk memberitahukan keadaanku. Tapi ternyata selama ini dia di belakang...” Aku tidak sanggup melanjutkan ucapanku dan Alden terdiam cukup lama. Membiatkan aku menangis. Tangannya meraih tisue di dalam dasboard kemudian menyodorkannya padaku.
Jika ada lomba tentang wanita paling menyedihkan di dunia aku rasa aku akan jadi pemenangnya. Pertama aku menyaksikan orang tuaku di bunuh di depan mataku tanpa bisa melakukan apapun, lalu aku mengetahui bahwa pelakunya adalah tunanganku sendiri, dan setelah itu Tuhan masih memberiku sebuah kejutan menyakitkan tentang Jeslin, sahabatku yang ternyata mengkhianatiku dengan begitu jahatnya.
“Ayo kita pulang.” Ucapku masih sedikit terisak setelah berusaha menguatkan diriku sendiri. Saat ini yang aku miliki hanya diriku sendiri, jika aku lemah dan terpuruk maka mereka akan merasa menang. Kali ini aku tidak mau di kalahkan lagi, aku harus kuat dan aku harus menang.
“Aku tidak mau ada orang menangis lagi di rumah kesayanganku.” Ucap Alden sambil menatapku seperti mengancamku untuk menghentikan tangisanku.
“Aku sudah selesai dan aku tidak akan menangis lagi.” Ucapku dengan begitu susah payah untuk menghentikan isakanku.
“Kalau kamu tidak kuat maka kamu yang akan di hancurkan Bia, jadi kamu tidak punya pilihan selain menjadi kuat. Kalahkan mereka dan hancurkan mereka seperti cara mereka menghancurkanmu.” Ujar Alden lagi dan aku mengangguk. Menghentikan tangisanku, menghapus air mataku dan bertekad kuat untuk membuat kondisi ini berbalik nantinya.
“Aku belum akan berhenti sampai mereka bersujud di kakiku meminta maaf.” Ucapku penuh tekad dan akhirnya aku melihat Alden tersenyum. Setelah itu tidak ada percakapan lagi dan kami pulang. Bisa di bilang, Alden memang bukan jenis orang yang suka mengobrol. Bicaranya hanya seperlunya saja dan ekspresinya juga tidak begitu banyak. Seperti jenis-jenis tuan muda di dalam n****+ yang terkesan misterius tapi membuat penasaran.
“Tunggu dulu!” Ucapku ketika Alden hendak turun dari mobil.
“Kenapa lagi Bia? Mau menangis lagi? Aku akan melemparmu ke luar gerbang kalau kamu—”
“Aldeen awaaasss!!” Aku menarik kepala Alden ke bawah bersamaan dengan kepalaku ketika sebuah peluru di tembakkan ke arah kami. Sejak awal masuk gerbang aku sudah merasa aneh karena penjagaan tampak sepi tidak seketat sebelumnya. Setelah itu sebuah tembakan lagi mengenai kaca tapi tidak tembus ternyata mobil Alden anti peluru. Aku mendesah sambil bersyukur, setelah itu Alden kembali mengemudikan mobilnya dan menabrak gerbang depan sampai terpental. Dan kami melaju kencang menjauh dari tempat itu.
Alden terlihat sangat marah sekali dalam diamnya. Sementara jantungku berdebar hebat, mungkin aku harus membiasakan hal ini berada di dekat Alden. Tapi apakah aku bisa terbiasa dengan hal-hal semacam ini.
“K-kamu tidak papa?” Tanyaku pelan setelah kami cukup jauh dan entah akan kemana.
“Tidak papa Bia, terimakasih sekali lagi. Aku bahkan tidak menyadari keanehan di rumah itu tapi kamu ternyata sangat peka dengan keadaan.” Jawabnya tanpa menoleh ke arahku sambil melirik spion kemudian mengumpat menyadari kami di ikuti oleh mereka.
“Sebenarnya apa yang mereka mau dari kamu Al? kenapa tidak kamu berikan saja daripada terus menjadi buronan seperti ini.” Saranku yang tidak mendapatkan jawaban dari Alden.
