Nina,” panggil Fira yang kebetulan saja berpapasan dengan gadis itu saat ingin ke ruang makan, sementara suaminya sudah terlebih dahulu ke sana. Sebenarnya tadi ia dan suaminya ingin pamit pulang tetapi Rafa mengajak mereka untuk makan siang bersama.
Nina baru saja menuruni anak tangga, lantas ia menolehkan wajahnya seraya membungkukkan punggungnya. “Ya, Nyonya ada yang bisa saya bantu?” tanya Nina dengan sopannya.
Mata Fira agak menyipit saat melihat pipi Nina yang masih memerah. “Pipi kamu kenapa merah? Habis ditamparkah? Siapa yang menamparmu?” cecar Fira sembari melayangkan pandangannya ke atas.
Nina mengulum senyum tipis seraya mengusap pipinya tersebut. “Tidak ditampar Nyonya, tapi ini tadi kebentur sama pintu lemari baju, pas mau buka ternyata langsung terbuka,” jawab Nina sengaja menutupi perkara tampar menampar.
Fira mengikis jarak dengan lirikan yang begitu serius, ia tak bisa dibohongi dengan bekas tamparan tersebut yang masih memerah itu.
“Buat apa kamu menutupinya, apa kamu takut dimarahi oleh saya?” tanya Fira dengan tatapan menyelidiknya.
Gadis itu menggeleng pelan, lalu tetap terlihat ramah seakan tidak terjadi apa pun padanya.
“Kamu baru bekerja di sini, sungguh disayangkan jika sudah langsung dapat tamparan. Jikalau kamu memang melakukan kesalahan seharusnya mereka cukup menegurmu terlebih dahulu, bukannya main tangan seperti ini. Katakan siapa yang melakukannya Rafa atau Emma?” tanya Fira dengan tutur lembutnya.
Sebenarnya Nina tidak ingin mengadu dengan orang-orang yang berada di sini, nanti disangka cari simpati atau minta perlindungan diri. Namun, ketika wanita paruh baya itu bertanya dengan lembutnya entah mengapa hatinya terasa luruh atas perhatian wanita itu.
“Nyonya, ini adalah kesalahan saya dan saya terima tamparan ini. Jadi saya tidak mau mengungkitnya kembali,” balas Nina.
“Emma ... Emma'kan yang menampar pipimu?” tebak Fira ke arah menantunya tersebut.
Nina hanya bisa mengulum senyum tipis tanpa harus menjawab, dan Fira langsung paham.
Fira mendesah pelan sembari menyentuh pundak gadis itu. “Ada baiknya coba kamu melamar pekerjaan yang lain saja selain jadi maid di sini. Ketimbang kamu di sini bisa bikin sakit mental, usaimu masih muda pasti ada pekerjaan yang lebih baik kalau kamu lulusan serata SMU. Ini hanya sekedar saran saja untukmu, dan saya minta maaf jika baru pertama masuk kerja sudah di tampar di sini,” imbuh Fira dengan perasaan ibanya.
Nina menatap teduh mama mertuanya yang begitu respect padanya, ingin rasanya memeluk erat tetapi itu hanya berandai saja.
“Terima kasih atas masukkan Nyonya, kebetulan saya bekerja di sini sebagai batu loncatan sementara selama kakek saya di rawat di rumah sakit. Nanti jika beliau sudah sembuh mungkin saya akan berpikir ulang,” balas Nina terpaksa kembali berdusta.
“Kalau begitu kita obati pipi kamu dulu,” ajak Fira penuh perhatian. Nina mengangguk, memang rencananya ia ingin mencari obat untuk pipinya yang mulai terasa bengkak hingga rahangnya terasa sakit jika berbicara, belum lagi bagian punggungnya.
Baru saja mereka berdua melangkah bersama-sama, dari anak tangga bagian atas terlihat Rafa dan Emma menuruni anak tangga. Lantas, Fira dan Nina serempak meliriknya, lalu wanita paruh baya itu menahan lengan Nina untuk tidak melangkah dulu hingga anak dan menantunya turun.
Emma mendesis pelan, tangannya yang menggamit lengan suaminya semakin ia eratkan jangan sampai lepas darinya.
“Mam,” sapa Rafa ketika langkah kakinya sudah menginjak lantai satu.
