Belum ada sehari Nina bekerja di mansion Rafa sudah menemui masalah bertubi-tubi, bagaimana jika sudah seminggu atau sebulan! Butuh kuat mental, sehat fisik untuk berhadapan dengan makhluk hidup di sana, jangan sampai ia kena mental.
Sentakan Ira ia anggap angin lalu, Nina memilih meninggalkannya dan meminta pekerjaan yang bisa ia lakukan sebelum jam tiga tiba. Untung saja Bik Yuni menyuruhnya ke ruang laundry untuk mencuci beberapa kain, sehingga ia tidak bersinggungan dengan beberapa maid yang belum ia kenal.
Sementara Emma yang terpaksa ikut makan siang bersama dengan kedua mertuanya wajah wanita itu tampang cemberut sepanjang makan siang bersama. Dan, sudah tentu Fira dan Brata memperhatikan tingkah menantunya tersebut. Di hati kedua orang tua Rafa merasa seperti tidak dihargai oleh Emma.
“Entah kapan kamu mau membuka matamu lebar-lebar, Rafa. Sungguh Mama sangat kecewa dengan istrimu ini, kami merasa datang ke sini tidak dihargai olehnya. Apa jangan-jangan kedatangan kami ke sini tidak diperbolehkan oleh Emma!” tegur Fira langsung di hadapan Emma saat mereka menikmati hidangan penutup.
Emma semakin masam ekspresi wajahnya, sendok kecil yang ia pegang digenggam erat menyalurkan amarah yang tertahankan. Semestinya ia tidak ikut makan siang bersama, lebih baik ia tadi memilih kembali ke studio untuk pemotretan.
“Mam, tolong bisa tidak hargai istri aku sebentar saja,” pinta Rafa membela istrinya.
Fira memalingkan wajahnya, kemudian mengusap sudut bibirnya dengan kain serbet, hatinya tidak bisa dipungkiri kecewa pada Rafa yang masih saja membela istrinya yang jelas sikapnya tidak baik kepada kedua orang tuanya.
“Baiklah kamu sepertinya memang lebih mendukung istrimu selama ini ketimbang pada wanita yang telah mengorbankan nyawanya demi melahirkan kamu. Ayo Pah, kita pulang. Percuma kita rindu dengan anak kita tapi terasa tidak diterima baik oleh keluarganya seakan-akan kita ini bukan keluarganya,“ ajak Fira dengan menyentuh bahu suaminya.
Emma diam-diam tersenyum tipis mendapatkan perlindungan dan pembelaan suaminya dari mama mertua yang sangat dia benci itu. Menurut Emma terlalu cerewet sebagai ibu mertua padahal tidak seperti itu, Fira hanya sesekali menegur jika memang ada yang salah dan kurang baik, tapi dianggap resek oleh Emma.
“Mam, bukan begitu maksud aku. Aku hanya minta please hargai keberadaan istriku ini, mungkin saja saat ini istriku sedang kelelahan dalam bekerja jadi tidak bisa menyambut Mama dan Papa dengan ramahnya. Jadi tolong maafkan Emma ya, lain kali tidak akan begini. Aku sendiri senang Mam dan Papa mau berkunjung ke sini, dan aku tidak pernah menolak,” tutur Rafa menengahi permasalahan yang kini hadir di antara mereka semua.
Fira menarik tangannya dari bahu Brata dengan tatapan serius kepada Emma yang kini tampak menunduk seakan mencari welas asih dari Rafa.
“Mama sejak dulu sangat menghargai istrimu itu tanpa melihat status sosialnya. Tapi adakah dia selama ini menghargai kedua orang tuamu ini semenjak telah menikah denganmu? Apakah dia tidak ingat saat dulu bagaimana hidupnya melarat? Untung saja Allah mempertemukannya denganmu yang bisa membantunya menjadi seorang model terkenal dan bisa menikmati hidup mewah di sini. Ingat di atas langit masih ada langit, jangan sombong, apalagi sama orang tua!” tegur Fira lembut dan tegas.
Brak! Emma sudah tidak tahan dengan teguran Fira, lantas dengan tidak sopan ia menggebrak meja, kemudian mendorong kursi yang ia duduki sampai berderit kasar.
Fira sempat berjengit kaget, kemudian mengusap dadanya meredakan rasa terkejutnya. Lihatlah perangai menantunya benar-benar bikin geram orang tua.
“Emma!” panggil Rafa sembari beranjak dari duduknya, lalu bergegas mengejar Emma.
Fira menarik napasnya dalam-dalam seraya menekan perasaan kecewanya yang semakin dalam, lantas Brata mengusap lembut punggung wanita itu.
