Bab 6

2030 Kata
"Heleeenn!" Helen segera mengambil tas sekolahnya, menuruni tangga tergesa. Ibu Ratu sudah berteriak memanggilnya. Pasti Juna sudah ada di bawah, menunggu di meja makan seperti seorang kakak yang perhatian. "Lama amat sih lu, sampe ngantuk gue nunggunya." Helen mendelik tajam sebelum duduk. "Nggak nyuruh nunggu kali," sahutnya cuek. "Siapa suruh jemput kepagian?" "Sengaja. Kan biar gue bisa sekalian sarapan di sini," jawab Juna tak tahu malu. Juna sudah menganggap orang tua Helen sebagai orang tuanya. Ia juga lebih sering berada di rumah Helen daripada di rumahnya. Mendengar teriakan Helen karena diganggu olehnya lebih menyenangkan bagi Juna daripada tak mendengar apa-apa di rumahnya. Orang tuanya terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka. "Astaga, Juna. Kalo ngomong jujurnya jangan kebangetan dong! Nggak tau maju banget!" omel Helen gemas. "Suka-suka gue lah," sahut Juna santai. "Ngapain juga gue jaim, kan orang tua gue juga bwee!" Juna menjulurkan lidah mengejek Helen. "Jangan sok ngadi-ngadi deh!" Helen mulai jengkel. Gadis itu meminum susunya cepat. "Orang tua aku kok itu!" "Orang tua gue juga!" Juna tak mau kalah. Bunda dan Papa Helen hanya menggelengkan kepala melihat tingkah anak-anak mereka. Setiap hari selalu seperti ini. Benar-benar kakak-adik yang tidak pernah akur. Juna selalu berperan menjadi seorang kakak yang selalu menjahili adiknya. Dan Helen yang manja sangat cocok menjadi asik bagi Juna. Meskipun usia Juna lebih muda dari Helen, tapi sifat Juna lebih dewasa. Berbanding terbalik dengan wajah imutnya. Orang yang melihat wajah Juna tidak akan menyangka kalau pemuda itu sudah tujuh belas tahun. Mereka pasti berpikir kalau Juna masih anak SD. Itu kalau mereka tidak melihat tubuh Juna yang tinggi. Sementara Helen yang lebih tua dari Juna justru manja dan sedikit kekanakkan. Helen juga jauh lebih pendek dari Juna. Helen hanya sebatas d**a Juna saja. Makanya Juna selalu menganggap Helen adiknya. "Jangan berantem terus ya kalian. Nanti telat lho!" "Juna yang mulai, Pa!" adu Helen. Telunjuknya menunjuk Juna yang sedang mengunyah sepotong roti isi. "Lho, kok, gue. Enak aja!" sewot Juna tak terima. "Helen bohong, Pa. Juna cuma makan nih." "Iihh Juna, itu Papa aku. Ngapain kamu panggil Papa juga?" Helen cemberut. "Papa gue juga, Bawel!" Juna memutar bola mata. "Sok karang-karang gue lu ah! Awas ya lu ntar manggil nyokap gue Mami!" ancam Juna. Meskipun wajahnya terlihat serius, tapi semua tahu kakau ia hanya bercanda. "Suka-suka aku dong. Kan Mami aku juga." Helen mengangkat dagu. Juna mencibir. "Sekarang siapa yang ngaku-ngaku?" tanyanya dengan senyum mengejek. Helen terdiam. Pipinya memerah antara malu dan marah. Juna menyebalkan. Pemuda itu selalu saja menang. Juna selalu berhasil membungkamnya, selalu bisa membuatnya tak lagi bisa berkata-kata. "Udah, jangan berebut. Mami kalian itu." Bunda menengahi. Kalau tidak seperti ini, bisa dipastikan Helen dan Juna akan terlambat tiba di sekolah. "Udah jam tujuh lewat tuh, kalian nggak mau ke sekolah sekarang?" tanya Bunda memperingatkan. Juna dan Helen menengok jam dinding berbarengan. Helen cepat menghabiskan susunya. Mengusap mulut menggunakan tisu kemudian berdiri membetulkan roknya. "Juna cepetan. Nanti telat!" seru Helen sambil mencium tangan dan pipi Bunda. Dilanjutkan dengan tangan dan pipi Papa. Juna yang menyadari kalau ia akan terlambat segera menghabiskan