“Kencangkan sabuk pengamanmu Bia!” Perintah Alden dan aku menurut. Setelah itu mobil semakin kencang dan aku hampir menjerit. Jika sebelumnya aku hanya menyaksikan adegan kejar-kejaran menyeramkan seperti ini di film, maka sekarang aku benar-benar merasakannya sendiri. Perutku mual saat mereka menabrakkan mobil mereka dari belakang membuat mobil Alden oleng dan kami terguncang cukup hebat.
“Pegangan Bia! Kalau nanti aku bilang lari, kamu lari. Mengerti!” Ucap Alden dan aku menggeleng.
“Nggak mau ninggalin kamu sendiri.” Ucapku dan Alden mendengus.
“Jangan keras kepala!” Jawabnya kesal. Kemudian aku diam dan sesaat kemudian aku berteriak kencang karena mobil kami kembali di tabrak dari belakang dan oleng ke samping kiri menabrak pembatas jalan. Beruntungnya jalanan ini sepi karena sepertinya bukan jalan utama. Aku memuji cara Alden memilih rute, sepertinya dia tahu akan diikuti dan memilih jalan sepi ini agar tidak membahayakan orang lain.
Setelah itu Alden keluar dan berlari ke arahku, membantuku keluar dari sana tapi kami terlambat karena mereka sudah mengepung kami. Alden menarikku ke belakang tubuhnya yang tinggi sambil mendengus. “Harus berapa kali gue bilang, gue nggak mau1 lo semua brengs3k!” Teriaknya marah.
“Lo nggak mau dan lo sekarang sama cewek lain? Lo lebih brengs3k!” Teriak seorang laki-laki yang terlihat seperti bosnya itu. Dia maju dan sepertinya hendak memukul Alden, sehingga aku reflek menarik Alden ke belakang tubuhku dan memberinya tendangan yang pantas sampai dia tersungkur. Setelah itu anak buahnya balik menyerangku yang tidak perlu kesulitan aku mengalahkan mereka semua.
“Cewek lain? Dia pengawal gue.” Jawab Alden dari belakang tubuhku. Terdengar seperti tertawa. Dan semua orang di hadapanku terlihat menatapku dengan heran kemudian aku mengangguk.
“Saya pengawal tuan muda Jenkins.” Ucapku meyakinkan dan mereka semua menganga tidak percaya.
“Udah puas? Sampai kapanpun gue nggak akan putusin Jeni, terutama buat laki-laki kaya lo! Jadi berhenti Bram! Ini nggak lucu lagi. Lo kotori rumah orang tua gue brengs3k!” Geram Alden marah. Tapi laki-laki bernama Bram ini masih sibuk memperhatikanku.
“Gue disuruh Fino buat kasih lo peringatan Al, dia nggak akan nyerah buat dapetin Jeni. Tapi karena pengawal lo cantik hari ini lo gue maafin. Setidaknya lo nggak akan gue lukain.” Ujar laki-laki bernama Bram itu sambil tersenyum ke arahku dan sedetik setelah itu aku hampir berteriak karena Alden menarikku paksa ke belakang tubuhnya.
“Lo mati kalau deketin pengawal gue.” Geram Alden marah dan laki-laki bernama Bram itu malah tertawa.
“Gue tahu mobil lo anti peluru, karena itu gue hadiahi peluru sebagai kenang-kenangan. Fino nyuruh gue minimal salah satu lengan lo patah karena lo keras kepala, tapi berhubung suasana hati gue baik lo gue lepasin Al.” Ujar Bram sambil tersenyum miring. Alden diam saja. “Sampai jumpa lagi cantik!” Pamit Bram sambil mengedipkan matanya ke arahku dan bisa ku dengar Alden mengumpat.
***
“Kamu nggak papa?” Tanyanya setelah kami sampai di rumah dan melepaskan para pengawal yang di kurung di salah satu ruangan.
“Bahuku sakit lagi.” Jawabku sambil meringis memegangi sebelah tanganku dan Alden mendengus.
“Kenapa melawan mereka bodoh! Mereka tidak akan membunuhku. Kalau mereka mau membunuhku mana mungkin mereka menembaki mobilku padahal semua orang tahu kalau mobilku anti peluru.” Omelnya kesal.
“Aku nggak tahu mobil kamu anti peluru.” Ucapku membela diri.