“Pah, apakah sekarang aku merasakan apa yang Mama Winda rasakan dulu?” tanya Fira dengan matanya agak tergenang.
Pria itu juga menyadari hal yang sama. Dulu ia juga dulu tertutup mata hatinya atas nama cinta hingga mengabaikan nasehat kedua orang tuanya. “Kita banyak berdoa untuk anak kita ya, Sayang. Semoga Rafa tidak selamanya seperti ini,” balas Brata.
“Mmm.” Fira mengangguk pelan.
***
Tak terasa waktu sudah mau menunjukkan pukul tiga sore, Nina berhasil menyelesaikan pekerjaan di ruang laundry. Pesan dari Didi sudah ia baca, jika pria itu telah menunggunya di tempat tadi ia turun. Dengan langkah bergegas gadis itu menuju kamarnya di paviliun untuk mengambil tas kecilnya, dan ia tidak menyadari jika Rafa sedang berada dekat kolam renang dan kebetulan sekali pria itu tidak sengaja melihat gadis itu lewat begitu saja di depannya.
Sebenarnya Nina memang tidak melihat Rafa maka dari itu ia tetap melangkah cepat ke paviliun, dan tak lama ia keluar kembali dari sana dengan menjinjing tas kecilnya. Dan ketika gadis itu melewati sisi kolam renang Rafa menghalangi jalan Nina.
Gadis itu mendongak wajahnya saat melihat postur tubuh pria itu pas sekali di hadapannya dengan kedua tangannya berkacak pinggang.
“Hebat ya kamu, belum ada bekerja di sini seharian sudah bisa membuat mama saya menampar pipi saya. Mengadu apa kamu ... hem?!” sentak Rafa dengan tatapannya yang begitu tajam. Rupanya diamnya Rafa saat ditampar oleh mamanya timbullah perasaan dendam pada Nina. Apalagi habis dipermalukan harga dirinya di depan gadis itu.
Nina mendesis pelan seraya memutar malas bola matanya. “Maafkan saya Tuan Rafa yang terhormat jika hati Tuan sangat terluka mendapatkan tamparan dari Nyonya Besar. Jika saya membela diri akan percuma saja, karena ujung-ujungnya saya yang salah dengan asumsi yang kini ada dalam pikiran Tuan, jadi silakan Tuan Rafa memarahi saya kembali atau silakan tampar pipi saya saja untuk menggantikan rasa sakitnya,” balas Nina dengan lemah lembutnya sembari dia menyodorkan pipi sebelah kirinya.
Rafa mendengkus kesal, ia yang tadinya ingin meluapkan amarah justru di hadapi dengan sikap menantang dari Nina.
“Ayo Tuan, silakan tampar pipi saya sekarang juga!” tantang Nina masih menunggu tangan pria itu mendarat di pipinya. Namun, tidak ada gerakan dari pria itu.
Nina lantas kembali menatap Rafa yang hanya menatap tajam padanya. “Kenapa tidak Tuan lakukan? Bukankan Tuan ingin meluapkan amarahnya? Sama seperti hal yang dilakukan oleh Nyonya Emma tanpa bertanya perkaranya tapi sudah langsung menampar saya. Dan perlu Tuan ketahui saya tidak mengadu apa pun pada Nyonya Besar, beliau hanya menanyakan kenapa pipi saya merah. Tapi percuma saya menjelaskannya—“
“Stop! Bisakah kamu berhenti berbicara, Nina!” sentak Rafa langsung memotong ucapan gadis itu.
Nina langsung mengatup rahangnya dan melipat bibirnya ke dalam dengan tetap menatap tuannya itu. Kedua bola mata Rafa sudah berapi-api, ia paling tidak suka jika ada karyawan atau pekerja berani.
“Saya tidak minta kamu menjelaskan semuanya, karena tetap saja kamu itu bersalah di sini. Perlu saya ingatkan di sini masa percobaan kamu kerja di mansion saya perpendek waktunya tidak jadi tiga bulan, tapi hanya dua minggu saja. Jika semakin banyak masalah yang kamu timbulkan di sini maka siap-siap saja kamu ditendang dari sini!” tegas Rafa, suaranya naik dua oktaf dan itu sangat memekik di telinga Nina.
“Lagi pula istri saya tidak menyukai kamu kerja di sini!” lanjut kata Rafa sembari menunjuk-nunjuk ke mukanya.
Nina mengulum senyum tipisnya, dan membiarkan suaminya membentaknya berulang kali, hingga dirinya enggan untuk menitik air mata, meratapi nasib buruk memiliki suami seperti Rafa.