sarapannya. Ia tidak seperti Helen yang suka menghabiskan sarapan di mobil. Buru-buru Juna mengelap sudut bibirnya yang belepotan mayonaise, menghabiskan s**u dan mengikuti kegiatan Helen sebelum pamit ke sekolah. *** Entah Arsyi yang datang ke sekolah yang terlalu pagi atau dua orang yang mengaku kakak-adik yang selalu bertengkar itu yang selalu datang terlambat. Yang pasti Arsyi harus menunggu mereka lagi. Arsyi berdecak kesal. Kedua orang itu senang sekali membuang waktu. Arsyi heran, bagaimana Juna yang datang hampir selalu terlambat dan seorang playboy bisa mengekor prestasinya. Arsyi tak pernah melihat seorang Arjuna belajar. Kalaupun Juna membuka buka yang dibacanya adalah majalah bisnis dan semacamnya. Sangat jarang Arsyi melihat Juna membuka buku pelajaran. Tapi tetap saja Juna menempati peringkat kedua. "Sendiri aja, Arsy?" Arsyi menoleh mendengar teguran itu. Pragesti Rahayu, salah satu teman seangkatan. Mereka pernah sekelas waktu kelas sepuluh. Arsyi mengangguk. "Hn." Esti bukan gadis cabe seperti yang lain. Gadis berkulit sawo matang ini lebih pendiam dan sedikit judes. Esti juga termasuk gadis yang tak banyak bicara. Karenanya Arsyi tak keberatan bertegur sapa dengannya. "Teman kamu yang playboy belum datang berarti." Arsyi menaikkan sebelah alisnya. Merasa heran karena Esti yang tak pernah menyinggung atau terlihat menyukai Juna tiba-tiba berbicara mengenai sahabatnya itu. Apa mereka memiliki masalah? Arsyi tak manjawab. Dan diamnya pemuda cukup membuat Esti tahu kalau tebakannya tadi benar. "Aku ada urusan sama Juna," ucap Esti tanpa diminta. Arsyi sudah menduga sebelumnya, jadi ia hanya diam saja. Ia tak pernah mencampuri urusan Juna menyangkut gadis-gadis. Arsyi tak ingin Helen salah paham nanti. Lagipula ia tak tertarik dengan gadis-gadis itu, cukup Helen saja bagi Arsyi. "Dia udah nyakitin hati teman aku," lanjut Arsyi. "Cowok kayak gitu harus dikasih pelajaran!" Arsyi mengembuskan napas kasar. Ia sangat tidak suka bicara panjang lebar terutama di depan orang yang tidak terlalu dekat dengannya. Tapi sepertinya ia harus melakukannya sekarang. Esti perlu diberitahu atau diperingatkan lebih tepatnya. "Gue nggak bela Juna. Tapi kalo gue jadi lu, gue nggak mau ikut campur urusan teman gue." Arsyi menatap Esti sekilas. "Lagian gue rasa Juna nggak sepenuhnya salah. Teman lu aja yang b**o, udah tau Juna suka main cewek masih aja diterima." Arsyi memutar tubuh, kali ini benar-benar menghadap Esti. Arsyi harus menunduk agar bisa menatap gadis itu. "Saran gue, jangan baper kalo lu didekatin cowok apalagi Juna. Setau gue, Es, Juna nggak bakalan nembak cewek kalo dia nggak liat ada yang lain dari cewek itu." "Gue..." Arsyi menggeleng pelan memotong perkataan Esti. Dan tanpa bicara lagi, pemuda itu meninggalkan tempatnya. Arsyi memilih menunggu Juna dan Helen di dalam mobilnya di tempat parkir. Ia tak suka ditemani. Menunggu sambil mendengarkan celotehan seseorang adalah hal yang sangat tidak disukai Arsyi. Baru saja Arsyi menapakkan kaki ke tempat parkir, sebuah mobil yang sangat dikenalinya memasuki tempat itu dan berhenti tepat di samping mobilnya. Seorang gadis berkulit porselen keluar dari mobil itu. Gadis itu langsung berlari kecil ke arahnya. "Arsyiii!" Helen memeluk lengan pemuda itu. Ingin memeluk pinggang Arsyi, tak mungkin. Helen masih mempunyai otak untuk tidak memeluk Arsyi di tempat umum. Meskipun mereka sepasang