“Sudah jelas karena kamu bodoh makanya nggak tahu.” Balas Alden masih kesal. Tapi kenapa dia marah-marah padahal kan aku yang luka. Aneh sekali.
“Ya kan nggak semua orang harus tahu kamu Al, emang kamu Tuhan.” Cicitku kesal.
“Sudah berani marah huh!”
“Nggak marah Al, ini namanya kesal. Kan aku yang luka kenapa kamu yang marah-marah? Lagipula mana tahu aku kalau mereka nggak mau bunuh kamu, sejak awal aja udah main tembak-tembakan. Kamu biasa aja, aku mau serangan jantung rasanya.” Jawabku lagi.
“Sudah ku bilang kalau mau berada di dekatku kamu harus terbiasa dengan hal ini.” Kesalnya.
“Ya kan baru dua hari Al, masa aku bisa terbiasa cuma dalam waktu dua hari? Yang bener aja. Orang kerja juga butuh training dulu.” Ucapku balik mengomel.
“Kau benar-benar jenis perempuan menyebalkan Bia!” Ucap Alden marah sambil beranjak pergi dari hadapanku. Dan aku tidak peduli, aku tidak merasa salah kenapa dia marah-marah. Menyebalkan sekali. Kecuali dia terluka gara-gara aku melawan mereka baru dia berhak marah, padahal yang terluka aku kenapa dia yang marah-marah.
Aku berjalan perlahan menuju dapur kemudian mengambil sebotol minuman tapi tidak bisa membuka tutupnya karena tanganku sakit. Membuatku mendesah semakin kesal, tapi beberapa detik kemudian botol minumanku berpindah tangan dan ketika aku berbalik, Alden sedang membukakan botol air minumku dengan raut wajah kesal yang terlihat jelas. Kemudian menyodorkannya ke arahku setelah selesai dan laki-laki itu kembali duduk di sofa dengan kotak obat di tangannya.
“Kemari Bia! Jangan membuatku kesal.” Perintahnya dan kali ini aku menurut. Lalu sekarang laki-laki pemarah itu sedang mengobati tanganku yang sedikit lecet akibat beberapa pukulan serta memberikan salep resep dari dokter untuk di oleskan di bahuku. Aku tahu dia memiliki kekasih dan aku juga mendengar sendiri tadi dia berteriak tidak mau meninggalkan Jeni yang artinya dia sangat mencintai Jeni. Tapi jika dia terus memperlakukanku sebaik ini, aku takut lama-lama aku akan jatuh cinta padanya. Karena menurutku dia memiliki segalanya yang di butuhkan untuk membuat wanita jatuh cinta.
“Apakah dia sainganmu dalam asmara?” Tanyaku setelah melihat raut wajahnya mulai tenang.
“Bram itu temanku itulah kenapa dia tahu kelemahan penjagaan di rumah ini. Dulu mama dan papa sering mengajaknya main ke sini untuk liburan bersamaku.” Jawab Alden.
“Tapi kenapa teman melakukan hal mengerikan begitu?” Tanyaku heran.
“Kakanya Bram namanya Fino, dan dia menyukai Jeni. Kami sudah berdamai dan sepakat bahwa Jeni adalah milikku dengan catatan jika aku sampai mengkhianati atau menyakiti Jeni maka aku akan di bunuh olehnya. Belakangan ini Jeni menuduhku berselingkuh, akupun tidak mengerti darimana tuduhan itu berasal karena aku tidak pernah dekat dengan wanita manapun. Mungkin dia curhat pada Fino, sehingga beberapa hari belakangan Fino terus menyuruhku meninggalkan Jeni atau dia akan membunuhku. Itulah alasan kenapa Bram melakukan hal tadi. Dia di suruh Fino.” Jawaban Alden masih belum bisa aku cerna.
“Tapi Bram temanmu bukan? Kenapa teman begitu?”
“Bram juga sahabat Jeni, dan dia selalu ada di pihak Jeni.” Jawab Alden lagi. Tapi aku masih tidak paham kenapa asmara saja semenakutkan itu? Apa memang semua orang kaya begitu? Tidak suka bunuh, tidak sependapat bunuh, curiga sedikit bunuh? Menyeramkan sekali rasanya dunia Alden.
***