"Kenapa juga gue harus tanggung jawab sama Lusi, emangnya gue udah ngehamilin dia?"
Pertanyaan Juna membuat para siswa yang berada di dekatnya menoleh, sehingga mereka menjadi pusat perhatian dalam sekejap.
Helen mengerjap beberapa kali, kemudian membisiki Arsyi.
"Hon, emang Juna pernah grepe-grepe Lusi ya? Kok bisa sampe Lusi hamil?"
Arsyi berdecak. "Mulut kamu mau diberangus, Hon? Ngomongnya kok nggak difilter sih?"
Cepat Helen menutup mulut menggunakan kedua tangan. Kepalanya bergerak ke kiri ke kanan secepat gerakan tangannya.
"Good girl." Arsyi mengusap pucuk kepala Helen. "Lain kali ngomongnya jangan sembarangan ya?"
Helen mengangguk lucu, kembali menyuap gado-gado yang masih tersisa separuh. Tak menghiraukan kegaduhan kantin yang seperti suara sekawanan lebah, Helen terus memakan gado-gadonya sampai habis.
"Gue nggak bilang gitu!" bantah Esti. "Gue cuma minta lo balikan sama Lusi."
Senyum tengil terbit di bibir Juna. "Nggak ada tuh ceritanya seorang Arjuna balikan lagi sama mantannya. Kalo lu nggak percaya, tanya noh sama para mantan gue!"
Juna menunjuk beberapa gadis yang pernah menjadi kekasihnya, yang kebetulan berada di kantin saat ini. Gadis-gadis itu hanya mengangkat bahu tak peduli. Memang aneh bagi mereka kalau Juna kembali bersama gadis yang telah diputuskannya. Sangat bukan Juna sekali.
"Kurang kerjaan banget gue nanya ke mereka!" Esti mendengus. "Gue nggak mau tau, pokoknya lo harus balik lagi sama Lusi. Gue nggak mau dia nangis lagi." Kalimat terakhir diucapkan Esti dengan lebih lirih.
"Eh, dengar ya!" Juna memasang wajah serius. "Daripada gue balikan sama Lusi mending juga gue pacaran sama lu!"
Mata bulat Esti melebar, pipinya memerah. Mendatangi Juna saja sudah sangat memalukan baginya, apalagi sampai beradu mulut. Dan sekarang Juna mengatakan hal-hal yang sungguh membuatnya bertambah malu luar biasa. Rasanya Esti ingin bersembunyi ke dalam gua saja saking malunya. Ia tak pernah membayangkan kalau Juna akan menembaknya di depan umum.
"Ma-maksud lo apa?" tanya Esti tergagap. Rasa malu dan gugupnya membuat gadis itu terbata. Wajahnya merah padam, bahkan sekarang sampai ke telinga.
Juna memutar bola mata. Ia sudah biasa melihat reaksi seperti itu dari para gadis. "Itu cuma pengandaian aja," jawabnya datar. Kembali duduk dan memakan gado-gado dari piring Helen.
Helen yang melihatnya melotot. Sendoknya memukul sendok Juna sehingga menimbulkan bunyi ting yang lumayan keras dikarenakan suasana kantin yang masih hening karena adu mulut Juna dan Esti tadi.
Juna cengengesan. Tanpa peduli Esti yang masih berdiri di depan meja mereka, Juna melanjutkan melahap sotonya yang nyaris dingin. Tapi berhubung perutnya lapar, Juna meneruskan memakannya. Lagipula sayang kalau tidak dimakan, traktiran Arsyi ini. Bisa-bisa Arsyi tidak mau mentraktirnya lagi.
Arsyi mengembuskan napas. Menatap sedikit iba pada Esti yang berdiri dengan tubuh bergetar. Tidak perlu penglihatan yang awas untuk melihatnya, dilihat sekilas pun orang akan tahu kalau Esti sedang gemetar hebat. Arsyi berdiri, menghampiri Esti dan menepuk pundaknya.
Esti menoleh cepat. Gadis itu hampir menangis setelah tahu kalau Arsyi yang tadi menepuk pundaknya.
"Kan udah gue bilang lu nggak usah sok jadi pahlawan buat teman lu. Juna nggak akan peduli."
"Tul!" jawab Juna dengan mulut penuh. Pemuda itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil terus menyantap hidangan berkuah di depannya.
Arsyi menggeleng. "Jorok!" bentaknya. "Habisin dulu makan lu baru ngomong."
Juna hanya mengangkat bahu acuh, meneruskan memakan sotonya yang masih tersisa sedikit.
"Mending sekarang lu balik ke kelas lu deh, daripada di sini bikin lu tambah malu."
Esti menggigit bibir mendengar kata-kata itu. Kepalanya tertunduk. Ini memang sangat memalukan. Niatnya ingin mempermalukan Juna dan membuat pemuda itu kembali bersama Lusi, malah ia yang merasa sangat malu. Ditambah dengan kata-kata pemuda itu yang sudah membuatnya hampir salah paham tadi.
Esti mengangguk kemudian berbalik. Sebelum melangkah menjauh dari depan meja Arsyi masih di dengarnya pesan pemuda itu yang diucapkan Arsyi lirih nyaris berbisik.
"Ingat sama apa yang gue bilang, jangan baper sama kata-kata Juna!"
Kali ini Esti tak mengangguk. Gadis itu bahkan meninggalkan kantin tanpa menengok lagi ke belakang. Esti berlari di tengah sorakan dari pengunjung kantin yang ditujukan untuknya.
Arsyi hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan teman-teman sekolahnya. Pemuda itu kembali duduk di samping Helen yang sudah menghabiskan gado-gadonya. Sekarang gadis itu menyeruput es teh favoritnya. Juna juga sudah menghabiskan sotonya. Sekarang Juna sedang meneguk minuman dingin bersodanya.
"Lu hobi banget sih bikin anak orang baper," ucap Arsyi. Tangannya meraih gelas es teh Helen yang sisa seperempat bagian dan meminumnya. Tak peduli dengan Helen yang memelototinya.
"Siapa?" tanya Juna sambil menunjuk hidungnya. "Gue?"
Arsyi berdecak, mengembalikan gelas yang sudah kosong ke depan Helen. "Siapa lagi kalo bukan lu," jawabnya santai.
Juna meringis. "Bukan salah gue juga kali, Arsy, kalo tu cewek sampe baper," sahut Juna membela diri. "Kan tadi gue juga udah bilang kalo itu cuma seandainya."
"Tapi dia udah baper duluan, Jun!" sanggah Arsyi. "Please, deh. Jangan ulangi lagi yang kayak tadi."
"Iya iya, cerewet amat sih lu? Macam Helen aja!"
"Apa kamu bilang? Aku cerewet?" tanya Helen tak terima. Ia yang sejak tadi hanya diam saja kenapa dibawa-bawa?
"Nggak sadar nggak apa-apa sih. Gue kan cuma sekedar ngasih tau."
Keributan itu pasti akan terjadi lagi kalau seandainya Arsyi tidak menengahi.
"Hon!" tegur Arsyi. "Kamu mau nambah minumnya nggak? Kan tadi aku habisin."
Helen mengangguk cepat. Maklum, ia masih haus.
"Ambil sendiri ke sana ya?" Arsyi menunjuk meja pantry kantin.
Helen mengangguk lagi. "Sama camilan sekalian ya, Hon?"
Pertanyaan Helen hanya basa-basi. Tanpa Arsyi menjawab pun pasti gadis itu akan tetap membeli makanan ringan untuk dimakannya di kelas nanti. Buktinya, tanpa menunggu Arsyi mengangguk, Helen sudah melesat ke meja pantry kantin. Helen menghampiri rak-rak tempat diletakkannya berbagai macam camilan. Tangannya dengan cekatan mengambil beberapa camilan dari rak dan memberikan pada penjaga kasir kantin untuk dihitung jumlah belanjaan. Helen menerima satu kantong kresek besar berisi camilan-camilan yang tadi dibelinya. Setelah mengatakan kalau nanti Arsyi yang akan membayar, Helen langsung kembali ke mejanya semula dengan kedua tangan penuh.
Helen meletakkan gelas es tehnya di meja sebelum duduk. Helen menawarkan camilan yang tadi dibelinya pada Juna dan Arsyi yang ditolak oleh kedua pemuda itu.
"Lu kenal sama tu cewek aneh di mana sih, Arsy?"
Pertanyaan Juna menarik atensi Helen. Gadis itu menatap sang kekasih menunggu penjelasan dengan mulut sibuk mengunyah keripik kentang.
"Teman sekelas tahun lalu," jawab Arsyi santai tanpa beban. Tangannya mencomot keripik kentang yang berada di tangan Helen.
"Berarti tu cewek seangkatan kita dong?" Juna ikut-ikutan menjulurjan tangan pada bungkusan keripik kentang milik Helen. "Kok gue nggak tau ya?" tanyanya sambil mengunyah selembar keripik.
"Karena dia cewek yang biasa-biasa aja," sahut Arsyi. "Gue tau tipe lu, Jun. Dan cewek macam Esti itu jauh banget dari tipe lu."
"Iya dong, besto." Juna terkekeh, menyodorkan kepalan tangannua pada Arsyi yang disambut Arsyi dengan kepalan tangan juga. "Lu paling tau selera gue. Cewek gaje kayak tu cewek nggak masuk kriteria gue."
"Emang Arsyi tau gimana cewek tipe Juna?" tanya Helen dengan tatapan ingin tahunya.
Arsyi mengangguk.
"Kayak gimana coba tipenya?"
"Yang pasti nggak kayak lu," jawab Juna cepat. "Tepos!"
Helen cemberut, menjauhkan keripik kentangnya dari jangkauan Juna.
"Pelit amat sih lu! Si Amat aja nggak pelit." Juna terkekeh mendengar ucapannya sendiri. Juga menertawakan Helen yang sedang menggembungkan pipinya.
Tahu kalau gadisnya kesal, Arsyi mengangkat tangan dan menjatuhkannya ke pucuk kepala Helen. Mengusap pucuk kepala itu lembut. Kata tepos atau flat adalah kata yang sangat tidak disukai Helen, karena kata itu membuat gadisnya minder. Helen sering mengeluh padanya, tentang tubuhnya yang kurang berisi. Juga tentang bentuk tubuhnya yang tak seindah bentuk tubuh gadis lain. Dan Arsyi selalu menghiburnya dengan mengatakan kalau ia mencintai Helen bukan karena itu. Ia mencintai Helen karena sikap dan sifat gadis itu. Kepribadian Helen yang membuatnya tertarik, selain karena Helen cantik.
Kekurangan Helen mungkin ada pada bentuk tubuhnya. Tapi terlepas daripada itu, Helen gadis yang sempurna dan sangat layak untuk dicintai. Siapa yang peduli dengan bentuk tubuh, karena di zaman moderen seperti sekarang ini, begitu banyak dokter bedah bertebaran, siapa tahu kan kalau yang bentuk tubuhnya bagus itu hasil buatan dokter. Lebih baik tepos tetapi asli, daripada berisi namun buatan. Sangat memalukan!
"Jangan dengerin Juna," bisik Arsyi di telinga Helen. "Kamu yang paling tau usilnya dia kayak gimana."
Helen tak menjawab, mulutnya terkatup rapat. Ia benci kalau Juna menyinggung soal bentuk tubuhnya yang rata. Mengingatkannya kalau ia sangat tidak sempurna. Helen menyembunyikan wajahnya di bahu Arsyi. Rasa takut itu kembali menyeruak. Rasa takut kalau Arsyi tergoda pada gadis lain yang memiliki tubuh montok. Helen mencengkeram ujung lengan seragam Arsyi kuat.
Merasakan itu, Arsyi menatap Juna tajam. Sungguh candaan Juna kali ini sangat tidak lucu. Ia tak peduli kalau Juna sudah seperti kakak bagi Helen. Kalau Juna membuat Helen-nya bersedih apalagi sampai mengeluarkan air mata, ia tidak akan tinggal diam.
Juna tahu arti tatapan itu. Ia juga melihat bagaimana Helen yang tadi sangat ceriwis menjadi pendiam. Juna sadar kalau ia sudah salah bicara. Perkataannya kali ini sudah keterlaluan. Maksudnya tadi hanya bercanda, tanpa sadar ia sudah membuat adiknya merasa rendah diri.
Juna berdiri, melangkah menghampiri Helen. Di samping kursi Helen, Juna berlutut dengan menumpukan satu kakinya ke lantai. Tangannya terangkat mengusap rambut gadis itu.
"Hei, gue tadi cuma bercanda, nggak serius kok," ucap Juna lirih. Sungguh ia sangat menyesal. Seandainya dapat mengulang waktu, ia pasti akan melakukannya. "Maafin gue ya, pleaseee!"
"Nggak mau, Juna jelek!" jawab Helen cepat. Suara lirihnya terdengar serak.
Juna tersenyum masam. Helen menangis. Dan gadis itu masih bisa menanggapi candaannya yang sangat tidak lucu tadi.
"Iya, gue tau kok kalo gue jelek. Makanya gue jadi playboy, kan cowok playboy biasanya jelek. Mulut gue juga suka ngomong nggak disaring."
Juna berhasil. Ucapannya tadi menarik perhatian Helen. Gadis itu menoleh padanya, bahkan sekarang Helen memutar tubuh ke arahnya. Dan Juna semakin merasa bersalah melihat mata kecil itu merah berair.
Helen mengernyit. Merasa sedikit heran dengan Juna yang sudah berlutut di samping kursinya.
"Juna lagi ngapain?" tanya Helen bingung.
Juna mengembuskan napas lega. Kalau sudah seperti ini, berarti Helen sudah tak marah lagi padanya. Dan berarti Helen juga sudah melupakan perkataannya yang tadi. Juna tersenyum. Senyum yang tak pernah diperlihatkannya kepada siapa pun kecuali pada Helen.
"Gue kan lagi minta maaf sama lu," jawab Juna.
"Oh iya ya, Juna kan udah ngatain aku tepos ya." Helen mengetuk-ngetuk pelipisnya. "Nggak mau maafin Juna!" Helen membuang muka. Tangannya bersedekap.
Juna tahu Helen sekarang hanya bercanda. Ia terlalu hafal dengan watak gadis itu. Juna memasang tampang memelas, yang selalu dapat meluluhkan seorang Helena Darmawan.
"Yaahh kok gitu, tega lu sama gue."
"Biarin dong, Juna juga tega sama aku." Helen melirik Juna melalui ekor matanya. "Bener kan, Hon?" tanyanya pada Arsyi.
Arsyi hanya mengangguk. Helen dalam mode manja seperti sekarang memang perlu dituruti semua keinginannya, atau dia akan merajuk.
Helen menjulurkan lidah pada Juna mengejek pemuda itu. Ia sudah tidak menangis lagi. Rasa kesalnya pada Juna juga sudah hilang. Ia hanya memanfaatkan keadaan saja, agar Juna menuruti keinginannya.
"Masa sih lu nggak mau maafin gue, Len?" Juna masih dalam mode memelas. Posisinya juga masih berlutut dengan satu lutut menumpu ke lantai. Tak peduli ia menjadi pusat perhatian seluruh kantin untuk yang kedua kali. Ia hanya ingin mendapatkan maaf dari Helen. "Gini deh, kalo lu maafin gue, lu minta apa aja gue kasih."
Ini yang ditunggu-tunggu Helen. Ia sudah hafal di luar kepala bagaimana seorang Arjuna. Pemuda yang sudah dianggapnya kakak itu pasti akan melakukan apa saja untuk mendapatkan maaf darinya. Bahkan seandainya ia meminta Juna untuk bunuh diri pun Helen yakin Juna pasti akan melakukannya, asalkan ia yang meminta. Helen bangga akan hal yang satu itu. Karena tak ada seorang gadis pun yang dapat memerintah Arjuna Dirgantara kecuali dirinya. Tidak pernah juga Juna berlutut seperti sekarang kepada gadis mana pun, selain kepadanya.
"Nggak mau juga. Mau minta sama Arsyi aja."
Arsyi nyaris mengeluarkan tawa mendengar jawaban Helen. Apalagi melihat wajah Juna yang makin menekuk. Untung saja ia masih bisa menahannya. Seandainya mereka hanya bertiga, ia pasti akan tertawa sekerasnya.
"Yahh..." Juna benar-benar merasa tak berdaya sekarang. "Terus gue harus apa dong biar lu maafin gue."
Helen mengerutkan alisnya. Gadis itu berpikir keras tentang apa yang akan dimintanya pada Juna agar ia memaafkan pemuda itu.
"Tunggu ya, aku pikiran dulu."
Juna tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum geli. Memangnya ada orang yang akan memaafkan seseorang seperti ini. Sepertinya tidak, hanya Helen saja seorang.
"Jangan lama-lama mikirnya, Hon," tegur Arsyi. Tangannya melingkari bahu Helen. "Kasian Juna, ntar kesemutan tuh kakinya."
Helen menatap Juna yang masih saja berlutut di depannya. Sebenarnya ia kasihan juga, tapi Juna harus diberi pelajaran agar mulutnya tidak lagi bicara sembarangan dan lebih menghargai perempuan. Karena body shaming itu dilarang keras di semua negara, termasuk di Indonesia.
"Aku mau apa ya?" Helen mengetuk-ngetuk pelipisnya dengan jari telunjuk. Tak lama gadis itu tersenyum. Senyum yang membuat Juna menatapnya ngeri.
"Jangan yang aneh-aneh deh, Len!" Juna bergidik membayangkan Helen memintanya untuk melakukan hal-hal yang memalukan.
Helen menggeleng manis. "Nggak kok," sahutnya. "Aku cuma minta Juna masak buat makan malam aku selama seminggu."
"What the–!" Juna yang akan mengumpat terhenti karena tatapan membunuh Arsyi. Juna mengangguk pasrah. Dan semuanya seolah tak berarti apa-apa ketika Helen memeluknya. Yang berarti ia sudah mendapatkan maaf dari gadis kesayangannya.