Plak! Tamparan keras melayang ke pipi Rafa dengan begitu kerasnya, Nina dan Emma sampai berjengit kaget. Wajah Rafa yang sempat berpaling ke samping perlahan-lahan kembali lurus dengan melayangkan tatapan bingung pada mamanya.
Dengan tatapan menyalaknya Fira berkata, “Ini tamparan buatmu yang tidak bisa menghargai maid yang bekerja di sini. Mereka manusia yang sama seperti kita, sama-sama makan nasi hanya saja mereka memilih bekerja sebagai pembantu. Dan bukan berarti kita bebas merendahkan mereka. Perlu kamu ingat asal usul Mama, Rafa! Mama ini dulu adalah salah satu maid di mansion papamu! Kamu itu anak dari seorang maid, jadi jangan angkuh dan sombong! Hidup kita bisa menikmati keadaan seperti ini karena papa, kalau tidak ... mungkin saja hidup kita biasa-biasa saja!” tegas Fira, lalu ia mengiring tatapan jengah pada menantunya yang kini sedang memalingkan wajah darinya.
Cukup menohok ucapan Fira bagi Nina yang mendengarkannya, apalagi wanita itu menegur Rafa di depannya, sudah bisa dipastikan mereka sedang menahan malu.
“Keangkuhanmu akan membawa bencana buatmu sendiri! Kamu lupa dari keluarga apa!” Fira agak meninggikan suaranya ketika masih menatap Emma. Lalu, kembali meraih tangan Nina untuk meninggalkan mereka.
Emma semakin geram dengan salah satu kepalan tangannya yang begitu kuat hingga kuku bukunya memutih, sedangkan Rafa menghembuskan napas kasarnya.
“Mas Rafa lihat sendiri'kan, pembantu itu sudah berani mengadu pada mama! Mau di kemanakan wajahku ini, Mas! Belum lagi Mama main tampar wajah Mas begitu saja. Pokoknya aku tidak mau tahu pecat dia Mas sekarang juga!” seru Emma dengan menghentakkan kakinya saking kesalnya. Bukannya mencerna ucapan mertuanya malah masih saja menyalahkan Nina. Padahal Nina tidak ada mengadu pada Fira.
Nina digiring ke dapur kering oleh Fira, setibanya di sana wanita itu meminta salah satu maid mengambilkan kotak P3K, dan hal tersebut memancing perhatian maid tersebut.
“Pembantu baru sudah dapat perhatian dari Nyonya besar, wah hebat bisa jadi gosip hangat nih,” batin Ira agak sinis. Diam-diam ketika ia memberikan kotak P3K, lalu tersenyum jahat pada Nina saat saling bertemu pandang.
“Nyonya biar saya saja yang mengobati pipi saya. Sebelumnya terima kasih atas perhatiannya,” tolak Nina sembari mengambil alih kotak tersebut agar Fira tidak membantunya.
Fira mengerti jika Nina merasa tidak nyaman dengan perhatiannya. “Baiklah kalau begitu, segera obati wajahnya. Dan jangan sungkan jika ingin bicara dengan saya,” balas Fira dengan lembutnya layaknya seorang ibu.
Nina mengangguk paham, “Terima kasih banyak, Nyonya.” Setelah itu, Fira meninggalkan ke dapur kering, menyusul suaminya di ruang makan.
Kebetulan sekali beberapa maid tampak hilir mudik membawa hidangan yang sudah jadi ke ruang makan. Ira yang masih ada di sana melirik ke arah lorong terlebih dahulu untuk memastikan Fira sudah jauh dari dapur kering. Merasa sudah aman baru ia mendekati Nina yang tampak membaluri salep di wajahnya.
“Maid baru ya, siapa namanya? Udah pandai cari muka saja nih sama nyonya besar,” sindir Ira tampak tidak senang.
Gadis itu mendongakkan wajah tanpa ekspresi. “Iya, saya maid baru di sini, namanya Nina. Memangnya kenapa kalau saya pandai cari muka dengan Nyonya Fira, iri ya?” sindir Nina tak mau kalah.
Ira berdecak, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan, tatapannya tak bersahabat. “Jangan cari gara-gara kalau mau kerja di sini. Di larang keras cari perhatian dengan majikan. Apalagi kamu tuh masih anak baru ya!” Ira agak menyentak.
Nina memutar malas bola matanya. “Ternyata ada curut tambahan juga di sini!” Nina balik menyindir.