kekasih, tapi tetap sangat tidak sopan dan memalukan. "Lima menit lagi masuk lu baru datang." Tak menggubris Helen, Arsyi malah menyapa Juna dengan sapaan yang hanya mereka yang memilikinya. Juna cengengesan. Pemuda itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Berantem sama nih cewek jadi-jadian dulu gue tadi." Juna menunjuk Helen yang cemberut dengan memonyongkan mulutnya. "Heran gue, dia lama banget dandannya." Arsyi berdecak. "Helen mulu yang lu jadiin alasan." Helen tersenyum lebar mendengar Arsyi membelanya. Helen makin mengeratkan pelukannya di lengan Arsyi. Lidahnya terjulur mengejek Juna. "Si Esti nyariin lu. Katanya lu udah mainin teman dia." Alis Juna mengernyit. Siapa itu Esti? Ia tidak pernah mendengar atau tahu nama itu. "Esti siapa? Cowok apa cewek?" tanya Juna. Arsyi menghela napas. Juna terlihat bingung. Arsyi maklum, pemuda playboy seperti Juna tidak akan tertarik pada penampilan Esti yang terlihat biasa-biasa saja. Jadi wajar saja kalau Juna tidak mengenalinya. "Cewek," jawab Arsyi. "Tadi dia nanyain lu." Juna mengangkat bahu. "Nggak kenal gue, Arsy. Males!" Arsyi juga mengangkat bahu. Kemudian mengambil tas di bahu Helen untuk di sandangnya. Arsyi mengusap pucuk kepala Helen sebelum menarik gadis itu dan mengantarnya ke kelas. Sebenarnya Helen sekelas dengan Juna, tetapi Arsyi tetap mengantarnya. Hitung-hitung menambah momen kebersamaan mereka. Arsyi memang bukan pemuda yang romantis, ia malah tidak bisa mengutarakan perasaannya secara terbuka. Sewaktu mendekati Helen dulu, Juna yang membantunya. Arsyi juga tak suka berkata-kata, ia lebih suka menunjukkan perasaan dengan perbuatannya. Menjadi pusat perhatian seperti sekarang ini sudah biasa bagi Helen. Tatapan teman-teman sekolahnya yang beraneka ragam sudah menjadi makanannya sehari-hari. Kedekatannya dengan dua orang pangeran sekolah menjadikannya gadis yang paling diburu baik itu oleh fans maupun haters kedua pemuda itu. Haters? Sepertinya Juna dan Arsyi tidak memiliki itu. Rata-rata setiap orang menyukai mereka. Justru ia yang memiliki haters, banyak malah. Salah satunya adalah Diva. Sudah menjadi rahasia umum kalau Diva tidak menyukai Helen. Diva menyukai Arsyi, dan posisi Helen sebagai kekasih Arsyi membuat Diva menganggap Helen sebagai penghalang. Tapi Helen tak pernah memedulikan itu. Ia bisa menampung semua kebencian itu sendirian. Bagi Helen tidak masalah Diva membencinya, selama gadis itu tidak menyentuh fisiknya. Omongan-omongan pedas yang dialamatkan Diva padanya sudah menjadi makanan sehari-hari. Untung saja mereka tidak satu kelas. Kalau iya Juna pasti yang akan memberi pelajaran pada gadis itu. Juna tidak akan membiarkan seorang pun menyakitinya. Juna adalah malaikat penjaganya, dan Helen sangat menyayangi sahabatnya itu. Bisa dikatakan kalau ia bergantung pada Juna, sejak kecil. Meski mereka sering bertengkar, tapi mereka saling menyayangi selayaknya saudara kandung. Helen segera duduk di kursinya begitu tiba di kelas. Rasanya cukup lelah berjalan dari tempat parkir ke ke ladmya yang berada di lantai dua. Seandainya tidak malu, Helen akan meminta Arsyi atau Juna untuk menggendongnya. "Istirahat aku tunggu di kantin ya," ucap Arsyi sambil meletakkan tas Helen di meja gadis itu. "Belajar yang benar." Arsyi mengusap pucuk kepala Helen lagi sebekum meninggalkan ruang kelas itu. "Mau kemana lu?" tanya Juna melihat Arsyi menjauh. "Ke kelas gue lah!" jawab Arsyi acuh. "Udah mau masuk nih." Juna mengangguk. Meletakkan tasnya di meja sebelum duduk di samping Helen. "Titip dia, Jun!" Arsyi menunjuk Helen dengan ekor matanya. "Jagain, awas kalo lu usilin dia terus!" Juna meringis. Arsyi menyebalkan! pikir Juna. Selalu tahu apa yang ia pikirkan. "Nggak bakalan gue usilin, bro, tenang aja." Juna tersenyum lima jari. "Paling gue ganggu dikit," sambungnya lirih. Helen mendelik tajam. Tangannya terangkat memukul bahu Juna yang duduk di sebelahnya. "Apaan sih?" tanya Juna dengan tangan mengusap bahunya yang tadi dipukul Helen. "Sakit tau! Jadi cewek bar-bar banget." Helen memutar bola mata. Begini lah nasib kalau mempunyai sahabat drama king, fakta pasti akan diputarbalikkan. Tak mungkin Juna merasa sakit, ia tadi tidak memukul bahu pemuda itu sekuat tenaga. Helen membelalakkan mata sipitnya mengancam Juna. *** "Ada Juna nggak?" Pertanyaan lantang itu membuat hampir seluruh penghuni yang masih berada di kelas menoleh. Hanya sekilas kemudian kembali ke aktifitas mereka, merapikan alat-alat tulis yang berserakan di atas meja. Esti menggeram kesal. Pertanyaannya tak digubris oleh teman-teman sekelas Juna. Sekali lagi Esti bertanya, kali ini dengan suara lebih keras. "Gue nanya, ada Juna nggak?" Seorang gadis yang sudah selesai merapikan mejanya menjawab, "Kalo Juna ada nggak mungkin dia nggak jawab pertanyaan lo." Gadis itu melangkah menuju pintu dan berhenti di depan Esti. "Lo nggak pernah liat Juna ya sampe nanya kayak gitu?" tanyanya dengan nada mengejek. Esti mendengus kasar. Bukannya ia tidak pernah melihat Juna. Malah ia sangat sering melihat pemuda yang dikategorikannya sebagai pemuda b******k itu. Hanya saja, tak tahukah penghuni kelas ini tentang basa-basi? "Kalo lo tau Juna berarti lo juga tau kalo dia nggak ada di kelas. Juna udah keluar sama Helen tadi," jelas gadis itu sebelum keluar kelas dan menyenggol bahu Esti. Esti yang tak siap sedikit terhuyung ke belakang. Cepat gadis itu membenarkan posisinya dan menjauh dari kelas itu. Esti berlari kecil menuju kantin. Ia yakin Juna berada di tempat itu, sama seperti siswa lainnya. Kantin menjadi salah satu tempat favorit siswa kala istitahat. Tempat itu penuh begitu Esti tiba. Tapi tidak sulit mencari seorang seperti Juna, meski di tengah lautan manusia sekalipun. Esti menemukannya di meja Arsyi. Yang sulit adalah mendekati meja itu. Banyak siswa yang masih belum mendapatkan tempat duduk, berdiri menghalangi jalan. Esti harus mengucapkan kata 'permisi' beberapa kali sebekum mencapai yltempat yang dituju. "Lo yang namanya Juna?" tanya Esti begitu tiba di depan meja Arsyi. Juna yang merasa namanya disebut mengangkat kepala. Alisnya berkerut melihat seorang gadis berdiri di depan mejanya. Seorang gadis asing yang mengenakan seragam sekolahnya. Berarti gadis ini juga siswa di sekolahnya, tapi kenapa ia baru melihat gadis ini. Juna mengangkat bahu, seolah ia peduli saja dengan semua itu. Siswa baru atau tidak, kalau ia tak mengenalnya berarti gadis itu memang tak memiliki potensi untuk dikenal. "Kenapa nyari gue?" balas Juna bertanya juga. Arsyi memutar bola mata. Sebegitu ngototnya Esti mencari Juna sampai ke kantin. Sementara Helen hanya melongo. Kurang paham dengan apa yang terjadi di depannya. Hanya beberapa detik sebelum Helen kembali menyantap gado-gadonya. "Lo harus tanggung jawab karena udah mainin Lusi!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN